Setelah puas menangis dan mulai bisa mengendalikan emosinya kembali, Mila meletakkan benda pipih berwarna silver dengan tulisan Oppo di belakangnya ke atas meja makan. Lalu, bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum menyiapkan makan malam. Meskipun waktunya makan malam sudah terlambat, dia tetap melakukan rutinitas itu. Mila tidak ingin hal itu menjadi alasan bagi Dandy untuk mengajaknya berdebat dan memarahi dirinya, saat pulang nanti.
Satu jam kemudian, masakan telah tersaji di meja makan. Aroma sedap nasi goreng Jawa yang ditemani ayam goreng serta telur mata sapi menggugah cacing dalam perutnya, meronta-ronta meminta jatah.
Mila menatap hasil karyanya sambil menelan ludah. Dia sudah tidak tahan ingin memakannya, tetapi rasa bakti pada sang suami menahannya untuk melakukan itu. Mila menahan rasa lapar, lalu menyeret kursi yang ada di bawah meja dan mendaratkan pantatnya di sana. Wanita berhidung bangir itu menunggu sang suami di meja makan.
Satu jam berlalu, tetapi pria itu tidak kunjung datang juga. Kembali dihubunginya nomer sang suami. Namun, tetap saja tidak diangkat, bahkan direject. Kini, rasa laparnya berubah menjadi rasa kantuk dan kesal. Mila meletakkan ponsel kembali dan masih mencoba menunggu belahan hatinya, dengan menelungkupkan kepala di atas meja hingga tertidur.
Not sure if you know this
But when we firsth met
Suara merdu Shane Filan, yang dijadikan sebagai nada dering panggilan, membangunkannya dari tidur. Mila tergagap lalu bergegas meraih ponsel yang ada di depannya. Terpampang tulisan Mama Mertua di layar.
"Assalamualaikum, Ma," ucapnya setelah menekan tombol hijau di layar ponsel.
"Waalaikumsalam. Dandy mana, Mil?" tanya sang Mama tanpa basa basi.
"Mas Dandy? Mila tidak tahu, Ma. Mila dari tadi juga menunggu Mas Dandy pulang. Mas Dandy tidak ada di rumah saat Mila pulang kerja. Bukannya Mas Dandy ada di sana, Ma?" Mila menutup mulut dengan telapak tangan saat teringat jika suaminya tidak ada di rumah Mama mertua. "Kalau ada di sana mana mungkin Mama menanyakannya," batinnya.
"Kalau Dandy bersama Mama, ngapain Mama nelpon kamu dan menanyakannya?! Dasar lemot!" cerca Angel.
Mila yang kaget dengan respon sang mertua terdiam. Dia kaget dengan ucapan kasar Angel.
"Ya udah, kalau gitu. Dasar cewek nggak berguna." Sambungan pun terputus tanpa ucapan salam.
Mila termangu dengan apa yang barusan terjadi. Dia kembali tersentak dengan perubahan drastis sikap mertuanya itu.
Tertunduk lesu, Mila melangkah meninggalkan meja makan menuju ruang depan untuk mengunci pintu lalu mengayunkan langkah dengan malas ke kamar, bersiap tidur. Selera makannya telah lenyap meskipun rasa lapar masih mendera perut. Ditariknya selimut menutupi setengah badan lalu menutup mata, mencoba melupakan perasaan gelisahnya dengan tidur. Namun, semakin mata terpejam bayang buruk tentang keadaan suaminya saat ini semakin tergambar jelas melintas di pelupuk matanya.
"Benarkah apa yang dikatakan Nadia bahwa ada orang ke tiga di antara kami? Apa jangan-jangan sekarang Mas Dandy sedang bersama selingkuhannya dan bersenang-senang? Atauuu ...."
Tak mampu lagi Mila memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada suaminya sekarang. Hanya hal-hal buruk saja yang melintas dalam benak, membuatnya semakin tidak bisa tidur.
Dilihatnya jam berbentuk hati di atas meja rias. "Sudah tengah malam. Mas Dandy ... di mana kamu, Mas." Kembali, cairan bening itu mengalir tanpa komando.
Lalu, dia bangkit dari posisi tidur dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Memutar otak untuk menyusun rencana yang telah diberikan oleh sang teman.
Mila berencana membuka saldo rekening besok, saat jam istirahat kerja. Selama ini dia belum pernah punya rekening bank karena menurutnya dirinya tidak memerlukan hal itu. Selain itu, bosnya yang sekarang juga masih memberikan gaji para karyawannya secara langsung dalam amplop coklat. Gaji yang dia terima ketika masih bekerja sebagai baby sitter, sebelum dia menikah, selalu dititipkan pada sang majikan.
Hal itu dikarenakan, Mak Ijah–ibunya–yang menyarankannya supaya gaji Mila utuh dan bisa terkumpul. Mak Ijah tidak pernah berharap dan tidak mau menerima pemberian sang anak. Dia merasa Mila lebih membutuhkan untuk masa depannya, dan Mak Ijah juga masih sanggup mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dari berdagang nasi pecel.
Mila juga akan mencari cara untuk mengetahui penyebab perubahan Dandy. Dia sebenarnya masih tidak tahu pasti apa yang pertama kali harus dilakukannya untuk mengetahui hal yang menjadi sebab utama sang suami menjadi kasar dan temperamental. Pasalnya, Mila selama ini tidak mengenal satu pun teman Dandy. Mila hanya mengetahui sedikit sekali tentang suaminya itu.
Mila memukul-muluk pelan kepala. "Aduh ... kenapa selama ini aku begitu bodoh, takacuh dengan semua hal mengenai Mas Dandy. Aku ini benar-benar istri yang tidak perhatian."
Cinta telah membutakan dan melumpuhkan logika Mila, yang ada pikirannya saat itu hanyalah kebahagiaan dan kemudahan hidup yang akan diraihnya bila menikah dengan Dandy. Pria tampan yang kaya dan mapan dalam pekerjaan. Dirinya tidak peduli sama sekali dengan bibit, beber, bobot, maupun semua yang berkaitan dengan suaminya.
"Haruskah aku bermain detektif-detektifan, seperti yang ada di film-film? Ya Allah, kenapa semua ini harus menimpaku?"
Di kala dia sedang termenung memikirkan tindakan apa yang akan ditempuhnya pertama kali, tiba-tiba suara ketukan keras mengagetkannya dan membuyarkan semua angan di kepala. Namun hanya sesaat, wanita itu belum menyadari jika suara ketukan itu berasal dari pintu utama. Kembali, dia terlarut dalam pikirannya yang kalut.
"Dasar cewek be*o! Buka pintunya!" seru seseorang seraya menggedor-gedor pintu dengan keras.
Mila terkesiap dan bergegas keluar untuk membuka pintu. Dia tahu persis suara itu adalah suaminya. "Bentar, Mas!" serunya sambil berlari.
Tampaklah Dandy dengan wajah merah padam dan tangan terkepal setelah pintu terbuka.
"Lama banget! Dasar cewek lelet! Kenapa nggak kamu tinggalin kunci cadangan di bawah keset?! Dasar dun*u!"
"Maaf, Mas ...," ucapnya lesu.
"Maaf, maaf, sana minggir!"
Dandy mendorong bahu Mila hingga terhuyung ke belakang.
"Aduh!" Mila meringis merasakan sakit di kaki akibat membentur kaki sofa. Kemudian, dia berusaha berdiri tegak. "Maaf, Mas, aku lupa karena terlalu lama menunggu Mas pulang. Mas dari mana, sih?" tanyanya seraya memegang tangan Dandy.
Dandi mengibaskan tangan Mila. "Minggir sana." Dia mendorong lengan istrinya dan berlalu masuk tanpa menghiraukan pertanyaan sang istri.
"Kamu itu kenapa, sih, Mas? Udah pulang larut malam, marah-marah lagi."
"Bukan urusanmu!" hardik Dandy.
"Tentu saja itu urusanku, Mas, karena aku istrimu!" seru Mila seraya menyusul sang suami, "jawab pertanyaanku, Mas!"
"Udah, jangan banyak bicara! Cepat siapkan makanan, aku lapar!" Dandy menarik kursi di bawah meja makan lalu mendudukinya.
Bukannya bergegas menghangatkan makanan, Mila malah berdiri di samping Dandy dan mencecarnya. "Mas! Jawab dulu pertanyaanku Kamu itu dari mana pulang selarut ini? Trus kenapa juga marah-marah tanpa sebab? Ada apa, sih, Mas?"
"Sudah kubilang itu bukan urusanmu." Dandy berkata tanpa menoleh. Tatapannya lurus ke arah tudung saji.
"Jelas itu urusanku, Mas. Aku istrimu! Kamu tidak lupa itukan?!" Mila menggoyang bahu Dandy.
Dandy mencengkram tangan Mila lalu mendongak. Mata sipitnya mengkilat dan menatap lekat sang istri. "Dengar, ya!? Sebelum kesabaranku hilang dan selera makanku lenyap, segera kamu siapkan makanan! Tanpa kata!" perintahnya. Dandy menghentakkan tangan Mila.
Tak ingin berdebat lagi dan membuat suaminya lebih marah, Mila bergegas menuju dapur dengan membawa makanan yang ada di bawah tudung saji untuk dihangatkan.
"Sabar Mila, sabar. Kamu harus hadapi kenyataan yang telah kamu pilih. Tuhan pasti memiliki rencana di balik semua ini," batin Mila menghibur diri.
Ingin rasanya dia melawan, tetapi rasa cintanya masih mampu mengalahkan logika warasnya, sehingga dia tidak ingin bertindak gegabah dengan mengorbankan ikatan sucinya.
.
.
.
To be continue ....
Mila yang tadi sempat terduduk diam, segera beranjak mendekati Aldi dan menyeret lelaki itu, keluar rumah.Aldi yang bingung dengan tindakan tiba-tiba itu, hanya pasrah mengikuti Mila, dengan tubuh condong ke depan akibat seretan yang cukup bertenaga.Nampaknya, Mila menggunakan seluruh tenaga guna menyeret dan mengajak tubuh tinggi jangkung itu untuk keluar. Dia ingin bicara serius, empat mata, dengan Aldi tanpa ada gangguan dari pihak lain."Apa-apaan maksud Mas Aldi ini? Dia pikir aku wanita apaan?" Mila bermonolog selama berjalan menuju pelataran, sambil sesekali mengembuskan napas dengan kasar, mencoba meluapkan segala rasa yang membuncah di hati.Mila melepas kasar lengan Aldi, sesampainya di sudut pelataran, samping rumah, dekat dengan kebun kosong milik tetangga. Tempat sepi yang tepat untuk berbicara tanpa ada gangguan. "Apa maksud, Mas? Mengapa, Mas, tiba-tiba datang dan melamar Mila?" tanyanya menggebu dengan menatap lekat lelaki yang ada di hadapannya.Aldi menatap teduh w
Sang pemilik suara hanya tersenyum simpul, menyaksikan ekspresi wanita yang mematung di ambang pintu itu. "Ma-Mas Aldi ...." Mila mengucek mata. Dia masih tidak percaya dengan penglihatannya. "Benarkah ... ini Mas Aldi?"Mila melangkah perlahan, sangat perlahan, menuju ke tempat Aldi seraya menatap lurus lelaki itu. Matanya enggan berkedip. Dia masih merasa ini adalah sebuah mimpi.Aldi berdiri. "Iya, ini aku," ucapnya seraya tersenyum samar."Ini bukan mimpi 'kan? Bukan ilusi juga 'kan?" tanya Mila lirih.Wanita itu masih melangkah tanpa melihat sekelilingnya, hingga akhirnya pekikan keras keluar dari bibir merahnya yang ranum, ketika kakinya terantuk kaki meja. Mila mengangkat sebelah kaki yang terasa sakit seraya merintih dan mendesis."Mil, kamu baik-baik saja?" tanya Aldi seraya mendekati Mila. Lelaki itu memegang tangan dan bahu Mila, lalu membimbingnya duduk ke sofa."Makanya, jalan itu lihat-lihat! Jangan main nyelonong aja!" seru Ikin yang berjalan masuk rumah lalu meletakka
Keesokan harinya, Mila meminta izin kepada pemilik toko kelontong untuk bekerja agak siang. Wanita itu akan meminta surat pengantar terlebih dahulu ke balai desa untuk pengajuan gugatan cerainya sebelum memulai pekerjaan. "Jangan terlalu lama, ya, Mil? Takutnya yang lain kewalahan karena toko lagi rame-ramenya.""Iya, Mbak. Secepatnya Mila akan segera kembali, setelah urusan Mila selesai." Mila menangkupkan tangan di depan dada. "Mila mohon doanya, ya, Mbak, supaya semuanya berjalan lancar dan diberi kemudahan.""Tentu saja, Mila. Doa terbaik Embak terlantun untukmu." Si pemilik toko berkata tulus karena sedikit tahu dengan permasalahan yang menimpa Mila, saat Mila meminta izin."Terima kasih banyak, Mbak, atas kemakhlumannya." Mila berkata dengan perasaan tidak enak. Dia pun segera beranjak keluar setelah si pemilik toko mengangguk..Sementara, di tempat lain, Ikin sedang berbicara serius dengan temannya yang bekerja di pengadilan."Kamu yakin semua ini tidak akan sulit dan dapat se
