Share

Bab 3: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

“Pinjam hape, Beb?” Ida muncul ke kubikelku.

Jemarinya yang lentik, putih dan mulus itu mengulur, memperlihatkan kukunya yang dikutek bening mengkilap cantik. Ditambah lagi aroma harum dari parfum mahal yang selalu dipakai olehnya menembus hidung dan melekat di baju.

“Pinjem, ya?” ulangnya.

Aku masih diam dengan memandangi telapak tangan halus itu. Bagaimana hidup seorang Ida hingga punya tangan sebagus ini? Sedangkan tangan dan kukuku seperti habis mencakar tanah.

Terlalu banyak noda, baret dan bentuknya yang tidak cantik. Bekas luka percikan minyak pun ada yang masih basah, belum sepenuhnya mengering, meninggalkan bekas kehitaman di punggung tangan.

Dunia kami ... terlampau jauh. Saat Ida memakai parfum jutaan, aku hanya mampu membeli yang puluhan ribu di pasar.

“Beb? Halllooo!” desaknya.

Aku menggelengkan kepala. Sekelebat ingatan akan apa yang kutemukan di gawai Bang Fuad mengganggu tenang.

Antara Ida dan suamiku, apa yang sebenarnya telah terjadi? Benarkah mereka telah merusak cinta dan persahabatan di antara kami?

“Ih, boleh enggak, sih?” rengeknya lagi.

“Boleh, Da. Ambil saja,” ucapku dengan intonasi yang sangat lemah.

Saat kuserahkan gawai itu pada Ida, dia malah berusaha membaca ekspresiku yang suram. Membuatku bisa mengendus lebih dalam dan lama aroma parfum yang dihamburkan tubuh Ida.

“Kamu kenapa?”

“Enggak ada, sana gih, jangan lama-lama, ya?” ucapku pada Ida.

Perempuan itu jadi girang. Dia lekas beranjak dari mejaku dan menuju mejanya yang terletak agak jauh.

Di sana, wajahnya berseri, ada senyum bahagia terpatri. Hal yang membuatku sangat terusik.

Namun, aku tidak ingin terlalu lama larut dalam kesedihan ini. Lantas, buru-buru aku membuka browser. Di sana, aku mengaktifkan aplikasi chat via komputer agar bisa memantau apa yang dilakukan oleh Ida.

Tidak lupa kumatikan suara setiap kali ada pesan yang masuk. Dan hanya membaca pesan setelah Ida membukanya lewat gawai. Semoga saja Ida tidak menyadari kalau aku memantau pergerakannya lewat komputer.

[Yank ... kangennn]

Aku menarik napas dalam melihat pesan Ida untuk nomor itu. Tidak lama setelahnya, balasan datang ke nomorku.

[Sama, Beb. Kamu sudah di kantor?]

[Sudah nih.]

[Oh ya, weekend ke Medan ya? Aku sudah booking hotel yang kamu suka.]

Deg! Deg! Aku terhenyak melihat sebuah ajakan untuk Ida lewat notifikasi. Hubungan yang dijalani oleh Ida sudah terlampau dalam hingga bisa menginap bersama.

Kuputuskan untuk tetap tenang, mencoba berpikir sejernih mungkin meski sebenarnya tubuhku panas dingin. Bisa saja sosok yang mengobrol dengan Ida adalah orang lain, dan bukannya Bang Fuad.

Semalam penuh, Bang Fuad sekalipun tidak bertindak aneh. Andai memang dia pernah bercinta dengan perempuan lain, maka kemungkinan besar Bang Fuad akan bertindak tidak lazim saat bersamaku.

[Yeay Beb, thanks.]

[Sama-sama. Nanti di sana aku belikan kamu hape baru, biar bebas, aku enggak suka sama temenmu yang nge-chat dan telepon aku, Beb.]

Deg! Pria itu mengadu pada Ida.

[Nanti aku tegur, Beb. Maaf, ya ... dia memang usil orangnya, makanya telat nikah.]

Ya Allah, Ida ... bicaranya seperti itukah di belakangku?

Haruskah aku menegurnya? Tapi itu artinya aku ketahuan membaca pesan-pesan mereka.

Tidak, aku harus bersabar sedikit lebih lama demi mendapatkan informasi lain soal pria itu. Jangan gegabah, jangan asal melangkah, jika tidak aku akan kehilangan segalanya.

[Sumpah, Beb. Aku kangen kamu.]

[Aku juga, Beb. Aku baru dapat bonus dari proyek yang aku cerita ke kamu. So, staycation kali ini aku yang teraktir.]

Astaga ... proyek? Aku terhenyak mendengarnya. Bukankah Bang Fuad juga bercerita hal yang sama kemarin?

Seketika dadaku bergemuruh. Jemariku mendadak gemetar mendapati kenyataan ini. Semakin besar kecurigaanku pada Bang Fuad dan Ida serta perselingkuhan mereka berdua.

[Beb, aku bahagia banget dengarnya. Tapi, cuma kamu yang nyenengin aku, jadi aku yang harus balas semua ini.]

[Okey, Beb. Aku paham maksud kamu, Beb. Tenang saja, kali ini bisa puas-puasan.]

