"Sepuluh juta. Aku akan membayar mu 10 juta per bulan, jika kau bersedia menjadi ibu susu bayiku!" celetuk Rafka tiba-tiba.
"Huh!" Sontak saja, baik itu Vania, juga Raisa langsung terbengong mendengarnya. Lalu, dengan tanpa pikir panjang lagi, Rafka langsung menarik tangan wanita itu untuk segera menuju ke ruangan bayi tempat anaknya berada. "E-eh, lepasin! Ini namanya pemaksaan!" Tentu saja, dengan wajah kesal, Vania ingin memberontak. Namun, tak bisa. Karena cengkraman tangan lelaki itu terlalu kuat. Sehingga membuatnya mau tak mau hanya bisa pasrah mengikuti ke arah mana laki-laki itu membawanya kini. Begitu telah sampai di dekat ranjang kecil sang bayi, baru lelaki itu mau melepaskan tangan Vania. "Cepat susui dia sekarang!" titahnya dingin. Sehingga membuat Vania langsung membuang muka dan mendengkus kesal padanya. "Udah buruan! Atau ...." "Atau apa?" tantang Vania geram. Dengan wajah yang seolah tanpa rasa takut, wanita itu menatapnya garang. Namun hanya sebentar, dengan perasaan tak karuan ia kembali menundukkan wajah dan mengalihkan pandangan. Jujur, sebenarnya di dalam hatinya kini masih merasa tak tenang, takut jika saja lelaki itu sampai mengenalinya bagaimana? "Jangan mentang-mentang Anda orang kaya bisa mengancam saya!" lanjutnya berpura-pura tetap tenang. Ia tidak mau jika lelaki itu akan semena-mena terhadapnya. Rafka semakin emosi. Sungguh ia tak menyangka kalau wanita itu malah berani melawannya. Ya, baru kali ini ia dibuat kesal oleh seorang wanita, dan wanita itu adalah Vania. Namun, lelaki itu tak kehabisan akal. "Baiklah, begini saja. Jika, kau mau menjadi ibu susu untuk bayiku, aku akan memberikan berapapun uang yang kau mau." Karena sudah merasa terdesak, dan ia yang tak tega jika melihat anaknya terus saja menangis. Sehingga dengan sedikit menurunkan rasa egonya yang tinggi, Rafka kembali memberikan penawaran. Untuk sesaat Vania terdiam. Ia tampak sedang mempertimbangkan tawaran yang cukup menggiurkan dari lelaki itu. "Huh, ini serius? Dia akan memberi berapapun uang yang aku mau? Bukankah ini kesempatan langka bagiku untuk bisa mendapatkan uang dengan mudah?" batin Vania mulai bimbang. Jika ia menerima tawaran ini, tanpa harus pusing dan susah payah, dirinya nanti bisa membayar semua biaya untuk pengobatan pamannya di rumah sakit. Tapi ia masih ragu untuk mengambil keputusan. "Sok jual mahal banget sih nih cewek! Tinggal jawab iya saja kok, ribet." Dalam hati Rafka mulai ngedumel kesal. "Padahal aku yakin kalau sesungguhnya dia sangat tergiur dengan apa yang barusan aku tawarkan tadi. Cuma dia hanya berpura-pura saja sok menolak." "Jika bukan karena Al yang sangat membutuhkan ASI. Aku juga tak akan sudi memberikan penawaran itu padanya," lanjut batinnya lagi. "Oee ... oee ...." Suara tangisan bayi memecahkan keheningan. Membuat dua insan yang tengah berdiri berhadapan itu langsung berjingkat dan tersadar dari lamunannya masing-masing. Reflek Vania langsung menoleh ke arah bayi kecil itu. Hatinya kembali berdesir melihatnya. Jiwa keibuannya mendorongnya untuk segera menggendong bayi tersebut. Lalu, tanpa pikir panjang, ia segera mengambil bayi itu dan langsung mendekapnya penuh sayang. Lalu dengan menimang-nimang pelan, ia berusaha untuk membuat bayi itu terdiam. "Huss ... cup-cup, Sayang. Sudah diem ya, Cantik! Eh, dia ini cewek apa cowok sih?" gumamnya pelan. Ya, wanita itu belum tahu jenis kelamin bayi ini. Sementara Rafka tanpa mau menjawab, ia malah jadi terbengong melihatnya. Sehingga membuat Vania memutar bola mata malas dan berkata, "Bisakah Anda keluar sekarang?" "Huh!" Dengan wajah kebingungan Rafka masih saja tampak seperti patung. "Saya ingin menyusul bayi ini. Jadi, tolong silahkan Anda keluar dulu dari ruangan ini!" usir Vania. "O-oh, ya ya baiklah. Saya akan keluar sekarang." Dengan sedikit salah tingkah, lelaki tersebut langsung saja melangkah pergi meninggalkan ruangan itu. "Huff!" Setelah melihatnya pergi, Vania menghela napas lega. Baru kemudian ia memilih tempat untuk duduk. Jika mengingat betapa arogan ayah dari bayi yang berada di dalam dekapannya kini. Ingin rasanya ia menolak ataupun mengabaikan bayi itu. Namun, kenapa hatinya berkata lain? Entah mengapa sejak awal ia melihatnya, ia merasa seperti ada ikatan batin dengan bayi tersebut. Kenapa bisa seperti itu? Apa mungkin karena dirinya yang masih merasa sangat kehilangan atas kepergian putrinya. Sehingga ketika melihat bayi ini, seolah dia menemukan pengganti bayinya yang telah meninggal. Lalu dengan pandangan lembut dan penuh kasih sayang, Vania tampak tersenyum manis dan segera memberikan ASI kepada bayi tersebut. Sementara dari balik pintu yang sedikit terbuka, diam-diam dari arah samping, ternyata Rafka sedang mengintip. Dia bisa melihat sisi keibuan wanita tersebut. Dengan begitu lembut dan sayang, wanita itu memperlakukan putranya bagai anaknya sendiri. Seketika itu dadanya berdesir. Hatinya pun mulai menghangat. Entah mengapa ia merasa sangat senang melihat pemandangan itu. Lalu tiba-tiba saja ada yang menepuk pundaknya dari belakang. Pukk! Sontak saja membuat lelaki itu terjingkat dan langsung menoleh ke belakang. Kini ia melihat ada Raisa yang tampak sedang tersenyum tengil padanya. "Bagaimana? Kau sudah melihatnya sendiri 'kan? Bagaimana ketulusan wanita itu menyusui Baby Al?" tanya Raisa sengaja ingin mengejek. "Dan, lihat. Bahkan dengan cepat dia bisa langsung membuat bayimu itu terdiam." lanjutnya lagi. Seraya ikut mengintip dari sela-sela kecil pintu yang terbuka. Sebagai sesama wanita, ia bisa melihat ada ketulusan hati di raut wajah lembut dan sendu wanita itu. "Udah, diem. Jangan cerewet!" sahut Rafka sewot. "Jadi, bagaimana? Berarti wanita itu mau 'kan menjadi ibu susunya baby Al?" tanya Raisa lagi. "Ekhem-hem!" Sebelum sempat Rafka kembali menjawab, tiba-tiba saja dari arah belakang Raisa, terdengar suara deheman seorang wanita menyela pembicaraan mereka. Sontak kedua orang itu langsung menoleh ke arah sumber suara. Lalu mereka melihat ada seorang wanita cantik bergaun maroon sedang berjalan menuju ke arah keduanya. "Kamu! Buat apa kamu ke sini?" tanya Rafka menatapnya sinis. "Ikh, Rafka. Aku ini' kan Mamanya Al. jadi aku ke sini ya, ingin menjenguknya lah," jawab wanita itu manja. Sehingga membuat Raisa yang tampak tidak suka terhadapnya pun, memutar bola mata malas mendengar ucapan wanita itu yang terkesan sangat dibuat-buat. "Eh, iya. Di mana Al? Apakah dia baik-baik saja?" Wanita muda berambut lurus sepunggung itu tampak celingukan mencari keberadaan anaknya. "Dia di dalam sedang--" Belum sempat Rafka menyelesaikan ucapannya, terlebih dahulu wanita itu langsung saja menerobos masuk ke dalam ruang bayi, tempat Vania yang sedang menyusui Alviano. Krieett! Begitu memasuki ruang, dahi wanita bernama Dinda itu langsung mengernyit keheranan saat melihat .... "Hey, siapa kamu?"Di sore hari. Sesaat, setelah kepulangan Rafka dari kantor, lelaki itu tampak dengan lesu memasuki kamar. Hari ini ia benar-benar merasa lelah, karena kepadatan pekerjaannya di kantor, cukup menguras tenaga dan juga pikirannya. Pria itu mengendorkan dasi, dan mulai melangkah mendekati ranjang. Setelah melepaskan dasi, ia meletakkannya di pinggir kasur tempatnya terduduk kini. "Huff, benar-benar sangat melelahkan," gumamnya seraya menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Sungguh ia ingin merebahkan diri untuk sekedar beristirahat sejenak. Namun, baru saja ia akan memejamkan mata, tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu. Tok-tok-tok! "Rafka, bolehkah aku masuk?" ucap seorang wanita yang tengah berdiri di depan pintu kamar. "Hais, ngapain lagi sih nih, cewek? Ganggu aja!" Tanpa mau menjawab, dengan sangat malas, pria itu hanya dengkusnya kesal. Karena tak segera mendapat jawaban, dengan lancang Dinda langsung saja membuka pintu. Kleek! Tanpa disuruh, wanita yang
Di ruang tamu yang cukup luas dan megah, kini seluruh anggota keluarga Rafka, beserta Vania tengah terduduk menyebar di sofa panjang yang membentang di tengah ruang. Dengan satu per satu wanita muda itu diperkenalkan dengan seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut. Mulai dari kepala keluarga yaitu, Tuan Abymana Surya sang ayah dari Rafka. Lalu, Dinda Putri Kirana yaitu sang istri dari lelaki tersebut. Juga Erline Mohan, sang adik kandung dari ayahnya Rafka, yang berarti nenek dari bayi kecil yang akan diasuh dan disusui oleh Vania. Ya, walau pun Erline sebenarnya tidak ikut tinggal di rumah itu. Tetapi, wanita itu kerap kali datang berkunjung untuk menyambut kehadiran sesosok bayi kecil yang baru sekitar satu bulanan yang lalu hadir sebagai anggota baru di rumah tersebut. "Oh, jadi nama kamu Laras?" tanya Erline. Seraya masih menggendong Baby Al, wanita itu selalu menampilkan senyuman ramah kepada siapa pun juga. Termasuk terhadap Vania, sosok pengasuh baru yang ak
"E-eh!" Brugh! Tak sengaja, tubuh Vania oleng langsung mendarat tepat di atas pangkuan Rafka. Hingga membuat Rafka yang kaget pun reflek memeluk pinggang wanita itu dari samping. Dug-dug ... dug-dug! Dengan jantung yang berdetak kencang, dua orang itu terpaku dan larut dalam pandangan matanya masing-masing. Untuk sesaat, Vania seolah berhenti bernafas karena terhipnotis oleh ketampanan wajah orang yang ada di hadapannya kini. Begitu juga dengan Rafka, hatinya kini bergetar, matanya seolah enggan berkedip terus menatapnya. "Huff, hampir saja!" Sambil mengelus dada yang berasa jantungnya mau copot, sang supir merasa lega. Karena hampir saja ia menabrak kucing yang mendadak lewat. "Maafkan saya, Tu-tu-an!" Sontak saja ia membelalakan mata kaget, ketika menoleh ke belakang, ia melihat pemandangan yang tak terduga. Di mana si Tuan mudanya malah tengah memangku mesra sang pengasuh baru. Seketika keduanya langsung tersadar. Lalu, dengan wajah yang sama-sama memerah karena m
Sesuai apa yang telah disarankan oleh Tiara, kini Vania benar-benar telah merubah penampilan. Mulai dari rambut yang semula ikal sebahu, kini dibuat lurus dan dipotong sebatas leher. Lalu, tak lupa pula diwarnai menjadi sedikit kecokelatan. Kemudian agar semakin membuatnya berbeda dari sebelumnya, dirinya kini memakai kacamata besar dan juga masker untuk menutupi sebagian wajah. Rafka yang melihatnya pun, langsung mengernyitkan dahi merasa aneh dan keheranan saja padanya. Seraya memicingkan sebelah mata, dalam hatinya berkata, "Ada apa dengan gadis ini? Kenapa sekarang penampilan menjadi aneh begini?" Sementara Vania, bisa mengerti akan sikap keheranan lelaki itu. Bagaimana tidak heran? Dirinya memang sengaja berpenampilan seperti gadis culun. Dengan kacamata besar, pakaiannya juga sangat-sangat sederhana atau mungkin bisa dibilang norak dan kampungan untuk jaman sekarang. "Selamat pagi, Tuan," sapanya tersenyum ramah. Walaupun pria itu tidak bisa melihat senyuman di bibir
"Maksudnya adalah, aku ingin membalas perbuatan Dinda padaku dulu," ucap Vania dingin. Dengan wajah tanpa senyum, sorot matanya menggambar ada kobaran api amarah yang membara di dalam hati. "Tunggu-tunggu! Jadi kamu ingin membalas dendam pada sepupumu itu?" tanya Tiara. Vania pun mengangguk. "Iya. Aku akan merusak rumah tangga wanita licik itu. Bukankah dia dulu juga melakukan hal seperti itu padaku?" Tanpa sadar Tiara juga ikut mengangguk. "Karena dia sudah membuat hubunganku dengan Rendy hancur. Maka sekarang aku akan membalasnya." Dengan wajah penuh amarah, tampak jelas, wanita yang memakai kemeja biru muda itu menyimpan dendam pada sepupunya. Tiara bisa mengerti dan memaklumi bagaimana perasaan Vania saat ini. Pasti, sahabatnya itu merasa sakit hati atas perbuatan Dinda padanya dulu. Namun, ia tak pernah mengira kalau Vania berniat akan membalas perbuatan sepupunya tersebut. Tapi, wajar saja sih, jika dia ingin melakukan itu. "Em ... apakah kamu masih mencintai Rendy
Di sebuah kafe kecil pinggir jalan, tampak seorang wanita muda yang duduk di salah satu kursi, tengah menunggu kedatangan seorang teman. Tak berselang lama kemudian, datang seorang wanita cantik berkemeja krem dan bercelana jeans memasuki kafe. Vania, wanita yang tengah menunggunya pun langsung saja melambaikan tangan ke arahnya. "Hay, Ara! Aku di sini," serunya. Wanita bernama Tiara itu segera bergerak menujunya. "Ya Allah, Vania! Apa kabar?" Dengan wajah sumringah, wanita itu langsung saja memeluk sahabatnya yang sudah lama ia rindukan. Karena semenjak Vania pergi dari rumah pamannya, mereka sudah jarang sekali untuk bertemu. "Alhamdulillah aku baik. Kamu sendiri gimana?" Setelah cipika-cipiki, keduanya pun terduduk di kursinya masing-masing. "Alhamdulillah aku juga baik. Em ... maafkan aku, Nia! Karena aku kemarin tidak bisa datang ke pemakaman bayi kamu. Aku turut berdukacita dan aku harap kamu bisa bersabar ya, Nia!" Wajah yang semula terlihat ceria kini berubah se