Share

Bab 8. Awal Bertemu

"Milaaa!" Dandy memasuki rumah sambil berteriak dengan berang. 

Mila mencoba bangun dengan segera, tetapi tidak bisa karena badannya belum pulih benar. Baru saja wanita itu menapak lantai, Dandy sudah berada di ambang pintu dengan napas tersengal dan wajah merah padam.

Pria yang dipenuhi rasa emosi itu mendekat lalu mencengkeram lengan istrinya. "Dasar wanita sialan! Gara-gara kamu aku jadi kalah seharian ini! Uangku habis tak tersisa dan semua itu karena panggilan sialan darimu dan juga temanmu! Kalau saja kamu tidak menghubungiku pasti sekarang uangku telah menjadi berlipat ganda!" murka Dandy.

"Mas ... sakit ...," desis Mila, "lepasin ...," mohonnya kemudian.

Pria berjaket kulit hitam itu tak menghiraukan permintaan Mila. Dia semakin mempererat cengkraman. Mila merintih lalu menangis dan memegangi perut yang terasa kram akibat menahan sakit.

"Dengar, ya! Mulai detik ini jangan pernah menghubungiku apa pun yang terjadi!" Dihempaskannya tangan sang istri hingga Mila terhuyung ke belakang, hampir merebah.

Mila kembali bangkit, terduduk, dan mengelus lengan yang sakit akibat cengkeraman. "Tapi, Mas. Panggilan itu sangat penting. Aku keguguran, Mas. Keguguran! Dan semua itu karena kamu!" serunya seraya mendongak. Emosi pun mulai menguasai wanita berkemeja merah muda itu. 

"Apa? Keguguran? Kamu hamil?" Dandy terkejut mendengar pengakuan sang istri. Namun, tidak ada rasa sedih di wajahnya. "Dan, gara-gara aku katamu?" Dandy makin geram dirinya disalahkan. 

"Iya, semua gara-gara kamu! Seandainya saja kamu tidak mendorongku–"

Dandy menyambar ucapan Mila seraya mencengkeram kembali lengan perempuan itu. "Dengar, ya, Mila! Semua itu bukan karena aku, tapi karena kebodohanmu sendiri!" kilahnya, "lagipula mau keguguran kek, mau mati kek, aku tidak peduli!" imbuhnya seraya melepas cengkeraman. 

"Kamu sungguh jahat, Mas! Ini anakmu, darah dagingmu, buah cinta kita! Tega sekali kamu berkata seperti itu!" teriak Mila. 

Dandy tertawa. "Buah cinta kita katamu? Kamu saja yang cinta, tapi tidak denganku! Sudah jangan banyak bicara, sini uangmu!"

"Uang apalagi, Mas? Uangku dah habis buat biaya perawatan dan kuretasi tadi. Malah kurang yang ada, dan aku pinjam sama Nadia." jelas Mila. 

"Alah! Jangan bohong kamu." Dandy beranjak ke nakas dan menggeladah tas yang ada di atasnya.

"Mas, jangan!" Mila menggapai lengan suaminya tetapi tidak sampai akibat rasa sakit.

Dia berusaha bangkit dari duduk dan melangkah mendekati Dandy lalu mencoba menghentikan tindakannya, tetapi percuma. Sang suami telah mendapatkan apa yang dicarinya, lalu melempar asal tas ke lantai.

"Mas, aku mohon jangan. Itu sisa uang yang aku pinjam dari Nadia dan hanya itu yang aku punya," pinta Mila memelas, tetapi Dandy tidak menghiraukan dan bergegas ke luar.

"Mas! Mas!" Mila berteriak seraya menatap punggung sang suami yang sama sekali tidak mempedulikan panggilannya. Tak lama kemudian, terdengar pintu yang ditutup dengan kasar. 

Mila pun luruh dan menangis sesenggukan. "Ya Allah, ya Rabb ... berilah kekuatan pada hambaMu ini untuk menghadapi semua." Mila menatap sendu tas yang tergeletak di lantai. "Kenapa kamu jadi kayak gini Mas? Sebenarnya apa yang kamu lakukan di luar sana?" tanyanya pada keheningan, dengan masih terisak. 

Dalam keheningan dan kesedihan ingatannya kembali ke masa sepuluh bulan yang lalu, di mana dia pertama kali bertemu dengan Dandy.

Saat itu, Mila sedang membeli sirop penurun panas untuk anak majikannya di sebuah apotek. Anak asuh Mila yang berusia tiga tahun itu sedang demam. Sebelumnya, dia sudah menghubungi sang majikan yang berada di luar kota.

