Sesuai dengan kesepakatan, Bang Fuad memboyong diriku ke Lhokseumawe. Kami berangkat dengan menumpang bus dari Terminal Batoh di Banda Aceh menuju Terminal Lhokseumawe.
Perjalanan kami hanya kurang dari enam jam sampai tiba di kota itu. Kami turun di Terminal Lhokseumawe saat malam mulai memudar, dan langit kebiruan di ufuk.
Sejenak, aku berdiri di dekat bus antar provinsi yang mengantarkan kami. Kemudian, menarik napas sedalam dan sepanjang mungkin.
“Ya Allah, akhirnya bisa jalan-jalan juga,” lirihku.
Meski sebenarnya tujuanku mengekor Bang Fuad adalah untuk menjauhkannya dari Ida; andai memang mereka berdusta. Kini, aku merasa datang hanya untuk menikmati bulan madu yang indah bersama pria itu.
“Cepat, Yu!” Tiba-tiba Bang Fuad berseru dengan tegasnya padaku.
Dia menyampirkan tas kecil yang dibawanya dari Banda Aceh, lalu berjalan dalam langkah besar tanpa berniat membantuku. Buruknya, aku datang dengan persiapan yang terlalu matang hingga harus menggerek satu buah koper berukuran sedang.
Dalam jarak kurang dari lima meter, aku menatap punggung Bang Fuad. Pria itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membantu diriku menggerek benda besar ini, melainkan memilih mendatangi seorang pria paruh baya dengan topi kusam. Dia duduk dengan kaki tersilang di pintu masuk halte, membaca koran yang hanya beberapa lembar.
“Berapa, Pak?” Hanya itu yang kudengar dari kejauhan.
Rupanya, Bang Fuad sedang mencari tumpangan menuju hotel yang dijanjikan olehnya. Sepertinya mereka sedang bernegosiasi harga agar nanti tidak kecolongan, mengingat ini masih di pagi buta.
“Ayu!” Bang Fuad meneriaki namanku.
Sontak aku tersadar dari lamunan singkat. Padahal, aku baru membayangkan indahnya malam-malam kami nanti di kota ini. Bisa saja, Bang Fuad juga akan berubah pikiran perihal memiliki anak setelah kami kembali dari sini.
“Cepat!” serunya kembali seraya mengayunkan tangan.
Melihat hal itu, hatiku beradu dengan keyakinan sesaat lalu. Benarkah Bang Fuad bersikap begini padaku? Aku paham jika dia adalah pria yang dingin dan cuek, tapi bukankah ini berarti dia tidak peduli sama sekali?
Pahit, aku menelan ludah. Sudah di sini dan tidak semudah itu untuk kembali.
Terpaksa aku mengiyakan saja kemauannya untuk sementara sembari melihat ke mana arah yang akan dibawanya. Sembari menarik koper dengan susah payah, aku mendekati Bang Fuad yang hanya berdiri di sebelah becak motor yang sudah menyala.
Kuhela napas, menyakitkan sekali diperlakukan begini. “Ini, Bang!” kataku saat berhadapan dengannya.
“Apa?”
“Angkat!”
“Yu?” Bang Fuad rupanya keberatan.
“Apa aku yang harus angkat koper di sini, Bang?” balasku.
Aku mencoba untuk bertindak berani di depan Bang Fuad, apa lagi ada si pemilik becak yang menyaksikan. Hal ini tentu akan memberiku kesempatan untuk mendesak Bang Fuad yang sudah memperlakukanku dengan buruk.
“Bang, cepat sikit, ini mau jalan atau tidak? Aku ambil penumpang lain, ini!” seru si pemilik becak pada Bang Fuad.
Wajahnya yang memang tidak ramah itu semakin beringgas saja. Dia dengan jelas menunjukkan pada suamiku bahwa tindakannya telah salah.
“Jadi tidak?” seru si pemilik becak sekali lagi.
Bang Fuad jadi gelagapan. Dia buru-buru mengambil koper dan menaikkannya ke becak di bagian depan. Lalu, kami berdua menempati kursi penumpang meski harus berimpitan.
Tidak butuh waktu terlalu lama, becak yang kami tumpangi bergerak. Deru mesinnya luar biasa memekakkan telinga, namun jalannya lancar tanpa hambatan.
