로그인Kanaya seorang wanita berusia 25 tahun harus menelan pil pahit dalam pernikahannya bersama Hendra. Kanaya harus rela pernikahan mereka hancur karena pengkhianatan yang dilakukan oleh Hendra. Dengan sangat tega, Hendra berselingkuh dengan Susi yang merupakan sahabat dekat Kanaya. Mereka berdua tak punya hati dengan mempermainkan perasaan Kanaya. Bahkan, Hendra langsung menjatuhkan talak kepada Kanaya, meski Kanaya mencoba bertahan demi putri mereka yang masih berusia dua tahun. Namun, keputusan Hendra sudah bulat. Pernikahan mereka tak lagi bisa dipertahankan sebab Hendra sudah terpikat dengan Susi. Namun, yang lebih mengejutkan lagi, Hendra menggadaikan sertifikat rumah Kanaya dan Kanaya harus menanggung hutang-hutang Hendra. Alhasil, Kanaya harus memutar otaknya agar tetap bisa menghidupi putrinya dan membayar hutang-hutangnya. Tawaran dari budenya Lastri, akhirnya membuat Kanaya ikut ke Jakarta menjadi seorang pembantu. Dan siapa sangka, niat hati ingin mengadu nasib. Kanaya malah di pertemukan dengan takdirnya. Tanpa Kanaya duga, ia terlibat hubungan yang rumit dengan majikannya sendiri bernama Bramantyo. Bram yang merupakan CEO kaya raya, jatuh cinta kepada Kanaya. Namun, status sosial mereka dan kasta jelas berbeda. Apakah cinta Kanaya dan Bram akan berlabuh?
더 보기"Mulai detik ini, kamu bukan istriku lagi, Kanaya. Aku talak kamu sekarang!"
Kanaya, wanita berusia 25 tahun itu hanya bisa meneteskan air mata mendengar kata talak keluar dari mulut Hendra sang suami. Pernikahan yang sudah mereka jalankan selama tiga tahun ini, harus berakhir setelah kata terlarang itu keluar dari mulut sang suami. "Kenapa kamu mengatakan ini, Mas? Apa salahku padamu?" Kanaya berderai air mata. Raga yang masih lelah karena baru saja pulang bekerja dari kebun teh, kini bertambah sakit dengan kenyataan pahit jika dirinya dijatuhi talak oleh Hendra. "Aku sudah muak denganmu, Naya. Aku tidak bisa hidup miskin terus-terusan dengan istri tak berguna seperti dirimu." Hendra sudah memikirkan keputusan ini matang-matang. Menjalani rumah tangga dengan Kanaya selama tiga tahun, Hendra sama sekali tak merasakan kebahagiaan. Keluarganya dibelit kemiskinan yang tak ada akhirnya. Hendra hanya buruh bangunan dan Kanaya bekerja di perkebunan teh, membuat hidup mereka serba kekurangan. Namun, bagi Kanaya, dia sudah berusaha maksimal. Suaminya bekerja serabutan, tapi gajinya pergi entah ke mana. Setiap harinya, Kanaya menderita karena desas-desus tetangga bahwa Hendra suka bermain wanita dan berjudi di dekat terminal. Kanaya yang bekerja sembari mengasuh putri semata wayangnya, harus susah-payah menghidupi suami seperti Hendra. Bahkan, Kanaya hanya mendapat jatah 500 ribu untuk rumah tangga dan mengurus kebutuhan Zahra. Sisanya? Hendra mengambil semua. Pernah suatu waktu, Kanaya menyimpan gaji bulanannya yang hanya 1.2 juta untuk kebutuhan sang anak. Hendra tiba-tiba datang mengambil uang itu dan mengancam untuk bercerai jika Kanaya tidak memberikannya. Kanaya yang tidak mau anaknya besar tanpa sosok ayah, memilih bertahan, hingga tiba-tiba ucapan itu keluar dari mulut suaminya sendiri. Beberapa kali dia coba mengingatkan suaminya, tapi hasilnya sama. Yang terjadi, malah Kanaya semakin tertekan secara mental. Di satu sisi, dia harus membesarkan putri mereka yang baru berusia dua tahun, ditambah lagi dengan mengurus nenek Kanaya yang sudah sangat renta dan penyakitan. Kebutuhan hidup yang serba mahal membuat Kanaya harus berhutang pada bank untuk mencukupi kebutuhan. Hendra tak tahan dengan kemiskinan yang menimpanya dan dengan mengakhiri pernikahannya, mungkin penderitaan Hendra akan berkurang. Itu pikir Kanaya. "Mas, jangan talak aku. Kita bisa bicarakan masalah rumah tangga kita dengan baik. Kamu pasti hanya terbawa emosi sesaat." Kanaya merangkul suaminya sambil menangis. Pulang kerja, dia ingin berbincang masalah ini dengan suaminya, tapi Hendra malah mengeluarkan kata-kata yang sangat menusuk. "Naya, mau sampai kapan kita mau hidup dalam jurang kemiskinan? Aku ingin lepas dari semua hutang ini. Terus, kamu mau bicarakan baik-baik? Baik-baik apanya?!” Kanaya hanya bisa diam mendengar perkataan Hendra yang menyakiti hatinya. "Tega sekali kamu, mas. Selama ini, aku juga bantu kamu bekerja. Aku tidak diam saja dan berpangku tangan di rumah. Tapi, bisa-bisanya kamu berucap seperti itu pada istrimu sendiri!" Emosi Kanaya meluap-luap. “Justru kamu yang selama tiga tahun ini tidak berguna jadi suami!” Hendra menggeram marah. "Apa katamu? Aku tidak berguna? Aku mengerjakan semua tugas rumah tangga. Cuci baju, mengasuh anak kita, mendengarkan keluh kesahmu tiap malam. Dasar istri durhaka!" “Mas…” "Jangan egois, Mas! Bagaimana dengan Zahra? Apa kamu tega dengan putrimu sendiri?" Hendra memalingkan wajahnya. Ayah mana yang tidak menyayangi anaknya sendiri. Tapi, Hendra juga tidak bisa menampik jika dirinya sudah tidak tahan hidup menderita seperti ini. "Tenang saja. Aku akan tetap memberikan nafkah tiap bulan kepada Zahra." Perubahan sikap Hendra menunjukkan ada sesuatu yang disembunyikan. Setega inikah Hendra dengan Zahra yang bahkan masih sangat kecil itu! "Alasanmu ingin bercerai dariku terlalu klise mas. Masalah ekonomi seperti ini tak hanya dialami oleh keluarga kita saja.” Sekali lagi, Kanaya memohon, bahkan sambil berlutut di hadapan Hendra. “Saat aku berjuang membantumu untuk lepas dari jerat kemiskinan, kamu malah menyerah. Kita bisa berjuang bersama-sama, mas." Hendra menjambak rambutnya sendiri setelah mendengar Kanaya yang mencoba mempertahankan pernikahan mereka. "Jangan coba-coba untuk mempengaruhiku, Naya. Keputusanku sudah bulat dan aku tetap akan talak kamu sekarang,” ucapnya, lantas meninggalkan Kanaya seorang diri di kamar. Kanaya semakin terisak. Dadanya terasa penuh hingga membuatnya sesak sekali. Hendra benar-benar serius dengan ucapannya. Esok dia harus kerja dan tidak bisa larut dalam masalah ini. Dia masih ingin berjuang menghidupi Zahra. Sembari terisak, malam itu Kanaya coba tidur. Sampai tengah malam, hatinya masih sakit, air matanya terus menetes, tapi matanya tak mau terpejam. Hatinya terlalu penuh untuk sekedar bisa bernapas dengan tenang. *** Pagi hari saat dia sudah siap berangkat kerja, dia melihat Hendra tidur. Padahal, saat tadi dia memasak, Hendra masih tertawa terbahak-bahak di depan ponselnya. Entah pura-pura atau sengaja tidak peduli dengan Kanaya. Tapi, Kanaya memilih abai dan pergi bekerja karena harus sampai di kebun teh sebelum jam 9 pagi. Belum ada lima belas menit memetik daun teh, pekerjaannya berhenti saat ada duri yang menancap di telunjuknya. Diperhatikan duri yang menancap itu dan langsung dia cabut. “Sakit, tapi masih sakit ucapan Mas Hendra kemarin malam.” Kanaya melanjutkan pekerjaannya. Tiba-tiba saja, dia melihat seseorang berlari dari kejauhan. Tamu tak diundang, datang tergopoh-gopoh sambil meneriakkan namanya. “Naya... Naya…” Kanaya sedikit mengangkat topi caping yang ia kenakan untuk meluaskan pandangannya. Ternyata yang datang itu sepupunya, Rini. Ada yang aneh. Rini berlari seperti orang kesetanan menghampirinya di perkebunan teh yang ia garap. “Mbak Rini, ada apa?” Rini tak langsung menjawab. Ia mencoba untuk mengontrol nafasnya yang ngos-ngosan. Berlari dari bawah hingga mencapai ke atas sangat menguras tenaganya. Kanaya meletakkan keranjang yang digendongnya di punggung. Ia ulurkan sebotol air minum yang memang selalu ia bawa untuk persediannya. “Minum dulu, Mbak.” Rini tak menolak. Ia meneguk sisa air dalam botol itu hingga habis. “Nggak ada waktu buat minum, Nay. Ini gawat.” Rini menatap Kanaya serius. Tatapan itu membuat Kanaya curiga, apa yang sebenarnya terjadi. Dengan kening yang mengkerut, Kanaya mengajak Rini duduk sebentar dan bertanya, “Gawat kenapa, Mbak?” “Hendra... Suamimu.” “Mas Hendra kenapa?” Rini mencoba menarik napas sedalam mungkin. Suaranya seperti tercekat ditenggorokan hingga sulit untuk dikeluarkan. “Mas Hendra kenapa, Mbak?” Tanya Kanaya mengulang. “Suamimu di grebek warga.” “Hah! Apa maksud Mbak Rini ngomong gitu? Mbak Rini jangan ngada-ngada, ya! Suamiku tadi pagi masih tidur, nggak mungkin dia tiba-tiba digrebek warga.” Kanaya melepas topinya dan menunjukkan wajah kesal. “Suamimu tertangkap basah berselingkuh dengan Susi. Mereka di grebek oleh warga saat sedang melakukan hubungan intim.” Rini menggoyang-goyangkan tubuh Kanaya sangat kuat. “Aku berani sumpah. Selama ini, apa aku pernah membohongimu, Nay?” Tubuh Kanaya seketika melemas. Lututnya seperti jelly hingga tak bisa menopang tubuhnya untuk berdiri tegak. Air mata Kanaya mengalir begitu saja tanpa perintah. “Ya Allah, Mas Hendra.” Kanaya tekan dadanya yang terasa sesak sekali. “Nay, kamu harus datang ke rumah Pak RT. Suamimu dan Susi dibawa kesana sambil diarak warga. Aku nggak tega, sumpah. Kamu harus lihat sendiri, Nay!”Semua orang terlihat sangat bahagia menyambut kelahiran baby Archio yang sangat tampan. Mereka bahkan tak berhenti memuji kelucuan dan ketampanan dari baby Archio. Bahkan, wajah baby Archio mirip sekali dengan Bram sewaktu kecil. Dan untuk pertama kalinya, Linda bisa merasakan menggendong cucu kandungnya. Linda sampai tak bisa membendung air matanya. Edward yang ada disana pun terus memandangi wajah cucunya itu. Dan ini kali pertama Edward merasakan kebahagiaan yang luar biasa. "Mirip dengan Bram waktu kecil kan, Pa?" ujar Linda mencari validasi. "Mirip sekali. Hidung, bibir, dagu mirip sekali dengan Bram." "Mbak Kanaya dapat hikmahnya saja. Kasihan sekali." ledek Bella. Kanaya yang terbaring di bed hanya bisa tersenyum saja. Meskipun, putranya tak ada mirip-mirip nya dengan dirinya, Kanaya sama sekali tak mempermasalahkannya. Yang terpenting baby Archio lahir dengan selamat. "Aku mau lihat adek, Pa. Aku mau cium adek chio." rengek Zahra yang ada di pangkuan Bram.
Sesampainya di rumah sakit, Kanaya lagsung dibawa ke ruang bersalin. Bram pun ikut ke dalam karena ia tak mau meninggalkan sang istri yang tengah berjuang demi melahirkan buah hati mereka. Berjam-jam mereka menunggu pembukaan Kanaya lengkap. Dan selama itu, Bram tak sedikitpun beranjak dari samping sang istri. Bahkan, Kanaya mencoba tak bereaksi berlebihan ketika merasakan betapa sakitnya kontraksi karena ia tak mau membuat Bram khawatir. “Sayang, kamu masih kuat? Kalau tidak, bagaimana kalau kamu bersalin secara caesar saja.” Kepanikan jelas terpancara di wajah Bram. Namun, Kanaya tetap menunjukkan senyumnya di tengah kesakitan yang ia rasakan. “Enggak perlu, Mas. Aku coba normal dulu ya. Soalnya, dulu saat melahirkan Zahra pun aku bersalin secara normal.” Bram mencium punggung tangan Kanaya. Bram bahkan sampai menangis karena tak sanggup melihat istrinya kesakitan seperti ini. “Kamu menangis, Mas?” Kanaya menangkup wajah Bram untuk memastikannya. “Aku enggak tega sama kamu
Sepulangnya dari pertunjukkan seni Zahra, semua orang pergi ke restoran untuk makan siang. Zahra pun sudah berganti pakaian namun riasannya masih menempel pada wajah gadis cantik itu karena Zahra tidak mau jika makeup nya itu sampai di hapus. Dan alhasil, Kanaya membiarkan Zahra bermakeup peri seperti itu. “Makan yang banyak. Kamu pasti capek sekali tadi.” ujar Linda sembari menambahkan nasi ke piring Zahra. “Penampilanku tadi bagaimana Oma? Bagus tidak? Aku tadi nervous banget sampai-sampai aku pengen pipis di atas panggung.” Celetukan dari Zahra mengundang tawa semua orang. Zahra memang tidak pernah bisa bohong. “Bagus banget. Kamu enggak dengar tadi Oma dan Opa teriaknya paling kencang?” “Dengar kok. Aku sampai geleng-geleng kepala.” Kanaya menahan senyumnya karena Zahra sudah pintar untuk menanggapi orang-orang. Dan Kanaya hanya akan menegur jika Zahra sudah melewati batas. “Onty ambil fotoku banyak tidak? Aku mau ibu upload di media sosialku nanti.” “Tenang saja. Onty
Waktu berlalu sangat cepat. Kini, usia kandungan Kanaya sudah memasuki bulan ke sembilan. Kehidupan rumah tangga Kanaya semakin harmonis, terlebih lagi dengan mertua Kanaya yang sudah bisa menerima Kanaya sepenuhnya. Di sisi lain, kehidupan mereka semakin tenang sebab Yasmine dan juga Aron sudah mendapatkan hukuman yang pantas atas kejahatan mereka. Dan semoga saja, ini bisa menjadi pembelajaran yang baik untuk dua orang itu. Dan kini, Bram mulai membatasi aktivitas Kanaya. Bram tak mau Kanaya terlalu lelah karena ini sudah mulai memasuki HPL nya. Bahkan, yang aktif mengatar jemput zahra sekolah adalah Bram dan bergantian dengan Linda. Zahra sudah berusia tiga tahun lebih sekarang dan sudah masuk pra sekolah. Bram memasukkan Zahra ke sekolah yang elit dan itu membuat Kanaya senang karena Bram tak pernah memperlakukan Zahra dengan buruk. “Kamu harus banyak makan sayur dan protein, Kanaya. Tambah lauknya lagi.” Linda langsung meletakkan paha ayam di piring Kanaya yang sudah ham






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
리뷰