Morgan Alvaro, pengusaha importir mobil mewah itu sontak langsung keluar dari mobilnya begitu mobil yang dia hantam terseret dan menabrak water separator. Emosinya membuncah, bagaimana tidak? Mobil mini berwarna merah itu nekat melaju meskipun lampu sudah berubah merah, yang mana membuat Ferrari 488 Pista-nya ringsek di bagian depan.
“Woy, turun lu!” Morgan tidak peduli dengan klakson-klakson yang ditekan efek ia menghentikan Ferrari-nya di tengah jalan, yang ia pedulikan hanyalah menghajar orang yang sudah membuat mobil kesayangannya itu ringsek.
Morgan tertegun ketika mendapati seorang wanita yang menjadi sopir mobil itu terkulai tidak sadarkan diri di jok kemudi, hal yang membuat dia lantas panik dan berteriak pada beberapa polisi yang mendekat ke arahnya.
“Pak, tolongin itu yang di dalam pingsan, Pak!” Morgan lupa pada amarahnya, fokusnya pada wajah cantik dengan darah segar yang mengucur dari dahinya, Morgan benar-benar panik melihat darah itu.
“Baik, Pak. Biar kami yang urus, tapi sebelumnya mohon Bapak pinggirkan dulu mobil Bapak karena mobil Bapak menghalangi jalan dan bisa memicu kemacetan.”
Morgan mengangguk cepat, ia segera berlari menuju mobilnya, masuk ke dalam dan menghidupkan mesin guna membawa mobil itu menempi dan memarkirkan mobil sport mewahnya di depan mobil Polantas yang sudah stand by di dekat lokasi.
Secepat kilat Morgan bergegas kembali turun, dapat dia lihat beberapa personil kepolisian mencoba membuka paksa pintu mobil. Keringat dingin mengucur deras dari pelipis Morgan, dia paling tidak bisa melihat darah, membuat tubuhnya sedikit bergetar hebat.
“Lapor, ambulance sudah dalam perjalanan, Ndan.”
Morgan yang semula hendak merogoh ponselnya guna menelepon ambulace, sontak mengurungkan niatnya. Ternyata dari pihak kepolisian sudah lebih dulu melakukan hal itu. Ia turut membantu beberapa personil itu mengevakuasi pengemudi Toyota Yaris berwarna merah yang tadi dia hantam. Dan tak perlu waktu lama, pintu mobil itu berhasil dibuka paksa.
Morgan membantu membawa tubuh itu keluar, tubuh yang dari bordiran nama di atasan berwarna pink itu dapat Morgan kenali bahwa sosok ini adalah seseorang yang berprofesi sebagai tenaga medis.
‘dr. Clarabella Sutomo?’
Jadi namanya Clara? Morgan membawa tubuh itu dalam gendongan, beberapa polisi membereskan mobil dan mendokumentasikan kondisi dan posisi mobil guna penyelidikan lebih lanjut penyebab terjadinya kecelakaan yang melibatkan dua mobil merah beda kelas itu bisa terjadi.
“Mbak? Bangun dong! Kamu yang salah kok jadi kamu yang pingsan sih?” guman Morgan yang nampak ngeri dengan darah segar yang mengucur dari dahi wanita cantik bernama dokter Clara itu.
Sirine ambulance meraung-raung, membuat Morgan lega luar biasa. Bukan hanya karena sosok ini bisa segera mendapatkan penanganan, tetapi yang terpenting adalah Morgan tidak harus melihat darah itu di pangkuannya. Tubuh Morgan sudah setengah lemas.
“Bapak bisa ikut sebentar untuk kami mintai keterangan?” tanya sosok berseragam cokelat itu pada Morgan ketika tubuh dokter itu sudah diangkut ke dalam ambulance.
“Tentu bisa, mungkin salah satu dari anggota Bapak bisa bawa mobil saya, saya ingin ikut ke rumah sakit memastikan wanita itu baik-baik saja, Pak.” Mohon Morgan lalu menyerahkan kunci mobilnya pada anggota kepolisian itu.
Tampak sosok itu menerima kunci yang Morgan sodorkan, mengangguk cepat dan tersenyum, “Kalau begitu biar mobilnya kami bawa ke kantor, Pak. Bapak mau ikut ke mobil kami atau ikut ambulance?”
“Ah, biar saya ikut ambulance-nya saja!” Morgan menepuk pundak polisi itu, lantas berlari menghampiri pintu belakang ambulance yang hampir ditutup. Ia bergegas naik dan mendapati sosok itu sudah terbaring dengan kondisi yang masih seperti tadi.