Ternyata, suasana di apotek sangat ramai dan antrian juga panjang, sehingga gadis berusia dua puluh tahun itu mendapat giliran paling belakang. Bertepatan dengan jam tutup apotek tersebut. Tukang ojek yang mengantarnya pun tidak bisa menunggui Mila hingga gilirannya tiba. 

Mila celingukan mencari ojek online yang dipesannya setelah ke luar apotek, seusai bertransaksi.

"Aduuh, di mana, sih, tukang ojol itu? Mana buru-buru lagi."

Pasalnya, Mila telah menunggu selama lima belas menit, tetapi tukang ojek online yang dia pesan belum juga kelihatan batang hidungnya. Kemudian, dia cek kembali ponsel dan ternyata pesannya dibatalkan secara sepihak tanpa alasan.

"Kok, gini, sih? Kenapa nggak ngomong dari awal aja, kalo emang nggak bisa?!" gerutu Mila kesal. 

Gadis berseragam khas baby sitter itu mulai gelisah. Dia mencoba menghubungi pembantu majikannya, tetapi tidak diangkat. Sedangkan, sang majikan masih dalam perjalanan pulang sekarang.

Tadinya, saat pertama kali menelepon guna mengabari, Mila memberi saran kepada sang majikan untuk membawa balita itu ke rumah sakit, tetapi ditolak.

"Nanti biar kami bawa sendiri aja ke rumah sakitnya, Mil, sesampainya kami di rumah. Ini, nggak lama lagi juga nyampe. Sebaiknya sekarang kamu kasih dulu sirop penurun panas yang ada di kotak P3K."

"Baiklah, Nyonya, kalau begitu."

"Tolong jaga dan rawat baik-baik, ya, Mil, sampai kami tiba di rumah."

"Tentu saja, Nyonya. Insyaallah, Mila akan berbuat sebaik mungkin untuk kesembuhan si aden."

"Kami percaya sepenuhnya padamu, Mil. Assalamu'alaikum."

Mila mengangguk, seolah orang yang ada di seberang telepon melihat. "Wa'alaikumsalam."

Setelahnya, telepon pun terputus.

Mila bergegas menuju kotak P3K berada. Namun, apa yang dia butuhkan ternyata stoknya telah habis dan keadaan itu memaksa dirinya untuk pergi ke Apotek. 

Mila menatap layar ponsel. "Aduh, bagaimana ini? Pasti lama lagi kalo pesan ojol kembali," ucap Mila lirih. 

"Hay, mau gue antar?" Suara seorang lelaki yang berasal dari belakang mengangetkan gadis yang sedang konsentrasi menatap layar ponsel. Dia adalah apoteker yang melayani gadis tersebut. 

Mila menoleh lalu tersenyum. "Eh, Nggak usah, Mas. Aku udah pesan ojek online, kok," tolak Mila. Padahal, dia belum memesan kembali.

"Udah, cancel aja. Mending gue anterin. Jangan takut ... gue orang baik, kok," tawar lelaki itu seraya tersenyum.

Mila memindai lelaki yang ada di atas motor sport itu. Kulit putih, mata sipit, hidung mancung, wajah mulus, dan rambut hitam berpotongan mandarin merupakan padanan yang sangat pas dan nampak rupawan di mata gadis itu. Terasa desiran aneh dalam hatinya. Raut muka Mila tampak ragu, tetapi hati meronta untuk mengiakan. "Duhkah, ni hati," batinnya.

Melihat keraguan dalam wajah gadis manis yang ada di hadapannya, lelaki tampan itu kembali meyakinkan. "Percaya, deh, ma gue. Masak, iya, wajah ganteng kayak gini ada tampang kriminal. Lagian ... gue nggak bakal tega ninggalin gadis semanis lu sendirian malam-malam gini." Lelaki itu meraih dan menarik tangan Mila agar mendekat. "Udaaah, ayook!" ajaknya seraya menepuk ruang kosong di belakangnya. 

Mila naik ke atas motor, meski masih ada sedikit ragu di hati. Namun, dia tepis rasa itu karena si anak asuh sedang menunggu kedatangannya.

Kuda besi itu pun melaju membelah jalanan ibu kota. Lima belas menit kemudian, mereka telah sampai di depan rumah majikan Mila.

Bangunan mewah bertingkat tiga dengan warna cat putih membuat kagum Dandy. Matanya berbinar seolah baru saja menemukan emas berlian. Dia tahu persis rumah siapa yang ada di depannya, pejabat DPR sekaligus pengusaha sukses. Dalam hati, lelaki itu sangat bersyukur karena telah mengantar gadis manis yang kini berdiri di sampingnya.

Kala itu, Dandy masih menggunakan helm sehingga Mila tidak tahu ekspresi si empunya helm yang menyiratkan berbagai harapan dan rencana.

.

.

.

To be continue .... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status