Wajah Bang Fuad berubah kala kuutarakan keinginan hati untuk pergi bersamanya. Besok weekend, dan aku bisa ikut untuk menemani Bang Fuad, sekaligus jalan-jalan jika memang diizinkan.
“Aku ikut, ya? Weekend juga kan, Bang,” harapku seraya membaca setiap ekspresi di wajahnya.
Hatiku dag dig dug, tidak tahan melihat betapa ragunya Bang Fuad atas permintaanku barusan. Seolah sedang berpikir, Bang Fuad menghela napas dan membalik badan. Pria itu memilih memunggungiku, hingga guratan gelisahnya itu tidak lagi bisa terbaca.
Jangan ditanya bagaimana remuknya hatiku menemukan sikap Bang Fuad ini. Seolah segalanya yang aku takutkan telah menemukan jawabannya.
“Bang, kenapa hanya diam?” tanyaku kembali.
Perasaanku jadi tidak karuan. Bayang-bayang Bang Fuad menolak sudah tercipta di pelupuk mata, hanya tinggal realisasinya saja.
Sebab itulah, aku memilih untuk mundur. Kubuka jarak dengan pria yang kupercayakan hidup di tangannya itu.
Pernikahan indah, rumah tangga bahagia dan sejahtera, anak-anak yang tumbuh sehat dan cerdas itu tidak lagi berani kudamba. Jika sejak awal saja sudah ada dusta dan noda di dalam mahligai kami ini, maka tidak ada artinya lagi.
“Kenapa harus ikut? Tidak biasanya kamu mengekoriku, Dek.” Bang Fuad bertutur.
Memang tidak sepenuhnya penolakan, namun dari nada bicaranya jelas terasa jika Bang Fuad tidak suka dengan ide dariku barusan. Terlihat pundaknya yang naik, dadanya yang membusung, sebelum semua beban itu dia hela melalui napas panjang yang keras.
“Aku tidak mengekor, Bang. Apa Abang tidak paham kalau aku hanya ingin jalan-jalan dengan Abang? Sekalian kan, kita bisa menghabiskan waktu bersama setelah lelah bekerja?” bujukku dengan harapan sepenuh mungkin.
Aku tahu, kecil kemungkinan jika Bang Fuad akan setuju. Dari gelagatnya saja, semua jawaban sudah tersedia, namun aku yang bebal ini berusaha untuk bertahan dengan ideku agar setidaknya bisa membuktikan perselingkuhan yang mereka lakukan.
“Ya sudah, kalau begitu kamu saja yang ke Lhok, Dek. Abang tidak jadi berangkat,” balasnya.
Kupalingkan muka ke arah Bang Fuad yang berlalu saat dia menyahutiku dengan intonasi kasar. Bang Fuad, rupanya dia telah menjelma menjadi sosok yang berbeda dan kini pria itu menunjukkan sisi lain dari dirinya.
Aku mengepal tangan, mencoba meredam murka yang membabi-buta di dalam dada. Jika sudah begini, bukankah hanya semakin membenarkan bukti perihal perselingkuhan dua insan itu?
“Bang, apa Abang ingat teman baikku yang hadir di pernikahan kita dengan suaminya?” tanyaku di antara sesaknya dada dan memberatnya dada.
Bang Fuad berhenti melangkah, dia seakan terkejut saat aku menanyakan sosok perempuan itu. Kuurai senyum palsu di depan Bang Fuad, lalu beranjak ke arahnya dengan gerakan yang lebih gemulai dan mengundang.
Aku mengelus lengannya yang berotot, lalu mengusap dadanya yang cukup bidang. Sorot mata kuubah menjadi segenit dan senakal mungkin.
“Namanya Ida, Bang. Suaminya selalu mengajaknya setiap kali dia ke luar kota. Aku iri, Bang.”
“Apaan, sih?” sahut Bang Fuad sembari menepis tanganku dari tubuhnya. “Jangan mencoba merayu begini, Ayu. Abang tidak suka caramu. Kamu harusnya tahu kalau sejak lama Abang tidak suka perempuan yang banyak tingkah, bukankah itu alasannya kita menjadi dekat dan Abang melamarmu?”
“Bang, banyak tingkah bagaimana? Aku hanya berusaha bermanja dengan suamiku sendiri,” elakku sembari menyusul Bang Fuad.
Pria itu malah menghindar lebih jauh. Dia mengambil jaket yang disampirkannya pada lengan kursi dan langsung memakai. Tidak lupa memastikan gawai dan dompetnya sudah terselip di kedua saku.
Sakitnya hatiku melihat Bang Fuad jadi dingin begini. “Bang, bukannya bagus kalau aku ikut Abang ke Lhok? Kita bisa bersama di sana, bahkan mungkin nanti jadi, kan?”
“Jadi?” Bang Fuad diam.
Dia berdiri di ruangan mungil yang kami peruntukkan untuk ruang tamu. Wajahnya memerah dan tatapannya berubah.
“I-iya ....” Aku hanya mampu membalasnya dengan suara yang dalam. Kemudian, aku menundukkan wajah demi menghindari sorot mata Bang Fuad yang membuas.
“Abang sudah peringatkan, Dek ... menikah dengan Abang, kamu harus siap program kehamilan. Abang tidak mau punya anak dulu, paham?” pekiknya lantang.
Aku terpukul cukup keras melihat betapa seriusnya Bang Fuad saat ini. Dia mencebik di depan wajahku sendiri, lalu menonjok dinding.
“Kenapa, Dek ... sekarang kamu menyesal?” terkanya.
“Tidak, Bang. Kamu salah paham padaku.”
“Kalau begitu, berhenti berbicara soal anak dan dengarkan saja apa yang aku perintahkan.” Bang Fuad kembali membuat keputusan tanpa berkompromi denganku.
Sontak aku menggelengkan kepala. Sakit rasa ini melihatnya yang tiba-tiba berbicara begitu tajam padaku.
Tidak bisakah Bang Fuad tetap melunak? Memperlakukanku dengan manis sama seperti di awal pernikahan kami?
“Kenapa, Bang? Kenapa tidak bisa aku berdiskusi denganmu?” lirihku di antara isakan tangis yang berusaha aku tahan. “Kenapa tidak pernah kamu tanyakan padaku, apa keinginanku?”
“Apa itu penting sekarang? Aku sudah berusaha memberimu kebahagiaan, bahkan rela menghabiskan gaji untuk mengkredit rumah ini. Sekarang, kamu merasa kurang, Dek?”
Sengit sekali perdebatan kami. Bang Fuad yang kutahu banyak diam, tiba-tiba berubah menjadi menakutkan. Dia terus menerkam, mencoba mendesak dan menahan diriku dari perlawanan.
Ucapan, tatapan, serta gerak tubuhnya bak sebilah pedang yang menghunus. Bang Fuad seolah tidak peduli andai kini aku yang terdesak di antara dirinya dan dinding menangis serta terluka.
“Jangan memancing amarahku, dan lakukan saja tugasmu sebagai istri di rumah ini!”
“Astagfirullah, Bang?” rintihku sembari menundukkan kepala.
Bang Fuad mengukungku dengan kejam, memaksa diriku melihat ke bawah. “Abang tidak suka kalau kamu banyak tingkah begini.”
“Lalu, hanya Abang yang boleh?” balasku.
Sudahlah, aku juga tidak akan menyerah begitu saja. Andai memang Bang Fuad bukan jodohku, akan kuikhlaskan demi menjaga diri dan hati dari luka yang membusuk.
Sejak dulu, aku tidak pernah ingin menjadi perempuan bodoh yang hanya dimanfaatkan laki-laki. Sejak dulu, aku berusaha mendapatkan posisi mapan dan aman agar jenis kelaminku yang seorang perempuan ini tidak menjadi halangan.
“Ma-maksudmu?”
“Aku sudah tahu semuanya, Bang,” balasku pada Bang Fuad dengan suara yang sengau.
Saat itulah, tangisku tumpah ruah di depannya. Aku gagal menahan segala perasaan setelah ditolak oleh Bang Fuad.
Isak tangisku menjadi, suaraku hilang ditelan raungan, pun air mata tumpah-ruah hingga membasahi jilbab. Semua itu, mengundang kepanikan dari Bang Fuad.
“Dek, jangan menangis begini, kamu bisa sakit!” pintanya berusaha membujuk.
Bang Fuad melakukan segala cara untuk menghentikan tangisku yang terus membabi buta. Dia bahkan mencoba memeluk dan aku berupaya menolaknya.
“Pergi, Bang. Pergilah sesukamu dan jangan pernah pedulikan aku lagi. Aku hanya perempuan bodoh yang tidak mengerti hidupmu, maumu dan segala tentangmu,” jeritku sembari mengusap pipi yang terus membasah.
Bang Fuad kian panik sebab aku tidak kunjung berhenti. Dia bahkan membujuk dengan iming-iming batal membeli motor dengan uang bonusnya itu.
“Tidak perlu, Bang. Lakukan saja semua yang kamu mau. Aku hanyalah perempuan bodoh di dalam hidupmu yang tidak perlu kamu pedulikan lagi.”
“Dek?” Bang Fuad meremas rambutnya sendiri.
Wajahnya kian panik saat melihat aku luruh ke lantai dalam keadaan lemas. Raunganku berubah sunyi dan aku menangis tanpa suara.
“Yank, Yank ... baiklah, baiklah ... kamu ikut Abang ke Lhokseumawe, ya? Jangan menangis lagi, Abang tidak mau kamu sakit.”
Bang Fuad bergegas memeluk diriku usai dia mengucapkan janji untuk mengajakku serta bersamanya. Di dalam pelukannya itu, aku masih mengatur tangis dan napas, namun bibirku tersungging penuh kepuasan.
--
Bermainlah, dan tertawalah
Biar aku yang menghapus duri di atas jalan yang kamu susuri
Biar aku yang mengelap luka seorang diri
-@bemine_3897
Bab 51: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku “Ini Sayang, dimakan dulu es krimnya,” pintaku pada Aisya yang duduk dengan tenang. Dia mengayun-ayunkan kaki kecilnya yang menggantung dari kursi. Wajahnya masih bengkak akibat menangis, namun binar bahagia melihat semangkuk es krim di depannya tidak dapat disembunyikan. Aku juga mendorong semangkuk es krim lain untuk Ida. Perempuan itu menyukai rasa Chocomint sejak dulu, saat kusodorkan rasa yang sama wajah Ida sedikit terkejut. “Wah, apa ini?” ucapnya. Usai mendudukkan tubuh di kursi yang berlawanan dengan Ida, aku mencebik. “Apa lagi, kamu kan suka es krim rasa itu.” “Wah, sudah lama enggak, tuh! Lagian, duit suami siapa yang kamu pakai buat beliin aku es krim?” “Yang jelas bukan duit suamimu,” sahutku lagi. Ida tersenyum mengejek, dia memerhatikan diriku dari ujung kepala hingga kaki. “Branded semua, ya? Keren sekali sugar daddymu.” “Terima kasih.” “Lalu, anak siapa ini? Tidak mungkin anakmu,” ucap Ida sembari memerhati
Empat Tahun Kemudian “Mama, kenapa Aisya harus sekolah? Kan bisa di rumah sama Mama dan Bunda Wardah,” keluh Aisya padaku. Aku menggenggam erat tangannya, mengecup wajah bening Aisya beberapa kali. Gadis kecil itu masih duduk di jok mobil dengan seatbelt melingkari badannya. “Mama, di sekolah ada anak yang badannya lebih besar dari aku. Apa dia sudah dewasa, Ma?” Aisya melanjutkan keluhannya seperti biasa. Padahal, baru berumur lima tahun tapi bicaranya sudah selancar ini. Dia juga pandai mengekspresikan diri,mengajak orang lain mengobrol sampai beradaptasi di lingkungan baru. “Mama, nanti siapa yang jemput Aisya?” keluhnya. “Nanti Mama yang jemput, Sayang. Pulangnya kita mampir ke toko roti kesukaan Ayah dan Bunda Wardah, lalu ke toko es krim kesukaan Aisya.” Aku menjelaskannya selembut mungkin. Netra Aisya b
