Raynald menutup pintu mobilnya dengan kencang dan segera melesat memasuki rumah sakit. Ia berhenti sejenak. Menatap sekeliling rumah sakit yang penuh dengan orang yang berlalu lalang. Bangsal VIP 2. Ia harus menayakan tempat itu berada di mana untuk dapat menemukan seseorang yang ia cari. Dan ketika itu, tatapannya tertuju pada seorang dokter yang dilehernya tegantung stetoskop. Dokter itu tengah berbicara dengan seorang perawat yang tak dapat Raynald dengar. Dan seolah tak peduli, Raynald berlari menghampiri mereka.
“VIP 2?” tanya Raynald begitu tiba-tiba. Menimbulkan keterkejutan dari kedua orang yang dihampirinya. “VIP 2?” tanya Raynald sekali lagi saat kedua orang di depannya tak menunjukkan tanda-tanda untuk menjawab pertanyaannya. Dan seolah tersadarkan, dokter dan perawat tersebut menunjukkan Raynald jalan menuju bangsal ruang VIP 2. Segera Raynald kembali berlari menuju arah yang ditunjukkan kedua orang tadi. Ia bahkan tak sempat mengucapkan terimaksih.Raynald berhenti didepan sebuah lift yang sedang tertutup rapat. Dan dengan tanpa sabar, ia menekan tombol lift yang berada di depannya beberapa kali. Bunyi dentingan kecil diiringi dengan pintu lift yang perlahan terbuka, menelusup masuk ketelinga Raynald. Dengan kesal, ia membuka paksa pintu lift itu dan segera masuk ke dalamnya dan kembali menekan tombol yang berjejer disana. Seketika lift membawanya pergi.
Bunyi dentingan itu kembali terdengar. Kali ini lift telah membawa Raynald ketempat yang diinginkannya. Pintu kembali terbuka, dengan cepat Raynald melesat dan saat ia hendak kembali berlari, langkahnya seketika terhenti saat ia menangkap sosok yang tak asing di matanya.
Wanita itu duduk di ujung sana pada salah satu kursi jenguk di depan sebuah kamar yang tertutup. Menangkupkan wajahnya dengan kedua tangannya. Ia terlihat lelah. Tiga tahun lalu, wanita ini adalah salah satu bagian dari hidupnya. Seseorang yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Wanita yang memberikannya cinta kasih tak kalah besarnya seperti pada anaknya sendiri. Namun setelah tiga tahun, perlahan waktu membawa kenangannya akan wanita ini menjauh hingga tak teraba lagi. Ia terlalu larut dengan dunia barunya. Hingga lupa pada wanita tempatnya mendapat cinta seorang ibu. Dan tanpa ia sadari, ia merasa rindu pada sosok itu. Perlaha, Raynald melangkah kembali dan tak berapa lama dirinya kini tengah berdiri di depan wanita yang terlihat semakin menua itu.
Seolah sadar akan kehadiran seseorang di hadapannya, wanita itu mengangkat wajahnya yang tengah berurai air mata. Menatap Raynald dengan kesedihan. Tanpa mampu menutupi kepedihan hatinya, wanita itu bangkit dan memeluk Raynald erat. Menumpahkan segala rasa sesak di dadanya. Sebisa mungkin Raynald mencoba menenangkan wanita dalam pelukkannya itu.
***
Raynald meletakkan cangkir kopi hangat di atas meja. Menatap cangkir kopi itu membuat ingatannya melayang ke beberapa waktu lalu. Satu jam yang lalu, ia duduk berdua bersama Laura dengan secangkir kopi yang bahkan baru dicecapnya sekali. Bagaimana perempuan itu? Apakah ia sudah pulang? Raynald bahkan tak sempat mengantarnya kembali ke rumah. Ia hanya bisa berharap, Laura mau menegrti dan tak marah padanya.
Ia kembali mengalihkan perhatiannya pada wanita di depannya. Wanita itu menangakat wajahnya menatap Raynald dengan senyum tulus.“Jadi, kenapa Ibu gak ngabari saya sebelumnya?” Raynald mencoba membuka percakapan. Meminta penjelasan atas cerita singkat yang didengarnya lewat telepon beberpa jam lalu. Wanita itu menatap Raynald suram. Terlihat ia seperti tak pernah tidur beberapa hari ini.
“Ibu hanya takut ganggu kehidupan kamu.”
“Ibu ngomong apa sih? Ibu sudah saya anggap seperti Ibu saya sendiri. Dan gak seharusnya antara ibu dan anak ada kata mengganggu,” ucap Raynald yang merasa sedikit tersinggung dengan jawaban yang didengarnya. Wanita itu tersenyum dan mengangguk sekali. Membenarkan pernyataan Raynald.
Namun tetap saja, hatinya merasa tak enak. Bahkan sampai beberapa jam lalu sebelum ia menghubungi Raynald. Ia harus berpikir ribuan kali untuk dapat menekan tombol panggil di ponselnya yang tua.
“Sudah berapa lama?” Raynald kembali bertanya. Wanita itu kini tak menatapnya. Beliau terlihat sibuk menatap cangkir kopi di hadapannya.
“Dua tahun. Sudah dua tahun yang lalu sejak kecelakaan yang dialami Alexa dan membuatnya koma.”
Raynald merasa tubuhnya membeku mendengar jawaban wanita di hadapannya ini barusan. Ia menyandarkan punggungnya pada punggung kursi dibelakangnya dengan lunglai.
“Dan saya nggak tahu apa-apa?” Raynald bergumam pada dirinya sendiri. Tapi ternyata, wanita di hadapannya itu justru merasa kalimat Raynald tadi sebagai ungkapan kekecewaannya.
“Ibu minta maaf karena gak memberi kabar sebelumnya dan justru datang disaat seperti ini. Tapi Raynald ….” wanita itu menggantungkan kalimatnya dan kembali, air mata itu tumpah begitu saja. Dengan cepat wanita itu menghapusnya dan kembali melanjutkan kalimatnya.
“Ibu benar-benar minta maaf kalau ibu harus minta bantuan kamu saat ini. Mungkin ini akan berat untuk kamu. Tapi hanya kamu yang bisa membantu ibu saat ini. Membantu Alexa.” Raynald mengerutkan kening dan mencondongkan tubuhnya lebih dekat. Memasang telinganya lekat-lekat agar tak terlewat satu kata pun.
“Lexa mendapat benturan keras di kepalanya. Dan benturan itu menyebabkannya kehilangan sebagaian ingatannya. Dia melupakan kejadian 2 tahun ini dan hanya mengingat kejadian tiga tahun sebelum kecelakaan .…”
Raynald mengerutkan kening dan menegakkan tubuhnya kembali. “Tunggu dulu.” Ia lantas memotong penjelasan ibu Alexa. Seolah menangkap apa maksud dari penjelasan itu. “jadi, maksud ibu, Lexa masih mengira kalau … saya adalah kekasihnya?” tanya Raynald dengan hati-hati. Memastikan apa yang ditangkap otaknya. Seolah takut pada kenyataan yang akan ia terima. Dan ternyata, ketakutannya benar-benar terjadi saat wanita di hadapannya itu mengangguk dengan lemah. Raynald kembali menyandarkan punggungnya di punggung kursi. Bahunya melesak atas kenyataan baru yang didengarnya."Amnesia anterograde. Alexa mengidap itu."
“Apa nggak bisa dijelaskan baik-baik?”
“Dokter bilang, selain amnesia, Lexa tidak boleh terlalu shock. Akibat dari benturan itu, sudah mengganggu pembuluh darah di otak Lexa. Dan jika dia berada dalam satu keadaan yang membuatnya terlalu shock, dia ….” wanita itu menggantung kalimatnya. Mengusap wajahnya yang letih dengan kedua tangannya. Membuat Raynald berharap-harap cemas menantikan kelanjutannya.
“Pembuluh darah di kepalanya bisa saja pecah sewaktu-waktu dan bila itu terjadi, Lexa tidak akan tertolong.”Bak mendapat sengatan listrik ribuan volt, jantungnya seakan melemah. Sekujur tubuh Raynald seolah tak bertulang. Lemas dan tak mampu menahan berat tubuhnya. Bahkan ia tak mampu lagi berfikir jernih. ‘hidup Lexa tidak akan tertolong.’ Hanya kalimat itu yang terus terngiang di telinganya dan seakan-akan semakin membuat denyut jantungnya melemah. Ia menatap wanita di depannya itu dengan pandangan menerawang. Entah apa yang harus dikatakannya. Segala kalimatnya menguap begitu saja. Kini ia merasa bagaikan seorang bayi yang belum mengenal kata. Hanya bisa diam dan tak tahu harus bicara apa untuk menggambarkan rasanya saat ini. Apa yang akan kamu lakukan jika berada diposisi ini? Lari tak peduli? Atau diam mengikuti permainan dan mengabaikan hatimu? Raynald benar-benar berantakan. Bukan saja tak tahu harus bicara apa, ia pun tak tahu harus bertindak seperti apa? Egoiskah ia bila saat ini yang ada di kepalanya adalah justru Laura? Wanitanya. Kekasihnya. Bukan Lexa yang membutuhkan pertolongannya. Bukan kesehatan gadis itu. Bukan pula nyawa gadis itu. Baru kali ini Raynald merasa tak mampu menentukan keputusan. Ia terlalu terkejut. Hingga otak jeniusnya tak bisa bekerja seperti biasanya.Raynald memaksakan dirinya menginjak bumi kembali saat suara isakan dari ibu Lexa mulai mengusik segala gambaran tak beraturan di kepalanya. Perlahan, Raynald mengalihkan perhatiannya pada wanita itu. Wanita yang tengah menangis tersedu-sedu. Yang terluka hatinya karena tak tahu harus berbuat apa untuk menolong nyawa anaknya.
