Seminggu berlalu, resepsi pernikahan Harris dan Safina digelar dengan begitu meriah, Opah Jannah ibu kepada Dato' Jamal yang tinggal di daerah Pahang juga turut hadir untuk menyaksikan persandingan cucu sulungnya, meskipun dalam hati tuanya sangat menyayangkan tindakan Harris tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya memberi semangat pada Rania, cucu menantunya.
Tiga tahun yang lalu saat honeymoon ke Genting Highlands bersama Harris, Rania memang diajak mampir dulu ke rumah neneknya. Opah Jannah sangat menyukai Rania karena sifatnya yang sederhana dan sopan terhadap orang tua. Siapa sangka cucunya akan menikah lagi dengan wanita lain. Saat resepsi itu berlangsung Rania tampak tenang, tapi Opah Jannah tahu wanita muda itu menyimpan banyak luka dalam hatinya.
“Opah sudah makan?” sore itu setelah acara resepsi selesai, Rania menghampiri Opah Jannah yang sedang duduk di sofa panjang sebelah dapur.
“Opah belum lapar, Sayang. Mari sini duduk sama OHarris mendengus pelan mendengar pertanyaan dari istri keduanya, tidak dijawab tapi ia bergegas menuju ke kamar mandi. Emang apa salahnya kalau ia bercinta dengan Rania. “I mau mandi.” “Bie, jawab dulu soalan i!” jeritan Safina tidak dihiraukan. Harris menghilangkan diri di balik pintu setelah mengambil bathrobe-nya. “Tuh kan benar, you memang habis bersama Rania kan?” Safina langsung menodong suaminya setelah melihat rambut Harris basah. “Fina, tak salah kan kalau i bersama dia, dah dia juga istri i. Seminggu ini i tak jumpa dia sama sekali, kalau i tak adil dengan kalian berdua, i yang tanggung dosa tau.” Harris heran dengan kemauan Safina, Rania juga ada hak atas dirinya. Mendengar jawaban Harris membuat Safina kesal. Memang benar kalau Rania itu juga istri dari suaminya. Tapi, tunggulah saat tiba jatah pembagian hari pada mereka berdua, bukan saat Harris dan dia sedang sibuk dengan urusan pesta mere
Rania segera mengusap air mata yang jatuh di kedua pipinya, Opah yang mendengar suara Aira di ambang pintu dapur menoleh ke arah Rania.“Eh, Aira. Taklah, kakak tidak menangis, ini pedih karena kupas bawang merah.” Rania mengangkat satu siung bawang merah dan ditunjukkan pada birasnya. Aira tersenyum, ia tidaklah bodoh sangat sehingga tidak tahu mana air mata karena pedih mata dan mana tangis pedih hati.Opah menghentikan kerja tangannya, Aira menggantikan Opah Jannah mengaduk-aduk kuah gulai daging di atas kompor.“Kalau terlalu pedih, biar Opah yang buat nanti. Gulai sudah mau masak, bawang merahnya butuh sedikit saja, Nia.”“Sudah selesai Opah, ini.” Rania memberikan baskom berisi bawang pada wanita tua yang baik hati itu.5 wanita berbeda generasi itu menyiapkan makan malam sehingga menyusun rapi semua hasil masakan di atas meja makan.
Safina mengetatkan rahang dan mengepalkan tangannya, kesal dengan Rania, madunya itu ternyata tidak selemah yang dikira selama ini. Rania kembali berjalan di samping Safina, ia masih meneruskan langkah untuk membantu para asisten rumah tangga membawa piring-piring kotor ke dapur, tapi tidak sedikitpun ia menoleh pada Safina, ia cuek seolah wanita itu tiada di sana, malas ribut lagi.Selesai acara makan malam, Rania meminta diri untuk naik ke kamar atas, ia akan menata barang-barangnya yang akan dibawa pulang ke Jakarta. Setelah menutup resleting travel bagnya, Rania masih berpikir lagi, karena ada beberapa barang yang tidak masuk. Rania berdiri di dekat jendela sambil memijat pelipisnya, ia menarik nafas dalam-dalam. Lalu menghembuskan dengan kasar.Rania kembali mengeluarkan beberapa baju dan selendangnya dari travel bag, itu akan ia tinggal saja, toh di Jakarta juga bajunya sudah banyak. Akhirnya setelah beberapa helai baju dikeluarkan, travel bag itu ada
Air mata Nyonya Gisel bercucuran melihat siapa yang masuk ke dalam kamarnya, putra yang sangat ia rindukan. Putra yang telah ia sakiti hatinya. Alex Rayyan mendekati Pak Heru, tangan pria berumur itu dicium dengan hormat. Alexa berdiri dan memeluk kakaknya. Air matanya jatuh, melihat wajah tenang sang kakak, jalan hidupnya yang penuh duri tidak mengubah sedikitpun pribadinya, dia tetap menjadi seorang kakak yang sayang pada semuanya.“Kak Ray, gimana kabarnya?”“Kakak baik.” rambut adiknya diusap dengan sayang.Alex Rayyan melepaskan pelukannya, ia berjalan menghampiri surganya, tangan Nyonya Gisel diraih, dan dicium penuh kasih.“Maaf, Ma. Ray baru bisa pulang. Kenapa sampai sakit begini.” Wanita pertama dalam hidupnya, ibu yang melahirkan ia ke dunia dipeluk erat.“Maafkan, Mama. Maafkan Mama.” Nyonya Gisel masih terisak-isak dalam pelukan putranya.
