Bimo menatap secangkir kopi yang tampak masih mengepul lalu membawanya menuju ruang keluarga. Tentu saja Bimo akan selalu mengikuti ke manapun Kia berada. Bimo tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan bersama perempuan itu. Tapi langkah Bimo terhenti saat melihat Kia merebahkan tubuh di sofa. Lalu Bimo membawa kopinya ke ruang makan. Membiarkan Kia beristirahat dengan tenang di sana.
“Kamu tidak akan pernah mampu mengukur rasa sayangku padamu, Kia. Nanti saat waktunya tiba. Bahkan kamu takkan pernah menyadari, kapan hatimu menjadi milikku.”Ditemani secangkir kopi Bimo mencoba mencari akun sosial media milik Kia. Bimo ingin mencari semua informasi tentang istrinya. Ternyata semua akun Kia terkunci. Parahnya, Bimo sudah meminta pertemanan sejak satu tahun yang lalu dan sampai saat ini masih diabaikan oleh perempuan itu. Bimo mulai melihat postingan Kia yang ternyata hanya berisikan informasi-informasi umum. Seperti seputar tentang kesehatan, kecantikan, dan fashion.Bimo memandangi wajah Kia yang terlelap. Berbagai pertanyaan bersarang di benaknya. Sebenarnya apa yang membuat Kia ketakutan? Seingatnya, Azka tidak pernah bercerita jika Kia memiliki ketakutan berlebih atau phobia pada sesuatu. Bimo yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh Kia darinya.“Apa yang kamu sembunyikan dari aku Sayang?” lirih Bimo sembari mengusap pipi Kia yang masih terasa panas. Demam Kia memang sudah mulai menurun dari setengah jam yang lalu. Tapi Bimo masih enggan meninggalkan Kia sendirian di kamar. Mendadak Bimo memiliki firasat buruk. Entah apa alasannya. Tapi Bimo mulai merasa gelisah. Besok atau lusa setelah memastikan Kia sembuh barulah Bimo akan menemui Azka untuk mencari informasi. Sebagai kakak seharusnya Azka mengetahui semua tentang adiknya. Mendadak Bimo berpikir lain. Bisa saja Azka juga tidak mengetahuinya mengingat jika selama ini sahabat baiknya tersebut menempuh pendidikan di Jakarta bersamanya.Saat jarum jam dinding menunjukkan hampir puku
Kia sampai heran sendiri. Sebanyak apa kosa kata yang dikuasai oleh laki-laki itu hingga semua yang diucapkannya selalu terdengar manis. Kia jadi penasaran. Sudah berapa banyak perempuan yang menjadi korban dari bibir manisnya. Dan sayangnya dirinyalah yang menjadi target utama Bimo saat ini. Sebenarnya wajar bila seorang suami merayu dan memuji istrinya sendiri. Tapi ini berbeda dengan apa yang mereka jalani. Mau tidak mau Kia harus terbiasa hidup berada dalam satu atap bahkan satu ranjang dengan laki-laki penebar pesona tersebut. Kia segera menghentikan perdebatan dalan hatinya. Lalu mulai fokus untuk beribadah. Karena ragu mampu berdiri dalam waktu yang lama Kia memilih menunaikan salat dengan cara duduk. Selagi Kia salat Bimo merapikan ranjang. Handuk dan baskom berisi air hangat yang kini sudah dingin Bimo bawa ke keluar dari kamar. Tak langsung kembali, Bimo terlebih dulu menyeduh teh panas di dapur. Bimo juga mengambil satu bungkus roti dari dalam lemari set kitchen untuk Kia
Esoknya setelah salat subuh Kia kembali bergelung dalam selimut. Demamnya memang sudah reda tapi efek dari flu yang dideritanya masih menyisakan sakit kepala dan hidung tersumbat. Semalam Kia tidak bisa tidur nyenyak karena kesulitan bernapas. Bimo sendiri selalu berada di sampingnya sepanjang malam. Semua itu juga karena permintaan Kia sendiri. Sejak kecil ia tidak akan bisa tidur sendirian ketika sedang sakit. Kia memang begitu dimanjakan oleh keluargnya. Apalagi semenjak Azka abangnya berkuliah di Jakarta. Perhatian kedua orang tuanya tercurah hanya kepadanya. Sejak kecil Kia memang sedikit pendiam dibandingkan dengan para saudara sepupunya. Kia tumbuh menjadi gadis yang lembut, cerdas, dan tegas seperti bundanya. Jadi tak heran jika Ardan memilih Kia untuk menggantikan posisinya di perusahaan. Bukan karena Azka putra pertama Ardan tidak layak menjadi pemimpin di perusahaan. Tapi dari segi kemauan, pendidikan, dan kemampuan Kia lah yang lebih mumpuni. Azka sendiri menolak d
Kia merasakan bagaimana pegangan tangan Bimo di pinggangnya mulai mengendur. Bimo juga mulai memberikan jarak wajah mereka yang hampir saja menempel. “Tentu saja aku akan menunggu sampai kamu siap!” jawab Bimo lalu segera pergi. Namun belum sampai kaki Bimo melangkah sebuah suara menginterupsinya.“Maafkan aku Mas,” ucap Kia seraya mendekat. “Maafkan aku Mas,” ulang Kia dengan kedua tangan menyusup di antara lengan Bimo. “Aku bukan bermaksud menolak kamu Mas. Aku hanya takut untuk jatuh cinta. Aku takut mengecewkanmu,” jujur Kia mengungkapkan isi hatinya. Gegas Bimo mengurai pelukan Kia lalu berbalik badan. Ditatapnya wajah sendu sang istri. Seketika Bimo tertegun. Tersirat luka yang cukup dalam di sana. Netra sebening madu itu menggambarkan sebuah keraguan yang nyata. “Apa kamu masih meragukan cintaku padamu?” Bimo melayangkan pertanyaan itu seraya memaku netra itu tanpa jeda. “Apa kamu tidak pernah peka jika aku mencintaimu dengan tulus? Bahkan cintaku padamu telah l
“Apa kedatangan kamu ingin mengembalikan Kia pada kami?” ucap laki-laki paruh baya di hadapan Bimo dengan tatapan dingin. Laki-laki yang biasanya selalu ramah dan murah senyum itu berubah dingin dan datar. Tatapan elang itu menghunus ke dalam netra Bimo. Mencoba melumpuhkan keberanian Bimo yang telah dipersiapkan sejak tadi. Tapi Bimo tak akan menyerah begitu saja. Bimo ingin mengetahui semua rahasia Kia saat ini juga.“Maksud Ayah apa?” Bimo balik bertanya sembari mencoba mencerna pertanyaan yang langsung ditodongkan kepadanya. Padahal sepatah katapun Bimo belum membicarakan tentang Kia.Bimo memberanikan diri mendekati Ardan ayah mertuanya yang saat ini berdiri dengan bersandar pada meja kerjanya. Tadi sesampainya di kediaman Alfarizi Bimo langsung diajak Ardan masuk ke dalam ruangan favorit laki-laki itu. Ruang kerja sekaligus merangkap menjadi perpustakaan pribadi. Melihat koleksi buku Ardan tentu saja membuat Bimo terkesima. Rak buku bersusun itu berisi buku-buku dengan
Sebelum terjadi sesuatu yang lebih jauh Bimo segera menghentikan aksinya. Ia harus meminta izin kepada Kia terlebih dahulu. Ia tidak ingin menyakiti perempuan yang sangat dicintainya tersebut. “Katanya padaku! Apa aku menyakitimu Sayang?” tanya Bimo sembari menatap ke dalam netra sebening madu di hadapannya. Namun Kia bergeming. Bibirnya tak mampu berucap. Demi membuktikannya Bimo kembali meraup bibir Kia. Kali ini Bimo memagutnya dengan sedikit liar. Sengaja memancing emosi Kia. Bimo ingin tahu sejauh mana pelecehan seksual yang pernah dialami oleh perempuan itu. Lalu dengan sengaja tangan Bimo mulai menggerayangi tubuh Kia dan berhenti di dadanya. Bimo bisa merasakan tubuh Kia yang mulai bergerak gelisah. Mulai menolak setiap sentuhan yang diberikannya. Napas Kia mulai tersengal-sengal. Tapi Bimo tak ingin berhenti. Terus menggoda sang istri agar menunjukkan reaksinya.“Kamu adalah milikku Kia. Hanya milikku! Hanya aku yang berhak atas tubuh dan hatimu!” ucap laki-laki yang te
“Bang aku ingin tanya satu hal kepadamu,” ucap Bimo yang kini tengah bersama Azka di ruang keluarga.“Klo kamu ingin tahu kenapa Kia bisa seperti itu jawabanku cuma satu,” balas Azka seraya menatap Bimo dengan sorot tak terbaca. “Aku juga baru tahu kondisi psikis Kia semenjak di rumah. Semua orang merahasiakannya dariku. Kamu tahu Bim?” Azka menghela napas dalam-dalam merasakan perih di hatinya setiap kali mengingatnya. “Aku gagal menjaga Kia. Satu-satunya adik perempuanku. Andai dulu aku tahu akan terjadi seperti ini tidak mungkin kubiarkan laki-laki itu bernapas lagi di dunia ini,” geram Azka seraya menitikkan air mata. “Hampir 10 tahun aku di Jakarta bersamamu. Aku pulang hanya sesekali dalam setahun. Aku pun tidak tahu tragedi yang menimpa adikku.”Bimo terdiam. Tak tahu lagi harus berkata apa. Di sini orang paling menderita adalah istrinya. Di balik keindahan yang selama ini ia kagumi ternyata Kia menyimpan sebuah luka yang teramat dalam. Bimo pun rasanya sudah tak sang
Esok paginya, setelah memastikan kondisi Kia baik-baik saja Bimo berniat berangkat bekerja. Meskipun klinik tersebut milik keluarga istrinya Bimo tidak ingin lalai dalam tugas. Justru kini ia harus rajin bekerja demi membahagiakan Kia. Demi janjinya kepada keluarga Kia yang rela menyerahkan putri kesayangan mereka kepada laki-laki biasa sepertinya."Mas Bimo mau kerja?" Tanya Kia yang baru saja ke luar dari kamar mandi."Iya, di rumah udah ada Bunda dan Mbak Letta yang akan menemani kamu," jawab Bimo seraya menatap Kia dari balik cermin di hadapannya.Kia yang hanya mengenakan bathrob mendekat dengan ragu-ragu. Berdiri tepat di belakang Bimo dengan jantung berdebar. Perasaan bersalah menguasai hatinya. Setelah pengakuannya kemarin tentu saja membuat hubungan mereka yang sebelumnya mulai dekat kini terasa menjauh kembali. Kia kembali merasa asing saat bersama laki-laki itu."Kenapa? Apa kamu ingin aku di rumah menemanimu?" ucap Bimo yang sudah beralih posisi menjadi m