“Ah, ti-tidak usah, Bang. Nanti aku coba cari kost saja, terus belajar buka usaha apa gitu di sana,” elakku pada Bang Bayu.Wajah ini sudah seperti kepiting rebus. Malu sekaligus menggelitik.Buru-buru aku beristigfar karena memiliki pemikiran berlebihan saat Bang Bayu dan Wardah baru saja terluka. Mereka sudah pasti tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain.“Baiklah, nanti butuh bantuan, kabari aku dan Wardah.” Bang Bayu menyelesaikan pembicaraan tentang aku.Malam itu, kali terakhir kami duduk bertiga dan mengobrol. Setelahnya, bahkan aku tidak pernah melihat wajah Bang Bayu atau Wardah meski berdiri di pinggir jalan sembari menunggu bus Transkutaraja.Perjalanan kami kembali ke titik yang berbeda dalam permulaan yang berbeda pula. Aku hidup di sebuah kontrakan mungil yang dibayarkan oleh Bang Bayu selama satu tahun ke depan, sedang Wardah dan pria it
“Apa kabar mereka di sana?” lirihku pada Bang Bayu.Pagi berganti malam dan Bang Bayu belum pulang. Dia masih tinggal di rumah mamaknya tanpa alasan yang jelas.Tidak berani kuutarakan tanya tentang hal itu, sebab aku juga tamu di sini. Bukankah kurang pantas andai tamu bertanya kenapa pemilik rumah masih tinggal?Bang Bayu yang sedang mengunyah makan malamnya menoleh ke arahku. Di meja makan kecil ini tersisa kami berdua, sebab Wardah menolak makan malam demi menyukseskan dietnya. Sedang Mamak Bang Bayu makan di kamar dengan ditemani Wardah serta Aisya.Pria itu mengernyit, alisnya naik sedikit. Wajahnya terlihat segar dan sedikit lucu sebab rambutnya acak-acakkan bekas basuhan handuk. Pria itu mandi sore tadi setelah berlama-lama di pantai sendirian.“Kamu ingin tahu?”Kuanggukkan kepala pelan, lalu mengambil kembali sendok dan menyu
Seminggu sejak mengendarai motor bersama Wardah ke pasar, aku mulai menjalani kehidupan yang nyaman di desa ini. Tidak banyak kebisingan, tidak ada tetangga yang kepo kiri dan kanan karena memang rumahnya berjauhan.Segalanya tenteram, aman dan menyenangkan. Aku jadi bagian baru dalam hidup Wardah dan Mamak Bang Bayu.Kami sering ke pantai bertiga, duduk di sana sampai matahari tenggelam atau menunggu matahari terbit. Tapi, dibanding aku yang hanya duduk, Mamak Bang Bayu dan Wardah sering terlihat bersedih.Mereka kerap kali memanjatkan doa, melantunkan harap untuk keluarga yang sudah pergi dibawa Tsunami. Tidak ada jejaknya, tidak ada beritanya meski belasan tahun sudah berlalu.Seperti hari ini misalnya, Mamak Bang Bayu meneteskan air mata meski bibirnya membisu. Sedang Wardah mengusap dada, menahan tangisnya.Aku yakin benar, ada rindu yang teramat dalam untuk keluarga mereka.
Sejak lambaian tangan dan senyum Bang Bayu sore itu, aku resmi tinggal di rumah orang tuanya. Bang Bayu menitipkanku pada Wardah, meminta agar gadis muda itu menjadi teman sekaligus keluarga baru untukku.Bang Bayu pergi, kukira tinggal di sana akan jadi canggung. Nyatanya, Wardah mendobrak habis dinding yang kubangun.Kami jadi teman hanya dalam satu malam. Menonton tv berdua, makan camilan, dan merencanakan kegiatan untuk besok.“Kak, Kakak tinggal aja di sini buat selamanya. Jangan keluar dari sini, nanti aku enggak ada temennya lagi. Bang Bayu enggak pernah bawa siapa pun ke sini selain Kak Ida, si dokter itu sama Kakak.” Wardah nyerocos tanpa mengerling ke arahku.Dia sibuk ngemil dengan chips yang dibawakan oleh Bang Bayu tadi. Sedangkan mamak Bang Bayu disuguhi buah-buahan yang sudah dipotong olehnya. Perempuan itu tidak banyak bicara. Dia duduk di sofa dan memandang hampa ke arah tv.Dari sorot mata