Share

Bab 3. Berbagi

"Tuhkan, Mil." Nadia beranjak sambil mengapit tangan Mila. 

"Loh, loh, mau ke mana?" tanya Mila seraya bangun dan mengekori Nadia.

"Nengok dapur, lah." Nadia menjawab tanpa menoleh. 

Perempuan yang usianya setara dengan Mila, tetapi masih belum punya keinginan untuk menikah karena masih ingin menikmati masa mudanya itu takut dengan hantu. Gadis berkulit kuning langsat yang masih setia dengan kejomloannya itu memiliki pengalaman yang sulit untuk dilupakan dengan dedemit yang suka ketawa, ketika masih duduk di bangku SMA.

Ah, iya, satu hal lagi yang unik dari seorang Nadia. Dia betah menjomlo semenjak kenal, pun tertambat hatinya, kepada Kim Taehyung alias V. Gila 'kan?! Ketemu kagak, udah tertambat aja.

Sesampainya di dapur, mereka hanya menemukan kucing yang sedang memakan beberapa suwir ikan yang berserakan di lantai. Di dekat binatang itu, teronggok panci kecil bekas wadah suwir ikan.

"Walah ... ternyata si manis. Bikin deg-degan aja, serasa mau copot, nih, jantung." Nadia berkata seraya mengelus dada. 

"Alah, kamunya aja yang penakut, Nad," ledek Mila.

Nadia hanya menyengir. Kemudian, dia mengajak Mila kembali ke kamar.

Tanpa menunggu lagi, Mila segera bercerita karena tidak ingin pulang terlambat terlalu lama. Mila menarik napas dalam-dalam sebelum memulai meluapkan beban yang sedang dirasakannya. Namun, beberapa menit dia menarik dan menghela napas sambil memejamkan mata, suara tak jua keluar dari bibirnya.

"Lu, tuh, mau cerita apa mau yoga?" celetuk Nadia yang mulai taksabar melihat tingkah Mila.

Mila membuka mata. "He he he ... sebentar, Nad, masih ngumpulin tenaga dan pikiran."

"Idich, kayak mau perang aja pake ngumpulin tenaga segala. Buruan cerita, kalo nggak ... aku tidur, nih."

"Iya, iya."

Mila pun akhirnya mulai bercerita tentang Dandy, suaminya yang mulai berubah tabiat; dari suami yang tadinya penyayang, romantis, baik, dan perhatian berubah menjadi suami yang kasar, temperamental dan tidak peduli lagi dengan dirinya, pulang pergi seenaknya tanpa pamit. Saat ditanya, suaminya itu tidak menjawab malah terkadang marah-marah tidak jelas. Bahkan, Dandy kerap kali meminta dan mengambil uang hasil kerja Mila.

Nadia mendengarkan dengan sesama. Ekspresinya berubah-ubah, kadang terperangah kadang membeliak sambil menutup mulut, bahkan matanya pun berkaca-kaca di kala Mila bercerita dirinya disakiti oleh Dandy. 

"Benarkah seperti itu, Mil? Ini tidak bisa dibiarkan!" geram Nadia.

Mila mengangguk. "Mas Dandy mulai main tangan sejak kemarin lusa, Nad. Sejak dia mulai tidak pulang ke rumah."

"Kalo begitu, lu harus segera bertindak, Jamil!" seru Nadia saat Mila selesai bercerita. "Lu harus segera mengambil tindakan untuk menghentikan semua ini. Enak saja, dia berenang ria di atas peluh lu."

Nadia beranjak dari duduknya di pinggir ranjang. Tangan kanannya mengepal lalu memukul-mukul telapak tangan kiri. Wajahnya terlihat memerah karena menahan emosi.

Mila mengernyit. Tangannya mengelus tengkuk perlahan. "Berenang ria di atas peluhku? Memang bisa, Nad?"

Mila memutar bola mata, membayangkan kata-kata itu.

Nadia menepuk jidat. "Aduch, bukan begitu konsepnya, Mila Sayang. Jadi orang jalan polos-polos amat, deh."

Nadia kembali duduk di samping Mila. "Pasti kamu lagi bayangin Dandy berenang," tebaknya sambil menunjuk Mila.

Mila hanya cengar-cengir malu mendengar pertanyaan Nadia, karena benar adanya.

"Hadech ... capek, deh," ucap Nadia seraya menggeleng. 

