Ciuman hangat mendarat di bibir Diva, membuat mata wanita itu membola. Logikanya mendorong agar tangannya mendorong Elvan menjauh. Akan tetapi, instingnya mengatakan kalau dia melakukan hal itu, maka situasi akan menjadi kacau dan runyam. Alhasil, Diva hanya bisa pasrah di bawah kendali Elvan.
Melihat kejadian itu di depan mata, semua orang seolah membeku!
Bagaimana tidak? Semua anggota keluarga paham, Elvan adalah orang yang berjabat tangan dengan klien saja sebisa mungkin dihindari. Pria itu adalah seorang clean freak!
Akan tetapi, sekarang, pria yang paling menghindari bersentuhan dengan orang lain itu … berujung mencium seorang wanita?! Bukan kecupan, tapi ciuman! Untuk waktu yang cukup lama pula!
Demikian, ini adalah hal yang sangat menggemparkan!
SREET!
Di tengah keterkejutan itu, suara kursi yang bergesekkan dengan lantai terdengar. Para senior menoleh dan mendapati Marissa berdiri dari kursinya. Mata wanita muda itu berkaca-kaca, tampak sakit hati dan ingin menangis melihat pemandangan di depan mata.
“Aku permisi!” seru Marissa yang langsung meraih tasnya dan berlari keluar restoran.
Di sisi lain, paman dan bibi Elvan langsung ikut berdiri untuk mengejarnya. “Marissa!”
Sebelum pergi, bibi Elvan melirik sosok Elvan yang telah memisahkan dirinya dari Diva. “Elvan, kamu–! Haish!” Tidak bisa berkata-kata, dia pun lanjut meninggalkan tempat dan mengejar putri angkatnya itu.
Saat yakin bayangan orang-orang yang mengancam kebebasannya telah pergi, Elvan pun menjauhkan diri dari Diva dan berdiri dari kursinya. Dia menatap kakek, nenek, ayah, dan ibunya–yang masih tercengang–lalu berkata, “Karena masalah sudah selesai, aku dan Diva pamit dulu.”
Elvan menarik tangan Diva agar wanita itu berdiri bersamanya, tapi baru beberapa langkah menjauhi meja, sebuah suara menghentikannya.
“Elvan!”
Elvan menoleh, menatap sang kakek yang memanggilnya.
“Perbuatanmu hari ini …,” Hartono melirik Diva yang masih agak terbengong, lalu menatap Elvan lagi, “apa kamu tahu konsekuensinya?
Elvan memasang wajah dingin dan berkata, “Kalau memang harus menikah, aku hanya akan menikahi Diva. Bukan orang lain.”
Dalam pikiran Elvan, mengucapkan hal itu berarti dia telah memblokir niatan sang kakek untuk menikahkannya dengan gadis lain. Karena memang tidak ada niatannya untuk menikah, Elvan tidak masalah dengan hal itu.
Merasa rencananya sudah sempurna, Elvan pun lanjut berjalan pergi sambil mengenggam lengan Diva erat.
Mendengar balasan Elvan, empat orang yang ditinggalkan di restoran itu hanya bisa berakhir tercengang.
Nenek Elvan, Radiah, menatap sang suami yang masih terbengong dan berkata, “Menurutmu … apa Elvan serius?”
Di tempatnya, Hartono menggeleng. Dia yang tadinya yakin bahwa wanita yang cucunya bawa itu adalah kekasih sewaan, sekarang berakhir dibuat ragu, terlebih ketika melihat Elvan mencium Diva dan bahkan bersumpah hanya akan menikahi wanita itu.
Alhasil, Hartono hanya bisa berkata, “Aku … tidak tahu.”
Di saat ini, Anita pun menatap sang ayah dan berkata, “Ayah … masalah ini ….”
Hartono menutup matanya dan berujung berkata, “Palsu atau tidak, kita akan tahu pada akhirnya.” Dia menatap ke arah kepergian Elvan. “Kalau mereka memang bersandiwara, mari kita lihat sejauh mana mereka bisa menipu kita!”
**
Di dalam lift, Elvan akhirnya melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan Diva. Dia menatap wanita yang agak menunduk itu dan berkata, “Terima kasih, Diva. Karena bantuanmu–”
PLAK!
Suara tamparan keras bergema, mengejutkan Elvan yang merasakan panas di pipi kanannya. Diva menamparnya!
“Kamu–!” Baru saja ingin marah, Elvan langsung bungkam ketika melihat wajah Diva. Merah di mata dan kedua pipi wanita itu menunjukkan bahwa Diva bukan hanya malu, tapi marah dan terluka! Sebuah pemandangan yang membuat Elvan tak bisa berkata-kata!
“Apa yang kamu pikir telah kamu lakukan, Tuan Elvan Wongso!?” Diva berseru dengan amarah menyelimuti bola mata indahnya. “Bagaimana bisa kamu menciumku di depan orang banyak seperti itu!?”
“Aku ….” Elvan ingin menjawab. Akan tetapi, tatapan terluka yang Diva berikan membuatnya tak mampu bersuara.
“Aku memang memberikan penawaran untuk melakukan apa saja, tapi sudah kukatakan dengan jelas, aku tidak menjual sejengkalpun dari bagian tubuhku untuk ikut dalam permainanmu, tapi … yang barusan kamu lakukan adalah melecehkanku!” Diva mengepalkan tangannya kuat.
‘Melecehkan’, itu adalah kata yang sangat kuat. Dan jujur, Elvan merasa tindakannya tidak sampai seburuk itu. Namun, pandangan Diva membuat pria itu merasa seperti pria paling bajingan di dunia ini.
“Diva, aku–”
“Cukup, aku tidak ingin mendengar apa pun dari mulutmu itu lagi,” potong Diva.
TING!
Kebetulan, suara denting lift terdengar. Mereka telah kembali tiba di lobi hotel.
Seiring pintu lift terbuka, Diva berkata, “Dengan bantuan hari ini, kuanggap utangku kepadamu telah impas!” teriak wanita tersebut sebelum menambahkan, “Semoga kita tidak bertemu lagi!”
Usai mengatakan itu, Diva langsung keluar dari lift.
“Diva!” Elvan berniat mengejarnya, tapi wanita itu berlari begitu cepat!
Saat Elvan mencapai lobi hotel, Diva telah masuk ke dalam sebuah taksi dan pergi meninggalkan tempat tersebut. Tidak sedikit pun memberikan waktu untuk Elvan berbicara dengannya lagi.
Melihat taksi yang membawa Diva melesat pergi, Elvan mengepalkan tangannya sendiri. Dia yang tidak pernah merasakan simpatik terhadap orang lain, terus dihantui oleh wajah terluka Diva. Tak hanya itu, dadanya bahkan terasa sesak saat mengingat sepasang bola mata indah yang berkaca-kaca tersebut menatap dirinya dengan penuh amarah.
Tangan Elvan menekan dadanya, merasa bingung dan agak tersiksa. ‘Perasaan apa ini …?’
Sementara itu, di dalam taksi, Diva beberapa kali mengelap bibirnya, sampai-sampai ada bagian yang berdarah. Namun, bagaimana ya … dia benar-benar sangat kesal dengan Elvan. Pria itu baru saja merebut ciuman pertamanya!
Jujur, bukan hanya karena hal itu Diva marah, tapi … juga karena Diva tanpa sadar menikmati ciuman pria tersebut!
Wangi mint yang memesona, juga sentuhan lembut yang membuat darahnya berdesir. Diva seperti tersihir oleh Elvan tadi. Dan … hal itu juga yang membuatnya merasa jijik terhadap ciuman itu … dan dirinya sendiri!
‘Satu tahun berpacaran, Nico saja belum pernah menciumku!’
Membatinkan hal itu, Diva kembali sendu. Mungkinkah alasan Nico berselingkuh adalah … karena dia terlalu menjaga kesuciannya?
Memang benar, Nico bukan hanya pernah mengajaknya berciuman, tapi juga bercinta. Akan tetapi, Diva menolaknya dengan tegas dan berkata hal-hal semacam itu hanya boleh dilakukan setelah menikah.
Ah, dipikirkan kembali, sepertinya memang itu alasan Nico mengkhianatinya. Lagi pula, satu hari setelah menerima undangan pernikahan Nico dan Nadya, Diva juga sudah menerima pesan yang menyatakan semuanya.
“Bukan hanya latar belakang keluargaku yang menjadi alasan, Diva. Akan tetapi, dibandingkan dirimu, aku bisa memberikan segalanya untuk Nico. Itulah alasan dia memilihku dibandingkan gadis sok suci sepertimu!”
Mengingat hal itu, Diva menutup mata dan mengepalkan tangan. ‘Dan sekarang, ciuman pertamaku malah dicuri oleh pria yang bahkan tidak punya perasaan sama sekali padaku.’
Semakin dipikirkan, Diva menjadi semakin kesal kepada Elvan. Dia berdoa semoga tidak akan bertemu lagi dengan pria itu.
***
Setelah beberapa hari dari kejadian tersebut, hidup Diva berjalan seperti biasa. Dia datang ke kantor dan tampak sudah melupakan segalanya mengenai Elvan.
Baru saja duduk di kursi kantornya, tiba-tiba saja, terdapat pemberitahuan kredit masuk di aplikasi perbankan milik Diva. Nominalnya membuat Diva membelalakkan mata!
50 Juta?! Siapa yang mengirimkan uang sebanyak ini untuknya!? Apakah ada yang salah transfer?!
Namun, kemudian Diva melihat catatan pada bukti transfer tersebut.
[Ucapan terima kasih atas bantuan.]
Membaca pesan itu, Diva memiliki dugaan mengenai pengirimnya. Namun, belum sempat memastikan, tiba-tiba ponsel Diva bergetar. Nomor yang tertera di layar tidak dikenal, dan dahi Diva pun berkerut dibuatnya.
Mungkin ini nomor orang yang salah transfer?
Tanpa berpikir panjang, Diva mengangkat panggilan itu. “Halo?”
“Diva.”
Mata Diva terbelalak. Dia mengenali suara itu.
“... Elvan?”
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa