Masuk“Apa? Kamu… mau?” ulang Aron tak percaya.
Kini dialah yang dibuat gugup dan bingung. Tadinya, Aron hanya ingin menguji sampai di mana kegigihan Natasya, tapi siapa sangka gadis itu justru menyetujui keinginan tak masuk akalnya? “Pikirkan kembali,” ujar Aron setelah menguasai diri dengan cepat. Ekspresinya kembali datar. “Sekali menjadi teman ranjangku, kamu tidak akan bisa pergi.” Ucapan dingin dan penuh peringatan itu sengaja agar Natasya memilih mundur. Bagaimanapun, Aron tidak serius dengan penawarannya. Namun, gelengan tegas justru didapatkan. Natasya tidak tampak goyah sama sekali. Aron mengelola nafas panjang. Karena tidak ingin menjatuhkan harga dirinya dengan menarik semua ucapannya, akhirnya dia membawa Natasya pulang ke rumahnya. Natasya tidak mengucapkan apapun selain mengikuti Aron. Aron berharap gadis itu berubah pikiran setibanya di rumah, tapi Natasya tetap tidak berkata apa-apa. Seolah sudah pasrah. Aron membawa Natasya ke kamar tamu, dan memberikan mahasiswinya itu sebuah handuk kimono. “Bersihkan dirimu!” titahnya. Di dalam kamar mandi, tubuh Natasya merosot ke lantai. Ia menangis dalam diam. Setengah hatinya ingin sekali pergi dari sini, tapi sebagian lainnya khawatir dengan masa depannya. Ia harus mencari uang ekstra apabila harus mengulang mata kuliah tahun depan. Sementara saat ini, keuangannya sudah tercekik untuk membayar biaya pengobatan sang ibu. “Ibu, maafkan Natasya karena harus memilih jalan begini…,” lirih wanita itu, kemudian menghapus air matanya dengan cepat. Setelah membersihkan diri, Natasya keluar dari kamar mandi. Ia duduk canggung di sofa. Kedua tangannya yang saling meremas mulai bergetar. Selama ini, Natasya tidak pernah membayangkan akan menjadi teman ranjang seseorang. Pacaran saja hanya sekali, itupun semasa SMA. Dia bahkan nyaris tidak punya waktu untuk bergaul dengan teman-teman yang lain. Sementara itu, gantian Aron yang masuk ke dalam kamar mandi. Pria itu menatap pantulan dirinya di cermin. Sungguh, ia juga tidak membayangkan akan adanya hari ini. Meskipun kebutuhan biologisnya tidak terpenuhi, tapi Aron bukan tipe suami brengsek yang suka jajan. Dia lebih suka memuaskan dirinya sendiri. Atau bahkan menahan gejolak hasratnya sekalian. Aron benar-benar tidak memiliki keinginan menjadikan Natasya sebagai teman ranjang. Itu hanyalah gertak sambal untuk memupuskan harapan. Aron tadinya sangat yakin Natasya tidak akan mau merelakan tubuhnya hanya untuk sebuah nilai. “Menyesal aku telah mengujinya dengan hal tabu seperti ini,” gumam Aron sambil meninju dinding. Sama seperti Natasya, Aron keluar menggunakan kimono. Langkahnya tampak pasti menuju ranjang. Melihat Aron yang hanya diam saja membuat Natasya heran. Bukankah biasanya pria-pria yang menginginkan teman tidur akan langsung menyerang? Tapi mengapa dosennya itu hanya diam saja? “P-Pak Aron, apa yang harus saya lakukan?” Akhirnya Natasya memberanikan diri bertanya. Suara Natasya mengejutkan Aron, dia hampir saja melupakan kehadiran mahasiswanya itu saking sibuknya dengan pikirannya sendiri. “Tidurlah, aku juga mau tidur,” ucapnya, lalu langsung memejamkan mata. Natasya benar-benar bingung dibuatnya. Jadi… teman ranjang yang dimaksud pria itu hanya sebagai teman tidur di ranjang? Bukan teman ranjang plus-plus? Dengan perasan yang tak karu-karuan, Natasya bangkit dari sofa. Ia berjalan menuju ranjang dan kemudian tidur di samping Aron. Keesokan paginya, saat Aron membuka mata, dia melihat Natasya belajar di mejanya. Wanita itu juga membaca buku-buku miliknya. “Apa yang kamu lakukan?” Suara Bariton Aron menggema di ruangan itu, membuat Natasya tersentak. Ia buru-buru menutup bukunya, lalu mendongakkan kepala menatap dosennya itu. “Ma-maaf, Pak, saya memakai buku