"Mulai detik ini, kamu bukan istriku lagi, Kanaya. Aku talak kamu sekarang!"
Kanaya, wanita berusia 25 tahun itu hanya bisa meneteskan air mata mendengar kata talak keluar dari mulut Hendra sang suami. Pernikahan yang sudah mereka jalankan selama tiga tahun ini, harus berakhir setelah kata terlarang itu keluar dari mulut sang suami. "Kenapa kamu mengatakan ini, Mas? Apa salahku padamu?" Kanaya berderai air mata. Raga yang masih lelah karena baru saja pulang bekerja dari kebun teh, kini bertambah sakit dengan kenyataan pahit jika dirinya dijatuhi talak oleh Hendra. "Aku sudah muak denganmu, Naya. Aku tidak bisa hidup miskin terus-terusan dengan istri tak berguna seperti dirimu." Hendra sudah memikirkan keputusan ini matang-matang. Menjalani rumah tangga dengan Kanaya selama tiga tahun, Hendra sama sekali tak merasakan kebahagiaan. Keluarganya dibelit kemiskinan yang tak ada akhirnya. Hendra hanya buruh bangunan dan Kanaya bekerja di perkebunan teh, membuat hidup mereka serba kekurangan. Namun, bagi Kanaya, dia sudah berusaha maksimal. Suaminya bekerja serabutan, tapi gajinya pergi entah ke mana. Setiap harinya, Kanaya menderita karena desas-desus tetangga bahwa Hendra suka bermain wanita dan berjudi di dekat terminal. Kanaya yang bekerja sembari mengasuh putri semata wayangnya, harus susah-payah menghidupi suami seperti Hendra. Bahkan, Kanaya hanya mendapat jatah 500 ribu untuk rumah tangga dan mengurus kebutuhan Zahra. Sisanya? Hendra mengambil semua. Pernah suatu waktu, Kanaya menyimpan gaji bulanannya yang hanya 1.2 juta untuk kebutuhan sang anak. Hendra tiba-tiba datang mengambil uang itu dan mengancam untuk bercerai jika Kanaya tidak memberikannya. Kanaya yang tidak mau anaknya besar tanpa sosok ayah, memilih bertahan, hingga tiba-tiba ucapan itu keluar dari mulut suaminya sendiri. Beberapa kali dia coba mengingatkan suaminya, tapi hasilnya sama. Yang terjadi, malah Kanaya semakin tertekan secara mental. Di satu sisi, dia harus membesarkan putri mereka yang baru berusia dua tahun, ditambah lagi dengan mengurus nenek Kanaya yang sudah sangat renta dan penyakitan. Kebutuhan hidup yang serba mahal membuat Kanaya harus berhutang pada bank untuk mencukupi kebutuhan. Hendra tak tahan dengan kemiskinan yang menimpanya dan dengan mengakhiri pernikahannya, mungkin penderitaan Hendra akan berkurang. Itu pikir Kanaya. "Mas, jangan talak aku. Kita bisa bicarakan masalah rumah tangga kita dengan baik. Kamu pasti hanya terbawa emosi sesaat." Kanaya merangkul suaminya sambil menangis. Pulang kerja, dia ingin berbincang masalah ini dengan suaminya, tapi Hendra malah mengeluarkan kata-kata yang sangat menusuk. "Naya, mau sampai kapan kita mau hidup dalam jurang kemiskinan? Aku ingin lepas dari semua hutang ini. Terus, kamu mau bicarakan baik-baik? Baik-baik apanya?!” Kanaya hanya bisa diam mendengar perkataan Hendra yang menyakiti hatinya. "Tega sekali kamu, mas. Selama ini, aku juga bantu kamu bekerja. Aku tidak diam saja dan berpangku tangan di rumah. Tapi, bisa-bisanya kamu berucap seperti itu pada istrimu sendiri!" Emosi Kanaya meluap-luap. “Justru kamu yang selama tiga tahun ini tidak berguna jadi suami!” Hendra menggeram marah. "Apa katamu? Aku tidak berguna? Aku mengerjakan semua tugas rumah tangga. Cuci baju, mengasuh anak kita, mendengarkan keluh kesahmu tiap malam. Dasar istri durhaka!" “Mas…” "Jangan egois, Mas! Bagaimana dengan Zahra? Apa kamu tega dengan putrimu sendiri?" Hendra memalingkan wajahnya. Ayah mana yang tidak menyayangi anaknya sendiri. Tapi, Hendra juga tidak bisa menampik jika dirinya sudah tidak tahan hidup menderita seperti ini. "Tenang saja. Aku akan tetap memberikan nafkah tiap bulan kepada Zahra." Perubahan sikap Hendra menunjukkan ada sesuatu yang disembunyikan. Setega inikah Hendra dengan Zahra yang bahkan masih sangat kecil itu! "Alasanmu ingin bercerai dariku terlalu klise mas. Masalah ekonomi seperti ini tak hanya dialami oleh keluarga kita saja.” Sekali lagi, Kanaya memohon, bahkan sambil berlutut di hadapan Hendra. “Saat aku berjuang membantumu untuk lepas dari jerat kemiskinan, kamu malah menyerah. Kita bisa berjuang bersama-sama, mas." Hendra menjambak rambutnya sendiri setelah mendengar Kanaya yang mencoba mempertahankan pernikahan mereka. "Jangan coba-coba untuk mempengaruhiku, Naya. Keputusanku sudah bulat dan aku tetap akan talak kamu sekarang,” ucapnya, lantas meninggalkan Kanaya seorang diri di kamar. Kanaya semakin terisak. Dadanya terasa penuh hingga membuatnya sesak sekali. Hendra benar-benar serius dengan ucapannya. Esok dia harus kerja dan tidak bisa larut dalam masalah ini. Dia masih ingin berjuang menghidupi Zahra. Sembari terisak, malam itu Kanaya coba tidur. Sampai tengah malam, hatinya masih sakit, air matanya terus menetes, tapi matanya tak mau terpejam. Hatinya terlalu penuh untuk sekedar bisa bernapas dengan tenang. *** Pagi hari saat dia sudah siap berangkat kerja, dia melihat Hendra tidur. Padahal, saat tadi dia memasak, Hendra masih tertawa terbahak-bahak di depan ponselnya. Entah pura-pura atau sengaja tidak peduli dengan Kanaya. Tapi, Kanaya memilih abai dan pergi bekerja karena harus sampai di kebun teh sebelum jam 9 pagi. Belum ada lima belas menit memetik daun teh, pekerjaannya berhenti saat ada duri yang menancap di telunjuknya. Diperhatikan duri yang menancap itu dan langsung dia cabut. “Sakit, tapi masih sakit ucapan Mas Hendra kemarin malam.” Kanaya melanjutkan pekerjaannya. Tiba-tiba saja, dia melihat seseorang berlari dari kejauhan. Tamu tak diundang, datang tergopoh-gopoh sambil meneriakkan namanya. “Naya... Naya…” Kanaya sedikit mengangkat topi caping yang ia kenakan untuk meluaskan pandangannya. Ternyata yang datang itu sepupunya, Rini. Ada yang aneh. Rini berlari seperti orang kesetanan menghampirinya di perkebunan teh yang ia garap. “Mbak Rini, ada apa?” Rini tak langsung menjawab. Ia mencoba untuk mengontrol nafasnya yang ngos-ngosan. Berlari dari bawah hingga mencapai ke atas sangat menguras tenaganya. Kanaya meletakkan keranjang yang digendongnya di punggung. Ia ulurkan sebotol air minum yang memang selalu ia bawa untuk persediannya. “Minum dulu, Mbak.” Rini tak menolak. Ia meneguk sisa air dalam botol itu hingga habis. “Nggak ada waktu buat minum, Nay. Ini gawat.” Rini menatap Kanaya serius. Tatapan itu membuat Kanaya curiga, apa yang sebenarnya terjadi. Dengan kening yang mengkerut, Kanaya mengajak Rini duduk sebentar dan bertanya, “Gawat kenapa, Mbak?” “Hendra... Suamimu.” “Mas Hendra kenapa?” Rini mencoba menarik napas sedalam mungkin. Suaranya seperti tercekat ditenggorokan hingga sulit untuk dikeluarkan. “Mas Hendra kenapa, Mbak?” Tanya Kanaya mengulang. “Suamimu di grebek warga.” “Hah! Apa maksud Mbak Rini ngomong gitu? Mbak Rini