“Dasar wanita murahan.”
Makian itu membuat Diva yang sedang berada di tengah kerumunan pesta pernikahan terkejut. Dia menoleh ke sumber suara, lalu melihat sejumlah pasang mata menatapnya dengan pandangan merendahkan.
“Hari ini adalah hari pernikahan Nico dan Nadya, bisa-bisanya dia dengan tidak tahu malu datang ke sini? Apa dia masih mau berusaha merebut kekasih sahabatnya sendiri?” sahut seorang tamu lainnya.
“Namanya juga wanita kelas bawah, mana tahu malu, sih?”
Walau mendengar jelas berbagai komentar mengenai dirinya, Diva hanya terdiam. Dia mengabaikan cacian tersebut dan mengalihkan pandangan ke arah pelaminan. Sepasang pengantin tampak tersenyum bahagia selagi menyalami satu persatu tamu yang menghampiri mereka.
Di saat ini, Diva mendengus. Wanita murahan? Berusaha merebut kekasih sahabatnya?
Omong kosong! Orang-orang yang tadi mencacinya sama sekali tidak tahu apa-apa.
Kenyataannya, pasangan pengantin bernama Nadya dan Nico yang ada di pelaminan itu adalah sahabat baik dan juga kekasih Diva sendiri! Dirinyalah yang diselingkuhi!
Selagi Diva menahan rasa sakit dan pedih di hatinya, mendadak sebuah panggilan terdengar. “Diva?!”
Diva menoleh, menatap seorang wanita paruh baya dengan pakaian anggun yang warnanya senada dengan tema acara pernikahan ini.
“Tante Farha …,” sapa Diva datar.
Tante Farha, dia adalah ibunda Nico. Wanita yang selama ini selalu berusaha memisahkan Diva dari putranya. Tak hanya itu, Farha bahkan sampai menghina Diva sebagai wanita rendahan kelas bawah menjijikkan yang tidak pantas untuk putranya.
“Untuk apa kamu datang ke sini!?” tanya Farha dengan wajah mengerikan, tampak marah dan siap menelan Diva bulat-bulat. “Pesta ini tidak menerimamu!”
Mendengar kalimat itu, Diva berujung menyunggingkan sebuah senyuman. Hal tersebut membuat Farha semakin melotot.
“Kenapa kamu tertawa? Apa yang lucu?!” tegur Farha.
“Tante … Tante sungguh lucu,” ucap Diva sebelum memiringkan kepalanya, menatap Farha seperti menatap tontonan terkonyol sedunia. “Aku diundang, jadi tentu harus datang. Itu namanya etika.” Dia menaikkan alisnya. “Tapi, mungkin aku terlalu banyak berharap. Karena sekarang aku tahu Tante tidak tahu etika menjamu tamu.”
“Kamu–!”
“Maaf, Tante, Diva tidak punya banyak waktu. Masih ada urusan lagi setelah ini, jadi Diva pamit dulu, mau mengucapkan selamat untuk kedua pengantin,” potong Diva selagi berjalan melewati Farha.
Karena ada banyak yang melihat, Farha tidak bisa menghentikan Diva dengan kasar, takut reputasinya menjadi korban.
Sesampainya di atas panggung pelaminan, Diva berseru, “Selamat atas pernikahan sialan kalian, ya!”
Ucapan Diva yang sangat lantang membuat kedua mempelai memasang wajah buruk.
“Untuk apa kamu datang?” Nico berkata dengan spontan. Alisnya menekuk tajam, tampak khawatir. Mungkin bajingan ini tahu kesalahannya dan takut karma datang terlalu cepat.
“Kenapa tidak? Aku diundang oleh istrimu yang cantik ini,” ucap Diva dengan percaya diri. Dia menaikkan alis kanannya. “Kenapa? Lebih berharap aku menangis di pojokan melihat kalian tersenyum bahagia seperti sekarang?” imbuhnya dengan nada menyindir, membuat Nico bungkam.
Di saat ini, Nadya maju satu langkah ke arah Diva. Sebuah senyuman keji terlukis di wajahnya. “Hebat juga kamu, Diva. Mukamu tebal sekali sampai nekat datang ke sini,” ucapnya.
Diva tersenyum. “Tenang, aku tidak punya muka setebal dirimu, Nadya. Lagi pula, kalau aku di posisimu, aku akan merasa malu karena telah merebut sampah bekas sahabat baikku sendiri.”
Wajah Nadya berubah buruk. “Kamu!”
“Sshh.” Diva menempelkan jari telunjuk ke bibirnya, membuat Nadya bungkam. “Jangan berbuat onar. Malu dilihat tamu lainnya,” peringatnya membuat Nadya melotot.
Tak ingin berbasa-basi lebih jauh lagi, Diva pun menyodorkan kotak hadiahnya ke tangan Nadya. “Untuk kalian, semoga suka. Aku pamit.”
Kemudian, dia turun dari altar dan berjalan lurus meninggalkan ballroom.
Melihat kepergian Diva, Nadya mengepalkan tangannya. Dia sengaja mengundang Diva untuk melihat wajah menyedihkan wanita itu ketika melihatnya menikahi Nico, tapi … sekarang yang dia dapatkan malah rasa kesal! Semua karena Diva tidak terlihat hancur!
Menatap kotak hadiah dari Diva di tangan, Nadya merasa semakin marah. “Aku tidak perlu sampah ini!” Dia membanting hadiah itu ke tanah, menyebabkan kotaknya terbuka dan satu makhluk kecil hitam pun lari melewati kaki Nadya. “Ahhh! TIKUUUS!”
Suasana mendadak kacau. Akibat teriakan Nadya, sejumlah tamu wanita menyadari keberadaan binatang itu dan ikut berteriak histeris.
Di sisi lain, Nadya berakhir jatuh dari atas panggung pelaminan bersama Nico yang berusaha menangkapnya. Keduanya terlihat berantakan.
Diva yang sedang mengarah ke pintu keluar ballroom menoleh ke belakang, sebuah senyuman terlukis di wajahnya. Semua sesuai rencana, sudah dia duga Nadya yang angkuh akan membuang hadiahnya dan membebaskan tikus kecil yang dia siapkan.
Tepat di saat itu, terdengar sebuah suara berteriak, “Diva! Pasti kamu!”
Mata Diva menoleh ke sumber suara, menatap Farha yang melotot ke arahnya dengan wajah merah.
Dengan jari telunjuk berkuku merahnya, Farha menurunkan perintah pada para pengawalnya, “Tangkap wanita jalang itu!”
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa