“Sama-sama, Calon istri,” balas Gilang sembari tersenyum.
“Duh, Mas Gilang, lama-lama bisa jatuh cinta beneran ini,” ucap Naya sambil menutup wajah cantiknya dengan kedua telapak tangan.
Saat ia membuka telapak tangannya, wajah Gilang sudah sangat dekat dengan wajahnya. Tangan Gilang menarik tengkuk Naya dengan lembut. Perlahan ia menempelkan bibirnya pada bibir ranum kekasihnya.
Naya membuka matanya lebar-lebar, saat sang kekasih melumat bibirnya dengan lembut. Detak jantungnya terasa berhenti sesaat, darahnya mengalir hangat ke seluruh tubuh. Gilang memejamkan mata sambil menikmati bibir perawan sang kekasih. Si Pecinta wanita itu bisa merasakan kalau gadis kecil yang menjadi calon istrinya belum pernah berciuman sebelumnya.
Gilang menggigit kecil bibir bawah Naya, sehingga gadis itu sedikit membuka mulutnya. Gilang dengan leluasa mengeksplor rongga mulut kekasihnya. Tak ada perlawan dari Naya, ini adalah ciuman pertamanya, ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin melepas ciuman itu, tapi tubuhnya berkata lain. Ia menikmati sentuhan lembut dari pacar pertamanya.
Naya memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan dan hisapan dari sang kekasih. Gilang melepas ciuman itu ketika Naya sudah tidak bisa mengatur napasnya lagi. Ia mengusap bibir gadis tomboy yang masih basah itu dengan ibu jarinya. “Manis,” ucapnya sembari menyunggingkan sudut bibirnya membentuk lengkungan indah di pipinya.
Gadis tomboy itu memegangi bibirnya yang terasa membesar akibat hisapan nikmat sang kekasih. “Mas Gilang udah ngambil ciuman pertamaku tanpa izin,” ucap Naya yang masih memegangi bibirnya. “Ini ‘kan ciuman aku untuk pangeran hatiku,” imbuhnya sambil mengerucutkan bibirnya.
“Kenapa itu bibir, pengin nambah?” tanya Gilang yang membuat Naya menggelengkan kepalanya.
“Ini aja, bibirku kayak suneo,” balasnya dengan cepat, lalu kembali menutupi mulutnya.
Gilang merasakan hal yang berbeda saat berciuman dengan Naya. Ia merasakan kenikmatan yang belum pernah dirasakan sebelumnya saat berciuman dengan wanita yang pernah ia kencani. Ciuman hangat yang mendebarkan, tidak seperti ciuman yang biasa ia lakukan, ciuman yang penuh nafsu dan sangat terburu-buru.
‘Ternyata ciuman dengan wanita yang pasif lebih nikmat,’ ucapnya dalam hati sambil tersenyum menatap Naya.
“Mas Gilang, kenapa senyum-senyum?” tanya Naya pada sang kekasih yang terus menatapnya tanpa berkedip.
Gilang menggelengkan kepala, lalu mengacak-acak rambut gadis kecilnya. “Kita pulang sekarang?” tanya laki-laki yang baru saja merenggut ciuman pertamanya.
Naya menganggukkan kepalanya sembari merapikan rambut. “Mas Gilang, di rumah kamu ada dapur ‘kan?” tanya Naya memecah keheningan di antara mereka berdua.
“Ada,” jawan Gilang dengan cepat. “Kamu tenang aja, kalau udah nikah kita akan tinggal di rumah yang mempunyai halaman yang luas untuk anak-anak kita bermain, nggak di apartemen lagi.” Gilang menggoda sang kekasih yang membuat gadis tomboy itu menundukkan wajahnya karena tersipu malu.
“Mas Gilang, aku udah bilang kalau kita pasti bisa keluar dari perjodohan ini.” Naya kembali meyakinkan Gilang kalau ia pasti bisa menggagalkan rencana pernikahan itu.
“Kenapa kamu nggak mau dijodohkan denganku? Apa alasannya?” Gilang benar-benar penasaran dengan sosok gadis tomboy yang duduk di sampingnya. Baru kali ini dia ditolak mentah-mentah oleh seorang wanita. Biasanya para wanita lah yang memohon agar bisa menghabiskan waktu bersamanya di atas ranjang, walau hanya satu malam saja.
“Aku ingin menikah dengan orang yang mencintaiku supaya kita sama-sama berjuang mengarungi rumah tangga bersama, dengan cinta tentunya,” balas Naya dengan cepat. “Sok tua banget aku ya,” imbuhnya sambil terkekeh.
Gilang mengganggukkan kepalanya sambil tersenyum manis. Kemudian melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Gilang fokus pada kemudinya sedangkan Naya terlelap dalam tidurnya.
Gilang menoleh pada gadis yang duduk di sampingnya karena sedari tadi tidak ada suara dari mulut gadis kecilnya. “Kenapa dia bisa terlelap secepat itu?” gumamnya. “Kalau diperhatikan ternyata dia sangat cantik walau tanpa riasan.” Sekali lagi Gilang memuji gadis yang sebelumnya ia bentak-bentak karena tidak sengaja mengotori bajunya.
Gilang mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang sehingga ia butuh waktu sedikit lama lagi untuk sampai di rumah Naya.
‘Bagaimana kalau dia tahu kelakuanku, apa dia mau menerimaku?’ Gilang bertanya-tanya dalam hatinya. “Kasian dia kalau sampai menikah dengan laki-laki brengsek sepertiku,” gumamnya belan sambil tersenyum.
Gilang menyadari kalau dirinya bukan laki-laki yang pantas menjadi pendamping kekasih kecilnya itu. Ia tidak habis pikir kenapa sang mami mau menjodohkannya dengan gadis seperti Naya.
“Bagaimana kalau keluarga Naya tahu kalau calon menantunya seorang penjajah wanita? Apa Mami tidak memikirkan perasaan mereka udah menjodohkan putrinya dengan laki-laki sepertiku.” Gilang terus saja memikirkan tentang perjodohannya dengan Naya. “Aku harus bicara sama Mami.”
Tidak terasa mereka sudah berada di rumah yang sederhana, tapi mempunyai halaman yang cukup luas. Ada berbagai macam tanaman bunga di halaman rumah itu. Gilang memarkirkan mobilnya di depan bangunan sederhana yang sudah cukup tua, tapi masih terlihat kokoh.
“Nay, bangun!” Gilang membelai dengan lembut pipi sang gadis setelah melepas sabuk pengamannya. Namun, Naya tidak kunjung bangun juga.
“Ini anak susah banget dibanguninnya.” Gilang menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. “Aku ada ide,” ucapnya.
Gilang pun mendekatkan wajahnya dengan wajah cantik Naya. Ia menempelkan bibir pada bibir kekasihnya itu, tapi Naya tidak kunjung bangun juga.
Laki-laki yang baru saja resmi menjadi pacar pertama Naya itu kembali melumat bibir si gadis tomboy, tapi gadis itu malah membuka mulutnya. Ketika Gilang hendak meneruskan aksinya terdengar suara langkah kaki mendekati mobil sehingga mengurungkan niatnya untuk mencium Naya.
Gilang segera keluar dari mobil ketika mengetahui kalau yang datang adalah Bunda Naya, ibu kandung dari Naya.
“Selamat malam, Bunda,” sapa Gilang dengan sopan kepada calon mertuanya.
“Malam, Nak,” sahut Bunda Maya sembari tersenyum. “Naya pasti tidur ya? Maaf ya udah merepotkan Nak Gilang,” imbuhnya dengan lembut.
“Nggak merepotkan kok, Bun,” jawab Gilang dengan cepat sembari membuka pintu mobil.
“Biar Bunda bangunkan dulu.” Bunda Maya hendak membangunkan putrinya, tapi dicegah oleh Gilang.
“Biar aku gendong aja, Bun. Kasihan dia kalau dibangunin.” Perlahan Gilang mengeluarkan Naya dari dalam mobil. Kemudian membawa gadis cantik itu ke dalam rumah. Ia menggendongnya ala bridal style yang membuat rambut panjang Naya menjuntai indah.
“Mas Gilang, udah mengambil ciuman pertamaku. Walau Mas Gilang bukan laki-laki yang aku cintai, tapi aku menyukai ciuman itu,” gumam Naya pelan dengan mata yang masih terpejam.
“Wah ini anak ngigau atau gimana? Untung Bunda udah jauh,” gumam Gilang saat mendengar racauan kekasih kecilnya.
Bunda Maya memang berjalan lebih dulu untuk menunjukan kamar Naya dan merapikan tempat tidur anaknya yang tidak pernah rapi.
Gilang pun masuk ke dalam kamar kekasihnya setelah sang bunda membukakan pintu kamar itu. Ia merebahkan Naya di tempat tidur beralaskan sprei berwarna abu muda. Ketika Gilang hendak melepas tangannya, Naya malah merangkul leher Gilang.
“Mas Gilang, cium aku!” gumam Naya dengan mata yang masih terpejam.
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w