Nadia pun menjelaskan arti dari ucapannya itu, lalu diteruskan dengan memberi solusi pada Mila. 

***

Suasana remang kota metropolitan membuat suasana hati Mila semakin gamang. Hiruk pikuknya kendaraan yang lalu lalang tidak mampu mengusik pikirannya yang melanglang buana, memikirkan segala kemungkinan tindakan yang dapat dia lakukan. Benaknya dipenuhi gambaran tentang hal-hal yang dapat diambil.

Akan tetapi, semua masih sebatas angan, melayang-layang tanpa tahu landasan. Gadis manis berkulit coklat terang itu bingung harus mengawalinya dari mana.

"Apa yang sebaiknya aku lakukan sekarang? Haruskah aku melakukannya? Dari mana aku bisa tahu semua itu?" Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam otak, membuat pikirannya semakin berkecamuk dalam kegelisahan.

"Benar apa yang dikatakan Nadia. Jika tidak dimulai dari sekarang, harus kapan lagi?" gumamnya.

Kata-kata dan saran yang diucapkan Nadia kembali terngiang memenuhi seluruh ruang di benaknya.

"Lu harus cari tahu apa penyebab suami lu berubah dan secepatnya bertindak agar tidak semakin menjadi-jadi. Apa ... jangan-jangan ada pelakor?" Nadia menjeda ucapan lalu bergidik. "Hih, sere ... m. Kayak di sinetron-sinetron aja.

"Soal gaji lu yang diambil, sebaiknya lu simpen aja sebagian dengan ditabung di bank dan memakai kartu ATM. Bisa juga yang lainnya disisihin buat beli perhiasan. Buat jaga-jaga. Kalo kayak gini terus, mau jadi apa nantinya?"

Tanpa terasa, Mila telah berjalan jauh tanpa arah setelah keluar dari gang komplek perumahan Nadia. Dia tidak menyadari bahwa jalan yang ditempuhnya bukan jalan menuju pulang. Bahkan, wanita muda itu sampai lupa memesan ojek online karena larut dalam pikiran. Setelah merasa cukup bertukar pikiran dengan teman kerjanya, Mila bergegas pamit pulang tanpa memesan ojek online terlebih dahulu. 

Mila yang tersadar lekas mengambil ponsel dalam tas. Dilihatnya sekilas angka yang menunjukkan jam setengah delapan. "Astaghfirullah, ini sudah terlambat sekali. Ya Allah, pasti bakal ada perang dunia, nih, sesampainya di rumah."

Dia bergegas membuka aplikasi ojek online untuk memesan. Mila tidak mau semakin terlambat dan membuat suaminya marah. Hatinya masih sakit mengingat kejadian semalam, dimana suaminya marah besar, membentak, dan memaki, bahkan menamparnya hingga tersungkur. Akhir-akhir ini, dia mendapat perlakuan yang sangat kasar dari suaminya. Awalnya, hanya sebatas kata dengan nada emosi, tetapi lambat laun menjadi cercaan bahkan makian, padahal hanya karena hal sepele.

Tak lama kemudian, tukang ojol yang Mila pesan tiba. Hanya butuh waktu lima belas menit untuknya sampai ke rumah kontrakan.

"Assalamualaikum," sapanya seraya membuka pintu rumah. Namun, hanya keheningan yang menyapa. Rumah tampak gelap, hanya sinar temaram yang terbias dari kamar tidur. 

Mila menekan tombol yang ada di dinding untuk menghidupkan lampu rumah dan teras. "Kemana Mas Dandy? Pintu nggak dikunci, lampu rumah dan teras tidak dihidupkan, bahkan pintu kamar juga tidak ditutup," ucapnya lirih lalu menghela napas. 

Dia sedikit lega karena apa yang ditakutkannya tidak terjadi. Namun, kekhawatiran lain muncul dalam hati, membuatnya kembali gelisah. Mila segera mengambil ponsel dan menghubungi Dandy. Berkali-kali dia mencoba menghubungi, tetapi panggilannya tidak tersambung, hanya suara operator yang tertangkap oleh telinga.

"Kamu di mana, Mas? Kamu sedang apa, dengan siapa?" Mila berkata sambil memeluk ponsel.

Bulir bening pun akhirnya mengalir membasahi pipi mulus Mila. Dia sudah tidak sanggup menahan sesak dalam dada. Segala pikiran buruk bermunculan, merongrong kedamaian dalam hatinya.

To be continue .... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status