"Tuhkan, Mil." Nadia beranjak sambil mengapit tangan Mila.
"Loh, loh, mau ke mana?" tanya Mila seraya bangun dan mengekori Nadia.
"Nengok dapur, lah." Nadia menjawab tanpa menoleh.
Perempuan yang usianya setara dengan Mila, tetapi masih belum punya keinginan untuk menikah karena masih ingin menikmati masa mudanya itu takut dengan hantu. Gadis berkulit kuning langsat yang masih setia dengan kejomloannya itu memiliki pengalaman yang sulit untuk dilupakan dengan dedemit yang suka ketawa, ketika masih duduk di bangku SMA.
Ah, iya, satu hal lagi yang unik dari seorang Nadia. Dia betah menjomlo semenjak kenal, pun tertambat hatinya, kepada Kim Taehyung alias V. Gila 'kan?! Ketemu kagak, udah tertambat aja.
Sesampainya di dapur, mereka hanya menemukan kucing yang sedang memakan beberapa suwir ikan yang berserakan di lantai. Di dekat binatang itu, teronggok panci kecil bekas wadah suwir ikan.
"Walah ... ternyata si manis. Bikin deg-degan aja, serasa mau copot, nih, jantung." Nadia berkata seraya mengelus dada.
"Alah, kamunya aja yang penakut, Nad," ledek Mila.
Nadia hanya menyengir. Kemudian, dia mengajak Mila kembali ke kamar.
Tanpa menunggu lagi, Mila segera bercerita karena tidak ingin pulang terlambat terlalu lama. Mila menarik napas dalam-dalam sebelum memulai meluapkan beban yang sedang dirasakannya. Namun, beberapa menit dia menarik dan menghela napas sambil memejamkan mata, suara tak jua keluar dari bibirnya.
"Lu, tuh, mau cerita apa mau yoga?" celetuk Nadia yang mulai taksabar melihat tingkah Mila.
Mila membuka mata. "He he he ... sebentar, Nad, masih ngumpulin tenaga dan pikiran."
"Idich, kayak mau perang aja pake ngumpulin tenaga segala. Buruan cerita, kalo nggak ... aku tidur, nih."
"Iya, iya."
Mila pun akhirnya mulai bercerita tentang Dandy, suaminya yang mulai berubah tabiat; dari suami yang tadinya penyayang, romantis, baik, dan perhatian berubah menjadi suami yang kasar, temperamental dan tidak peduli lagi dengan dirinya, pulang pergi seenaknya tanpa pamit. Saat ditanya, suaminya itu tidak menjawab malah terkadang marah-marah tidak jelas. Bahkan, Dandy kerap kali meminta dan mengambil uang hasil kerja Mila.
Nadia mendengarkan dengan sesama. Ekspresinya berubah-ubah, kadang terperangah kadang membeliak sambil menutup mulut, bahkan matanya pun berkaca-kaca di kala Mila bercerita dirinya disakiti oleh Dandy.
"Benarkah seperti itu, Mil? Ini tidak bisa dibiarkan!" geram Nadia.
Mila mengangguk. "Mas Dandy mulai main tangan sejak kemarin lusa, Nad. Sejak dia mulai tidak pulang ke rumah."
"Kalo begitu, lu harus segera bertindak, Jamil!" seru Nadia saat Mila selesai bercerita. "Lu harus segera mengambil tindakan untuk menghentikan semua ini. Enak saja, dia berenang ria di atas peluh lu."
Nadia beranjak dari duduknya di pinggir ranjang. Tangan kanannya mengepal lalu memukul-mukul telapak tangan kiri. Wajahnya terlihat memerah karena menahan emosi.
Mila mengernyit. Tangannya mengelus tengkuk perlahan. "Berenang ria di atas peluhku? Memang bisa, Nad?"
Mila memutar bola mata, membayangkan kata-kata itu.
Nadia menepuk jidat. "Aduch, bukan begitu konsepnya, Mila Sayang. Jadi orang jalan polos-polos amat, deh."
Nadia kembali duduk di samping Mila. "Pasti kamu lagi bayangin Dandy berenang," tebaknya sambil menunjuk Mila.
Mila hanya cengar-cengir malu mendengar pertanyaan Nadia, karena benar adanya.
"Hadech ... capek, deh," ucap Nadia seraya menggeleng.
Nadia pun menjelaskan arti dari ucapannya itu, lalu diteruskan dengan memberi solusi pada Mila.
***
Suasana remang kota metropolitan membuat suasana hati Mila semakin gamang. Hiruk pikuknya kendaraan yang lalu lalang tidak mampu mengusik pikirannya yang melanglang buana, memikirkan segala kemungkinan tindakan yang dapat dia lakukan. Benaknya dipenuhi gambaran tentang hal-hal yang dapat diambil.
