Raynald menatap kotak cincin berwarna merah di tangannya dengan gelisah. Entah kemana keberaniannya menguap. Bukankah ia begitu yakin kejutan ini akan berhasil? Bukankah kemarin ia begitu percaya diri dan penuh semangat? Lalu mengapa saat ini keberanian dan semangatnya justru menghilang begitu saja? terlahap rakus oleh momok keraguannya. Hilang tak berjejak.
Ia menutup kotak cincin itu dengan kesal. Mencengkramnya erat seraya bangkit dari duduknya. Dikantungi kembali kotak cincin itu di saku celananya. Lalu saat itu, pandangannya menatap seisi ruang rumahnya.
Jujur saja, ia memang bukan tipe pria romantis seperti dalam film atau novel yang pernah dibacanya. Ia hanya seorang laki-laki yang jatuh cinta pada seorang wanita, dan kini ia merasa terlalu bodoh karena tak tahu harus melakukan apa untuk menawan hati wanitanya. Yang ia tahu, wanitanya itu begitu menyukai bunga. Dan ia hanya bisa menghias ruangan ini dengan ratusan bunga beraneka warna. Hanya disisakan sedikit saja celah diruangan itu untuk berjalan. Ia tak tahu apakah ini sudah cukup romantic? Atau justru berlebihan? Apakah ia masih punya wkatu untuk mendekor ulang?Sayang, tepat saat itu sebuah suara bel rumahnya menyusup masuk ketelinganya dan membuatnya berputar menatap pintu rumahnya. Perempuan itu, sudah berada di depan pintu rumahnya. Dan, Raynald hanya bisa pasrah tentang ruangan yang terlihat cheesy. Ia hanya mampu berjalan pasrah menghampiri pintu rumahnya. Tak lama, seseorang yang ditunggu-tunggunya itu kini sudah berada di depan matanya.“Hai,” sapa Raynald kikuk, dengan sengaja memosisikan dirinya di tengah-tengah dengan ganggang pintu yang masih digenggamnya dan tubuhnya yang menempel rapat pada daun pintu. Seolah tak memberi celah pada kekasihnya itu untuk mengintip ke dalam.“Hai.”Perempuan itu menangkap ada yang aneh dengan Raynald. Ia menatap pria itu dengan mata memicing. “gak boleh masuk?” tanyanya.
“Ah, eng.. iya, boleh.” Raynald menggaruk tengkuknya, kebiasaannya jika gugup. Dan ragu-ragu membuka lebar pintu di sisi tubuhnya. Perlahan, ia menggeser tubuhnya hingga nampaklah pemandangan itu di depan mata wanitanya. Raynald menunduk dalam. Hingga tak melihat keterkejutan di mata perempuan itu. Ia menerobos masuk. Melewati tubuh Raynald yang masih mematung di depan pintu. Menatap sekeliling ruangan tanpa berkedip. Seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi diurungkan. Ia beralih menatap Ray yang saat itu tengah berdiri kaku. Tangannya dijejalkan kedalam saku celananya, dan ia terlihat begitu ... gugup.
“Aneh ya?” Tanya Raynald tak percaya diri. “Yang aku tahu, kamu suka banget sama bunga, jadi ….” Raynald merentangkan kedua tangannya. Bingung hendak mengatakan apa untuk menutupi rasa gugupnya.Pagi tadi, ia hanya meminta perempuan itu datang ke rumahnya malam ini untuk makan malam bersamanya. Tanpa memberi tahunya tentang rencana ratusan bunga itu. Ia membasahi bibirnya yang terasa kering dan menatap perempuan itu yang masih berdiri di ujung sana. Dan, ketika perempuan itu tersenyum Ray merasa semuanya menjadi tepat.