Alexa kaget mendengar ucapan dari kakaknya, baru kemarin ia telpon Rania, tidak ada cerita tentang suaminya sama sekali, bahkan suara Rania juga ceria seperti tidak ada masalah berat dalam hidupnya.Alexa memandang kakaknya.“Apa maksud Kak Ray? Ini serius banget, tapi Rania tidak pernah cerita, Kak Ray tahu dari mana?” ditanya seperti itu Alex Rayyan hanya diam.“Jangan bilang, Kak Ray masih mengikuti perkembangan Rania sampai sekarang, itu salah Kak, dia istri orang!” Alexa kembali berkata karena belum juga ada jawaban. Alex Rayyan menarik napas berat.“Tidak perlu tahu Kakak mengetahui semua ini dari mana, yang jelas, dia sekarang tengah tidak bahagia. Dia tidak seperti yang kita duga.”Alex Rayyan bangun dan berjalan menuju jendela kaca yang menampakkan pemandangan halaman belakang.“Kalau ini memang benar, berani sekali Harris Iskandar itu, seenaknya saja
Rania ketakutan, ia berdiri untuk keluar dari mobil. Hatinya berdoa semoga ada orang yang lewat dan menolongnya, tapi jalanan sepi begini mana ada orang.“Anda siapa? Saya bisa laporkan ini sebagai perampokan, bukankah Anda harusnya mengantar saya sampai tujuan?”Pria itu mengacungkan pisau tajam kepada Rania.“Jangan banyak bicara, Nona! Keluarkan semua barang berharga yang kau miliki, sekarang!”“Saya tidak memiliki apa-apa.”“Jangan banyak omong! Atau pisau ini yang akan berbicara!” lelaki itu menghardik Rania, pisau tajam berkilat yang diacungkan membuat Rania ketakutan.Sebuah motor sport berkuasa tinggi, berhenti tepat di belakang mobil milik lelaki yang sekarang mengancam Rania dengan sebilah pisau.“Hentikan!” pria yang baru datang itu membuka helmet yang dipakai lalu meletakkannya di atas motor.Seketika Rania dan lelaki
Rania terdiam, pertanyaan Alexa seolah todongan belati yang siap merobek hatinya. Bagaimana Alexa bisa tahu? “Beb, elo salah dengar pasti, gosip itu tidak benar sama sekali. Hehe.” Rania berpura-pura tertawa. (Tidak, Beb. Gue yakin itu bukan hanya gosip atau berita hoax, elo menyembunyikan sesuatu dari kami. Come on, gue tahu elo butuh teman untuk cerita) Rania menarik napas berat dan mengeluarkan dengan perlahan. “Semua sudah terjadi, gue bisa apa.” akhirnya ia mengaku juga. (Brengsek! Sekarang di mana pria tidak tahu diri itu? Gimana ini bisa terjadi, dan elo Beb, apa elo tidak marah? Kenapa elo izinkan dia untuk menikah lagi? Atau Harris menikah secara diam-diam?) Pertanyaan dari Alexa bertubi-tubi. Tampak sangat dia kesal dan tidak sabar. “Gue jawab satu persatu, tapi gue minta sama kamu Beb, jangan sampai Papa tahu, gue tidak ingin papa banyak pikiran karena gue.” Rania mengatur napas.
Mendengar pertanyaan dari sang ibu, membuat Alex Rayyan terdiam. Ia tidak mau ibunya tertekan lagi. Nyonya Gisel tidak pernah menyukai Rania, bahkan ia sangat menentang hubungan mereka waktu itu. Masih terlintas jelas di benaknya bagaimana pertengkaran terjadi diantara mereka ketika pernikahannya dengan Rania terbongkar. Masih segar juga dalam ingatannya perlakuan Nyonya Gisel tiap kali bertemu dengan Rania.“Ray, Mama bertanya sama kamu.” lamunan Alex Rayyan diusir dengan penegasan kalimat dari mamanya.“Kenapa Mama bertanya tentang itu, lupakan saja, Ma. Sekarang yang terpenting adalah kesehatan Mama.” dokter muda berwajah tampan dengan sorot mata penuh kasih itu akhirnya duduk di depan Nyonya Gisel, karena wanita itu enggan untuk beranjak dari tempatnya.“Mama juga ingin melihat putra Mama bahagia, sudah banyak luka yang Mama torehkan karena keegoisan hati Mama. Bahkan sekarang semua yang pernah