Share

Taman Bermain

Arunika melepaskan jas putih dari tubuhnya, lalu menggantungnya di dalam lemari. Lelah menderanya. Lelah badan dan lelah batin. Apalagi setelah bertemu dengan mantannya. Arunika telah memaafkan mereka, tapi hati memang tidak bisa berbohong. Masih ada luka disana.

Mungkin salahnya, ketika ia mengambil keputusan besar hanya melihat dari tekad laki-laki itu. Jujur saja, Arunika merasa tersentuh dengan usaha Mahesa ketika ingin memilikinya, sehingga membuat hatinya luluh. Walaupun akhirnya Arunika mengajukan persyaratan dalam hubungan mereka. Toh, Mahesa dan orang tuanya menerima persyaratan itu karena merasa sanggup.

Namun, satu tahun menjalani bahtera , ternyata laki-laki itu berdusta. Ia mendua dengan teman kuliahnya. Arunika tak pernah merasa sekecewa ini sebelumnya. Walaupun ia merasa lega karena berpisah dari laki-laki itu.

Arunika membanting tubuhnya di atas kasur miliknya. Ia menempati rumah dinas yang merupakan fasilitas dari rumah sakit tempatnya bekerja. Jika bukan karena di pindah tugaskan kembali ke Jakarta, bisa di pastikan Arunika enggan kembali ke Ibukota yang penuh sesak menurutnya.

Arunika bangkit ketika mendengar suara ketukan dari luar kamar. Bu Harti sudah berdiri disana dengan segelas teh hangat di tangannya. Dia memang tinggal bertiga dengan Bu Harti dan juga Tama, cucu Bu Harti. Wanita paruh baya yang usianya mungkin lebih sepuh dari Ibunya. Janda yang tinggal seorang diri di belakang rumah dinas. Bu Harti sebelumnya bekerja sebagai pencari botol bekas yang di ambil dari tong sampah rumah warga. Merasa iba, akhirnya dokter muda itu mengajaknya bekerja di rumahnya dan menampung wanita tua itu.

Arunika juga merasa iba pada Tama. Bocah itu sudah menjadi yatim piatu di usia 3 tahun. Akhirnya di asuh oleh Bu Harti yang memang hanya keluarga satu-satunya yang Tama miliki. Tama, wajah mungil itu kini tampak lebih bersih dari sebelumnya. Matahari membuat kulit anak itu kusam, di ajak Bu Harti mencari botol bekas, Tama sudah biasa berjalan hingga berkilo-kilometer. Selain itu, anak laki-laki itu mengingatkannya pada Farah, anak dari kakaknya yang kini berada di Yogya bersama dengan kedua orang tua Arunika.

“Saya bawakan teh untuk Bu dokter,”

Arunika tersenyum, “terima kasih, Bu. Tolong bilang sama Tama, habis ini saya ajak dia jalan-jalan ke taman.”

“Apa Bu dokter tidak lelah? Bu dokter baru pulang.”

Arunika menggeleng, “insya Allah tidak Bu, mungkin Tama seharian ini bosan di rumah.”

“Terima kasih Bu dokter, saya siapkan Tama dulu, permisi.”

Arunika membawa teh hangat yang dibawa Bu Harti ke dalam kamar, lalu menyesapnya pelan. Aroma melati menguap dari cangkir teh membuat badannya sedikit lebih segar. Ia bersiap untuk mengajak Tama main di taman sembari menikmati udara Ibukota.

Tampak Tama sudah rapi dengan kaos yang sedikit kebesaran di tubuhnya.

“Beli yang agak besar saja Bu dokter, biar awet.” Kata Bu Harti ketika Arunika mengajaknya belanja kebutuhan Tama dan Bu Harti.

Sejujurnya Bu Harti merasa tidak enak jika terus bergantung hidup kepada wanita berusia 28 tahun itu. Kelak, jika Arunika kembali ke Yogya, dia akan hidup sebagai gelandangan lagi. Ia juga sengaja membeli baju yang kebesaran untuk Tama agak awet di pakai.

“Hai, ganteng. Sudah siap?”

Tama mengangguk semangat, lalu meraih uluran tangan Arunika.

“Bu, saya keluar sebentar, ya. Tidak usah masak untuk makan malam, kita beli di luar saja.”

“Tapi saya sudah beli bahan buat masak, Bu dokter,”

“Tidak apa, buat besok pagi saja ya, Bu.”

“Baik, Bu dokter.”

Bu Harti beralih menatap Tama, “cah bagus, tidak boleh rewel ya, kasihan Bu dokter baru pulang kerja.”

Tama kembali mengangguk. Ah anak ini memang begitu penurut. Pernah aku mendapatinya bermain sendiri di taman belakang, sementara Bu Harti membersihkan rumah dan memasak di dapur. Keadaan kehidupan sebelum bertemu Arunika, membuat bocah itu tumbuh mandiri dan tidak manja.