“Ibu, minta maaf kalau ibu harus meminta permintaan yang begitu berat ini, nak,” sesal wanita itu ditengah isakannya. “Tapi ibu benar-benar putus asa dan butuh bantuan kamu. Ibu gak mau kehilangan Alexa.”
Raynald tak dapat mencegah keinginannya untuk meraih tangan yang mulai mengeriput itu dan menggenggamnya erat. Dingin. Hanya itu yang dirasakan Raynald saat tangannya menyentuh tangan itu. wanita itu menatap Raynald dengan sendu.
“Saya tahu. Bukan hanya ibu yang tidak ingin kehilangan Alexa. Saya pun tidak pernah ingin. Saya hanya ingin Alexa bahagia. Tapi ....” kali ini, justru Raynald yang menggantungkan kalimatnya. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan kotak cincin yang tadi hendak diberikannya pada Laura. Betapa terkejutnya wanita di hadapan Raynald saat laki-laki itu meletakan kotak kecil berwarna merah tua itu di atas meja. Beliau menatap kotak cincin itu dan Raynald secara bergantian, meminta penjelasan atas apa yang diterkanya.
“Sebenarnya, malam ini saya berniat melamar kekasih saya.” Raynald menatap kotak cincin itu dengan nanar. Teringat akan tujuannya malam ini untuk mempersunting Laura yang tentu saja hanya menjadi rencana belaka. Lalu pandangannya teralih pada wanita di hadapannya. Yang masih terlihat shock dengan kenyataan yang dibawa Raynald.
“Ibu tahu, betapa saya mencintai wanita itu dengan sepenuh hati saya. Saya sama sekali tidak ingin melukainya. Tapi ….” Raynald mengembuskan napasnya begitu berat seolah beban yang diterimanya telah menutup seluruh jalan pernapasannya. Dipejamkannya mata sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. Kemudian, kembali diraupnya seluruh udara yang ada di sekitranya.
“Saya akan membantu Lexa. Saya akan berpura-pura menjadi kekasihnya dan kembali ketiga tahun lalu dan membantu Lexa memulihkan kembali ingatannya. Tapi saya minta waktu. Kasih saya waktu untuk menjelaskan semuanya pada Laura. Calon tunangan saya,” tutup Raynald. Merasa tak enak hati karena sudah menjadi pengganggu hubungan Raynald dengan kekasihnya, wanita itu hanya tertunduk malu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Seolah mengerti dengan apa yang dirasakan wanita itu, Raynald kembali meraih tangan keriput itu dan menggenggamnya. Membuat wanita itu mendongakkan kepalanya menatap Raynald.
“Dia wanita yang luar biasa baik. Saya yakin dia akan mengizinkan saya untuk membantu Alexa.”
Airmata kembali tumpah di wajah yang mulai mengeriput itu saat Raynald mencoba untuk meyakinkan dirinya. Entahlah, dia merasa seolah berada di sebuah jalan buntu dan hanya Raynald lah yang berada di sana. Hanya Raynald yang dapat membawanya keluar dari jalan itu tanpa peduli apa yang harus dilakukan laki-laki itu.
Dengan sangat terpaksa, wanita itu mengangguk lemah tanpa berani menatap mata Raynald. Ia terlalu merasa malu.***
Sudah dua puluh menit yang lalu sejak ibu Alexa meninggalkannya sendirian di kantin rumah sakit. Beliau harus cepat kembali ke kamar Alexa. Menjaga Alexa kalau-kalau gadis itu membutuhkan sesuatu. Wanita itu sempat mengajak Raynald untuk bertemu Alexa. Tapi Raynald menolaknya. Ia hanya merasa belum siap untuk melakoni peran menjadi kekasih Alexa kembali sebelum menceritakan hal ini pada Laura.Raynald menatap kotak kecil berwarna merah yang sejak tadi diletakkannya di atas meja. Ia benar-benar tak menyangka, malam pertunangan yang ia rencanakan akan berujung bencana seperti ini. Pertunangannya gagal sebelum ia sempat menyematkan cincin itu di jari manis Laura. Dan justru kini, sebuah bencana lain telah menunggunya.