Ia tak tahu kapan pastinya, senyum perempuan itu sungguh selalu berhasil membuatnya menjadi lebih tenang. Ketulusan yang selalu terpancar dari mata dan senyuman itu membuatnya selalu merasa nyaman berada di samping perempuan itu. “kamu … suka?” tanyanya hati-hati. Kali ini rasa percaya dirinya mulai tumbuh sedikit demi sedikit. Perempuan itu mengangguk beberapa kali. Dan tanpa sadar hal itu membuatnya mengembuskan napas lega dan mengelus dadanya. Seharusnya ia tahu, kekasihnya ini akan selalu menghargai setiap usaha yang ia lakukan. Setidaknya begitulah yang ia tahu dari mengenal Laura selama dua tahun ini dan membuatnya yakin untuk menyematkan cincin sacral di jari manisnya. “Kamu yang buat semua ini?” tanya Laura sambil melangkah mendekati Raynald. Menggamit lengannya dan menggiring langkahnya. Laki-laki itu mengangguk sekali. “Dan makan malam ini juga aku yang masak. Special untuk kamu.” Laura menghentikan langkahnya dan menatap beberapa hidangan yang ada di atas meja makan. Ia terlalu tersanjung dengan ratusan bunga yang ada di ruangan itu. Sampai ia tak memerhatikan, ada satu hal lagi yang harus membuatnya merasa tersanjung. Laura tersenyum hangat dan kembali menatap kekasihnya. “kamu bisa masak? aku gak tahu lho kamu bisa masak. Selama dua tahun ini.” Laura menekan kata dua tahun dalam kalimatnya. Raynald sedikit merasa tersinggung atas keraguan samar yang terlontar dari pertanyaan gadis itu.“Wow, terimakasih atas keraguan kamu.” Laura tersenyum mendengar nada kekesalan dari kalimat Raynald. “Mungkin sebaiknya kita makan sekarang supaya kamu bisa lihat betapa hebatnya kekasih kamu ini.”Raynald bergerak kebelakang tubuh gadis itu dan mendorong bahunya lembut. Menggiring langkahnya mendekat ke meja yang sudah penuh sesak dengan makanan buatannya dan mendudukan Laura di atas karpet kemudian ia sendiri duduk di hadapannya.
“Oke, mari kita lihat betapa mengagumkannya kekasih kamu ini,” ucap Raynald penuh percaya diri sembari mengosok kedua telapak tangannya penuh antusias. Laura tertawa mendengar kesombongan Raynald yang seolah tak ingin diremehkan.“Oke. Mari kita lihat.” Laura mengambil beberapa makanan dan diletakkannya di atas piring. Raynald mengamatinya dengan serius saat satu suapan masuk ke dalam mulut gadis itu. Laura mengunyahnya perlahan, ia memutar bola matanya ke atas. Terlihat seolah sedang berfikir keras. Lalu ia kembali menatap Raynald yang tengah berharap-harap cemas menantikan komentarnya. diletakannya sendok di atas piringnya. Ia mencondongkan tubuh dan menatap Raynald lekat-lekat. “Aku memang gak pernah bisa nolak sama pesona kamu, Rey,” ujar Laura dengan jujur. Ia tersenym, dan Reynald mendapati dirinya lagi-lagi jatuh cinta pada senyum itu. Salah satu hal yang disukainya dari Laura selain kesederhanannya, Laura adalah orang yang tak bisa menutupi perasaannya. Laura akan bilang suka kalau ia memang suka dan hal itu akan terpancar di wajahnya yang seolah bersinar dengan mata berbinar. Dan sebaliknya, kalau ia tak suka, itu pun akan terpancar dari wajah dan matanya. Jadi, ketika Laura memujinya malam ini, Raynald akan dengan suka rela memercayainya.“Enak banget lho ini, kok kamu gak pernah bilang sih ke aku kalau bisa masak?” Laura sedikit tak terima dengan fakta yang baru saja ia tahu tentang kekasihnya. Tapi tetap saja, meski sebal, Laura tak mau melewatkan kesempatan memakan makanan enak yang terhidang hanya untuknya. Ia kembali mengambil beberapa makanan dan meletakannya di atas piring. Kali ini dengan porsi yang sedikit lebih banyak dari sebelumnya. Mendengar kekesalan itu, Raynald tersenyum dan mengedikkan bahu. Ia lantas mengikuti Laura, mengambil beberapa makanan dan meletakannya di atas piring miliknya. “Ya, karena aku suka dimasakin sama kamu.” Laura mendengkus, tapi tak kuasa menahan senyum mendengar pengakuan Raynald yang begitu murahan. Ia tak tahu mengapa laki-laki ini berubah jadi romantis. Seingatnya, Raynald adalah tipe laki-laki apa adanya yang sulit sekali untuk sekadar memuji kecantikan pasangannya. Ray bukan cuek, hanya saja ia terlalu malu untuk bersikap manis. Dan justru itulah yang membuat Ray semakin manis di mata Laura. Raynald membantu Laura membereskan sisa makan malam mereka. Meletakan beberapa lauk yang masih bersisa ke dalam lemari pendingin dan mencuci bekas piring makan mereka. Laura tengah menyiapkan kopi untuknya ketika ia dengan pikirannya tengah menunggu perempuan itu di ruang tengah. Tv sengaja dibiarkan menyala untuk menutupi kegugupannya. Beberapa kali ia menarik napas dengan gusar dan mengembuskannya dengan perlahan, mencoba meredam seluruh perasaannya yang tak menentu. “Kopi.”Suara Laura memecah seluruh fokus Raynald. Ia kesal karena Laura telah menghancurkan kalimat-kalimat di dalam kepalanya yang berusaha ia susun. Suasana ruangan itu kini berubah sunyi. Keduanya tengah sibuk dengan pikiran masing-masing. Raynald dengan rencananya, sementara Laura hanya terlihat begitu sibuk menikmati coklat hangat yang dibuatnya beberapa menit lalu. Kemudian, tiba-tiba saja Raynald merasa harus menyelesaikan ini semua. Ia tak mau menunggu lebih lama lagi. Ia ingin segalanya cepat jelas. Maka setelah merasa benar-benar siap, Raynald melepaskan cangkir kopinya dan meletakkannya di atas meja, kemudian ia memutar tubuhnya untuk dapat bisa berhadapan dengan Laura. Ditangkupnya cangkir coklat milik Laura, membuat perempuan itu menoleh. Lantas digiringnya tangan Laura untuk melepaskan benda itu di atas meja. Laura yang melihat Raynald nanmpak serius, melakukan perintah laki-laki itu tanpa banyak protes. Namun tetap saja, matanya menatap Ray dengan penuh Tanya yang butuh penjelasan.“Lau.” Laura menatap laki-laki di depannya dengan serius. Seserius Raynald yang terlihat nampak tegang dan … gugup. “Kenapa, Ray?” tanyanya singkat. Jujur, ada perasaan takut yang mendadak menelusup ke dalam hati Laura ketika melihat Raynald tak juga melanjutkan kalimatnya. Biasanya, dari beberapa buku dan film yang pernah dibacanya dan ditontonnya, jika seorang pria bersikap seperti ini, kemungkinan akan ada dua hal yang terjadi, pertama dia akan melamarmu, atau kedua dia akan memutuskanmu. Dan Laura benar-benar takut kalau sampai point kedualah yang akan terjadi. Tapi, bukankah malam ini terlalu romantis untuk memutuskan sebuah hubungan? Jadi, Laura hanya bisa berharap kemungkinan kedualah yang akan terjadi.Raynald tak terlihat ingin menjawab. Tapi, ia merogoh saku celananya hendak mengeluarkan benda keramat yang akan diberikannya pada Laura. Benda yang akan mengikat mereka berdua. Benda yang akan menciptakan keegosian untuk memiliki. Diam-diam, Laura mengamati gerak-gerik Raynald. Pandangannya turun ke tangan laki-laki itu yang tengah sibuk merogoh saku celananya.
