Share

Bab 2: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

“Bang Fuad?”

Aku memanggil nama suamiku setelah melihat isi pesan yang masuk ke gawainya. Tidak ingin asal menuduh, pesan berikutnya kukirimkan lagi. Langsung gawai Bang Fuad berdenting kembali.

“Astagfirullah, kenapa pesan dariku masuk ke gawai ini?” Aku berlirih begitu pelan karena tidak ingin membuat keributan lebih dulu.

Bang Fuad, bagaimana bisa pesan-pesan yang dikirimkan oleh Ida untuk selingkuhannya masuk ke gawainya? Ada apa sebenarnya?

Pelan-pelan, aku mencoba mengambil gawai Bang Fuad. Jemariku mendadak gemetar dan berkeringat dingin hingga tidak mampu menopang benda pipih itu.

Pluk! Gawai Bang Fuad jatuh ke lantai. Untung saja tidak terlalu keras bunyinya berkat karpet busa yang aku gelar di atas keramik.

Kuupayakan sekali lagi sisa tenaga. Ada misteri yang selama ini tersembunyi dengan rapi dan tidak pernah kuketahui sama sekali.

“Apa hubungan kalian di belakangku, Bang?” rintihku sembari berjongkok.

Aku mencoba membuka pesan tersebut. Layar Bang Fuad meminta kode sandi seperti biasa.

Tanggal pernikahan kami adalah sandi yang dulu diatur Bang Fuad dan diberitahu padaku. Usai aku memasukkan enam digit angka tersebut, layar Bang Fuad menunjukkan penolakan.

“Ti-tidak mungkin!” rintihku lagi. Bang Fuad sudah mengganti kata sandi tanpa memberitahuku. Padahal, selama ini kukira tidak ada rahasia di antara kami berdua.

Kami adalah pasangan baru yang belum lama ini menikah. Seharusnya masih manis-manisnya mengingat urusan ranjang kami juga cukup hangat dan membara.

Berbagai kombinasi sandi kucoba sampai layar gawai Bang Fuad menolak memberikan akses. Jika terus kulanjutkan, aku khawatir benda ini akan terblokir dan Bang Fuad marah padaku.

“Dek?”

Aku terperanjat mendengar suara Bang Fuad. Dia muncul dari kamar mandi dengan menggunakan handuk sepinggang. Alhasil, tubuh atletisnya terpampang nyata di depan mata. Lengan Bang Fuad sedikit belang karena terus bekerja di bawah terik matahari, sedangkan tubuh lainnya cukup putih dan bersih.

Tidak bisa kubayangkan andai Bang Fuad benar-benar punya hubungan dengan wanita lain di belakangku. Tidak bisa kuterima andai ada wanita lain yang telah menatap tubuh indahnya itu.

“Bang?” Aku memanggil namanya dengan suara yang menggema. Gawai Bang Fuad kusembunyikan di belakang punggung agar tidak ketahuan olehnya.

Selama ini, Bang Fuad sangat menjunjung tinggi privasi. Dia tidak mengusikku, karena itulah aku juga tidak berani kuusik.

Namun, bagaimana jika semua itu hanyalah cara agar dirinya bisa dengan bebas mengguncang hati wanita lain tanpa sepengetahuanku?

“Kenapa, Dek?” tanyanya lagi.

Bang Fuad mengibaskan rambut pendeknya yang basah. Lalu, dia mematut diri di cermin riasku. Terlihat sekali jika Bang Fuad begitu memuja paras dan tubuhnya yang indah itu. Hal yang selama ini kuanggap wajar, tapi bagaimana jika ternyata itu adalah salah satu bukti bahwa Bang Fuad hanya mencintai dirinya sendiri?

“Mandilah, sebentar lagi magrib,” ingatnya lagi.

Aku tergagap saat menjawab pertanyaannya. Setelahnya, dengan membelakangi Bang Fuad, benda pipih itu kuletakkan kembali di atas ranjang, tepat di bawah rompinya yang bau keringat.

“Baik, Abang. A-aku mandi dulu.”

Syukurnya Bang Fuad tidak terlihat curiga dengan gelagatku. Sebab itulah, aku bisa masuk ke kamar mandi dengan mudahnya menggantikan dia.

Meski, sebenarnya hatiku masih tertinggal di dalam gawai Bang Fuad. Akhirnya, di dalam kamar mandi mungil yang hanya cukup untuk satu orang ini, aku memutuskan untuk membuka satu per satu pesan yang dikirimkan oleh Ida seharian.

Buruknya lagi, Ida sudah menghapus lebih dari setengah isi chat mereka. Ida menyisakan pesan-pesan di saat terakhir sebelum dia harus mengembalikan gawai itu.

“Ya Allah, ada apa sebenarnya?” Aku tidak sadar mengucap nama Allah saat di kamar mandi.

Panik, bingung, bimbang dan gelisah membuat tubuhku gemetar, panas dan dingin tidak karuan. Selama menikahinya, aku percaya jika Bang Fuad tidak akan macam-macam. Dia pria dewasa yang setia dan bisa memberiku kehidupan bahagia.

Memang, kami selalu hidup dalam kesederhanaan. Serba pas-pasan dan tidak pernah berlebihan. Walau demikian, aku percaya jika Bang Fuad juga bahagia bersamaku.

[Kangennnn buanget, Beb.]

[Sama, aku jg. Lagian, apa km enggak bisa pakai hp sendiri, Beb?]

Hanya tersisa chat tidak penting, selain tujuh chat lain yang isinya kubuka sesaat lalu. Hatiku berkejaran membaca pesan-pesan itu.

[Sorry, Beb. Aq enggk bisa.]

[Ya sudah sih, intinya km baik2 ya di sna? Aku rindu sama km Beb.]

[Aku lebih-lbh rindu. Kpn kita staycation lg? Yang lm tapi.]

Kuelus dada, rupanya Ida dan pria itu sudah pernah jalan-jalan bersama. Bahkan, mereka berencana untuk pergi kembali, tapi lebih lama.

Kalau sudah begitu, berarti ....

[Tnng sja, nanti aku bawa km ke tempat keren2.]

[Ok beb, aku hrs pmit, hapenya mau kukasih balik.]

Obrolan mereka berdua berhenti di situ. Barulah setelahnya aku ambil bagian dengan mengirim pesan balasan sebelum fakta itu kutemukan.

Sekarang, apa yang harus aku lakukan? Nomor tanpa nama dan tanpa foto profil ini milik siapa sebenarnya? Benarkah Bang Fuad yang bermain api dengan Ida- sahabat baikku sendiri?

Aku mencoba untuk menghubungi nomor tersebut melalui aplikasi pesan. Meski tanganku gemetaran saat menunggu jawaban, tetap saja aku berusaha memberanikan diri. Demi menutupi semua itu, beberapa kali aku mengguyur air ke lantai kamar mandi dan menyalakan keran.

Tidak ada jawaban apa pun dari nomor tersebut. Aku bernapas setelah cukup merasa sesak.

“Dek, masih lama? Sudah azan magrib.”

Bang Fuad mengetuk pintu kamar mandi. Untungnya jantungku tidak copot dengan mudah.

“Ma-masih, Bang. Sebentar, ya? Sambilan luluran juga.”

“Wah, bagus! Yang wangi, Yank.”

 Aku mengiyakan mau Bang Fuad hanya agar pria itu lekas pergi dari depan pintu. Lalu, sisa dari pikiranku berkelana akan permintaannya untuk malam ini. Setelah aku menemukan fakta itu, bagaimana lagi harus kulayani Bang Fuad? Bisakah aku tetap ikhlas?

Tiga puluh menit di kamar mandi, aku keluar dengan selembar handuk panjang. Sorot mata terus mengitari seisi rumah yang mungil ini.

Bang Fuad tidak terlihat batang hidungnya. Pintu kamar kami dibiarkan terbuka, dan pintu utama terkunci rapat. Dia keluar ... tiba-tiba tanpa memberitahuku.

Aku berusaha mengintip dari balik jendela. Benar saja, motor Bang Fuad tidak ada di depan rumah.

Kualihkan langkah ke dalam kamar, mungkin Bang Fuad meninggalkan gawainya di tempat yang sama. Setidaknya, aku bisa memastikan kembali kenapa pesan-pesan yang kukirimkan mewakili Ida masuk ke gawainya.

“Tidak ada!” Aku berseru. Seprei, bantal dan rompi Bang Fuad aku acak-acak sembarangan. Pria itu tidak meninggalkan gawainya seperti harapanku.

Tidak kehabisan akal, aku memilih untuk menghubungi nomor itu lagi. Mungkin saja ada sesuatu yang tidak

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status