jangan ngada-ngada, ya! Suamiku tadi pagi masih tidur, nggak mungkin dia tiba-tiba digrebek warga.” Kanaya melepas topinya dan menunjukkan wajah kesal. “Suamimu tertangkap basah berselingkuh dengan Susi. Mereka di grebek oleh warga saat sedang melakukan hubungan intim.” Rini menggoyang-goyangkan tubuh Kanaya sangat kuat. “Aku berani sumpah. Selama ini, apa aku pernah membohongimu, Nay?” Tubuh Kanaya seketika melemas. Lututnya seperti jelly hingga tak bisa menopang tubuhnya untuk berdiri tegak. Air mata Kanaya mengalir begitu saja tanpa perintah. “Ya Allah, Mas Hendra.” Kanaya tekan dadanya yang terasa sesak sekali. “Nay, kamu harus datang ke rumah Pak RT. Suamimu dan Susi dibawa kesana sambil diarak warga. Aku nggak tega, sumpah. Kamu harus lihat sendiri, Nay!”Bram merasakan tubuhnya jauh lebih baik setelah meminum obat penurun demam. Kepalanya yang semula sangat pusing pun perlahan mulai berkurang. Tubuhnya jauh lebih rileks sekarang. Bram tak menampik, jika olesan campuran bawang merah dan minyak telon cukup berdampak pada tubuhnya. Sepertinya, Kanaya cukup terampil untuk merawat orang yang sakit. Bram putuskan untuk turun setelah hidungnya mencium aroma masakan yang sangat enak. Aroma ini jelas berasal dari dapur. “Dia lagi.” Gumam Bram.Langkah Bram tertahan di undakan tangga terakhir. Ia layangkan tatapannya kepada Kanaya yang tengah berkutat di dapur. Meksi hanya berbalut dengan kaos oversize dan juga rok panjang, namun Bram harus akui jika Kanaya memiliki kecantikan yang alami. Tak ada bedak maupun lipstik menghiasi wajah wanita itu. Tapi, kecantikan khas wanita desa terpancar dengan sempurna dalam diri Kanaya. “Ehem...”Bram sengaja berdeham untuk menarik atensi Kanaya. Langkahnya terayun untuk mendekat ke arah dapur.“Tuan B
Dengan bantuan Sarno, Kanaya membawa Bram masuk ke dalam kamar pria itu yang ada di lantai dua. Tubuh Bram yang sangat besar dan tinggi, tentu saja sempat membuat Kanaya dan Sarno kualahan. Namun, setelah bersusah payah, akhirnya Bram berhasil di bawa ke kamar. Sarno yang sudah berumur nampak ngos-ngosan setelah membopong Bram menaiki tangga.“Pak, disini ada persediaan obat tidak?” Tanya Kanaya.“Kalau itu, Bapak kurang tahu. “Kanaya lepaskan sepatu Bram dan juga kaos kakinya. Tubuh Bram panas dan tentunya butuh obat penurun demam.“Boleh minta tolong tidak, Pak?”“Minta tolong apa?”“Boleh minta tolong belikan obat penurun demam tidak? Saya tidak tahu dimana apoteknya.”Sarno mengangguk, “Saya belikan sebentar. Di dekat sini ada apotek.”“Terimakasih, Pak.” Sepeninggal Sarno, Kanaya menyiapkan kompres. Ia membawa baskom berisi air dan juga kain bersih. Dengan duduk di tepi kasur, Kanaya menempelkan kain itu di kening Bram.“Dingin sekali...” Kanaya tersentak ketika Bram mulai
Asap menegepul di dapur mengawali hari Kanaya sebagai pembantu di rumah ini. Kanaya sangat bersemangat setelah ia berhasil memperpanjang nafas untuk bekerja disini. Bram, akhirnya bisa mengerti kondisinya meski ia harus menurunkan harga diri demi bersimpuh memohon kepada sang majikan.Dengan sangat hati-hati, Kanaya gunakan peralatan dapur yang fancy itu. Jika sampai lecet sedikit saja, tentunya Kanaya akan merasa sangat bersalah. Bahkan, gajinya saja mungkin tidak akan cukup untuk mengganti peralatan dapur disini.Apalagi, setelah kejadian kemarin. Kanaya menjadi ekstra hati-hati dalam bekerja. Sudah kepalang tanggung, Kanaya tak mungkin mundur karena ia tak mau pulang dengan tangan kosong. “Nduk.”Kanaya tolehkan kepalanya. Nampak Lastri yang mendekat dengan sapu dan cikrak di tangannya. “Iya Bude?” “Nanti, sebelum jam tujuh makanannya harus sudah siap di meja makan.”“Iya Bude. Ini juga sudah mau selesai.”Lastri mengangguk dan tersenyum. Keahlian Kanaya dalam memasak memang t
