Kanaya masih tak bergeming. Ia masih meratapi nasibnya yang begitu tragis. Ternyata, kecurigaannya selama ini terbukti benar.
Beberapa kali, Kanaya terlibat pertengkaran dengan Hendra karena Kanaya mencurigai Hendra berselingkuh. Namun, Hendra selalu saja mengelak dan malah berbalik marah kepada Kanaya. “Naya!” Sentak Rini mencoba menyadarkan Kanaya yang seperti orang linglung. “Ayo! Pak RT udah nungguin kamu.” “I-iya, Mbak.” Kanaya tinggalkan pekerjaannya begitu saja dan ikut bersama dengan Rini. Dengan diboncengkan sepeda, Kanaya tak berhenti menangis di sepanjang perjalanan menuju ke rumah Pak RT. Setiap pasang mata yang melihat Kanaya, mereka saling berbisik sebab berita ini sudah menyebar sampai ke pelosok desa. Hanya butuh waktu sepuluh menit, Kanaya dan Rini sampai di kediaman Pak RT. Di depan rumah itu, banyak sekali warga yang berkumpul. Perhatian semua orang seketika langsung tertuju kepada Kanaya ketika Kanaya turun dari motor. “Kasihan banget, ya, padahal dia kerja keras sepanjang hari. Eh, suaminya malah selingkuh!” “Halah, paling istrinya ga bisa kasih yang terbaik, pantes Hendra pilih Susi.” “Hendra, Hendra, sayang banget istrimu yang masih cantik disia-siakan. Lebih baik dia menikah denganku. Tuhan ga adil, ya, Kanaya yang baik malah ketemu laki-laki model Hendra.” Cibiran warga tidak dipedulikan lagi oleh Kanaya. Amarah, sedih, kecewa, semua campur menjadi satu. Semua sudah dia siapkan, termasuk umpatan saat dia melihat wajah Hendra dan Susi. Jantung Kanaya semakin tak karuan ketika ia menginjakkan kaki di ruang tamu Pak RT dan melihat secara langsung bagaimana sang suami duduk bersama dengan Susi disana. Keduanya di hadap langsung oleh ketua RT bernama Suherman dan juga RW setempat bernama Kardi. Air mata Kanaya mengalir bak air bah yang sudah tak terbendung lagi. Betapa hancurnya Kanaya menyaksikan suaminya mengkhianati janji suci pernikahan mereka. “Kemari, mbak Naya.” Pinta Suherman. Dengan tubuh gemetar, Kanaya berjalan perlahan tanpa mau memandang Hendra. Kanaya duduk tepat di sebelah Suherman dengan posisi yang saling berhadapan dengan Hendra. “Karena istri dari Pak Hendra sudah datang, maka kita bisa mulai saja.” Ujar Kardi. Kanaya remas celananya dan menyiapkan hatinya untuk mendengarkan semua fakta yang tentunya akan menyakiti hatinya. “Jadi begini, mbak Kanaya... Suami Anda, Pak Hendra terpergok melakukan hubungan intim dengan Susi di kediaman Susi. Kami terpaksa membawa mereka berdua kesini untuk menghindari amukan warga.” Jelas Suherman. “Menurut keterangan keduanya, ini bukan kali pertama mereka melakukan ini. Dan hubungan mereka sudah terjalin sejak satu tahun terkahir.” Tambah Suherman. Kanaya menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakan tangisnya. Perlahan ia angkat kepalanya dan memberanikan diri untuk menatap langsung netra sang suami. “Kenapa kamu tega melakukan ini padaku, Mas? Apa salahku padamu?” Tanya Kanaya dengan hati yang teriris-iris. Hendra tak menjawab dan hanya diam saja. Jujur saja, Hendra merasa sangat malu sekali sekarang. Apalagi, tak hanya satu atau dua orang saja yang mengetahui aib nya. Namun, semua warga kampung sudah mengetahui aib nya bersama Susi. “Jawab aku, Mas! Kenapa kamu tega berselingkuh dengan Susi, sahabatku sendiri? Otakmu di mana?” Suara Kanaya mulai meninggi. Kesabarannya benar-benar sudah habis sekarang. Pengkhianatan yang dilakukan oleh Hendra tak akan bisa ia maafkan lagi. “Karena aku mencintai Susi,” Jawab Hendra. Tak ada simpati, kecewa, atau penyesalan. Semua warga juga terkejut, tak terkecuali Kanaya yang sudah mengepalkan tangannya kuat-kuat. “Hah? Benar