Share

Luka tak berdarah

Suhana masih menggenggam erat tangan Rania, bahu gadis itu bergetar menahan tangis, hatinya pedih mendengar butir demi butir kalimat yang menyusup ke telinga, memang suara tangisnya tidak terdengar, dia mati-matian menahannya, tapi air mata tidak mampu lagi untuk disembunyikan, soal rasa kecewa jangan lagi ditanya, sakit jangan lagi dikira, pertikaian orang-orang itu membuat tulang-tulang Rania seakan lembek tanpa tenaga. 'Sampai hati kamu Abang, sampai hati.' rintih hatinya penuh luka.

“Nia, sabar.” ucapan lirih dari Suhana membuat Rania semakin pilu, dia tidak punya siapa-siapa lagi untuk mengadu kecuali Suhana sekarang ini.

“Hana, bawa aku pergi dari sini.” Rania memohon pada Suhana. Ia tidak akan mampu untuk mendengar lebih jauh, rasa hatinya bagai diiris dengan sembilu.

“Tidak, Nia, Abang Harris harus tahu kamu ada dekat sini, takkan kamu tak mau bicara dengan dia? Lebih baik minta penjelasan dengan dia secara langsung. Biar semua jelas dan clear.” Suhana memberi saran dan pertimbangan.

“Dia nggak perlu tahu sekarang, aku tak ingin ketemu dia saat ini, sakit Hana, sakit.” Rania memukul dadanya berulang kali untuk meredakan sakit yang merajam hati, air mata yang gugur bak hujan menunjukkan dirinya benar-benar hancur saat ini. Suaminya kena tangkap khalwat dengan wanita lain. Baru tadi pagi dia menghubungi sang suami, begitu mesra Harris mengatakan rindu padanya, mengucapkan kata cintanya untuk sang istri, betapa ironis hidup gadis itu.

Suhana mengelus bahu Rania, lalu menarik lengannya, travel bag yang dibawa Rania tadi memang berukuran kecil jadi tidak terlalu berat untuk ia bawa sekali.

“Ayo, ikut aku. Kamu perlu tenangkan diri.” Rania hanya mengangguk, mengikuti langkah Suhana menuju ke arah mobil gadis itu.

“Kamu tinggal dengan saya, tenangkan diri dulu. Besok baru kita pikir apa yang patut kamu buat. Bersabar, saya yakin kamu bisa lalui ini.” sekali lagi Rania hanya mengangguk, seperti ada yang hilang dari dirinya, yaitu semangat untuk hidup. Suara-suara tadi kembali terngiang, tangannya di kepal dengan kuat, benci dengan Harris benci dengan kebohongannya. Benci dengan nasib percintaannya.

Tiga puluh menit berlalu, mobil Suhana masuk di kawasan parkir sebuah restoran, dia menekan break dan menoleh pada Rania. Air mata gadis itu membuatnya tersentuh dan ikut merasa sakit. Tidak pernah menyangka kalau sepupunya bisa menyakiti istrinya dengan cara seperti ini.

“Kamu mau makan apa-apa tak? Cakaplah, biar aku beli.”

Rania menggeleng pelan, selera makannya sudah hilang sejak tiba di rumah mewah mertuanya tadi.

“Nia, duduk dekat sini sebentar ya, aku mau beli makanan, di rumah tidak masak. Takut lapar saat malam.”

Suhana meninggalkan Rania di dalam mobil, dia tahu Rania belum makan seharian ini.

Rania menatap pada bayangan Suhana yang semakin menjauh lalu mencari ponselnya di dalam tas, ponsel segera diubah menjadi mode silent.

Kenangan pertama kali bertemu dengan Harris kembali berlayar di ingatan. Manisnya saat mereka mulai saling jatuh cinta membuat Rania di kelilingi kebahagiaan, Harris begitu baik padanya dulu, selalu ada saat dia butuh, selalu menjadi dewa penolong ketika gadis itu sedang dalam kesulitan, suaminya selalu mendukung ketika keluarga mertuanya memojokkan tentang keturunan. Rania tidak tahu kenapa sudah tiga tahun menikah belum juga ada keturunan, padahal dia dan Harris aktif dalam hubungan suami-isteri, bahkan dulu hampir tiap hari, mungkin rizeki belum miliknya, dan dia selalu berfikiran positif pada takdirnya.

Harris dan Rania sudah ke dokter untuk melakukan berbagai macam pemeriksaan kesehatan, hasilnya bagus. Kata dokter mereka cuma butuh kesabaran saja.

Pintu mobil kembali terbuka, Suhana masuk dengan beberapa bungkus makanan membuyarkan lamunan gadis itu.

“Sorry, agak lama. Pelanggan di sana agak padat tadi.”

“Nggak apa Hana.” Rania tersenyum pada Suhana.

Gadis berjilbab krem itu meletakkan barang-barang bawaannya di jok belakang, dan kembali membawa mobil keluar dari parkiran. Pikiran Rania masih dipenuhi dengan tanda tanya besar, apa benar yang didengar tadi, Harris ada hubungan dengan bekas tunangannya, Safina.

Rania ingat, beberapa kali dia bertemu dengan Safina, nama itu dulu pernah meniti di bibir ibu mertuanya, tapi dulu Datin Maria tidak suka dengan Safina karena dia sudah meninggalkan Harris, saat mereka ada rencana mau menikah. Harris juga sempat terpuruk karena itu. Sempat membawa luka hati ke tempat yang jauh.

