“Tangkap wanita jalang itu!”
Perintah Farha membuat sejumlah petugas keamanan menoleh ke arah Diva, lalu mereka gegas berusaha menangkapnya.
Diva tahu ini akan terjadi, jadi dia langsung berlari kencang keluar dari ballroom. Mata Diva langsung berkeliaran saat berlari, mencari-cari letak tempat yang telah dia rencanakan menjadi tempat persembunyiannya.
Akan tetapi, jauh berlari, Diva menyadari satu hal.
Diva keluar dari pintu ballroom yang salah!
“Sial! Harus sembunyi di mana ini?!” gumam Diva pada dirinya sendiri sambil celingak-celinguk mencari tempat untuk bersembunyi.
Saat dirinya melihat tanda petunjuk ke arah toilet, Diva langsung berbelok cepat. Dalam pikirannya, ruang paling aman dari kejaran para pria adalah toilet. Para tamu wanita di dalam pasti akan ribut kalau petugas keamanan itu asal menerobos ke dalam!
Alhasil, Diva pun mendorong pintu toilet dan–
“AAHH!” Diva setengah berteriak sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. “Apa yang kamu lakukan di sini!?” Dia berseru setengah mencicit melihat seorang pria berjas mewah berdiri di depan urinoar.
Pria yang dengan cepat langsung berbalik untuk merapikan dirinya itu melemparkan tatapan dingin dan tajam ke arah Diva. “Nona, apa matamu tidak berfungsi? Ini adalah toilet pria!”
Makian sang pria sempat membuat emosi Diva naik, tapi kalimat terakhir pria tersebut membuat Diva tercengang. Toilet ini ada jejeran urinoar, jelas saja ini toilet pria!
“Aku … aku ….”
“Keluar!” bentak pria itu dengan dingin.
Dengan wajah merona merah, Diva pun segera membalikkan tubuhnya. “M-maafkan aku!” ucapnya seraya menarik handling pintu.
Baru saja membukanya, Diva melihat beberapa pria dengan tubuh besar yang tadi sempat mengejarnya. Diva tahu jelas, mereka pasti orang-orang ibunya Nico yang sedang mencari dirinya!
Tanpa panjang, Diva malah menutup pintu itu kembali, membuat pria yang ada di dalam itu sedikit kesal.
“Apa yang kamu kira sedang kamu lakukan, Nona!?” Pria itu berkata dengan mata yang membesar.
Panik lantaran suara sang pria begitu besar, Diva langsung menghampiri dan menutup mulutnya dengan kedua tangan, membuat pria itu terkejut. “Tuan tolong aku kali ini saja!” Diva berkata dengan nada memohon sembari sesekali melihat ke arah pintu yang tertutup.
Mendengar langkah kaki dari luar, Diva panik dan langsung menarik sang pria ke dalam bilik kamar mandi bersamanya.
Saat melihat Diva mengunci pintu bilik, pria itu menggeram. “Kamu–” Tapi sekali lagi mulutnya ditutup oleh tangan Diva.
“Tuan, kumohon. Aku sedang dikejar seseorang dan perlu bersembunyi. Selama kamu membantuku, aku bersedia melakukan apa pun!” ucap Diva, terpojok. Bulir-bulir keringat menghiasi dahinya, entah efek setelah berlari kencang dengan hak tinggi atau … karena takut tertangkap oleh orang-orang Farha!
Sementara itu, mendengar ucapan Diva, pria tersebut terdiam. Dia menyentuh tangan Diva, menjauhkannya dari bibir agar dirinya bisa berbicara. “Apa pun?” ulangnya dengan alis kanan meninggi, tampak memiliki sebuah ide dalam benak.
Sembari menggigit bibirnya, Diva menganggukkan kepala. “Apa pun,” tegasnya. “Selama aku mampu, aku akan melakukannya.” Tersadar akan satu kemungkinan mengerikan, Diva juga menambahkan, “Dan tentunya bukan hal yang berhubungan dengan menjual diri!”
Pria itu mendengus, lalu berkata sembari menatap Diva dari atas ke bawah, “Aku tidak tertarik dengan dada ratamu itu, jadi jangan berpikir terlalu jauh.”
Ingin sekali Diva memaki pria itu, tapi dia menahan diri dan memaksakan sebuah senyuman. “Jadi, Tuan setuju membantuku?”
Belum sempat mengatakan apa pun, pintu toilet dibanting terbuka. Sejumlah langkah kaki terdengar memasuki ruangan.
“Dia pasti ada di sini!” seru salah seorang pria suruhan Farha. “Periksa setiap biliknya!”
Seruan itu membuat Diva menegang. Mereka nekat menerobos toilet?!
Dari dalam bilik, Diva bisa mendengar satu per satu pintu bilik di samping biliknya dibuka. Semakin lama, suara para pria itu semakin dekat, sampai akhirnya tiba giliran pintu bilik tempat Diva berada.
GRETEK! GRETEK!
Suara pintu bilik yang berusaha dibuka terdengar!
“Bilik ini dikunci dari dalam!” seru orang suruhan Farha yang langsung menggedor pintu.
“Bisa jadi wanita itu di dalam!” seru kawannya yang lain.
“Hei! Buka pintu ini!”
Jantung Diva pun mencelos. Apakah dirinya akan tertangkap!?
Melihat tubuh Diva yang bergetar, pria di hadapan Diva mengalihkan pandangan ke arah bilik pintu yang sedang digedor. Dia mendengus dingin dan berkata, “Apa kalian sudah bosan hidup?!”
Semua orang langsung terkejut, termasuk Diva sendiri. Percaya diri sekali pria ini!
Namun, keterkejutan Diva tidak berakhir di sana. Karena detik berikutnya, pria tersebut melonggarkan dasinya, lalu membuka beberapa kancing kemejanya.
“Apa yang kamu lakukan!?” Diva berucap tanpa suara, matanya melotot karena sang pria sekarang beralih menatapnya.
“Kamu ingin aku membantumu, ‘kan?” tanya pria itu di sisi telinga Diva, membuatnya diam. “Kalau ya, diam dan ikuti permainanku.”
Kemudian, tanpa aba-aba, pria tersebut menarik kepala Diva dan membenamkan wajah wanita itu ke dada bidangnya. Sontak membuat Diva merona merah, tak pernah dirinya sedekat ini dengan seorang pria!
Tepat ketika Diva sedang sibuk berusaha tenang dan mempertanyakan niat pria tersebut, pria asing itu malah membuka pintu bilik kamar mandi dengan kencang!
BRAK!
Saat pintu terbuka, orang-orang di luar bilik terkejut melihat penampilan dua orang di dalam.
Dengan pancaran mata dinginnya yang mengintimidasi, pria yang bersama Diva pun berkata, “Mengganggu kesenanganku, apa kalian tahu akibatnya?”
Begitu melihat wajah sang pria, salah seorang bawahan Farha langsung membeku. “T-Tuan Elvan Wongso!?”
Mendengar nama itu, jantung Diva terasa berhenti. Dia tahu nama itu.
Elvan Wongso, itu adalah nama CEO dingin dari Lux Tech Group sekaligus pewaris keluarga Wongso yang ternama!
Tunggu … pria yang Diva mintai tolong … ternyata adalah penerus perusahaan teknologi raksasa Asia Pasifik!?
Ini gila!
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa