"Bia, sayang, ayok mandi dulu. Sebentar lagi akan terlambat masuk sekolah."
Mahesa memasuki kamar putri kecilnya. Hari ini adalah hari pertama Sabiya masuk sekolah taman kanak-kanak. Gadis kecil itu harus segera bersiap agar tidak kesiangan di hari pertamanya.
Begitu Mahesa masuk, gadis itu sudah siap dengan handuknya akan masuk ke dalam kamar mandi. Laki-laki berkulit putih itu menyunggingkan senyum terbaik menyapa putri kecil kesayangannya.
"Ayok buka bajumu. Papa akan membantumu mandi dan bersiap," ujar Mahesa sembari berjalan mendekati Sabiya.
Gadis kecil itu memundurkan langkah menjaga jarak dengan papanya. "Stop, Pa!" katanya sambil mengangkat satu tangannya meminta agar Mahesa berhenti.
Duda tampan beranak satu itu mengernyitkan kedua alisnya merasa heran dengan sikap putrinya. "Kenapa?"
"Mulai hari ini, aku akan melakukan semuanya sendiri. Aku ini sud
Mahesa menghela napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya secara perlahan melalui mulut. Dia melakukannya hingga tiga kali berturut-turut. Pandangannya terpaku pada pintu gerbang di hadapannya.Dia ragu untuk masuk ke dalam. Tapi tugas yang sudah dipercayakan padanya tidak bisa ia tolak. Mahesa menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan pikiran buruk tentang keadaan di dalam sana."Semangat, Mahesa! Kau hanya menjadi instruktur selama tiga bulan saja. Ini tidak seburuk seperti yang ada dalam pikiranmu. Semua pasti baik-baik saja. Ya, semoga!"Laki-laki berambut hitam kecokelatan itu berusaha memberikan semangat dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan berjalan lancar dan baik-baik saja. Dia kembali menghela napas panjang dan mengembuskan perlahan melalui mulutnya. Setelah berhasil mengumpulkan semangat dan keberanian, Mahesa membuka gerbang dan mulai memasuki lapas para tahanan.Mahesa menemui
Setelah memantapkan diri, Mahesa memutar kelop pintu dan membukanya perlahan. Baru saja dua langkah kakinya masuk ke dalam ruangan itu, dia dikejutkan dengan tumpahan tepung tepat di kepalanya. Wajah dan pakaian yang ia kenakan di penuhi butiran berwarna putih.Hening selama beberapa detik. Mahesa mengepalkan kedua tangan dan mengeraskan rahangnya. Dia mengangkat wajahnya untuk melihat ke sekeliling ruangan. Dan menit berikutnya penghuni ruangan itu tergelak menertawakan penampilannya saat ini."Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja," ucap Anggita dengan penuh penyesalan.Dia menjadi salah tingkah antara ingin membantu laki-laki di hadapannya untuk membersihkan tepung dari tubuhnya atau kembali ke tempat duduk mengabaikan laki-laki itu.Mahesa menggeram kesal. Dia membersihkan tepung dari wajah dan menghalangi pandangannya. Hingga iris mata tajamnya bisa melihat dengan jelas siapa orang yang bertanggungjawab atas semua yang te
"Apa kau mengenal Pak Instruktur? Dari cara dia melihatmu, sepertinya kalian saling mengenal. Kau hebat sekali bisa mengenal lelaki tampan seperti dia," ujar Nelda kepada Anggita.Saat ini wanita itu sangat tertarik untuk mencari tahu hubungan antara Anggita dengan Mahesa yang menjadi pengajarnya. Tetapi sayang, Anggita menyangkal telah mengenal lelaki itu sebelumnya. Ya, walau dia pernah tidak sengaja bertemu, tetapi Anggita benar-benar tidak mengenal Mahesa. Lagi pula pertemuan mereka tidak meninggalkan kesan yang baik."Aku tidak mengenalnya," jawabnya jujur. "Memang kami pernah bertemu. Dia yang sudah membuat cincin pernikahanku tenggelam bersama ombak."Mimik wajah Anggita berubah masam saat mengingat kejadian hari itu. Mahesa tiba-tiba muncul dan menariknya saat ia hendak mengambil cincinnya yang terjatuh hingga akhirnya dia kehilangan benda berharga itu."Dia melakukannya? Kenapa begitu?" Neld
Setelah selesai mandi dan mengganti pakaian, Mahesa langsung pergi ke kamar Sabiya. Dia tidak boleh membuat gadis kecil itu menunggu terlalu lama. Malam sudah larut dan gadis kecilnya itu harus segera tidur. Sabiya tidak akan bisa tidur jika ia tidak menemani dan membacakan sebuah dongeng."Pa, tadi pulang sekolah aku dijemput sama Tante Luna."Sebuah kerutan halus terlihat di dahi Mahesa. Dia sedikit merasa tertegun mendengar cerita Sabiya, Aluna datang untuk menjemput gadis kecil itu."Oh ya?" ucap Mahesa bersikap tenang.Gadis kecil itu mengangguk mengiakan. "Iya, Tante Aluna juga menemaniku mengerjakan PR," ucap Sabiya polos.Mahesa hanya tersenyum tipis sebagai respons atas cerita putri kecilnya itu. Dia mengusap puncak kepala Sabiya dengan lembut dan sayang."Tante Aluna baik, dia juga cantik. Menurut Papa, Tante Aluna seperti apa?" tanya Sabiya lagi.
