Tiga orang wanita dan seorang laki-laki baru saja bertemu di restoran ternama. Tiga wanita itu terlihat sangat senang karena akhirnya mereka bisa bertemu dalam keadaan baik-baik saja.
"Syukurlah akhirnya kita bisa bertemu dan berkumpul lagi," ucap Nelda kepada Anggita. "Tapi, omong-omong kenapa kamu bisa bersama Pak Instruktur Anggi?"Nelda mengungkapkan keheranannya. Dia menatap wajah Mahesa kemudian beralih melihat Anggita meminta penjelasan."Ceritanya panjang. Aku juga gak tahu kalau tempat kerjaku adalah milik Pak Esa," sahut Anggita sambil melirik Mahesa yang nampak tenang.Nelda menganggukkan pelan kepalanya. "Kemarin Ibu juga bercerita bertemu Pak Instruktur di kantor temannya. Sangat kebetulan sekali. Ternyata dunia ini memang sempit," ujarnya."Ibu bersyukur karena kamu bersama orang baik. Ibu menjadi tenang setelah tahu kamu bekerja di toko Nak Mahesa." Laras mengungkapkan rasa syukurnya karena Anggita bersaMahesa mengetuk pintu ruang kerja Radeya. Dia langsung masuk begitu mendapat izin dari pemilik ruangan. Di sana nampak sudah ada Aluna sedang berbincang dengan Radeya."Kebetulan sekali kau sudah datang. Ayok duduk dulu dan minum teh bersamaku." Radeya menyambut kedatangan Mahesa.Laki-laki paruh baya itu terlihat lebih bersemangat dan cerah hari ini. Mahesa mengangguk dan turut duduk bergabung bersama pasangan ayah dan anak itu.Setelah cukup lama mereka berbasa-basi sambil menikmati teh hangat. Mahesa ingin mencari tahu alasan Radeya meminta bertemu dengannya.Mahesa meminum teh yang masih tersisa sedikit di cangkirnya. Dia menghela napas panjang kemudian melirim Aluna sekilas."Maaf, sebenarnya Anda minta saya datang ke sini untuk apa ya, Pak?" tanya Mahesa tidak enak hati. Namun ia tidak bisa lebih lama tinggal di ruangan itu dalam ketidakpastian. Ada hal lain yang ingin ia lakukan di luar.Radeya meli
Anggita sedikit terkejut saat melihat Mahesa pagi-pagi sekali sudah ada di dapur toko. Laki-laki berparas tampan itu sedang membuat roti-roti yang akan dijual saat tokonya buka. Cukup lama memerhatikan Mahesa dari ambang pintu, tanpa sadar kedua sudut bibir Anggita tertarik ke atas mengulas sebuah senyum tipis."Jangan menatapku seperti itu? Apa kamu akan tetap berdiri di sana dan gak mau membantuku?" ucap Mahesa tanpa mengalihkan fokusnya dari adonan yang sedang dia cetak menjadi roti.Anggita terhenyak kaget karena ketahuan sedang memerhatikan Mahesa. Dia menelan salivanya yang terasa menyangkut di tenggorokan. Setelah menetralkan rasa malu akibat ketahuan menatap Mahesa, dia pun berjalan mendekati laki-laki itu."Ini masih jam 4 pagi. Kenapa kamu sudah ada di sini?" tanya Anggita sambil mengenakan apron di tubuhnya.Dia memang sengaja bangun lebih awal agar bisa bereksperimen membuat roti dengan varian rasa baru. Namun ia tidak
Saat Anggita dan Mahesa terhanyut dalam obrolan mereka. Tiba-tiba saja keduanya mencium aroma yang sangat menyengat. Pasangan itu mencoba menajamkan indra penciumannya mencari tahu bau menyengat itu berasal dari mana."Apa kamu mencium bau sesuatu?" tanya Mahesa."Ya, aku juga mencium baunya. Ini seperti ... bau gosong," sahut Anggita sembari mencari tahu benda apa yang terbakar di ruangan itu. "Apa tadi kamu masih memanggang roti?" tanya Anggita.Kedua bola mata Mahesa membulat. Dia lupa belum mengeluarkan roti terakhir yang ia panggang dari dalam oven."Astaga, aku lupa," pekiknya seraya bergegas mendekati pemanggang roti.Benar saja, roti itu sudah gosong saat Mahesa mengeluarkannya dari dalam oven. Anggita menutup mulutnya yang terbuka saat melihat penampakan roti gosong tersebut. Keduanya saling menatap satu sama lain dalam beberapa detik. Kemudian mereka terkekeh geli menertawakan dirinya sendiri yang ceroboh.