Anda untuk belajar,” jawabnya takut-takut. “Pakai saja,” sahut Aron. Natasya seketika menghela napas lega. “Hmm, anu Pak… ada beberapa materi yang saya belum paham,” ujar gadis itu ragu, lalu menatap Aron. “Apa bisa Anda menjelaskannya?” Netra keduanya bertemu. Aron tidak mengatakan apapun, tapi ada rasa kesal di hatinya saat ini. Kesannya dia seperti guru privat gratis untuk Natasya, padahal bukankah seharusnya gadis itu yang melakukan sesuatu untuknya? Mengapa justru sebaliknya? “Kalau tidak bisa juga nggak papa, Pak,” ujar Natasya kemudian. Raut tak suka pria itu sudah cukup menjadi jawaban. Gadis itu lantas meletakkan buku Aron kembali. Namun, Aron yang entah sejak kapan sudah berdiri di dekatnya, mengambil buku itu dan membukanya lagi. “Bagian mana?” tanya pria dingin itu. Senyuman kecil mengembang di bibir Natasya, tak menyangka kalau Aron mau mengajarinya. Dengan semangat ia menunjukkan bagian yang tidak dipahaminya. Awalnya, hanya satu bahasan. Tapi tanpa disadari, Aron menjelaskan beberapa lembar halaman sekaligus. Sadar kalau terlalu banyak materi yang dia berikan, Aron meminta Natasya untuk melanjutkan sendiri. “Terima kasih, Pak,” ucap Natasya tulus. Ia merasa sangat terbantu berkat Aron. Belakangan ini ia tidak punya waktu untuk belajar karena sibuk mengurus ibunya yang sakit. Tak ada respon, wajah Aron tetap saja datar. “Oh ya Pak, kapan saya bisa remidi?” tanya Natasya kemudian. Aron tersenyum sinis. Belum apa-apa sudah meminta remidi, pikirnya. “Tunjukkan dulu kegigihanmu.”Malam itu, Natasya terus saja memikirkan ciumannya bersama Aron, sampai-sampai dia tidak bisa tidur karenanya. Keesokan harinya, Natasya sangat gugup ketika Aron memanggilnya. “Masalah semalam jangan kamu pikirkan, semua karena ketidaksengajaan,” kata Aron sambil menatap Natasya lekat. “Baik, Pak,” sahut Natasya. Entah kenapa jantungnya masih berdebar-debar.Karena Aron ada urusan, dia meminjamkan buku-bukunya pada Natasya. Hal ini membuat Natasya senang tak karuan. Itu artinya, dia tidak perlu menghabiskan waktu bersama dosennya!“Pak Aron benar meminjamkan buku-buku ini?” tanyanya antusias. “Iya, kamu belajar sendiri di rumah,” jawab Aron singkat, berusaha mengalihkan perhatian dari wajah Natasya yang berseri-seri.Sementara itu, Natasya mematung. Sekilas, ia melihat Aron tersenyum. Dan itu membuat darahnya berdesir. Natasya tahu Aron memang tampan, tapi ia baru sadar Aron memang setampan itu….‘Andaikan dia masih lajang,’ gumamnya dalam hati.Sekian detik kemudian, Natasya sad
Melihat mata Aron yang sedikit basah, Natasya mengira Aron kesakitan.“Pak, sakit memang nggak enak. Bapak sabar ya, habis ini minum obat pasti sembuh,” ujar Natasya berusaha menenangkan. Dia tersenyum menatap Aron, mencoba memberikan semangat. Namun, Aron mendengus mendengar perkataan Natasya. “Aku tidak selemah itu,” sahutnya dingin. Gantian Natasya yang memberengut. Tidak selemah itu, tapi matanya berkaca-kaca! Dasar dosen killer pembohong!Usai menyuapi Aron, Natasya mengambil obat. Dia juga membantu pria itu meminum obatnya. “Sekarang Pak Aron istirahat, saya harus pulang,” kata Natasya kemudian. “Tapi boleh nggak Pak saya pinjam bukunya?” pintanya sambil tersenyum manis. Sepasang matanya tampak berbinar memohon pada Aron. “Kenapa tidak pinjam di perpus saja?” tanya Aron sambil mengernyit seolah tidak suka. Wanita itu menghela nafas. Materi yang Aron berikan tidak ditemui di buku manapun, termasuk buku di perpus. “Kalau ada saya pasti pinjam di perpus Pak, sayangnya tidak a
