LOGIN
“Pak, saya mohon jangan beri saya nilai D. Saya bisa remidi agar nilai saya tidak kurang.”
Di hadapan pria yang dijuluki dosen killer itu, Natasya memohon dengan wajah memelas, berharap agar dosennya sedikit berbelas kasih. Namun, Aron tampaknya tidak peduli. Wajahnya datar, kilat di matanya menunjukkan kejengahan yang begitu kentara. Di mata kuliah yang diajarnya, tidak pernah ada kata remidi. Nilai ujian jelek adalah mutlak kesalahan mahasiswa sendiri. Sebelumnya, nilai Natasya tidak pernah buruk. Namun, karena sang ibu jatuh sakit, Natasya tidak fokus belajar sehingga nilai ujiannya anjlok. “Pak Aron, saya mohon,” ujar Natasya sekali lagi. Kali ini suaranya bergetar hingga hampir menangis. “Mata kuliah Anda adalah mata kuliah wajib jurusan saya. Ka-kalau Anda memberikan nilai jelek, itu akan menghambat kelulusan saya dan—” “Itu urusanmu, bukan urusanku,” sela Aron dingin. Netranya menatap tajam, tak ada toleransi di raut wajahnya. Dunia Natasya benar-benar runtuh mendengar ketegasan dosennya itu. Ibunya selama ini mati-matian kerja keras mencari uang untuk biaya pendidikannya, lalu semua impian itu kandas hanya karena satu nilai jelek…. Mendadak, dada Natasya terasa sesak. Ia tahu ini bukan salah Aron, tapi tidak bisakah pria itu memberi kelonggaran sedikit saja? “Kenapa Anda kejam sekali, Pak?” tanyanya putus asa. Air matanya merembes keluar tanpa bisa dicegah. “Ibu saya sakit, saya benar-benar tidak fokus belajar.” Tapi Aron tetap tak mau peduli. Rautnya justru tampak mencela, jelas tidak percaya pada alasan mahasiswinya itu. “Di kampus ini ada berapa anak yang ibunya sakit, tapi mereka masih mendapatkan nilai bagus. Alasanmu sangat klise!” Suara bariton tegas Aron membuat Natasya terhuyung ke belakang. Tubuhnya seolah kehilangan tenaga. Sudahlah, mungkin ini sudah jalannya, terhambat lulus hanya karena sebuah nilai. Natasya menangis bukan karena ingin meminta simpati, tapi karena dia tak tahu harus bagaimana lagi. Senyum bangga ibunya terbayang. Wanita paruh baya itu sangat ingin melihatnya sukses. Netra Natasya kembali menatap Aron, nanar sekaligus penuh tekad. “Saya akan melakukan apa saja agar Pak Aron mengijinkan saya remidi,” ujarnya kemudian, mencoba peruntungan. Sesaat, Arom terdiam sambil menatap Natasya lekat. Melihat kegigihan mahasiswinya itu, ia merasa sedikit goyah. Entah kenapa, ada sedikit godaan untuk menguji sejauh mana Natasya serius dengan ucapannya. “Kamu akan melakukan apapun agar bisa remidi?” ulang Aron, menatap lurus ke arah Natasya. Natasya langsung mengangguk cepat, penuh harap. “Iya, Pak, saya akan melakukan apapun!” Tatapan tajam Aron membuat tubuh Natasya mendadak menggigil. Ada perasaan resah yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Apa yang akan Aron lakukan? Dosennya itu tidak sedang berpikir untuk membunuhnya kan? Atau… mengambil organnya untuk dijual? Atau melakukan hal buruk lainnya? Natasya seketika was-was sendiri. Agaknya tatapan tajam Aron menyapu semua keberaniannya. “Berubah pikiran?” tanya Aron dengan nada tegas sekaligus remeh. Gelengan ragu-ragu Natasya tunjukkan. Jika dia menyerah sekarang, nilainya akan tetap buruk. “Baiklah. Aku hargai kegigihanmu. Jika kamu memenuhi keinginanku, aku akan mengijinkan kamu remidi.” Akhirnya, es abadi itu sedikit mencair. Natasya yang sangat senang langsung tersenyum lega mendengarnya. “Lalu apa yang harus saya lakukan, Pak?” tanyanya kemudian. “Mudah saja,” sahut Aron sekenanya. “Cukup menjadi teman ranjangku.” Senyum di wajah Natasya perlahan menghilang, kakinya terasa sangat lemas hingga tangannya berpegangan pada meja. Wanita itu menatap Aron dengan nanar. Ini sama saja