Ia menenggak minumannya tanpa melepaskan pandangannya dari kotak cincin itu. Benar-benar merasa tak yakin atas keputusan yang akan dipilihnya. Membantu Lexa mendapatkan ingatannya kembali dengan berpura-pura menjadi kekasih dari gadis itu. Lalu bagaimana dengan Laura? Bagaimana perasaannya? Bagaimana jika dia merasa terluka dan memilih untuk ....
Raynald menggebrak meja dengan kesal. Meghentikan kemungkinan-kemungkinan yang ia ciptakan sendiri. Lalu, seolah tak peduli pada puluhan pasang mata yang menatapnya kesal, Raynald bangkit, menyambar kotak cincin itu, memasukkannya kembali ke dalam saku celana dan berjalan meninggalkan tempatnya. Saat ini, yang ada dikepalanya hanyalah secepatnya bertemu Laura. Bagaimana pun juga, ia harus segera memberi tahu gadis itu.
***
Raynald mendapati rumahnya telah kosong dan kembali sunyi. Laura telah pulang. Mungkin beberapa jam yang lalu, atau mungkin saja bebebarap menit yang lalu. Dan membayangkan Laura yang menunggunya di sini sendirian, telah membuatnya merasa bersalah. Ia menatap seisi rumahnya. Puluhan bunga masih terpajang di sana. Bukankah seharusnya malam ini adalah malam terpenting bagi mereka berdua? Bukankah seharusnya malam ini dia bisa melihat air mata bahagia dari Laura? Bukankah seharusnya ia menghabiskan waktunya bersama Laura malam ini?Raynald menjambak rambutnya frustasi. Dan dengan kasar ia menendang sebuah bunga yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Merasa kesal dengan apa yang sudah ia lakukan malam ini pada Laura. Ia berjalan mendekati sofa dan melemparkan jasnya di sana. Menghempaskan tubuhnya yang terasa begitu lelah. Namun tak berapa lama, Raynald bangkit dengan cepat. Merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel di sana.“kamu sudah t
Jika ada sebuah pertanyaan yang terlontar saat ini, siapa di antara mereka yang paling sakit saat menerima kenyataan Alexa kehilangan sebagian ingatannya? Ibu Lexa? Wanita paruh baya yang tak henti-hentinya menunggu anaknya segera sadar dari tidur panjangnya? Raynald? Mantan kekasih Alexa yang kini harus berlakon sebagai kekasih gadis itu kembali? Atau Laura? Kekasih Raynald yang sepertinya harus merelakan waktu dan perhatian Raynald terbagi dua setelah ini.Mungkin, di antara tiga orang itu, akan muncul satu orang lagi yang merasa paling terluka. Paling hancur hatinya. Paling tak dapat berpikir jernih. Dylan. Pria berkemeja putih yang muncul di hari Alexa terbangun. Tunangan Alexa. Laki-laki itu akan menerjang barisan Ibu Alexa, Raynald dan juga Laura untuk berdiri paling depan dan memenangkan rasa sakit paling hebat.Dua tahun lamanya, ia merasa mengawang. Bagai hantu yang tak berpijak pada tanah bumi, saat mendapati tubuh Alexa terbujur tak berdaya di kasur rumah sa
Jika ada sebuah pertanyaan yang terlontar saat ini, siapa di antara mereka yang paling sakit saat menerima kenyataan Alexa kehilangan sebagian ingatannya? Ibu Lexa? Wanita paruh baya yang tak henti-hentinya menunggu anaknya segera sadar dari tidur panjangnya? Raynald? Mantan kekasih Alexa yang kini harus berlakon sebagai kekasih gadis itu kembali? Atau Laura? Kekasih Raynald yang sepertinya harus merelakan waktu dan perhatian Raynald terbagi dua setelah ini. Mungkin, di antara tiga orang itu, akan muncul satu orang lagi yang merasa paling terluka. Paling hancur hatinya. Paling tak dapat berpikir jernih. Dylan. Pria berkemeja putih yang muncul di hari Alexa terbangun. Tunangan Alexa. Laki-laki itu akan menerjang barisan Ibu Alexa, Raynald dan juga Laura untuk berdiri paling depan dan memenangkan rasa sakit paling hebat.