Morgan takut darah, bahkan tubuhnya ini sudah melemas melihat darah segar itu mengucur, tapi kenapa dia malah ingin ikut masuk ke dalam sini? Di mana itu artinya dia akan melihat lagi darah pada wajah itu. Morgan sendiri heran, ada apa dengan dirinya? Kenapa dia jadi seperti ini?
Kemarahan dan kemurkaan Morgan lenyap seketika. Ringsek di mobilnya seketika dia abaikan. Fokusnya pada wanita itu, pada dokter Clara yang ternyata menajdi pengemudi ceroboh yang membuat kecelakaan ini terjadi.
‘Ayolah, jangan sampai kamu kenapa-kenapa!’
***
Jika tadi gelas wine yang Arga lemparkan sampai pecah berkeping-keping, kini giliran botol Wine itu hancur berderai menghantam lantai. Nafasnya naik-turun dengan wajah memerah, bukan hanya memerah karena efek alkohol yang ditenggaknya, tetapi juga karena amarah yang membuncah. Ini jam berapa? Kenapa Clara belum sampai juga?
Arga dengan gusar meraih ponselnya, mencoba menghubungi ponsel milik kekasihnya itu. Sedetik dua detik panggilannya terabaikan. Clara tidak mengangkat panggilan yang Arga layangkan. Arga mengeram, ia kembali mencoba menghubungi nomor itu, tetapi nihil! Kembali panggilan itu terbaikan membuat tangan Arga terayun menghempaskan vas bunga dan beberapa toples yang ada di atas meja itu hingga hancur tidak berbentuk.
“Kemana kamu, Ra?” Arga berteriak frustasi, kedua tangannya mencengkeram kuat kepalanya yang terasa berat itu. “Jangan bilang kamu bohong! Jangan bilang kalau kamu pergi sama Adrian, Ra!”
Tentu itu yang Arga takutkan! Dia takut Clara nekat diam-diam menuruti permintaan Adrian untuk pergi nonton bersamanya. Arga tidak akan biarkan itu terjadi.
“Kau ...,” Arga mengeram, tangannya mengepal, “Kau benar-benar menantangku Adrian!” Arga mendesis perlahan, diraihnya kunci mobil dan ia bergegas bangkit. Namun tulang-tulang dan persendiaannya seperti tidak mampu lagi menopang tubuhnya. Arga sontak ambruk di kursi sofa itu, matanya terpejam, sesekali masih mencoba terbuka.
“Aku akan membunuhmu, Adrian! Akan aku bunuh siapa saja laki-laki yang berani mendekati milikku, siapapun itu!”
Arga lantas terkulai, kesadarannya sudah hampir hilang. Selang beberapa detik, ponselnya berdering. Dengan tertatih Arga mencoba mengembalikan kesadarannya, tangannya terulur meraih ponsel itu, dalam pikirannya hanya ada Clara, Arga tidak membaca lebih dulu nama siapa yang terpampang di layar ponselnya.
“Sayang, kamu kemana sih? Aku nungguin kamu! Jangan bilang kalau kamu nekat pergi sama Adrian, Ra!” Arga meracau, ia berusaha bangkit dan bersandar di sofa. “Aku sampai kapan pun tidak akan rela kamu dekat sama siapapun, kamu milikku, Ra. Selamanya!”
Hening.
Tidak ada jawaban dari seberang membuat Arga dengan sisa-sisa kesadarannya mencoba mencari tahu kenapa lawan bicaranya itu hanya terdiam. Clara kenapa? Apakah benar sekarang ini dia tengah bersama Adrian?
“Siapa ‘Ra’ itu, Mas?” tanya suara itu begitu dingin, suara yang Arga tahu betul itu suara Indira. “Ka-kamu mabuk? Di mana kamu sekarang?” kini suara itu meninggi, membuat sakit kepala yang Arga rasakan makin menjadi-jadi.
Jadi yang menelepon dirinya itu Indira, bukan Clara?
“Jangan suka mencampuri urusanku, In!” sergah Arga jenuh.
“Itu hakku, kamu suamiku. Dan lihat saja, akan aku cari siapa itu ‘Ra’, siapa Adrian yang kamu maksud, dan akan aku hancurkan wanita itu seperti bagaimana kamu menghancurkan aku!” ancam suara itu tidak main-main.
Arga sontak mebelalakkan matanya, kesadarannya otomatis kembali. Apa yang Indira tadi billang? Dia akan mencari tahu siapa itu wanita yang tadi Arga maksud? Tidak akan Arga biarkan siapapun sampai menyentuh dan menyakiti Clara-nya, tidak akan!
“Jangan menantangku, In!” ujar Arga balik mengancam.
“Aku hanya mengikuti permainan yang sudah kamu buat, Mas. Jadi tunggu saja, aku tidak akan tinggal diam.”
Tut
“Halo ... In? Indira?” sambungan sudah terlanjur terputus, Arga sontak panik luar biasa. Ia mencoba bangkit dan bagaimana pun caranya dia harus segera sampai rumah, Indira tidak boleh tahu siapa itu ‘Ra’, tidak ada yang boleh menyakiti Clara, tidak siapapun itu termasuk Indira sekalipun.
“Aku tidak akan biarkan semua itu terjadi, In! Tidak akan!”
Arga turun dari taxi online yang dia pesan, dengan tubuh sempoyongan dia menerjang pintu depan rumah mewah hadiah dari mertuanya. Melesat naik ke lantai atas di mana kamarnya berada. Yang harus dia temui sekarang ini adalah sang isteri.BRAKKPintu kamar itu terhempas, menampakkan Indira yang tengah menyusut air matanya. Wanita itu menoleh, menatap Arga dengan wajah kaku berhias linangan air mata.“Oh ... kau pulang juga rupanya?” tanya Indira sambil tersenyum sinis.Arga kembali membanting pintu, membuat pintu itu tertutup rapat seketika. Dengan sisa-sisa kesadarannya ia melangkah mendekati sang isteri, menatapnya dengan tatapan tajam.“Jangan pernah kau campuri urusanku, In! Bukankah sudah berulang kali aku peringatkan?” ancam Arga sambil melotot tajam.Tawa Indira pecah, ia balas menatap tajam sorot mata sang suami.“Aku sudah cukup muak, Mas!” desis Indira pelan, “Sudah saatnya ak
Clara mengerjapkan matanya perlahan-lahan, rasa pedih itu terasa begitu menusuk di dahi sebelah kirinya. Rasanya begitu pedih. Sorot lampu yang begitu terang sedikit menyakiti matanya, membuat matanya sontak kembali terpejam.“Dok, Dokter bisa dengar saya?”Suara asing itu tertangkap oleh telinga Clara. Darimana orang itu tahu kalau Clara seorang dokter? Ah dia lupa, bukankah identitasnya tertulis di atasan scrub yang dia pakai dinas hari ini?Clara mencoba kembali membuka matanya, kini matanya bisa beradaptasi dengan lampu terang yang begit benderang itu. Pandanganya mulai jelas, ia bisa menangkap sosok bersnelli lengan panjang dengan jilbab biru itu.“Saya di mana? Kok bisa di sini?” Clara benar-benar terkejut, ini IGD rumah sakit! Matanya mulai memandangi satu persatu wajah yang ada di hadapannya. Dokter dengan jilbab biru itu, seorang perawat dan seorang laki-laki yang ...“Dokter masih ingat kejadian sebe
Arga mencoba menetralkan nafasnya, tubuhnya terasa sangat lengket dan panas. Ia terengah dengan Indira yang terisak sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Permainan mereka sudah usai, Arga sudah mendapatkan apa yang dia cari, apa yang dia inginkan malam ini.Ia ingin Clara, namun dia tidak tahu sekarang dimana kekasihnya itu berada. Apakah benar dia tengah menonton film bersama residen bedah itu? Kalau benar, akan Arga patahkan leher laki-laki itu besok pagi.Suara isak tangis Indira terdengar begitu jelas setelah segala macam desahan, erangan dan irama penyatuan mereka lenyap menguar bersama sisa-sisa nikmat yang kini tengah Arga nikmati. Ia menoleh, tersenyum sinis menatap punggung yang membelakangi dirinya itu."Sudahlah, tidak usah menangis. Bukankah ini yang kamu minta tadi? Sudah aku berikan jadi diamlah!" Ejek Arga seraya mengusap keringat yang membasahi wajahnya.Indira menoleh, membalikkan tubuhnya dan menatap suaminya i
“Tidak diangkat?”Clara menoleh, tampak laki-laki itu tersenyum simpatik ketika melihat dirinya frustasi dengan ponsel dan panggilan-panggilan yang tadi dia layangkan. Clara hanya balas tersenyum sambil menggeleng perlahan. Tampak senyum laki-laki itu makin lebar, membuat Clara merasa aneh melihat senyum itu. Kenapa begitu manis?“Sudah lupakan dulu, istirahatlah. Nanti kalau dia sudah tidak sibuk pasti dia akan menghubungimu balik.”Ah ... betul juga! Tapi Arga sibuk apa? Sedang apa dia sampai-sampai Clara berkali-kali telepon dan dia abaikan? Kalaupun marah, Arga bukan tipe laki-laki yang ketika marah lantas mendiamkan dan mengabaikan pesan dan panggilan yang Clara layangkan.“Kok sedih? Siapa memangnya yang begitu ingin kamu telepon? Pacar?”Clara tergagap, siapa memangnya? Kalau bilang Arga pacarnya, Arga sendiri sudah punya isteri, kalau mau bilang Arga bukan siapa-siapa, mana ada laki-laki yang bukan siapa-