firasatku, selama ini kamu main belakang!? Dasar laki-laki tak tau diuntung. Aku kerja keras banting tulang, tapi uangnya kamu pakai buat nafkahi selingkuhan!” Kanaya sampai tak percaya mendengar jawaban sang suami. “Kami saling mencintai, dimana letak salahnya?” Tak hanya Kanaya, bahkan semua orang yang ada disana pun cukup terkejut dengan pengakuan dari Hendra. Jawaban Hendra membuat semua orang semakin geram. Bahkan, semua orang meneriaki Hendra dan juga Susi. “Gila ya, kamu? Kamu sudah punya istri dan anak. Bisa-bisanya kamu menjalin hubungan dengan Susi.” Kanaya menyambar gelas berisi air lalu menyiramkannya ke wajah Hendra. “Kanaya, beraninya kamu-“ Plak... Kalimat Hendra menggantung di udara ketika Kanaya melayangkan tamparan keras ke pipi Susi. Semua orang cukup terkejut namun mereka memberikan dukungan atas tindakan yang Kanaya ambil. “Dan kamu, jalang!” Kanaya menahan agar air matanya tidak tumpah.“Aku yang membantumu saat kamu dapat KDRT dari mantan suamimu. Uang aku kasih, keluh kesahmu juga aku dengar, terus apa? Tega, ya, kamu malah menusukku dari belakang. Apa ini yang kamu sebut balas budi?” Susi merasakan pipinya sangat panas akibat tamparan dari Kanaya. Andai saja, Kanaya tahu jika ia sengaja menjalin hubungan gelap dengan Hendra karena ia tak rela Kanaya merasakan kebahagiaan disaat ia menderita. Dari dulu, Susi memang tidak suka dengan kebahagiaan pernikahan Kanaya dan juga Hendra. Hingga pada akhirnya, ia melakukan segala cara untuk menghancurkan rumah tangga Kanaya. Salah satunya dengan menggoda Hendra. “Berani sekali kamu menampar Susi.” Hendra berdiri tidak terima. Dia menarik tangan Kanaya, “Kita selesaikan ini di rumah!” “Hendra!” Pak Kardi selaku ketua RW ikut berdiri. “Kenapa Pak? Mau melarang ku? Aku tidak takut padamu meski statusmu adalah ketua RW disini.” Hendra kemudian berpaling kepada Kanaya. “Ini semua gara-gara kamu!” Kanaya memberontak. Dia sudah tak tahan dengan kelakuan suaminya. “Ternyata kamu lebih mementingkan Si Jalang itu dari pada istri sah mu! Aku kecewa. Aku sepakat cerai!” “Diam!” Hendra sekali lagi membentak. “Kalian semua, jangan ada yang menahan ku. Dia istri sah ku. Aku berhak melakukan apapun sebagai suami!” Tak ada yang berani menghentikan aksi dari Hendra dan membiarkan Hendra pergi bersama Kanaya. Terlebih, semua orang tahu, latar belakang Hendra dulunya sebagai preman yang suka mabuk. Motif Hendra dijodohkan dengan Kanaya adalah permintaan Asih, nenek Kanaya. Asih tidak tega jika Kanaya berjuang seorang diri menghidupinya. Melihat ketulusan Hendra yang sudah berubah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya dulu, Asih pun mengenalkan Hendra kepada Kanaya. Dua tahun berjalan, hubungan mereka sangat baik. Perdebatan kecil selalu selesai sebelum pagi tiba. Tapi, sejak Susi berhasil menggugat suaminya sejak kasus KDRT, Kanaya dan Susi perlahan akrab. Niat awal Kanaya yang hanya ingin menolong Susi, ternyata jadi boomerang. Sebulan setelah Kanaya akrab dengan Susi, sikap Hendra perlahan berubah. Sekarang, malapetaka itu benar-benar nyata. Kanaya merintih kesakitan dan beberapa kali minta agar Hendra melambatkan langkahnya. Percuma! Kanaya coba melepaskan diri, namun kekuatannya tak sebanding dengan Hendra. Hendra menutup pintu rumahnya dengan keras lalu mendorong tubuh Kanaya hingga tersungkur ke lantai. “Astaghfirullah...” Seorang wanita tua yang baru saja keluar dari kamar sangat terkejut melihat Kanaya di dorong oleh Hendra. “Hendra, apa yang kamu lakukan kepada cucuku?” Teriak wanita bernama Asih itu. Asih membantu Kanaya untuk berdiri dengan hati-hati. “Tega sekali