Selama dua tahun waktu yang telah ia habiskan bersama Raynald, Laura tak pernah sekali pun merasa semencekam ini saat bersama dengan laki-laki itu. Dua puluh menit yang lalu, laki-laki itu mengiriminya pesan singkat bersifat memaksa bahwa ia akan menjemput Laura di tempatnya bekerja di L.A Desgin. Ia tak bertanya apa Laura membawa kendaraan atau akan pulang jam berapa? Ia hanya memutuskan. Tanpa memberi pilihan. Dan kini, di sini lah mereka. Duduk membeku di dalam mobil. Laura tak berani mengganggu Raynald yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Menatap serius jalan di depannya seolah Laura tak pernah ada di sana. Ia penasaran. Apa sebenarnya yang ada di kepala laki-laki itu? Apa sebenarnya yang sedang menghantui pikirannya hingga untuk sekedar meliriknya pun ia lupa. Sebenarny
Bab 8Laura tak ingin mengingat perasaannya saat kenyataan itu dibeberkan di hadapannya.“Kamu ingat Lexa,’kan? Mantan aku, tiga tahun lalu.”Demi Tuhan, Laura merasa tak perlu diingatkan akan hal itu. Perasaannya sudah cukup mendung saat ini. Dan Raynald tak perlu mengiris hatinya lebih dalam lagi. Bagaimana ia bisa melupakan Alexa? Perempuan yang sudah membuat Laura begitu sulit masuk ke dalam kehidupan Raynald. Ia tahu, Alexa dan Raynald pernah menjalin kasih begitu lama hingga membuat laki-laki itu begitu sulit melupakannya.“Dua tahun lalu
Laura merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Satu setengah jam berada di dalam ruang studio dan membantu para model untuk melakukan sesi foto, ternyata cukup berhasil membuat seluruh ototnya terasa tegang dan kaku.“Laura.” Panggil seseorang di belakang Laura dengan suara yang begitu melengking. Laura berputar cepat dan menemukan Alice, rekan kerjanya, yang tengah berlari kecil mencoba menyamakan langkah dengan dirinya. Ia merangkul bahu Laura dengan santai.“Mau pulang langsung?” tanya Alice to the point. Laura mengangguk mantap.“Capek banget rasanya hari ini. Mau cepat-cepat istirahat,” jawab Laura. Alice melepaskan rangkulannya dan menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Membuat Laura ikut menghentikan langkahnya dan menatap Alice.
Laura tak pernah menyangka bahwa mobil yang menggilas jalanan ibu kota dengan kejam itu akan berhenti di depan sebuah tempat berpenerangan lebih redup dari tempat sebelumnya. Tempat itu begitu kecil. Mungkin hanya sukuran kamarnya. Di atas pintunya, terpampang sebuah papan kayu yang dihiasi lampu-lampu kecil warna warni bertuliskan Portgas D.Ace. Dari pintu kacanya, Laura dapat melihat hanya ada tiga meja bulat dengan dua kursi di masing-masing meja. Dan di depan sana, ada sebuah meja panjang yang melingkar. Dengan seorang bar tander di baliknya.Keduanya keluar dari dalam mobil. Raynald sepertis sudah terbiasa dengan tempat itu. sementara Laura, ia masih tak percaya akan menginjakkan kaki di tempat ini, bar. Tempat yang tak pernah ia mau kunjungi selama hidupnya. Dan malam ini, ia melanggar sumpahnya. Ia mencoba bern
Alexa membuka matanya yang terasa begitu berat. Dan seketika ia diserang rasa pening yang hebat. menusuk-nusuk setiap syaraf di kepalanya dan memaksa matanya terpejam kembali dengan erat. Lagi, dengan hati-hati ia memncoba membuka matanya. Ia mendesah pelan. Ruang sempit ini lagi. Suasana putih ini lagi. Dan bau obat yang menyengat lagi. Ia sungguh mulai bosan. Sangat bosan. Sudah dua minggu berlalu sejak ia mulai membuka mata dan hanya bisa terbujur kaku di ranjang yang sempit. Ia sudah merasa seperti mayat yang bernapas. Iya, sudah dua minggu lamanya Alexa terbangun dari komanya. Dari tidur panjangnya. Setidaknya, itulah yang tiap hari ia dengar dari ibunya. Setiap kali Alexa membuka matanya, wanita yang sudah mulai menua itu tak hentinya berucap syukur karena Alexa tak tidur panjang lagi. Mungkin ibunya selalu diserang rasa takut yang hebat setiap kali ia t