Sesuai kesepakatan pagi tadi, Anggita bersedia ikut makan siang bersama Mahesa. Awalnya dia pikir laki-laki beralis tebal itu akan membawanya ke restoran atau kafe, tetapi tebakannya salah. Mahesa menepikan mobilnya di halaman sebuah bangunan rumah yang cukup luas.Mahesa turun dari mobilnya kemudian membantu Anggita memebukakan pintu mobil. Wanita itu ke luar dengan ekspresi bingung. Dia tidak tahu mereka sedang berada di mana sekarang."Kenapa kita ke sini? Bukannya kamu bilang mau makan siang?" Setelah cukup lama hanyut dalam kebingungannya, Anggita pun mengutarakan isi dalam pikirannnya."Ya, kita akan makan siang di rumahku," ucap Mahesa dengan tenang.Anggita mengejapkan matanya dua kali setelah mendengar perkataan laki-laki yang ada di hadapannya. "Ke–kenapa makan siangnya di rumahmu?" tanyanya gugup.Belum sempat Mahesa menjelaskan, seorang gadis kecil ke luar dari rumahnya dan berlari menghampiri mereka.
Sejak pertemuan dengan Sabiya saat makan siang pekan lalu. Hubungan Anggita dengan gadis kecil itu semakin dekat. Dia bahkan sering mampir main ke toko kue agar bisa bertemu dengan Anggita dan meminta wanita itu untuk sering berkunjung ke rumah.Seperti hari ini, Sabiya secara khusus meminta Anggita untuk menghadiri undangan dari sekolahnya. Ia tahu Mahesa sedang sangat sibuk dengan pekerjaan, sementara nenek dan kakeknya sudah cukup sering menghadiri acara sekolah. Sabiya ingin sekali-kali dia hadir dengan seorang wanita seusia papanya agar semua orang tahu bahwa dirinya juga memiliki seorang ibu.Memang, biasanya Aluna juga sering menghadiri acara di sekolahnya menggantikan Mahesa. Tetapi kali ini dia tidak ingin undangannya dihadiri oleh Aluna. Itu sebabnya Sabiya meminta Anggita untuk datang."Sabiya memintaku menghadiri undangan dari sekolahnya," ucap Anggita memberi tahu Mahesa tentang permintaan putrinya.
Seorang gadis kecil terlihat cemas menunggu kedatangan seseorang. Semua orang tua murid sudah berkumpul di kelas bersama anak-anak mereka. Hanya tinggal dirinya saja yang masih menunggu di luar kelas sendirian."Bia, apa papamu belum datang?" tanya wali kelas Sabiya. Wanita paruh baya itu ikut mengedarkan pandangannya ke luar menunggu wali murid gadis kecil di sampingnya. "Apa mungkin dia tidak akan datang?" gumamnya pelan.Sabiya menggelengkan pelan kepalanya. "Orang tuaku masih di jalan. Mungkin sebentar lagi akan datang," ujar Sabiya lirih.Wanita paruh baya itu tersenyum dan menganggukkan pelan kepalanya. "Ya sudah kalau gitu kamu tunggu di dalam. Ibu akan coba menghubungi papamu lagi," ujarnya yang langsung dibalas anggukkan kepala oleh Sabiya.Wali kelas Sabiya langsung menghubungi Mahesa untuk bertanya apakah dia akan menghadiri acara disekolah putrinya atau tidak. Karena acara akan segera dimulai dalam beberapa menit lagi.
"Papa ...."Sabiya berlari menyambut kedatangan Mahesa yang hendak menjemputnya. Lelaki beralis tebal itu menyambut putrinya dengan pelukan hangat dan ciuman di pipi gembulnya."Apa acaranya sudah selesai? Maaf, Papa tidak bisa datang tepat waktu," ucap Mahesa dengan raut wajah menyesal di hadapan putrinya."Acaranya sudah selesai dari tadi, Pa. Tapi Bia senang karena Bibi Gita mau menemaniku. Kami mengikuti lomba bernyanyi dan menggambar tadi," jelas Sabiya dengan semangat. Nampak sekali raut bahagia di wajah gadis kecil iyu."Kamu sudah datang?" sapa Anggita kepada Mahesa."Ah, ya. Tapi acaranya sudah selesai. Maaf sudah merepotkanmu," ucap Mahesa yang disambut senyum hangat oleh Anggita.Seorang wanita paruh baya bersama putranya datang menghampiri mereka. Wanita itu menyapa Mahesa dan mengajaknya berbincang sebentar."Saya dengar papanya Sabiya sebentar lagi mau menikah? Kalau sudah ada ni
“Bia Sayang, Bibi pamit pulang dulu, ya.” Anggita berpamitan kepada Sabiya.Waktu menunjukkan sudah pukul 9 malam. Sudah waktunya Anggita pulang setelah seharian ia habiskan menemani Sabiya jalan-jalan.“Bibi kenapa gak nginep di sini aja? Temani Bia tidur malam ini. Lagian kan sebentar lagi Bibi Gita mau jadi mamanya Bia,” ucap Sabiya. Gadis itu merengek sambil mengayun-ayunkan tangan Anggita, manja.Anggita meringis menelan saliva yang terasa mengering di tenggorokannya. Dia melirik ke arah Mahesa meminta bantuan lelaki itu untuk membujuk Sabiya.Mahesa tersenyum tipis. Dia berjongkok untuk menyetarakan tinggi tubuhnya dengan putrinya. Satu tangan terangkat mencubit pipi gembul sang anak tercinta.“Bia serius mau Bibi Gita jadi mamanya Gia?” tanya Mahesa. Gadis kecil itu melihat wajah Anggita sesaat kemudian menganggukkan kepalanya dengan semangat.Anggita mengejapkan