seperti keluar dari mulut buaya, tapi kemudian masuk ke mulut harimau! “Te-teman ranjang, Pak?” ulang Natasya, seolah tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. “Kenapa….” Air matanya merembes keluar lagi. Kali ini, dia menggeleng keras. Aron adalah pria beristri, kenapa masih menginginkan tubuhnya yang kecil ini? “Pak, moral Anda di mana? Bisa-bisanya Anda ingin menjadikan saya sebagai teman ranjang? Apa kata orang-orang?!” suara isak tangis mulai terdengar. Ia hanyalah seorang gadis yang ingin membahagiakan sang ibu, tapi kini diminta untuk memuaskan hasrat dosennya sendiri! Apa Aron sudah gila? “Aku hanya memberikan penawaran,” sahut Aron santai. “Kalau tidak mau, ya sudah.” Setelah mengatakan itu, Aron bangkit dari kursi dan mengambil tas jinjingnya. Senyum samar terbit di wajah tampan pria itu. Merasa menang karena sejak awal dia yakin kalau Natasya pasti akan menolak. Dan itulah yang Aron inginkan. Dia jadi tidak harus repot-repot mengadakan ujian ulang untuk mahasiswanya itu. Namun, semua bayangan itu runtuh begitu suara Natasya kembali terdengar. “Saya bersedia.” Tubuh Aron mematung, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Perlahan, netranya tertuju pada Natasya yang berdiri kaku. Gadis itu mengulangi ucapannya, dengan penuh keyakinan. “Saya bersedia menjadi teman ranjang Bapak.”Malam itu, Natasya terus saja memikirkan ciumannya bersama Aron, sampai-sampai dia tidak bisa tidur karenanya. Keesokan harinya, Natasya sangat gugup ketika Aron memanggilnya. “Masalah semalam jangan kamu pikirkan, semua karena ketidaksengajaan,” kata Aron sambil menatap Natasya lekat. “Baik, Pak,” sahut Natasya. Entah kenapa jantungnya masih berdebar-debar.Karena Aron ada urusan, dia meminjamkan buku-bukunya pada Natasya. Hal ini membuat Natasya senang tak karuan. Itu artinya, dia tidak perlu menghabiskan waktu bersama dosennya!“Pak Aron benar meminjamkan buku-buku ini?” tanyanya antusias. “Iya, kamu belajar sendiri di rumah,” jawab Aron singkat, berusaha mengalihkan perhatian dari wajah Natasya yang berseri-seri.Sementara itu, Natasya mematung. Sekilas, ia melihat Aron tersenyum. Dan itu membuat darahnya berdesir. Natasya tahu Aron memang tampan, tapi ia baru sadar Aron memang setampan itu….‘Andaikan dia masih lajang,’ gumamnya dalam hati.Sekian detik kemudian, Natasya sad
Melihat mata Aron yang sedikit basah, Natasya mengira Aron kesakitan.“Pak, sakit memang nggak enak. Bapak sabar ya, habis ini minum obat pasti sembuh,” ujar Natasya berusaha menenangkan. Dia tersenyum menatap Aron, mencoba memberikan semangat. Namun, Aron mendengus mendengar perkataan Natasya. “Aku tidak selemah itu,” sahutnya dingin. Gantian Natasya yang memberengut. Tidak selemah itu, tapi matanya berkaca-kaca! Dasar dosen killer pembohong!Usai menyuapi Aron, Natasya mengambil obat. Dia juga membantu pria itu meminum obatnya. “Sekarang Pak Aron istirahat, saya harus pulang,” kata Natasya kemudian. “Tapi boleh nggak Pak saya pinjam bukunya?” pintanya sambil tersenyum manis. Sepasang matanya tampak berbinar memohon pada Aron. “Kenapa tidak pinjam di perpus saja?” tanya Aron sambil mengernyit seolah tidak suka. Wanita itu menghela nafas. Materi yang Aron berikan tidak ditemui di buku manapun, termasuk buku di perpus. “Kalau ada saya pasti pinjam di perpus Pak, sayangnya tidak a