[Sip, nanti aku cari alasan deh buat nitipin anakku ke mertua. Kali ini, kita bareng ya, Beb? Pakai mobilku.]

[Jangan, Beb. Ketahuan suamimu bisa gawat. Aku tunggu di terminal Batoh, kita pakai bus biar enggak ada yang curiga.]

[Ah, Beb ... kamu tuh terbaik pokoknya. Aku juga sudah beli linger*e yang super duper sekseh.]

Aku menutup layar browser karena tidak tahan melihat seluruh percakapan mereka. Sejak kapan Ida sudah begitu berani bermain api dan ada kemungkinan jika pria itu adalah suamiku— sahabatnya sendiri.

Sudah ada beberapa bukti, termasuk pesan dan proyek. Sekarang, aku hanya harus memastikan jika Bang Fuad akan pergi besok malam ke Medan.

Namun, jika memang benar Bang Fuad dan Ida punya hubungan, apa yang harus aku lakukan?

Perempuan tanpa kerabat sepertiku tentu akan kesulitan bertahan dan menerima pembelaan. Tidak akan ada yang memberi uluran tangan, apa lagi orang tua Bang Fuad yang sejak awal 'kurang' menyetujui pernikahan kami.

[Yank, kamu online terus? Kerja sana, biar enggak kelihatan selingkuh.]

Aku membaca notifikasi berikutnya dengan mata membelalak. Kulirik Ida, dia sedang mengetik sesuatu di komputernya dan tidak memainkan gawai.

Ternyata, aku belum benar-benar memutuskan koneksi aplikasi chat di komputerku. “Ya Allah, jangan sampai Ida tahu.”

[Okey Beb, sebentar ada yang harus aku selesain.]

“Alhamdulillah,” lirihku kemudian.

Ida kembali sibuk dengan komputernya. Setelahnya, tidak ada pesan lain yang masuk.

——

Setelah menggenggam beberapa bukti, aku mulai meningkatkan kewaspadaan. Bang Fuad yang pulang lebih dulu dariku ternyata sudah selesai mandi dan mengganti pakaiannya dengan setelan rumahan.

Saat aku bergabung dengannya, Bang Fuad tidak melirik. Dia sibuk mematut wajahnya di cermin, menyisir rambut ke belakang dan bersenandung riang.

“Bang, boleh aku bertanya?” ucapku sembari memerhatikan punggung tegap Bang Fuad dari bibir ranjang.

Kaos hitam lengan pendek dan celana longgar  keabuan menjadi pilihan. Meski hanya demikian, Bang Fuad terlihat sangat rupawan.

“Bang, boleh aku nanya?”

“Nanya ya nanya aja, Yank.” Dia membalasku dengan intonasi ketus, seolah kesal mendengar tanya dari istrinya sendiri.

“Soal bonusmu itu ....”

“Abang pakai dulu untuk DP motor bisa? Abang mau beli motor, capek juga kalau harus nunggu kamu yang jemput atau naik gojek pulangnya. Kadang siang, abang enggak bisa keluar beli makan atau kopi.”

Aku tertegun mendengar penjelasannya barusan. Padahal baru dua kata dan Bang Fuad langsung meresponsnya seperti ini.

“Motor, Bang? Memang bonus abang berapa?”

“Banyak tanya banget sih, Yank? Apa aku enggak bisa pakai uang yang aku hasilkan sendiri?” sungutnya tiba-tiba.

Bang Fuad mendadak emosi. Dia berpaling dari cermin ke arahku, lalu melempar handuk basah bekasnya ke arah ranjang.

“Selama nafkahmu cukup, jangan terlalu banyak mengekangku. Apa aku pernah mengurusi semua gaji-gajimu? Tidak, kan?” Bang Fuad menambah komentarnya.

Sepanjang pernikahan, ini adalah kali pertamanya bicara sebanyak dan seketus ini. Intonasinya penuh kekesalan, dan manik matanya tajam.

“Bang, bukan begitu maksudku. Aku hanya bertanya, Bang. Kalau kita ambil motor lagi, kita bakalan sulit bayarnya. Rumah juga cicilannya masih panjang, dan lagi kita punya rencana buat renovasi.” Aku mengusulkan dengan tenang.

Jika Bang Fuad emosi dan kutanggapi dengan cara yang sama, maka kami akan bertengkar. Bahkan meski itu berarti aku harus menahan diri dan air mata yang bercucuran.

“Cicil rumah pakai gajimu berarti, Abang harus beli motor. Jangan hanya terima enaknya saja, seperti kata mamak!” sambungnya.

Aku membelalak mendengar kata Bang Fuad. Sejahat itukah pikirannya dan mamak mertua terhadapku?

“Apa Bang?” Aku berdiri, menghampiri pria itu.

“Dan nanti malam Abang berangkat ke Lhokseumawe, atasan di proyek minta Abang ke sana untuk ngecek proyek yang satunya.”

Jedug! Ini dia ... Bang Fuad akan pergi walau kata Medan tidak disebutkan olehnya.

“Bang ... aku ikut.”

--

Kenapa di antara semua jenis bunga, mawar berduri yang kamu pilihkan?

Cantik, tapi durinya menusuk.

-Ayu

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status