kamu, Mas. Kamu lebih membela Susi daripada istrimu sendiri!” Kanaya sudah berlinang air mata. Hendra yang sudah dikuasai oleh amarah pun mencengkram kuat rahang Kanaya. Matanya memerah dan melayangkan tatapan sengit. “Dasar wanita tidak berguna. Aku menyesal menikah denganmu. Kamu hanya menjadi bebanku selama ini.” Kanaya meringis kesakitan karena cengkraman tangan Hendra, “Aku bahkan rela banting tulang demi membantu perekonomian keluarga kita. Aku bahkan ikhlas saat kamu tidak memberiku nafkah dengan cukup. Dan sekarang aku tahu, kalau semua uangmu dihabiskan oleh Susi.” “DIAM KANAYA! BERHENTI MENGHINA SUSI!” Hendra melepas cengkraman tangannya dari rahang Kanaya, lalu membiarkan istrinya jatuh begitu saja. Asih memegangi dadanya yang mendadak sesak. Melihat cucu nya di perlakukan seperti ini membuat Asih merasa ikut sakit. “Aku tidak peduli lagi denganmu. Aku tidak peduli dengan Zahra. Semua yang ada hubungannya denganmu, aku sudah anggap tiada!” “Apa maksud kamu, Mas?” Hendra menarik napas panjangnya sebelum bersuara, “Aku talak kamu, Kanaya. Mulai detik ini, kamu bukan istriku lagi. Aku juga tidak akan memberi nafkah kepada Zahra karena aku tidak mau memiliki seorang anak dari wanita tak tahu terima kasih sepertimu!”Bram merasakan tubuhnya jauh lebih baik setelah meminum obat penurun demam. Kepalanya yang semula sangat pusing pun perlahan mulai berkurang. Tubuhnya jauh lebih rileks sekarang. Bram tak menampik, jika olesan campuran bawang merah dan minyak telon cukup berdampak pada tubuhnya. Sepertinya, Kanaya cukup terampil untuk merawat orang yang sakit. Bram putuskan untuk turun setelah hidungnya mencium aroma masakan yang sangat enak. Aroma ini jelas berasal dari dapur. “Dia lagi.” Gumam Bram.Langkah Bram tertahan di undakan tangga terakhir. Ia layangkan tatapannya kepada Kanaya yang tengah berkutat di dapur. Meksi hanya berbalut dengan kaos oversize dan juga rok panjang, namun Bram harus akui jika Kanaya memiliki kecantikan yang alami. Tak ada bedak maupun lipstik menghiasi wajah wanita itu. Tapi, kecantikan khas wanita desa terpancar dengan sempurna dalam diri Kanaya. “Ehem...”Bram sengaja berdeham untuk menarik atensi Kanaya. Langkahnya terayun untuk mendekat ke arah dapur.“Tuan B
Dengan bantuan Sarno, Kanaya membawa Bram masuk ke dalam kamar pria itu yang ada di lantai dua. Tubuh Bram yang sangat besar dan tinggi, tentu saja sempat membuat Kanaya dan Sarno kualahan. Namun, setelah bersusah payah, akhirnya Bram berhasil di bawa ke kamar. Sarno yang sudah berumur nampak ngos-ngosan setelah membopong Bram menaiki tangga.“Pak, disini ada persediaan obat tidak?” Tanya Kanaya.“Kalau itu, Bapak kurang tahu. “Kanaya lepaskan sepatu Bram dan juga kaos kakinya. Tubuh Bram panas dan tentunya butuh obat penurun demam.“Boleh minta tolong tidak, Pak?”“Minta tolong apa?”“Boleh minta tolong belikan obat penurun demam tidak? Saya tidak tahu dimana apoteknya.”Sarno mengangguk, “Saya belikan sebentar. Di dekat sini ada apotek.”“Terimakasih, Pak.” Sepeninggal Sarno, Kanaya menyiapkan kompres. Ia membawa baskom berisi air dan juga kain bersih. Dengan duduk di tepi kasur, Kanaya menempelkan kain itu di kening Bram.“Dingin sekali...” Kanaya tersentak ketika Bram mulai