Suara lirih Natasya membuat Aron tersentak. Ia buru-buru mengambil jarak, memberi waktu bagi keduanya untuk menguasai diri.Ia menyerahkan buku itu pada Natasya, lalu duduk di salah satu meja yang kosong.Di dalam perpus itu, hanya ada mereka berdua. Natasya tampak bersemangat sekali, kejadian beberapa saat yang lalu seolah tak pernah terjadi. Namun, tiba-tiba wajahnya memucat saat membalik halaman buku. “Pak… untuk bab reproduksi apa harus dipraktekkan?” Sontak Aron melotot. Jurusan kedokteran memang seringnya melakukan praktek, tapi siapa pula yang terpikir untuk mempraktekkan langsung soal materi reproduksi? Apakah Natasya memang sepolos itu?“Kamu mau praktek?” Aron malah bertanya balik. Natasya menggeleng keras, “Tidak, Pak,” ujarnya sambil terkekeh canggung.Di materi itu banyak sekali hal-hal yang membuat Natasya penasaran, terutama alat kelamin lawan jenis.“Pak, saat dia membesar apa memang terasa sakit atau ngilu?” tanya Natasya dengan polosnya. Wajah Aron memerah ketik
Maksud Aron dengan kegigihan adalah harus belajar dengan sungguh-sungguh.Namun, Natasya menangkap hal lain. Kegigihan yang dimaksud ialah terus menjadi teman ranjang dosennya itu.Setelah jam kampus selesai, Natasya langsung pergi ke rumah Aron. Karena Aron belum tiba di rumah, Natasya menunggu dosennya itu di teras. Kebetulan rumah Aron adalah tipe perumahan cluster, jadi tidak memiliki pagar. Melihat tanaman yang kering, Natasya beranjak menyiramnya. Hingga suara mobil mengejutkannya. “Pak Aron, maaf saya sudah lancang.” Natasya buru-buru meletakkan selang air, lalu menunduk ketika Aron turun dari mobil. Pria itu hanya berdehem, lalu membuka pintu rumahnya. Seperti kemarin, setelah membersihkan diri, Aron berbaring di tempat tidur. Sementara Natasya masih di sofa menatapnya heran. “Pak apa yang harus saya lakukan?” tanyanya bingung. Ia benar-benar dalam urusan ranjang seperti ini.“Tunjukkan saja kegigihanmu.” Pria itu menjawab asal karena saat ini dia tengah membalas pesan
“Apa? Kamu… mau?” ulang Aron tak percaya. Kini dialah yang dibuat gugup dan bingung. Tadinya, Aron hanya ingin menguji sampai di mana kegigihan Natasya, tapi siapa sangka gadis itu justru menyetujui keinginan tak masuk akalnya? “Pikirkan kembali,” ujar Aron setelah menguasai diri dengan cepat. Ekspresinya kembali datar. “Sekali menjadi teman ranjangku, kamu tidak akan bisa pergi.” Ucapan dingin dan penuh peringatan itu sengaja agar Natasya memilih mundur. Bagaimanapun, Aron tidak serius dengan penawarannya. Namun, gelengan tegas justru didapatkan. Natasya tidak tampak goyah sama sekali.Aron mengelola nafas panjang. Karena tidak ingin menjatuhkan harga dirinya dengan menarik semua ucapannya, akhirnya dia membawa Natasya pulang ke rumahnya. Natasya tidak mengucapkan apapun selain mengikuti Aron.Aron berharap gadis itu berubah pikiran setibanya di rumah, tapi Natasya tetap tidak berkata apa-apa. Seolah sudah pasrah. Aron membawa Natasya ke kamar tamu, dan memberikan mahasiswinya
“Pak, saya mohon jangan beri saya nilai D. Saya bisa remidi agar nilai saya tidak kurang.” Di hadapan pria yang dijuluki dosen killer itu, Natasya memohon dengan wajah memelas, berharap agar dosennya sedikit berbelas kasih. Namun, Aron tampaknya tidak peduli. Wajahnya datar, kilat di matanya menunjukkan kejengahan yang begitu kentara. Di mata kuliah yang diajarnya, tidak pernah ada kata remidi. Nilai ujian jelek adalah mutlak kesalahan mahasiswa sendiri. Sebelumnya, nilai Natasya tidak pernah buruk. Namun, karena sang ibu jatuh sakit, Natasya tidak fokus belajar sehingga nilai ujiannya anjlok. “Pak Aron, saya mohon,” ujar Natasya sekali lagi. Kali ini suaranya bergetar hingga hampir menangis. “Mata kuliah Anda adalah mata kuliah wajib jurusan saya. Ka-kalau Anda memberikan nilai jelek, itu akan menghambat kelulusan saya dan—” “Itu urusanmu, bukan urusanku,” sela Aron dingin. Netranya menatap tajam, tak ada toleransi di raut wajahnya. Dunia Natasya benar-benar runtuh mendeng