Namun, sebelum Raynald sempat mengeluarkan isi sakunya, benda yang berada di dalam saku Raynald yang satu lagi bergetar. Membuat laki-laki itu sedikit tersentak dan secara spontan melepaskan kotak cincin itu di dalam sakunya dan beralih merogoh saku yang satu lagi. Ia mengeluarkan ponsel itu dan membaca deretan nomer yang sangat ia hafal meskipun tak ada deretan huruf yang membentuk sebuah nama di layar ponselnya. Laura menangkap raut wajah Raynald berubah seketika. Terlihat bingung sekaligus ragu. Ekspresi yang menarik rasa penasarannya.
“Siapa?” tanyanya. Laura lupa, apakah ia menanyakan hal itu dalam suara yang begitu keras? Atau apakah ia menanyakan pertanyaan itu begitu tiba-tiba? Hingga membuat Raynald tersentak dan tergagap?“Ha? Emm ... itu ….” laki-laki itu membasahi bibirnya sementara Laura menunggu jawaban yang jelas darinya. Namun, bukan lagi jawaban yang didapatnya. Raynald malah bangkit dari tempatnya.“Tunggu sebentar,” pintanya pada Laura yang terlihat penasaran. Tapi Rayndal seolah tak mengindahkan rasa penasaran yang jelas tarpancar di raut wajah Laura. Laki-laki itu segera menjauh dari Laura. Ia berjalan mendekati jendela dan menjawab panggilannya di sana. Raynald memang tak dengan sengaja mengecilkan volume suaranya. Namun Laura tetap saja tak dapat mencerna apa yang mereka bicarakan karena Raynald lebih sering bergumam.
“Halo. Saya sedang di rumah. Oh gak, gak sama sekali. Emm iya ... oke..” hanya kata-kata kecil seperti itu. Laura hendak mengabaikannya. Ia memutar tubuhnya kembali menghadap meja dan mengulurkan tangannya hendak mengambil kembali cangkir miliknya ketika ia dikejutkan dengan suara pekikan Raynald.“Apa?!” Laura tersentak dan dengan spontan melepaskan sendoknya. Ia menatap Raynald yang kini tengah memunggunginya.“Sekarang dia dirawat di mana?” Laura menautkan alisnya. Dirawat? Siapa yang dirawat? Siapa yang sakit? Ia bangkit dan mencoba mendekati Raynald dengan hati-hati. Takut mengganggu pembicaraan laki-laki itu dengan seseorang di seberang sana. Ketika Raynald menyudahi pembicaraannya, laki-laki itu memutar tubuhnya dengan cepat namun seketika berhenti bergerak saat mendapati Laura berdiri di hadapannya. Astaga, keluhnya dalam hati. Ia bahkan melupakan perempuan ini untuk beberapa saat yang lalu. “Kenapa, Ray? Siapa yang sakit?” tanya Laura di tempatnya ketika Raynald mengakhiri panggipannya. Dari jaraknya, Laura dapat menangkap raut gelisah, khawatir dan ketakutan menjadi satu di wajah kekasihnya saat ini.
Raynald tak menjawab. Ia bukan tak mau menjawab, hanya saja ia merasa bukan saatnya untuk menjelaskan saat ini. Ia mengembuskan napas dengan gusar dan berjalan cepat mendekati Laura. Berdiri pada jarak yang begitu dekat dengan wanitanya. Dicengkramnya kedua bahu gadis itu dan menatapnya dengan lembut. Namun kegelisahan itu tetap tak dapat dipungkiri oleh sorot mata Raynald.
“Lau, dengerin aku. Aku minta maaf karena malam ini aku gak bisa lebih lama sama kamu. Aku harus pergi. Dan, aku belum bisa jelasin sekarang. Tapi setelah ini, aku pasti akan jelasin semuanya ke kamu. Oke?”Dan sebelum Laura sempat menjawab, Raynald melepaskan cengkraman di bahunya dan tubuhnya yang menjulang berjalan cepat melewati Laura dengan setengah berlari. Laura memutar tubuhnya dan menatap punggung kokoh itu terlihat begitu tergesa-gesa. Menarik kuci mobil yang sejak tadi diletakkannya di atass nakas.