Kanaya tak dapat membendung air matanya. Hari ini, ia akan berpisah dengan Zahra. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Kanaya mengambil keputusan untuk ikut Lastri kerja ke Jakarta. Meski berat, tapi Kanaya lakukan semua ini demi sang putri. “Ayo, Nduk. Jangan sampai kita ketinggalan kereta.”Kanaya meraup oksigen sangat kuat lalu menciumi wajah Zahra yang tertidur pulas di gendongan Rini.“Titip Zahra ya, Mbak.”“Iya, Nay. Kamu kerja yang tenang disana, biar Zahra kami urus.”Kanaya menyeka air matanya dengan cepat lalu mengusap rambut Zahra. Dengan langkah berat, akhirnya Kanaya pergi meninggalkan putrinya.Sepanjang perjalanan, air mata Kanaya tak berhenti mengalir. Ia menatap kosong ke arah jendela kereta sembari memegang foto kecil putrinya.“Ibu berjanji akan membuatmu bahagia, Nak. Ibu tidak akan membuatmu merasakan penderitaan seperti yang ibu rasakan dulu.” Kanaya menguatkan hati. Tekadnya sudah bulat untuk mengubah ekonomi keluarganya.Hendra sudah tak lagi bertanggungjawab
“Sus, tolong nenek saya.” “Kami akan melakukan pertolongan dengan cepat. Silahkan kalian urus pendaftarannya lebih dulu.”Setelah, urusan pendaftaran selesai, Kanaya menunggu bersama Rini dengan penuh kekhawatiran di ruang tunggu IGD. Zahra yang berada di gendongan Kanaya sudah tak berdaya dan terlelap. Penyakit jantung Asih kemungkinan besar kambuh karena mendengar kabar mengejutkan mengenai penyitaan rumah milik Kanaya. “Untung saja kalian cepat membawa nenek kalian kesini. Kalau terlambat sedikit saja, pasti nyawanya tidak akan tertolong. Nenek kalian memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya dan sudah sering keluar masuk rumah sakit.” Ucap Dokter sembari membaca rekam medis milik Asih.Dari kertas rekam medis, tertera jelas jika Asih sudah pernah berobat kesini dan beberapa kali harus rawat inap karena penyakit jantung yang sering kali kambuh. “Apa perlu rawat inap?” Tanya Kanaya. “Kami akan melakukan observasi lebih lanjut. Masalah jantungnya sepertinya bertambah parah d
Plak “Berani sekali kamu bicara seperti itu, Mas!” Ucap Kanaya seraya melayangkan tamparan keras ke pipi Hendra. Hendra memegangi pipinya. Tatapan Hendra sangat tajam bak sebuah pedang yang siap menusuk musuhnya.“Semua ini salah kamu, Naya. Jika kamu tidak memperkenalkanku kepada Susi, maka semua ini tidak akan terjadi.” Jawab Hendra mencoba membela diri.Kanaya tersenyum tak percaya, “Kamu bilang ini salahku? Apa kamu tidak punya malu? Kamu yang sudah bermain api dengan Susi dan bisa-bisanya kamu bilang semua ini salahku.”“Sudah cukup! Jangan bertengkar lagi.” Sambar Asih.Asih sudah tidak kuat lagi menyaksikan pertengkaran Kanaya dengan Hendra. “Apa kesalahan yang Naya perbuat padamu?" Dengan tangan keriputnya, Asih menunjuk wajah Hendra. "Selama ini, dia mengabdikan hidupnya padamu, Hendra. Dia bahkan rela bekerja demi membantu mencukupi kebutuhan rumah ini. Tapi, kamu seolah menutup mata dengan apa yang Naya lakukan selama ini. Kamu tidak memberikan nafkah yang pantas untuk