Sejak saat itu Ikin sudah tidak pernah tidur di bengkel lagi. Hubungannya dengan Mila pun mulai membaik karena wanita itu tidak pernah menyerah untuk meminta maaf, sehingga terjalin komunikasi yang cukup sering di antara keduanya. Hati Ikin lambat laun menjadi terenyuh dan melunak karena kegigihan Mila.Meskipun lelaki itu masih suka marah dan menghardik, tetapi Mila tidak pernah memasukkannya ke dalam hati. Dia tetap melayani kakaknya dan menyiapkan semua kebutuhan sang kakak layaknya seperti dulu, seakan tidak pernah terjadi apa-apa."Pokoknya, aku tidak boleh menyerah sebelum Bang Ikin memberi maaf padaku. Aku harus lebih bersabar lagi. Aku tahu jika saat ini Bang Ikin telah memberi maaf padaku, hanya saja belum mampu mengungkapkan secara langsung. Sabar Mila, Bang Ikin sayang banget, kok, sama kamu." Mila terus saja memotivasi diri di saat mendapat perlakuan keras Ikin. Dia tidak pernah merasa lelah tatkala menjalankan semua aktivitasnya--bekerja, mengerjakan pekerjaan rumah, mem
Mila mendongak. "Mbak Zaenab ....""Ada yang mau mbak omongin. Kita ke ruang tamu, yuk?" Zaenab beranjak keluar kamar setelah berkata, lalu diikuti Mila dari belakang.Selama Ikin jarang pulang, Zaenab dan keluarga kecilnya kerap menginap di sana. Jarak rumah Zaenab dan ibunya tidak terlalu jauh, hanya berbeda RT saja. Akan tetapi, Zaenab tidak tega bila membiarkan Mak Inah yang masih belum sembuh benar hanya ditemani Mila. Untung saja, sang suami pengertian dan menuruti keinginan Zaenab tanpa banyak kata."Mil, ini ... temen mbak ada yang nawarin kerjaan. Lumayanlah buat hiburan, biar kamu nggak sedih dan melamun terus. Soal Ikin ... mbak akan bantu terus biar dia mau maafin kamu."Selama ini mbak sudah sering membujuk dia dan mencoba membuka pikirannya. Mungkin abangmu masih butuh waktu lagi. Setidaknya, dia sudah sering pulang," ujar Zaenab, setelah mereka duduk bersampingan di sofa."Kebetulan sekali, Mbak. Barusan Mila kepikiran untuk nyari kerjaan. Kerjaannya apa, Mbak?" tanya M
Malam itu, suami Zaenab dan anak sulungnya sedang asik menonton televisi. Sedangkan Nadia asik mengobrol dengan Zaenab yang sedang memangku anaknya sambil menepuk-nepuk bokong sang anak dengan pelan, berharap balita berusia kurang dari dua tahun itu lekas tidur. Nadia menceritakan semua yang dia ketahui tentang Mila saat sahabatnya berada di Jakarta, sebelum dan setelah menikah, dengan gamblang.Sedangkan Mila menemani ibunya di kamar. Dia juga menyuapi sang ibu, dengan bubur buatannya, saat makan malam. Namun, dia sendiri tidak makan, hanya menghabiskan beberapa suap sisa bubur Mak Inah, demi menyenangkan hati ibunya. Dia sama sekali tidak bernafsu untuk makan karena memikirkan semua masalah yang timbul akibat ulahnya."Ibu lekas tidur. Mila akan menaruh mangkok dulu di dapur."Mak Inah menahan Mila yang hendak beranjak. "Mangkoknya taruh di meja saja, Nduk. Sini, kamu tidur bareng Emak sekarang."Mila mengangguk, tidak berniat menolak. Dia meletakkan mangkok lalu beranjak tidur di s