Pertama bertemu dengan Safina, dia sudah tidak menyukai Rania, dari cara dia memandangnya seperti Rania tidak layak untuk Harris, dia sudah pernah bertanya dengan Harris tentang siapa Safina, jawabnya juga bisa sedikit menenangkan hatinya. Tapi kenapa kini kenyataan pahit yang harus di telan. Apa Harris memang belum bisa move on dari dia. Ya Allah, ujian apa ini?. Rania teringat nasehat papanya kemarin malam. Seolah Pak Heru bisa merasakan apa yang akan terjadi padanya. Sebutir airmata yang mau jatuh diseka dengan lengan baju. Dia melayangkan pandang ke depan menikmati pemandangan kota Kuala Lumpur di malam hari.

“Kita sudah sampai.” mobil berhenti di depan rumah lumayan besar, bagus juga rumahnya, hanya dua tingkat dan menghadap area taman, ini cocok banget untuk membesarkan anak-anak, malam makin sepi, sudah hampir tengah malam, Rania merasa capek sekali saat ini. Setelah mobil berhenti di tempat parkir mereka keluar dari mobil dan Suhana mengajak untuk masuk kedalam rumah.

“Ini kamarmu Nia, jangan segan tau, anggap aje ini rumah sendiri. Meskipun tidak semewah di Jakarta.”

“Kamu tinggal sendiri ya, rumahnya masih bersih banget. Tidak perlu mewah Hana, yang penting nyaman.”

“Tahun lalu papa hadiahkan rumah ini buatku, bertepatan hari pembukaan usaha kedai bunga milikku, dan tahun kemarin juga aku mulai tinggal di sini, balik ke Sabah beberapa bulan sekali saja.” Suhana menarik travel bag Rania masuk ke dalam sebuah kamar yang rapi tata ruangnya.

“Sorry kalau agak berantakan, aku belum ada asisten rumah tangga, hanya bayar orang untuk kemas dan bersih-bersih dua minggu sekali.”

“Ini sudah cukup kok, terima kasih.” Suhana mengangguk dan menepuk bahu Rania.

“Cari aku kalau kamu butuh teman cerita, aku ada.” ketulusan di balik ucapan Suhana meruntuhkan tembok pertahanan Rania, dia menangis lagi akhirnya, Suhana menarik Rania dalam dekapannya, menepuk pelan punggung gadis itu. Meminjamkan ketenangan hatinya.

“Aku tidak tahu apa yang membuat suamiku melakukan itu Hana, ini terlalu mendadak, apa karena kami belum punya keturunan, atau karena Harris masih cinta sama dia, aku merasa gagal sebagai istri, aku tidak berguna.”

Suhana menggosok bahu Rania perlahan berusaha menenangkannya.

“Sssstttt, tidak benar itu, bukan kamu yang gagal dalam hal ini Nia, yang gagal itu Abang Harris, dia gagal menjaga hati istrinya, dia gagal menolak godaan Safina, sabar dan yakinlah kalau ini ujian yang bisa kamu lalui.”

Rania melepaskan pelukan dia membuka jilbab yang dipakainya, Suhana membuka lemari dan mengambil handuk, lalu memberikannya pada Rania.

“Bersihkan diri, ada shower air panas, kalau mau makan ke dapur ya, aku juga mau bersihkan badan.”

“Sepertinya aku tidak lapar,”

“Ya sudah, kalau gitu makanannya aku simpan di kulkas saja.”

Ponsel Rania bergetar, ada panggilan w*ttsap masuk dari suaminya. Rania membiarkannya tidak mau menjawab, dia membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, lelahnya agak berkurang setelah dia membersihkan diri, dia memejamkan matanya, tidak mau bicara dengan Harris meskipun hanya lewat panggilan telepon. Dia butuh ketenangan juga ruang untuk sendiri.

Harris tidak akan menyangka kalau Rania sudah mendengar semuanya.

*****

“Tadi malam itu saya seperti melihat Rania di sini Mak,” Art yang bernama Tuti itu memberitahu Mak Bedah yang sedang sibuk membuat cucur udang. Tuti tidak tahu ada Harris yang sedang mengambil air didalam kulkas, Harris langsung menoleh pada Tuti.

“Kak Tuti salah lihat kali. Istri saya ada di Jakarta sekarang.” Ucapan Harris itu seolah menenangkan hatinya sendiri, bagaiman jika yang dikatakan Tuti itu benar.

“Iya Tuan Is, saya ndak mungkin salah lihat. Wong dia datang dengan Suhana.”

Harris segera meninggalkan dapur dan kembali naik kekamarnya, ‘Matilah aku kalau yang dikatakan Tuti itu benar’

Sekali lagi Harris menghubungi nomor istrinya, tersambung tapi tidak diangkat, sudah lebih dari tiga puluh kali tapi tidak dijawab. Harris nekat menghubungi sepupunya Zaidan, dia yakin Zaidan tahu sesuatu.

(Assalamu'alaikum, pengantin baru stok lama, sudah jumpa bini tercinta 'kan?)

Keringat dingin tiba-tiba keluar dari setiap pori-pori di tubuh Harris.

“Maksud nya apa Zai?”

(Rania menyusul Abang kemarin, buat-buat bodoh pula)

“What? Jadi benar Rania datang tadi malam,”

Harris jatuh terduduk di atas tempat tidur.

‘Maafkan Abang sayang, maafkan abang. Abang kalah dengan nafsu.’

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Goblok kamu haris
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status