“Aku pergi dulu,” pamit Raynald. ***Raynald menutup pintu mobilnya dengan kencang dan segera melesat memasuki rumah sakit. Ia berhenti sejenak. Menatap sekeliling rumah sakit yang penuh dengan orang yang berlalu lalang. Bangsal VIP 2. Ia harus menayakan tempat itu berada di mana untuk dapat menemukan seseorang yang ia cari. Dan ketika itu, tatapannya tertuju pada seorang dokter yang dilehernya tegantung stetoskop. Dokter itu tengah berbicara dengan seorang perawat yang tak dapat Raynald dengar. Dan seolah tak peduli, Raynald berlari menghampiri mereka.“VIP 2?” tanya Raynald begitu tiba-tiba. Menimbulkan keterkejutan dari kedua orang yang dihampirinya.“VIP 2?” tanya Raynald sekali lagi saat kedua orang di depannya tak menunjukkan tanda-tanda untuk menjawab pertanyaannya. Dan seolah tersadarkan, dokter dan perawat tersebut menunjukkan Raynald jalan menuju bangsal ruang VIP 2. Segera Raynald kembali berlari menuju arah yang ditunjukkan kedua orang tadi. Ia b
Raynald mendapati rumahnya telah kosong dan kembali sunyi. Laura telah pulang. Mungkin beberapa jam yang lalu, atau mungkin saja bebebarap menit yang lalu. Dan membayangkan Laura yang menunggunya di sini sendirian, telah membuatnya merasa bersalah. Ia menatap seisi rumahnya. Puluhan bunga masih terpajang di sana. Bukankah seharusnya malam ini adalah malam terpenting bagi mereka berdua? Bukankah seharusnya malam ini dia bisa melihat air mata bahagia dari Laura? Bukankah seharusnya ia menghabiskan waktunya bersama Laura malam ini?Raynald menjambak rambutnya frustasi. Dan dengan kasar ia menendang sebuah bunga yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Merasa kesal dengan apa yang sudah ia lakukan malam ini pada Laura. Ia berjalan mendekati sofa dan melemparkan jasnya di sana. Menghempaskan tubuhnya yang terasa begitu lelah. Namun tak berapa lama, Raynald bangkit dengan cepat. Merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel di sana.“kamu sudah t
Jika ada sebuah pertanyaan yang terlontar saat ini, siapa di antara mereka yang paling sakit saat menerima kenyataan Alexa kehilangan sebagian ingatannya? Ibu Lexa? Wanita paruh baya yang tak henti-hentinya menunggu anaknya segera sadar dari tidur panjangnya? Raynald? Mantan kekasih Alexa yang kini harus berlakon sebagai kekasih gadis itu kembali? Atau Laura? Kekasih Raynald yang sepertinya harus merelakan waktu dan perhatian Raynald terbagi dua setelah ini.Mungkin, di antara tiga orang itu, akan muncul satu orang lagi yang merasa paling terluka. Paling hancur hatinya. Paling tak dapat berpikir jernih. Dylan. Pria berkemeja putih yang muncul di hari Alexa terbangun. Tunangan Alexa. Laki-laki itu akan menerjang barisan Ibu Alexa, Raynald dan juga Laura untuk berdiri paling depan dan memenangkan rasa sakit paling hebat.Dua tahun lamanya, ia merasa mengawang. Bagai hantu yang tak berpijak pada tanah bumi, saat mendapati tubuh Alexa terbujur tak berdaya di kasur rumah sa
Jika ada sebuah pertanyaan yang terlontar saat ini, siapa di antara mereka yang paling sakit saat menerima kenyataan Alexa kehilangan sebagian ingatannya? Ibu Lexa? Wanita paruh baya yang tak henti-hentinya menunggu anaknya segera sadar dari tidur panjangnya? Raynald? Mantan kekasih Alexa yang kini harus berlakon sebagai kekasih gadis itu kembali? Atau Laura? Kekasih Raynald yang sepertinya harus merelakan waktu dan perhatian Raynald terbagi dua setelah ini. Mungkin, di antara tiga orang itu, akan muncul satu orang lagi yang merasa paling terluka. Paling hancur hatinya. Paling tak dapat berpikir jernih. Dylan. Pria berkemeja putih yang muncul di hari Alexa terbangun. Tunangan Alexa. Laki-laki itu akan menerjang barisan Ibu Alexa, Raynald dan juga Laura untuk berdiri paling depan dan memenangkan rasa sakit paling hebat.
Selama dua tahun waktu yang telah ia habiskan bersama Raynald, Laura tak pernah sekali pun merasa semencekam ini saat bersama dengan laki-laki itu. Dua puluh menit yang lalu, laki-laki itu mengiriminya pesan singkat bersifat memaksa bahwa ia akan menjemput Laura di tempatnya bekerja di L.A Desgin. Ia tak bertanya apa Laura membawa kendaraan atau akan pulang jam berapa? Ia hanya memutuskan. Tanpa memberi pilihan. Dan kini, di sini lah mereka. Duduk membeku di dalam mobil. Laura tak berani mengganggu Raynald yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Menatap serius jalan di depannya seolah Laura tak pernah ada di sana. Ia penasaran. Apa sebenarnya yang ada di kepala laki-laki itu? Apa sebenarnya yang sedang menghantui pikirannya hingga untuk sekedar meliriknya pun ia lupa. Sebenarny
Bab 8Laura tak ingin mengingat perasaannya saat kenyataan itu dibeberkan di hadapannya.“Kamu ingat Lexa,’kan? Mantan aku, tiga tahun lalu.”Demi Tuhan, Laura merasa tak perlu diingatkan akan hal itu. Perasaannya sudah cukup mendung saat ini. Dan Raynald tak perlu mengiris hatinya lebih dalam lagi. Bagaimana ia bisa melupakan Alexa? Perempuan yang sudah membuat Laura begitu sulit masuk ke dalam kehidupan Raynald. Ia tahu, Alexa dan Raynald pernah menjalin kasih begitu lama hingga membuat laki-laki itu begitu sulit melupakannya.“Dua tahun lalu
Laura merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Satu setengah jam berada di dalam ruang studio dan membantu para model untuk melakukan sesi foto, ternyata cukup berhasil membuat seluruh ototnya terasa tegang dan kaku.“Laura.” Panggil seseorang di belakang Laura dengan suara yang begitu melengking. Laura berputar cepat dan menemukan Alice, rekan kerjanya, yang tengah berlari kecil mencoba menyamakan langkah dengan dirinya. Ia merangkul bahu Laura dengan santai.“Mau pulang langsung?” tanya Alice to the point. Laura mengangguk mantap.“Capek banget rasanya hari ini. Mau cepat-cepat istirahat,” jawab Laura. Alice melepaskan rangkulannya dan menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Membuat Laura ikut menghentikan langkahnya dan menatap Alice.
Laura tak pernah menyangka bahwa mobil yang menggilas jalanan ibu kota dengan kejam itu akan berhenti di depan sebuah tempat berpenerangan lebih redup dari tempat sebelumnya. Tempat itu begitu kecil. Mungkin hanya sukuran kamarnya. Di atas pintunya, terpampang sebuah papan kayu yang dihiasi lampu-lampu kecil warna warni bertuliskan Portgas D.Ace. Dari pintu kacanya, Laura dapat melihat hanya ada tiga meja bulat dengan dua kursi di masing-masing meja. Dan di depan sana, ada sebuah meja panjang yang melingkar. Dengan seorang bar tander di baliknya.Keduanya keluar dari dalam mobil. Raynald sepertis sudah terbiasa dengan tempat itu. sementara Laura, ia masih tak percaya akan menginjakkan kaki di tempat ini, bar. Tempat yang tak pernah ia mau kunjungi selama hidupnya. Dan malam ini, ia melanggar sumpahnya. Ia mencoba bern