Akan tetapi, semua masih sebatas angan, melayang-layang tanpa tahu landasan. Gadis manis berkulit coklat terang itu bingung harus mengawalinya dari mana.
"Apa yang sebaiknya aku lakukan sekarang? Haruskah aku melakukannya? Dari mana aku bisa tahu semua itu?" Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam otak, membuat pikirannya semakin berkecamuk dalam kegelisahan.
"Benar apa yang dikatakan Nadia. Jika tidak dimulai dari sekarang, harus kapan lagi?" gumamnya.
Kata-kata dan saran yang diucapkan Nadia kembali terngiang memenuhi seluruh ruang di benaknya.
"Lu harus cari tahu apa penyebab suami lu berubah dan secepatnya bertindak agar tidak semakin menjadi-jadi. Apa ... jangan-jangan ada pelakor?" Nadia menjeda ucapan lalu bergidik. "Hih, sere ... m. Kayak di sinetron-sinetron aja.
"Soal gaji lu yang diambil, sebaiknya lu simpen aja sebagian dengan ditabung di bank dan memakai kartu ATM. Bisa juga yang lainnya disisihin buat beli perhiasan. Buat jaga-jaga. Kalo kayak gini terus, mau jadi apa nantinya?"
Tanpa terasa, Mila telah berjalan jauh tanpa arah setelah keluar dari gang komplek perumahan Nadia. Dia tidak menyadari bahwa jalan yang ditempuhnya bukan jalan menuju pulang. Bahkan, wanita muda itu sampai lupa memesan ojek online karena larut dalam pikiran. Setelah merasa cukup bertukar pikiran dengan teman kerjanya, Mila bergegas pamit pulang tanpa memesan ojek online terlebih dahulu.
Mila yang tersadar lekas mengambil ponsel dalam tas. Dilihatnya sekilas angka yang menunjukkan jam setengah delapan. "Astaghfirullah, ini sudah terlambat sekali. Ya Allah, pasti bakal ada perang dunia, nih, sesampainya di rumah."
Dia bergegas membuka aplikasi ojek online untuk memesan. Mila tidak mau semakin terlambat dan membuat suaminya marah. Hatinya masih sakit mengingat kejadian semalam, dimana suaminya marah besar, membentak, dan memaki, bahkan menamparnya hingga tersungkur. Akhir-akhir ini, dia mendapat perlakuan yang sangat kasar dari suaminya. Awalnya, hanya sebatas kata dengan nada emosi, tetapi lambat laun menjadi cercaan bahkan makian, padahal hanya karena hal sepele.
Tak lama kemudian, tukang ojol yang Mila pesan tiba. Hanya butuh waktu lima belas menit untuknya sampai ke rumah kontrakan.
"Assalamualaikum," sapanya seraya membuka pintu rumah. Namun, hanya keheningan yang menyapa. Rumah tampak gelap, hanya sinar temaram yang terbias dari kamar tidur.
Mila menekan tombol yang ada di dinding untuk menghidupkan lampu rumah dan teras. "Kemana Mas Dandy? Pintu nggak dikunci, lampu rumah dan teras tidak dihidupkan, bahkan pintu kamar juga tidak ditutup," ucapnya lirih lalu menghela napas.
Dia sedikit lega karena apa yang ditakutkannya tidak terjadi. Namun, kekhawatiran lain muncul dalam hati, membuatnya kembali gelisah. Mila segera mengambil ponsel dan menghubungi Dandy. Berkali-kali dia mencoba menghubungi, tetapi panggilannya tidak tersambung, hanya suara operator yang tertangkap oleh telinga.
"Kamu di mana, Mas? Kamu sedang apa, dengan siapa?" Mila berkata sambil memeluk ponsel.
Bulir bening pun akhirnya mengalir membasahi pipi mulus Mila. Dia sudah tidak sanggup menahan sesak dalam dada. Segala pikiran buruk bermunculan, merongrong kedamaian dalam hatinya.
.
.
.
To be continue ....
Setelah puas menangis dan mulai bisa mengendalikan emosinya kembali, Mila meletakkan benda pipih berwarna silver dengan tulisan Oppo di belakangnya ke atas meja makan. Lalu, bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum menyiapkan makan malam. Meskipun waktunya makan malam sudah terlambat, dia tetap melakukan rutinitas itu. Mila tidak ingin hal itu menjadi alasan bagi Dandy untuk mengajaknya berdebat dan memarahi dirinya, saat pulang nanti.Satu jam kemudian, masakan telah tersaji di meja makan. Aroma sedap nasi goreng Jawa yang ditemani ayam goreng serta telur mata sapi menggugah cacing dalam perutnya, meronta-ronta meminta jatah.Mila menatap hasil karyanya sambil menelan ludah. Dia sudah tidak tahan ingin memakannya, tetapi rasa bakti pada sang suami menahannya untuk melakukan itu. Mila menahan rasa lapar, lalu menyeret kursi yang ada di bawah meja dan mendaratkan pantatnya di sana. Wanita berhidung bangir itu menunggu sang suami di meja makan. Satu jam berlalu, teta
"Mila, buatkan aku teh dulu!" seru Dandy.Mila pun urung menyalakan kompor dan berjalan menuju alat pemanas air, yang biasa disebut dispenser, lalu membuat teh. Dia letakkan minuman itu di hadapan Dandy, tanpa berkata, dan bergegas kembali ke dapur. Belum juga panas nasi goreng yang ada di atas wajan, Dandy kembali berteriak, "Mila buruan! Dasar lelet!""Bentar, Mas. Ini juga barusan hangat."Beberapa menit kemudian, makanan telah tersaji di depan Dandy. Tanpa menunggu lagi, pria berwajah tirus itu melahap makanan dengan segera seakan belum makan seharian. "Mas, sebenarnya dari mana, sih, sampai kelaparan gitu?" Mila kembali bertanya setelah makanan di piring suaminya tinggal sedikit, heran dengan apa yang dilihatnya."Sudah berkali-kali kubilang, bukan urusanmu," ucapnya di sela-sela makan, "jangan bertanya lagi! Kalau tidak aku lempar makanan ini ke wajahmu!" Dandy mengancam tanpa mengalihkan pandangan dari piring."Tapi, Mas, aku berhak tahu semua yang berhubungan denganmu. Aku i
Dalam deringan yang ke tiga, barulah panggilan Mila tersambung, lekas dia melontarkan suara. "As-Assala-mualaikum, Nad." Mila berkata sambil menahan rasa sakit "Wa'alaikumsalam. Kamu kenapa, Mila? Kenapa suaramu seperti itu?" "To-Tolong aku, Nad. A-Aku–" Belum selesai berkata Mila jatuh pingsan. *** Aroma obat yang menyengat menyeruak memenuhi seluruh rongga hidung Mila. Matanya mengerjap karena sinar lampu yang menyilaukan. Kemudian, dia menatap sekeliling dan tampak ruangan serba putih. Mila meraba kepala yang terasa pusing, tetapi tangannya tidak bisa bergerak bebas. Dilihatnya ada jarum yang menancap di tangan kanan. "Apa yang terjadi padaku?" gumamnya. Kembali, dia mengedarkan pandangan. Tak ada siapa-siapa di sana, hanya ada suara dengkuran yang berasal dari sebelahnya. Dia tidak tahu itu siapa karena terhalang gorden yang memisahkan. "Pasti pasien lain," terkanya dalam hati. Mila meraba perut yang masih menyisakan rasa sakit. "Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa peru
"Nadia?" Mila menggoyang pelan lengan sahabatnya. "Eh, I-iya, iya. Ntar kalo pas jam kunjungan dokter, gue akan pinta pulang paksa. Tapi, lu yakin udah kuat?" Nadia kembali memastikan keadaan Mila. Wanita berlesung pipit itu tersenyum sambil mengangguk. "Insyaallah, aku dah kuat. Yang penting secepatnya aku harus pulang, Nad."Pasalnya, seharian itu Nadia menunggui Mila seorang diri. Dia sudah meminta izin kepada sang bos untuk tidak masuk kerja dan memberitahukan semua yang terjadi pada Mila, di saat Mila sedang dalam perawatan.Sore itu, tepatnya jam setengah empat, Mila pun dibolehkan pulang oleh dokter setelah diperiksa dan dipastikan semua baik. Tadinya, sang dokter menyuruhnya untuk menunggu satu hari lagi agar dapat dipastikan bahwa keadaan pasiennya itu benar-benar sudah baik dan sehat. Dengan sedikit paksaan, akhirnya perempuan berkalung stetoskop itu mengizinkan. "Baiklah, Bu. Anda boleh pulang hari ini. Tapi dengan catatan, apabila ada apa-apa dengan pasien pihak rumah s
