Share

Bab 5: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

Sesuai dengan kesepakatan, Bang Fuad memboyong diriku ke Lhokseumawe. Kami berangkat dengan menumpang bus dari Terminal Batoh di Banda Aceh  menuju Terminal Lhokseumawe.

Perjalanan kami hanya kurang dari enam jam sampai tiba di kota itu. Kami turun di Terminal Lhokseumawe saat malam mulai memudar, dan langit kebiruan di ufuk.

Sejenak, aku berdiri di dekat bus antar provinsi yang mengantarkan kami. Kemudian, menarik napas sedalam dan sepanjang mungkin.

“Ya Allah, akhirnya bisa jalan-jalan juga,” lirihku.

Meski sebenarnya tujuanku mengekor Bang Fuad adalah untuk menjauhkannya dari Ida; andai memang mereka berdusta. Kini, aku merasa datang hanya untuk menikmati bulan madu yang indah bersama pria itu.

“Cepat, Yu!” Tiba-tiba Bang Fuad berseru dengan tegasnya padaku.

Dia menyampirkan tas kecil yang dibawanya dari Banda Aceh, lalu berjalan dalam langkah besar tanpa berniat membantuku. Buruknya, aku datang dengan persiapan yang terlalu matang hingga harus menggerek satu buah koper berukuran sedang.

Dalam jarak kurang dari lima meter, aku menatap punggung Bang Fuad. Pria itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membantu diriku menggerek benda besar ini, melainkan memilih mendatangi seorang pria paruh baya dengan topi kusam. Dia duduk dengan kaki tersilang di pintu masuk halte, membaca koran yang hanya beberapa lembar.

“Berapa, Pak?” Hanya itu yang kudengar dari kejauhan.

Rupanya, Bang Fuad sedang mencari tumpangan menuju hotel yang dijanjikan olehnya. Sepertinya mereka sedang bernegosiasi harga agar nanti tidak kecolongan, mengingat ini masih di pagi buta.

“Ayu!” Bang Fuad meneriaki namanku.

Sontak aku tersadar dari lamunan singkat. Padahal, aku baru membayangkan indahnya malam-malam kami nanti di kota ini. Bisa saja, Bang Fuad juga akan berubah pikiran perihal memiliki anak setelah kami kembali dari sini.

“Cepat!” serunya kembali seraya mengayunkan tangan.

Melihat hal itu, hatiku beradu dengan keyakinan sesaat lalu. Benarkah Bang Fuad bersikap begini padaku? Aku paham jika dia adalah pria yang dingin dan cuek, tapi bukankah ini berarti dia tidak peduli sama sekali?

Pahit, aku menelan ludah. Sudah di sini dan tidak semudah itu untuk kembali.

Terpaksa aku mengiyakan saja kemauannya untuk sementara sembari melihat ke mana arah yang akan dibawanya. Sembari menarik koper dengan susah payah, aku mendekati Bang Fuad yang hanya berdiri di sebelah becak motor yang sudah menyala.

Kuhela napas, menyakitkan sekali diperlakukan begini. “Ini, Bang!” kataku saat berhadapan dengannya.

“Apa?”

“Angkat!”

“Yu?” Bang Fuad rupanya keberatan.

“Apa aku yang harus angkat koper di sini, Bang?” balasku.

Aku mencoba untuk bertindak berani di depan Bang Fuad, apa lagi ada si pemilik becak yang menyaksikan. Hal ini tentu akan memberiku kesempatan untuk mendesak Bang Fuad yang sudah memperlakukanku dengan buruk.

“Bang, cepat sikit, ini mau jalan atau tidak? Aku ambil penumpang lain, ini!” seru si pemilik becak pada Bang Fuad.

Wajahnya yang memang tidak ramah itu semakin beringgas saja. Dia dengan jelas menunjukkan pada suamiku bahwa tindakannya telah salah.

“Jadi tidak?” seru si pemilik becak sekali lagi.

Bang Fuad jadi gelagapan. Dia buru-buru mengambil koper dan menaikkannya ke becak di bagian depan. Lalu, kami berdua menempati kursi penumpang meski harus berimpitan.

Tidak butuh waktu terlalu lama, becak yang kami tumpangi bergerak. Deru mesinnya luar biasa memekakkan telinga, namun jalannya lancar tanpa hambatan.

Awalnya, aku masih mencoba memahami apa yang terjadi di sekitarku. Kami keluar dari terminal Lhokseumawe dan berjalan menjauh ke arah Darussalam. Pelan-pelan, kami berbelok ke sebuah lorong yang masih sunyi.

“Bang, kenapa ke sini? Bukannya kita ke hotel?” tanyaku sembari menoleh ke segala arah.

Sungguh, ini di luar dugaan. Sejauh mata memandang tidak ada hotel seperti yang disebutkan oleh Bang Fuad. Melainkan, rumah-rumah yang semakin ke ujung semakin sederhana bentuknya.

“Sampai, betol ini?” Si Pemilik Becak berseru lagi.