Suara lirih Natasya membuat Aron tersentak. Ia buru-buru mengambil jarak, memberi waktu bagi keduanya untuk menguasai diri.Ia menyerahkan buku itu pada Natasya, lalu duduk di salah satu meja yang kosong.Di dalam perpus itu, hanya ada mereka berdua. Natasya tampak bersemangat sekali, kejadian beberapa saat yang lalu seolah tak pernah terjadi. Namun, tiba-tiba wajahnya memucat saat membalik halaman buku. “Pak… untuk bab reproduksi apa harus dipraktekkan?” Sontak Aron melotot. Jurusan kedokteran memang seringnya melakukan praktek, tapi siapa pula yang terpikir untuk mempraktekkan langsung soal materi reproduksi? Apakah Natasya memang sepolos itu?“Kamu mau praktek?” Aron malah bertanya balik. Natasya menggeleng keras, “Tidak, Pak,” ujarnya sambil terkekeh canggung.Di materi itu banyak sekali hal-hal yang membuat Natasya penasaran, terutama alat kelamin lawan jenis.“Pak, saat dia membesar apa memang terasa sakit atau ngilu?” tanya Natasya dengan polosnya. Wajah Aron memerah ketik
Maksud Aron dengan kegigihan adalah harus belajar dengan sungguh-sungguh.Namun, Natasya menangkap hal lain. Kegigihan yang dimaksud ialah terus menjadi teman ranjang dosennya itu.Setelah jam kampus selesai, Natasya langsung pergi ke rumah Aron. Karena Aron belum tiba di rumah, Natasya menunggu dosennya itu di teras. Kebetulan rumah Aron adalah tipe perumahan cluster, jadi tidak memiliki pagar. Melihat tanaman yang kering, Natasya beranjak menyiramnya. Hingga suara mobil mengejutkannya. “Pak Aron, maaf saya sudah lancang.” Natasya buru-buru meletakkan selang air, lalu menunduk ketika Aron turun dari mobil. Pria itu hanya berdehem, lalu membuka pintu rumahnya. Seperti kemarin, setelah membersihkan diri, Aron berbaring di tempat tidur. Sementara Natasya masih di sofa menatapnya heran. “Pak apa yang harus saya lakukan?” tanyanya bingung. Ia benar-benar dalam urusan ranjang seperti ini.“Tunjukkan saja kegigihanmu.” Pria itu menjawab asal karena saat ini dia tengah membalas pesan
“Apa? Kamu… mau?” ulang Aron tak percaya. Kini dialah yang dibuat gugup dan bingung. Tadinya, Aron hanya ingin menguji sampai di mana kegigihan Natasya, tapi siapa sangka gadis itu justru menyetujui keinginan tak masuk akalnya? “Pikirkan kembali,” ujar Aron setelah menguasai diri dengan cepat. Ekspresinya kembali datar. “Sekali menjadi teman ranjangku, kamu tidak akan bisa pergi.” Ucapan dingin dan penuh peringatan itu sengaja agar Natasya memilih mundur. Bagaimanapun, Aron tidak serius dengan penawarannya. Namun, gelengan tegas justru didapatkan. Natasya tidak tampak goyah sama sekali.Aron mengelola nafas panjang. Karena tidak ingin menjatuhkan harga dirinya dengan menarik semua ucapannya, akhirnya dia membawa Natasya pulang ke rumahnya. Natasya tidak mengucapkan apapun selain mengikuti Aron.Aron berharap gadis itu berubah pikiran setibanya di rumah, tapi Natasya tetap tidak berkata apa-apa. Seolah sudah pasrah. Aron membawa Natasya ke kamar tamu, dan memberikan mahasiswinya
“Pak, saya mohon jangan beri saya nilai D. Saya bisa remidi agar nilai saya tidak kurang.” Di hadapan pria yang dijuluki dosen killer itu, Natasya memohon dengan wajah memelas, berharap agar dosennya sedikit berbelas kasih. Namun, Aron tampaknya tidak peduli. Wajahnya datar, kilat di matanya menunjukkan kejengahan yang begitu kentara. Di mata kuliah yang diajarnya, tidak pernah ada kata remidi. Nilai ujian jelek adalah mutlak kesalahan mahasiswa sendiri. Sebelumnya, nilai Natasya tidak pernah buruk. Namun, karena sang ibu jatuh sakit, Natasya tidak fokus belajar sehingga nilai ujiannya anjlok. “Pak Aron, saya mohon,” ujar Natasya sekali lagi. Kali ini suaranya bergetar hingga hampir menangis. “Mata kuliah Anda adalah mata kuliah wajib jurusan saya. Ka-kalau Anda memberikan nilai jelek, itu akan menghambat kelulusan saya dan—” “Itu urusanmu, bukan urusanku,” sela Aron dingin. Netranya menatap tajam, tak ada toleransi di raut wajahnya. Dunia Natasya benar-benar runtuh mendeng