Ah, lagi-lagi Arunika mengingat Farah, anak semata wayang kakaknya. Sama halnya seperti Tama, Farah tumbuh tanpa seorang Ibu. Lebih tepatnya, Rinjani, meninggal dunia ketika melahirkan Farah karena pendarahan. Usia Farah hampir sama dengan Tama. Hanya Farah lebih beruntung tumbuh di keluarga yang berkecukupan dan kasih sayang yang tiada habisnya.

Sampai di taman, Arunika membiarkan Tama bermain apa saja yang ia suka. Seperti anak kecil pada umumnya, Tama langsung menyerbu arena bermain. Anak itu tak lagi memedulikan teriakan Arunika yang memintanya untuk hati-hati.

Arunika mengambil duduk di sebuah bangku yang tak jauh dari arena bermain sembari matanya mengawasi Tama bermain. Tangannya merogoh slingbag guna mengambil handphone miliknya.

“Arunika?”

Wanita berhijab ungu itu menikah ke arah sumber suara. Lengkung di bibirnya menghilang seketika begitu melihat sosok yang ada di hadapannya. Dania. Wanita itu menghampiri Arunika dengan tanpa ragu.

“Boleh aku duduk di sini?” tanya Dania.

Tanpa persetujuan Arunika, Dania duduk di sebelahnya.

“Aruna main dulu ya,” Dania menoleh pada gadis kecil yang ia gandeng. “Mama tunggu di sini.”

Gadis kecil itu mengangguk, lalu berlari girang menyusul anak-anak yang lain. Arunika sedikit tertegun. Wajah anak itu sangat mirip dengan Papanya. Mahesa. Dania yang ia tahu, dulu adalah masa lalu Mahesa yang pergi meninggalkan pria itu begitu saja. Akan tetapi dia kembali dengan membawa kehancuran untuk Arunika. Ia membawa Mahesa pergi dari sisinya.

“Sudah lama tidak bertemu,” Dania memulai. “Apa kabar?”

Arunika menoleh sebentar ke arah Dania, lalu kembali memfokuskan pandangannya pada Tama.

“Alhamdulillah,” Arunika menjawab lirih. “Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja.”

Ada perasaan aneh diantara mereka berdua. Tentu saja. Setelah lima tahun berlalu, inilah kali pertama mereka saling bicara. Arunika mencoba bersikap bisa saja, sementara Dania harus mati-matian menahan perasaan sesak. Hingga beberapa saat mereka saling diam. Bergelut dengan perasaan masing-masing.

“Dia ... Tidak pernah sekalipun melupakan kamu,” Dania mendesah. Diembuskan nafas lelah yang menyergap hatinya. Bukan hanya badan, hatinya pun lelah.

“Bahkan, ditidurnya pun nama kamu sering di sebut. Aku tersiksa. Raganya aku dapatkan, tapi hatinya ada padamu.”

Dania menatap Arunika dengan pandangan nanar, menahan sesak dalam dada, ia menarik nafas dalam berkali-kali. Menahan cairan bening yang hendak lolos dari kelopak matanya.

Arunika menaikkan sebelah alisnya sembari menatap iba pada Dania. Jikalau Arunika tahu, Dania sangat memberi tatapan iba dari orang-orang. Tapi memang inilah kenyataannya. Kehidupannya dengan Mahesa tidak baik-baik saja.

Apakah ini karma untuknya?

Batin Dania selalu membantah. Jika memang Mahesa tidak mencintainya, tidak akan ada Aruna di antara mereka. Hati Dania selalu meyakinkan, bahwa Aruna adalah buah cinta Mahesa terhadapnya, tak peduli bagaimana sikap laki-laki itu kepadanya. Mahesa menyayangi Aruna.

“Apakah kamu datang kesini untuk mengambilnya kembali?”

Arunika tertawa pelan mendengar pertanyaan Dania. Sebegitu takutlah Dania padanya?

“Bahkan, aku sangat tidak ingin kembali ke kota ini ketika aku sudah mempunyai kehidupan yang baru.” Arunika berkata tenang. “Aku hanya menjalankan tugas. Kamu tenang saja, aku tidak akan berbuat apapun dengan kehidupan kamu.”

“Bunda!”

Arunika memalingkan tatapannya pada Tama. Sejak tinggal bersama, memang ia meminta Tama untuk memanggilnya 'Bunda' sama seperti panggilan Farah kepadanya. Sepertinya anak itu kehausan setelah sekian lama bermain. Arunika menyodorkan botol minum yang ia bawa dari rumah. Sebelumnya, ia meminta Tama untuk duduk sebelum minum. Begitulah ia mengajarkan adab kepada Tama yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.

Dania tampak kaget dengan kehadiran Tama di sisi Arunika. Entah ketakutan semakin menyergapnya. Di tatapnya wajah Tama Lamat-lamat, mencari keberadaan sosok suaminya yang mungkin mengalir dalam tubuh kurus Tama. Tidak kemiripan sedikit pun dengan suaminya.

“Apa dia anak kalian?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Daanii Irsyad Aufa
Dania Ki menjengkelkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status