Awalnya, aku masih mencoba memahami apa yang terjadi di sekitarku. Kami keluar dari terminal Lhokseumawe dan berjalan menjauh ke arah Darussalam. Pelan-pelan, kami berbelok ke sebuah lorong yang masih sunyi.
“Bang, kenapa ke sini? Bukannya kita ke hotel?” tanyaku sembari menoleh ke segala arah.
Sungguh, ini di luar dugaan. Sejauh mata memandang tidak ada hotel seperti yang disebutkan oleh Bang Fuad. Melainkan, rumah-rumah yang semakin ke ujung semakin sederhana bentuknya.
“Sampai, betol ini?” Si Pemilik Becak berseru lagi.
Dia mematikan mesin motor, hingga suara yang membuatku hampir tuli itu berhenti. Setelahnya, dia turun, kemudian meraih koper yang diangkat Bang Fuad tadi.
“Sesuai kesepakatan, Bang. Limeng blah ribee (lima belas ribu).”
“Makasih, Bang!” sahut Bang Fuad.
Suamiku melompat dari becak, lalu memberi kode agar aku menurutinya. “Kenapa di sini, Bang?” selidikku.
Di depan sana hanya ada sebuah rumah sederhana dengan halaman rerumputan yang sempit. Ukurannya tidak jauh berbeda dengan rumah cicil kami di Banda Aceh.
Hanya saja, rumah ini terlihat lebih hijau, ranum dan sejuk. Ada beberapa pohon besar di halamannya, juga pot-pot bunga yang disusun berjejer seperti altar menuju teras.
“Turun saja, nanti Abang jelaskan!” balasnya ketus.
Hatiku mencelos melihat perlakuan Bang Fuad terhadapku. Dia jauh berbeda, terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada istrinya sendiri.
Sekali lagi, meski terpaksa aku menurut. Kuayunkan kaki mengekori Bang Fuad, tidak lupa menggerek koper berat.
Kami berjalan menelusuri altar rumput berdua, lalu Bang Fuad langsung mengeluarkan gawainya. Dia terlihat menelepon seseorang, sibuk mengobrol dan mengabaikan kalau kami tiba di depan rumahnya.
“Ini sampai, Kak. Buka pintunya, dingin,” jelasnya.
Aku menunggu, meski ada banyak tanda tanya yang tebersit di hati. Bang Fuad yang selama ini terlihat baik dan jujur, apa yang sedang direncanakan olehnya?
Tidak lama kemudian, seorang perempuan membuka pintu untuk kami berdua. Dia memakai jilbab lebar, baju kaos partai yang kusam serta sarung.
Dia tersenyum menyambut kami berdua. Aku dan Bang Fuad dipersilahkannya masuk, diantar ke dalam sebuah kamar yang ternyata sudah dipersiapkan.
“Maaf ya, Kak ... agak kurang bagus rumahnya,” ucapnya dari belakang.
Aku memandangi dipan yang diisi dua kasur kapuk berjejer. Di atasnya dilapisi kembali dengan seprei motif bunga-bunga. Lalu, dua bantal serta selimut diaturnya dengan rapi.
Kubalas perkataannya dengan senyum kecut. Bukan karena tidak suka, tapi aku kecewa akan Bang Fuad. Dibanding membawaku ke hotel, dia memilih menginap di rumah kerabatnya.
“Oke Kak Dah, makasih banyak, ya?” ujarnya.
Bang Fuad menutup pintu. Dia melompat ke ranjang hingga derit hebat bisa kudengar.
“Yu, tidurlah. Enak di sini, sejuk!” ucapnya.
Aku mencoba tersenyum, lalu menyusul Bang Fuad meski sebenarnya hatiku dongkol luar biasa. “Iya Bang.”
--
Pukul 10.30, aku terentak dari tidur. Dunia yang tadi masih sejuk dan gelap, kini telah terang dan hangat.
Lelah dalam perjalanan membuat tidurku lelap. Aku bahkan bisa merasakan denyut hebat di sisi kiri kepala.
“Ah, apa ya kegiatan hari ini? Apa aku ajak saja Bang Fuad ke hotel?” lirihku.
Kutolehkan wajah ke kiri, berharap Bang Fuad masih ada di sana dan kami bisa berdiskusi tentang hari ini. Namun, nyatanya yang kudapati hanyalah ranjang yang kuisi sendirian.
Aku bergegas turun, tiba-tiba saja dadaku bergemuruh hebat. Bang Fuad ke mana?
Saat keluar dari kamar, kudapati wanita yang tadi pagi menyambut kami sedang menyiangi sayuran di depan TV. Dia tersenyum kikuk melihatku, lalu menawarkan sarapan yang katanya sudah dihidangkan di meja.
“Makasih, Kak. Apa Kakak lihat Bang Fuad?” tanyaku padanya.
Wanita itu mengernyitkan dahi saat mendengarku. Dia melepas pisau serta mendorong jauh baskom berisi sayuran kangkung.
“Loh?”
“Hum?” Aku ikut bingung. Kenapa ekspresinya begitu? Sepertinya, ada yang tidak beres di rumah ini.
“Tadi, Fuad bilang dia titip kamu di sini, Dek. Katanya dia harus pergi, nanti kamu dijemput lagi. ”
Zrash! Aku hampir berteriak. Rupanya ... Bang Fuad membawaku ke sini hanya untuk menyingkirkanku dan dia bebas berpergian tanpa terganggu.
“Memang tidak bilang, Dek?” ucapnya lagi dengan logat Aceh yang khas
Aku terdiam, hanya bisa mengepalkan tangan. Bang Fuad sudah keterlaluan. Dia mulai berani menipu dan mengibuliku. Baiklah, mari kita bermain-main sekarang.
“Kalau begitu, aku jalan-jalan dulu, Kak.”
--
Bab 51: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku “Ini Sayang, dimakan dulu es krimnya,” pintaku pada Aisya yang duduk dengan tenang. Dia mengayun-ayunkan kaki kecilnya yang menggantung dari kursi. Wajahnya masih bengkak akibat menangis, namun binar bahagia melihat semangkuk es krim di depannya tidak dapat disembunyikan. Aku juga mendorong semangkuk es krim lain untuk Ida. Perempuan itu menyukai rasa Chocomint sejak dulu, saat kusodorkan rasa yang sama wajah Ida sedikit terkejut. “Wah, apa ini?” ucapnya. Usai mendudukkan tubuh di kursi yang berlawanan dengan Ida, aku mencebik. “Apa lagi, kamu kan suka es krim rasa itu.” “Wah, sudah lama enggak, tuh! Lagian, duit suami siapa yang kamu pakai buat beliin aku es krim?” “Yang jelas bukan duit suamimu,” sahutku lagi. Ida tersenyum mengejek, dia memerhatikan diriku dari ujung kepala hingga kaki. “Branded semua, ya? Keren sekali sugar daddymu.” “Terima kasih.” “Lalu, anak siapa ini? Tidak mungkin anakmu,” ucap Ida sembari memerhati
Empat Tahun Kemudian “Mama, kenapa Aisya harus sekolah? Kan bisa di rumah sama Mama dan Bunda Wardah,” keluh Aisya padaku. Aku menggenggam erat tangannya, mengecup wajah bening Aisya beberapa kali. Gadis kecil itu masih duduk di jok mobil dengan seatbelt melingkari badannya. “Mama, di sekolah ada anak yang badannya lebih besar dari aku. Apa dia sudah dewasa, Ma?” Aisya melanjutkan keluhannya seperti biasa. Padahal, baru berumur lima tahun tapi bicaranya sudah selancar ini. Dia juga pandai mengekspresikan diri,mengajak orang lain mengobrol sampai beradaptasi di lingkungan baru. “Mama, nanti siapa yang jemput Aisya?” keluhnya. “Nanti Mama yang jemput, Sayang. Pulangnya kita mampir ke toko roti kesukaan Ayah dan Bunda Wardah, lalu ke toko es krim kesukaan Aisya.” Aku menjelaskannya selembut mungkin. Netra Aisya b
“Ah, ti-tidak usah, Bang. Nanti aku coba cari kost saja, terus belajar buka usaha apa gitu di sana,” elakku pada Bang Bayu.Wajah ini sudah seperti kepiting rebus. Malu sekaligus menggelitik.Buru-buru aku beristigfar karena memiliki pemikiran berlebihan saat Bang Bayu dan Wardah baru saja terluka. Mereka sudah pasti tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain.“Baiklah, nanti butuh bantuan, kabari aku dan Wardah.” Bang Bayu menyelesaikan pembicaraan tentang aku.Malam itu, kali terakhir kami duduk bertiga dan mengobrol. Setelahnya, bahkan aku tidak pernah melihat wajah Bang Bayu atau Wardah meski berdiri di pinggir jalan sembari menunggu bus Transkutaraja.Perjalanan kami kembali ke titik yang berbeda dalam permulaan yang berbeda pula. Aku hidup di sebuah kontrakan mungil yang dibayarkan oleh Bang Bayu selama satu tahun ke depan, sedang Wardah dan pria it
“Apa kabar mereka di sana?” lirihku pada Bang Bayu.Pagi berganti malam dan Bang Bayu belum pulang. Dia masih tinggal di rumah mamaknya tanpa alasan yang jelas.Tidak berani kuutarakan tanya tentang hal itu, sebab aku juga tamu di sini. Bukankah kurang pantas andai tamu bertanya kenapa pemilik rumah masih tinggal?Bang Bayu yang sedang mengunyah makan malamnya menoleh ke arahku. Di meja makan kecil ini tersisa kami berdua, sebab Wardah menolak makan malam demi menyukseskan dietnya. Sedang Mamak Bang Bayu makan di kamar dengan ditemani Wardah serta Aisya.Pria itu mengernyit, alisnya naik sedikit. Wajahnya terlihat segar dan sedikit lucu sebab rambutnya acak-acakkan bekas basuhan handuk. Pria itu mandi sore tadi setelah berlama-lama di pantai sendirian.“Kamu ingin tahu?”Kuanggukkan kepala pelan, lalu mengambil kembali sendok dan menyu
Seminggu sejak mengendarai motor bersama Wardah ke pasar, aku mulai menjalani kehidupan yang nyaman di desa ini. Tidak banyak kebisingan, tidak ada tetangga yang kepo kiri dan kanan karena memang rumahnya berjauhan.Segalanya tenteram, aman dan menyenangkan. Aku jadi bagian baru dalam hidup Wardah dan Mamak Bang Bayu.Kami sering ke pantai bertiga, duduk di sana sampai matahari tenggelam atau menunggu matahari terbit. Tapi, dibanding aku yang hanya duduk, Mamak Bang Bayu dan Wardah sering terlihat bersedih.Mereka kerap kali memanjatkan doa, melantunkan harap untuk keluarga yang sudah pergi dibawa Tsunami. Tidak ada jejaknya, tidak ada beritanya meski belasan tahun sudah berlalu.Seperti hari ini misalnya, Mamak Bang Bayu meneteskan air mata meski bibirnya membisu. Sedang Wardah mengusap dada, menahan tangisnya.Aku yakin benar, ada rindu yang teramat dalam untuk keluarga mereka.
Sejak lambaian tangan dan senyum Bang Bayu sore itu, aku resmi tinggal di rumah orang tuanya. Bang Bayu menitipkanku pada Wardah, meminta agar gadis muda itu menjadi teman sekaligus keluarga baru untukku.Bang Bayu pergi, kukira tinggal di sana akan jadi canggung. Nyatanya, Wardah mendobrak habis dinding yang kubangun.Kami jadi teman hanya dalam satu malam. Menonton tv berdua, makan camilan, dan merencanakan kegiatan untuk besok.“Kak, Kakak tinggal aja di sini buat selamanya. Jangan keluar dari sini, nanti aku enggak ada temennya lagi. Bang Bayu enggak pernah bawa siapa pun ke sini selain Kak Ida, si dokter itu sama Kakak.” Wardah nyerocos tanpa mengerling ke arahku.Dia sibuk ngemil dengan chips yang dibawakan oleh Bang Bayu tadi. Sedangkan mamak Bang Bayu disuguhi buah-buahan yang sudah dipotong olehnya. Perempuan itu tidak banyak bicara. Dia duduk di sofa dan memandang hampa ke arah tv.Dari sorot mata