"Kalau kamu ingin pulang, pulang aja nggak apa-apa kok," ujar Clara pada Morgan yang masih betah duduk di sofa kamar inapnya.Beberapa saat mengobrol bersama laki-laki tiga puluh lima tahun itu membuat Clara lantas cepat akrab dengan pria yang terlibat kecelakaan bersamanya itu. Dan tentu saja bukan tanpa alasan Clara menyuruh Morgan pulang, Arga pasti datang kemari dan dia tentu akan salah paham jika melihat Morgan berada di ruangan ini bersamanya."Tidak! Aku tidak akan pulang sebelum dokter kemari dan menyatakan kamu baik-baik saja, Ra. Kamu tanggung jawabku." tolak Morgan tegas, laki-laki berperawakan tinggi-tegap itu lantas bangun, kembali melangkah menghampiri Clara yang masih terbaring di atas ranjang dengan selang infus.Clara tertegun, netra mereka beradu sesaat. Kalimat itu kenapa terdengar begitu indah di telinga Clara? Sebuah kalimat yang hanya diucapkan oleh laki-laki sejati."Ta-.""Takut pacarmu marah aku ada di sin
Arga sudah tiba di depan pintu ruangan itu. Mendadak ia ragu, tangan yang sudah terulur hendak menyentuh knop sontak ia tarik kembali.Ada apa ini?Kenapa hatinya jadi kacau balau seperti ini? Kenapa perasaan takut itu terus mencengkeram hati Arga? Tidak biasanya Arga seperti ini. Bayangan dia dan Indira bergumul tadi kembali terlintas, marahkah Clara jika tahu Arga barus saja menyentuh sang isteri? Tapi Indira isteri sah Arga dan... ah!Arga menghela nafas sejenak, menghirup udara banyak-banyak lalu menghembuskan perlahan-lahan. Tangannya terulur, kembali menyentuh knop pintu dan menekannya.Pintu terbuka, ruangan itu begitu terang dan wanita yang begitu dia cintai ada di sana.Arga membelalakkan mata mendapati Clara dengan perban membalut pelipisnya, ia setengah berlari menghampiri kekasihnya itu."Sayang... ka-kamu...," Arga sampai tidak bisa berkata-kata, matanya memerah melihat kondisi Clara.&nb
Arga seperti ditampar mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Clara tadi. Dapat dia lihat bahwa Clara masih menitikkan air mata dan sibuk menyeka bulir-bulir bening yang menitik dari matanya. Arga menghela nafas panjang, meraih tangan Clara dan meremasnya lembut."Aku minta maaf, aku egois." desisnya kemudian. "Tapi percayalah, aku cuma cinta kamu, Ra. Aku sama sekali tidak mencintai Indira."Clara menatap Arga dengan senyuman sinis. Apa dia bilang? Arga bilang kalau dia tidak mencintai isterinya? Arga memang sudah mengatakan hal itu berulang kali pada Clara, tetapi untuk kali ini penilaian Clara sudah berbeda."Tidak mencintai tapi bisa juga kamu meniduri dia, Ga?" tanya Clara dengan senyum setengah mengejek. "Ah aku lupa!" Clara melepaskan tangan Arga yang menggenggam tangannya. "Laki-laki kawin nggak pakai hati, kan? Sebuah fakta yang mencengangkan."Arga menundukkan kepalanya, ia merasa begitu berdosa hari ini. Clara tidak pernah mengkhianati dirin
Arga membanting pintu mobilnya dengan kesal. Ia lantas turun dan melangkah masuk ke dalam rumah. Tangannya mengepal kuat, rasanya ia ingin menghajar Indira saat ini juga, tapi akan ada masalah baru yang muncul jika Arga melakukan itu. Jadi Arga memilih untuk menahan semua keinginannya untuk main tangan dengan sang isteri.Bekas kissmark? Bagaimana bisa Arga tidak sadar tadi Indira melakukan hal itu? Ah ... Arga begitu terbuai nikmat surga dunia yang Indira suguhkan, membuat dia terlena hingga lupa segala-galanya, termasuk dengan Clara, wanita yang begitu dia cintai.Arga membuka pintu kamar, sudah bersiap hendak memaki Indira ketika matanya malah menemukan pemandangan menggoda itu di atas ranjang."DAMN!" Arga mengumpat, kemarahannya mendadak berubah haluan. Samar-sama sensasi nikmat yang tadi dia teguk dari tubuh itu kembali terngiang, membuat Arga merasakan tubuhnya memanas seketika. Seluruh syaraf tubuh Arga merespon, membuat Arga setengah gila berperang deng