Dia mematikan mesin motor, hingga suara yang membuatku hampir tuli itu berhenti. Setelahnya, dia turun, kemudian meraih koper yang diangkat Bang Fuad tadi.

“Sesuai kesepakatan, Bang. Limeng blah ribee (lima belas ribu).”

“Makasih, Bang!” sahut Bang Fuad.

Suamiku melompat dari becak, lalu memberi kode agar aku menurutinya. “Kenapa di sini, Bang?” selidikku.

Di depan sana hanya ada sebuah rumah sederhana dengan halaman rerumputan yang sempit. Ukurannya tidak jauh berbeda dengan rumah cicil kami di Banda Aceh.

Hanya saja, rumah ini terlihat lebih hijau, ranum dan sejuk. Ada beberapa pohon besar di halamannya, juga pot-pot bunga yang disusun berjejer seperti altar menuju teras.

“Turun saja, nanti Abang jelaskan!” balasnya ketus.

Hatiku mencelos melihat perlakuan Bang Fuad terhadapku. Dia jauh berbeda, terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada istrinya sendiri.

Sekali lagi, meski terpaksa aku menurut. Kuayunkan kaki mengekori Bang Fuad, tidak lupa menggerek koper berat.

Kami berjalan menelusuri altar rumput berdua, lalu Bang Fuad langsung mengeluarkan gawainya. Dia terlihat menelepon seseorang, sibuk mengobrol dan mengabaikan kalau kami tiba di depan rumahnya.

“Ini sampai, Kak. Buka pintunya, dingin,” jelasnya.

Aku menunggu, meski ada banyak tanda tanya yang tebersit di hati. Bang Fuad yang selama ini terlihat baik dan jujur, apa yang sedang direncanakan olehnya?

Tidak lama kemudian, seorang perempuan membuka pintu untuk kami berdua. Dia memakai jilbab lebar, baju kaos partai yang kusam serta sarung.

Dia tersenyum menyambut kami berdua. Aku dan Bang Fuad dipersilahkannya masuk, diantar ke dalam sebuah kamar yang ternyata sudah dipersiapkan.

“Maaf ya, Kak ... agak kurang bagus rumahnya,” ucapnya dari belakang.

Aku memandangi dipan yang diisi dua kasur kapuk berjejer. Di atasnya dilapisi kembali dengan seprei motif bunga-bunga. Lalu, dua bantal serta selimut diaturnya dengan rapi.

Kubalas perkataannya dengan senyum kecut. Bukan karena tidak suka, tapi aku kecewa akan Bang Fuad. Dibanding membawaku ke hotel, dia memilih menginap di rumah kerabatnya.

“Oke Kak Dah, makasih banyak, ya?” ujarnya.

Bang Fuad menutup pintu. Dia melompat ke ranjang hingga derit hebat bisa kudengar.

“Yu, tidurlah. Enak di sini, sejuk!” ucapnya.

Aku mencoba tersenyum, lalu menyusul Bang Fuad meski sebenarnya hatiku dongkol luar biasa. “Iya Bang.”

--

Pukul 10.30, aku terentak dari tidur. Dunia yang tadi masih sejuk dan gelap, kini telah terang dan hangat.

Lelah dalam perjalanan membuat tidurku lelap. Aku bahkan bisa merasakan denyut hebat di sisi kiri kepala.

“Ah, apa ya kegiatan hari ini? Apa aku ajak saja Bang Fuad ke hotel?” lirihku.

Kutolehkan wajah ke kiri, berharap Bang Fuad masih ada di sana dan kami bisa berdiskusi tentang hari ini. Namun, nyatanya yang kudapati hanyalah ranjang yang kuisi sendirian.

Aku bergegas turun, tiba-tiba saja dadaku bergemuruh hebat. Bang Fuad ke mana?

Saat keluar dari kamar, kudapati wanita yang tadi pagi menyambut kami sedang menyiangi sayuran di depan TV. Dia tersenyum kikuk melihatku, lalu menawarkan sarapan yang katanya sudah dihidangkan di meja.

“Makasih, Kak. Apa Kakak lihat Bang Fuad?” tanyaku padanya.

Wanita itu mengernyitkan dahi saat mendengarku. Dia melepas pisau serta mendorong jauh baskom berisi sayuran kangkung.

“Loh?”

“Hum?” Aku ikut bingung. Kenapa ekspresinya begitu? Sepertinya, ada yang tidak beres di rumah ini.

“Tadi, Fuad bilang dia titip kamu di sini, Dek. Katanya dia harus pergi, nanti kamu dijemput lagi. ”

Zrash! Aku hampir berteriak. Rupanya ... Bang Fuad membawaku ke sini hanya untuk menyingkirkanku dan dia bebas berpergian tanpa terganggu.

“Memang tidak bilang, Dek?” ucapnya lagi dengan logat Aceh yang khas

Aku terdiam, hanya bisa mengepalkan tangan. Bang Fuad sudah keterlaluan. Dia mulai berani menipu dan mengibuliku. Baiklah, mari kita bermain-main sekarang.

“Kalau begitu, aku jalan-jalan dulu, Kak.”

--

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status