"Milaaa!" Dandy memasuki rumah sambil berteriak dengan berang. Mila mencoba bangun dengan segera, tetapi tidak bisa karena badannya belum pulih benar. Baru saja wanita itu menapak lantai, Dandy sudah berada di ambang pintu dengan napas tersengal dan wajah merah padam.Pria yang dipenuhi rasa emosi itu mendekat lalu mencengkeram lengan istrinya. "Dasar wanita sialan! Gara-gara kamu aku jadi kalah seharian ini! Uangku habis tak tersisa dan semua itu karena panggilan sialan darimu dan juga temanmu! Kalau saja kamu tidak menghubungiku pasti sekarang uangku telah menjadi berlipat ganda!" murka Dandy."Mas ... sakit ...," desis Mila, "lepasin ...," mohonnya kemudian.Pria berjaket kulit hitam itu tak menghiraukan permintaan Mila. Dia semakin mempererat cengkraman. Mila merintih lalu menangis dan memegangi perut yang terasa kram akibat menahan sakit."Dengar, ya! Mulai detik ini jangan pernah menghubungiku apa pun yang terjadi!" Dihempaskannya tangan sang istri hingga Mila terhuyung ke bela
"Makasih, ya, Mas, udah mau nganterin Mila." Mila melepas helm dan memberikannya pada lelaki yang masih menatap takjub bangunan mewah itu. "Mas! Kok diem." Mila menepuk bahu Dandy."Eh, iya, maaf maaf," ucapnya seraya menerima helm yang diulurkan Mila. Benda itu diletakkan di depannya. "Gue balik, ya? Udah malam, nggak enak dilihat satpam," pamitnya. Mila mengangguk dan tersenyum manis. "Sekali lagi, terima kasih banyak, Mas," ucapnya kemudian."No problem. Senang bisa mengantar gadis secantik lu."Mila tersenyum sipu mendengar ucapan Dandy.Lelaki bersuara berat itu memutar kunci motor dan menstater motornya, lalu menginjak persneling.Motor sport itupun melaju cepat meninggalkan Mila, yang tersenyum-senyum sendirian seraya menatap kepergian Dandy. Bunga-bunga asmara tampak bermekaran dalam hatinya. Gadis manis berlesung pipit itu sedang dilanda cinta pada pandangan pertama."Aduh." Mila menepuk dahi ketika teringat bahwa dirinya belum berkenalan dengan lelaki itu. "Kok bisa nggak i
Ketika lelaki beralis tebal itu menoleh ke belakang, dia melihat gadis yang ditunggunya berjalan mendekat, kemudian menyapa dan meminta maaf kepada Dandy karena sudah membuatnya menunggu."Maaf banget, ya, kamu jadi bosan gara-gara menungguku?" Mila kembali minta maaf setelah menurunkan Kelvin dari gendongan dan bocah tampan itu berlari ke kolam pasir. Itu adalah tempat favorit Kelvin."Sudah gue bilang nggak papa, Mila cantik. Itu sih, belum apa-apa. Gue rela kok nglakuin apa aja demi gadis cantik seperti lu. Apalagi ...." Dandy menjeda perkataannya. Dia meraih tangan Mila dan gadis itu langsung menoleh karena kaget. Lelaki berbibir tipis itu menatap lekat kedua mata Mila.Badan Mila bergetar mendapat perlakuan mendadak itu. Jantung gadis itu berdegup kencang, wajahnya mulai memanas, dan pipi pun memerah. Dia salah tingkah ditatap sendu oleh Dandy, lalu tertunduk memandang tangan yang ada dalam genggaman. "Apalagi ... apa?" tanyanya lirih."Apalagi buat orang yang gue cintai," ucap D
"Apa yang ada di pikiran kamu, Mila Sayaaank? Sampai kaget begitu. Jangan mikir aneh-aneh, deh. Mas cuman mau ciuman lebih dari itu dan lebih mesra lagi, biar berasa. Kalo gitu doank nggak berasa, Mila Cantik ...." Dandy tersenyum simpul."Oh ... trus seperti apa yang Mas mau?" "Harusnya gini dong." Dandy mencium layar ponsel berkali-kali, hingga basah, sambil mengeluarkan kata emuah, emuah, emuah. "Haruskah?" tanya Mila dengan tersipu. Dia geli sendiri membayangkan hal itu. "Harus dong, Mila Sayang. Biar mas bahagia." Dandy mengerling. Mila pun pasrah dan mengikuti kemauan sang kekasih, sesuai arahan. Padahal, dalam hati dia juga senang melakukan itu."Nah, gitu dong. Ini baru pacar Dandy. Kalau gini 'kan aku makin cinta ma Mila Sayang.""Idih, gombal.""Serius, Mila Sayang. Baru kali ini merasa seperti ini. Sebelumnya tidak pernah aku merasakan hal seperti dengan perempuan lain. Kamulah yang pertama dan satu-satunya. I love you so much, Honey. Muuuah."Mendapat pernyataan itu, M