Anggita membayangkan tubuhnya akan terjatuh ke lantai. Wanita itu memejamkan mata bersiap menerima rasa sakit akibat benturan tersebut. Tapi setelah beberapa detik berlalu, tak ada rasa sakit yang diterimanya. Perlahan Anggita membuka mata dan terkejut saat melihat wajah Mahesa yang pertama kali dia lihat. Yang lebih mengejutkannya lagi ketika sebuah telur pecah tepat pada wajah laki-laki itu hingga pecahannya mengenai wajahnya juga. Setelah kesadarannya terkumpul, Anggita segera membenarkan posisinya dan menjauh dari Mahesa yang sedang memeluknya. Dia merasa sangat malu lagi-lagi berurusan dengan Mahesa. "Haisss ...." Mahesa mendesis kesal sambil mengelap wajahnya dengan tangan. Dia menatap wajah para wanita yang ada di sana dengan sorot dipenuhi kekesalan. Mahesa menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar. Tanpa berbicara laki-laki itu beranjak pergi dari sana.
Sebuah mobil berwarna merah berhenti di depan halaman sebuah rumah yang cukup luas. Tak lama kemudian seorang wanita cantik turun dari mobil itu. Dia merogoh ponsel di dalam tas untuk menghubungi seseorang."Aku sudah di depan rumahmu," ujarnya pada seseorang yang sedang menerima telepon darinya.Aluna langsung memutus panggilan ponselnya setelah memberitahukan pemilik rumah bahwa dirinya sudah tiba di sana. Tak lama kemudian, seorang gadis kecil ke luar dari dalam rumah diikuti seorang laki-laki di belakangnya. Aluna mengulas senyum hangat menyambut ayah dan anak itu."Kau tidak lupa kan, sekarang kita akan pergi menemui ayahku?" tanya Aluna kepada Mahesa."Hm, aku ingat. Aku baru saja akan menitipkan Sabiya pada Ibu," sahut Mahesa tenang.Aluna mengangguk-anggukkan pelan kepalanya. Kemudian dia menundukkan pandangan menatap wajah Sabiya."Sayang, Tante pinjam papamu dulu sebentar, ya. Kamu tidak keberata
Hari ini bisa dikatakan hari yang cukup baik. Praktek membuat roti yang diajarkan Mahesa berjalan dengan lancar tanpa keributan seperti yang pernah terjadi di hari sebelum-sebelumnya. Meski mereka masih belum bisa menciptakan sebuah hasil karya yang sesuai dengan harap. Seperti biasanya Laras dan Anggi yang lebih menonjol kemampuannya dibandingkan yang lainnya. Dua wanita yang terlihat seperti ibu dan anak itu bekerja dengan sungguh-sungguh sehingga mereka dengan cepat bisa mencerna materi yang diajarkan oleh instrukturnya. "Penampilannya menarik dan rasanya juga lumayan enak. Terus kembangkan bakatmu agar bisa menghasilkan roti dan kue yang lezat," ujar Mahesa kepada Anggita. Wanita itu tersenyum senang mendengar pujian yang dilontarkan oleh instrukturnya. Ah, tidak. Bukan soal pujiannya. Tetapi tentang kemampuannya dalam membuat roti. Jika dia berhasil bisa membuat sebuah roti yang lezat, dia memiliki harapan unt
Anggita terduduk lemas di dalam sebuah ruangan sempit sendirian. Dia memeluk dan membenamkan wajah pada kedua lututnya yang ditekuk. Petugas menghukum wanita itu karena telah berulah dan membuat kekacauan kepada seorang pengusaha ternama di Ibu Kota.Anggita menolak meminta maaf kepada Radeya. Itu sebabnya dia di pisahkan dari teman-teman sekamarnya agar ia bisa berintrosfeksi diri atas perbuatannya. Dalam hati dan pikiran Anggita masih dipenuhi amarah dan kebencian. Dia bahkan sama sekali tidak merasa menyesal telah meludahi wajah laki-laki paruh baya yang licik itu."Kau akan kami diamkan di sana selama satu minggu agar kau bisa merenungi kesalahanmu dan tidak mengulanginya lagi di lain waktu," ujar penjaga kepada Anggita. Beberapa saat kemudian dia pergi bersama temannya meninggalkan Anggita.Nelda dan Laras terheran-heran karena sudah hampir malam tapi petugas tidak mengembalikan Anggita ke ruangannya. Mereka terlihat sangat mencemaskan wan