Asap menegepul di dapur mengawali hari Kanaya sebagai pembantu di rumah ini. Kanaya sangat bersemangat setelah ia berhasil memperpanjang nafas untuk bekerja disini. Bram, akhirnya bisa mengerti kondisinya meski ia harus menurunkan harga diri demi bersimpuh memohon kepada sang majikan.Dengan sangat hati-hati, Kanaya gunakan peralatan dapur yang fancy itu. Jika sampai lecet sedikit saja, tentunya Kanaya akan merasa sangat bersalah. Bahkan, gajinya saja mungkin tidak akan cukup untuk mengganti peralatan dapur disini.Apalagi, setelah kejadian kemarin. Kanaya menjadi ekstra hati-hati dalam bekerja. Sudah kepalang tanggung, Kanaya tak mungkin mundur karena ia tak mau pulang dengan tangan kosong. “Nduk.”Kanaya tolehkan kepalanya. Nampak Lastri yang mendekat dengan sapu dan cikrak di tangannya. “Iya Bude?” “Nanti, sebelum jam tujuh makanannya harus sudah siap di meja makan.”“Iya Bude. Ini juga sudah mau selesai.”Lastri mengangguk dan tersenyum. Keahlian Kanaya dalam memasak memang t
Kanaya tak dapat membendung air matanya. Hari ini, ia akan berpisah dengan Zahra. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Kanaya mengambil keputusan untuk ikut Lastri kerja ke Jakarta. Meski berat, tapi Kanaya lakukan semua ini demi sang putri. “Ayo, Nduk. Jangan sampai kita ketinggalan kereta.”Kanaya meraup oksigen sangat kuat lalu menciumi wajah Zahra yang tertidur pulas di gendongan Rini.“Titip Zahra ya, Mbak.”“Iya, Nay. Kamu kerja yang tenang disana, biar Zahra kami urus.”Kanaya menyeka air matanya dengan cepat lalu mengusap rambut Zahra. Dengan langkah berat, akhirnya Kanaya pergi meninggalkan putrinya.Sepanjang perjalanan, air mata Kanaya tak berhenti mengalir. Ia menatap kosong ke arah jendela kereta sembari memegang foto kecil putrinya.“Ibu berjanji akan membuatmu bahagia, Nak. Ibu tidak akan membuatmu merasakan penderitaan seperti yang ibu rasakan dulu.” Kanaya menguatkan hati. Tekadnya sudah bulat untuk mengubah ekonomi keluarganya.Hendra sudah tak lagi bertanggungjawab
“Sus, tolong nenek saya.” “Kami akan melakukan pertolongan dengan cepat. Silahkan kalian urus pendaftarannya lebih dulu.”Setelah, urusan pendaftaran selesai, Kanaya menunggu bersama Rini dengan penuh kekhawatiran di ruang tunggu IGD. Zahra yang berada di gendongan Kanaya sudah tak berdaya dan terlelap. Penyakit jantung Asih kemungkinan besar kambuh karena mendengar kabar mengejutkan mengenai penyitaan rumah milik Kanaya. “Untung saja kalian cepat membawa nenek kalian kesini. Kalau terlambat sedikit saja, pasti nyawanya tidak akan tertolong. Nenek kalian memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya dan sudah sering keluar masuk rumah sakit.” Ucap Dokter sembari membaca rekam medis milik Asih.Dari kertas rekam medis, tertera jelas jika Asih sudah pernah berobat kesini dan beberapa kali harus rawat inap karena penyakit jantung yang sering kali kambuh. “Apa perlu rawat inap?” Tanya Kanaya. “Kami akan melakukan observasi lebih lanjut. Masalah jantungnya sepertinya bertambah parah d
Plak “Berani sekali kamu bicara seperti itu, Mas!” Ucap Kanaya seraya melayangkan tamparan keras ke pipi Hendra. Hendra memegangi pipinya. Tatapan Hendra sangat tajam bak sebuah pedang yang siap menusuk musuhnya.“Semua ini salah kamu, Naya. Jika kamu tidak memperkenalkanku kepada Susi, maka semua ini tidak akan terjadi.” Jawab Hendra mencoba membela diri.Kanaya tersenyum tak percaya, “Kamu bilang ini salahku? Apa kamu tidak punya malu? Kamu yang sudah bermain api dengan Susi dan bisa-bisanya kamu bilang semua ini salahku.”“Sudah cukup! Jangan bertengkar lagi.” Sambar Asih.Asih sudah tidak kuat lagi menyaksikan pertengkaran Kanaya dengan Hendra. “Apa kesalahan yang Naya perbuat padamu?" Dengan tangan keriputnya, Asih menunjuk wajah Hendra. "Selama ini, dia mengabdikan hidupnya padamu, Hendra. Dia bahkan rela bekerja demi membantu mencukupi kebutuhan rumah ini. Tapi, kamu seolah menutup mata dengan apa yang Naya lakukan selama ini. Kamu tidak memberikan nafkah yang pantas untuk