Share

The Explanation

Harris menghubungi Suhana, dia yakin Rania sedang marah padanya sekarang, dan dia juga yakin Suhana tahu tentang keberadaan istrinya di mana.

Setelah beberapa kali deringan, panggilan diangkat.

(Assalamu'alaikum, iya Abang, ada apa?)

“Waalikumussalam, Rania mana, istri aku mana?”

(Wait Abang, itu 'kan istri Abang, kenapa tanya pada Su?)

“Jangan berpura-pura tidak tahulah Su, malam tadi Su ada bawa Nia ke sini 'kan?”

(Kata siapa Abang?)

“Abang tak butuh bantahan, yang Abang inginkan adalah jawaban, di mana Rania sekarang!” Suhana tertawa kecil mendengar suara Harris yang meninggi.

(Mana Su tahu? Nia 'kan istri Abang, call ponsel dia, ada nomor dia kan? Atau Abang yang terlalu asik enjoy dengan betina itu sampai Abang Is lupa bini sendiri di mana!) Suara Suhana semakin meninggi tidak mau kalah dengan Harris.

“Jangan kurang ajar dengan Abang, Su! Ini last warning! Di-ma-na-is-te-ri-Abang?”

Tut Tut Tut...

Panggilan diakhiri, Harris melempar ponselnya di atas kasur, dia kusut saat ini, telepon istrinya tidak bisa dihubungi dan sepupunya tidak mau berterus terang padanya. Akhirnya Harris bersiap untuk ke rumah Suhana. Pria itu turun dan mencari ibunya di dapur, tapi Datin Maria tidak ada di sana. Harris ke taman belakang, sore hari begini pasti sang ibu ada di taman bunga orchid kesayangannya.

“Is mau kemana terburu-buru begitu?” tanya Datin Maria.

“Is mau ke luar sebentar Ma, ada urusan.”

“Hei, urusan pernikahan Is dan Fina bagaimana? Kenapa belum buat persiapan sama sekali, 3 hari lagi Is, singkat sangat tuh waktunya.”

Harris memejamkan mata seketika, pikirannya semakin kalut. Dia memegang kepalanya. Pusing.

“Ma, kita bicara tentang itu nanti, biar Is selesaikan urusan Is dulu.”

“Okay, take care. Dan ingat! Jangan kecewakan Mama juga papa!”

“Is akan coba, Ma,” Harris mencium tangan Datin Maria lalu menuju pintu utama.

Datin Maria mengerutkan dahi, ada urusan apa sebenarnya, kelihatan masalahnya sangat besar. Putra sulungnya itu kelihatan kusut dan banyak pikiran. Datin Maria kembali fokus pada bunga-bunga kesayangannya. Tangannya kembali memotong daun-daun yang mulai menguning dan kering.

****

Di rumah Suhana,

Harris sedang berdiri di ruang tamu, ia tegang seolah sedang menunggu panggilan dari hakim mahkamah. Ponselnya dari tadi berdering, Safina terus menelpon sejak dia keluar rumah tadi, tapi karena pikirannya kusut dia tidak mau menjawab panggilan itu.

Masalahnya dengan sang istri harus diselesaikan terlebih dulu. Kalau benar Rania sudah sempat datang ke rumah keluarganya, itu berarti banyak sekali penjelasan yang harus ia berikan.

“Assalamualaikum.” Rania meraih tangan Harris dan menciumnya seperti selalu. Hatinya sakit membayangkan tangan itu sudah menyentuh wanita lain. Tapi sebagai bentuk sopan santun dan hormat pada sang suami, ia tetap menguatkan hati.

“Waalaikumussalam Sayang, Sayang ke mana saja, Abang call kenapa tidak diangkat, chat juga tidak dibalas?” Harris membawa Rania dalam dekapan hangatnya.

“Nia ada Abang, Nia ada bahkan bisa mendengar pertikaian besar keluarga di rumah orang tua Abang tadi malam.” Rania meleraikan pelukan, wajahnya memerah, ada kesedihan di sana. Ia sedang menahan gemuruh hati juga perasaannya.

Rania mencoba menyembunyikan air matanya. Dia mempersilakan suaminya untuk duduk. Setelah Harris duduk, ia pergi ke dapur mengambil air minum untuk suaminya. Dan kembali dalam beberapa menit sambil membawa air dan biskuit. Rania duduk di depan Harris dan menatap suaminya yang kini juga menatapnya lekat.

“Kenapa datang tak kasih tahu Abang? Sayang sehat?”

“Niat Nia mau kasih Abang surprise, tapi siapa sangka Nia yang dapat surprise sebesar ini.”

Rania menyindir dengan tersenyum pahit.

Harris tidak mampu menatap mata istrinya. Ada lautan kekecewaan di sana.

“Kita pulang ke rumah mama setelah ini.”

“Tidak, sebelum Nia dapat penjelasan dari bibir Abang sendiri,”

“Nanti Abang akan jelaskan semua di sana.”

“Nia mau penjelasan itu sekarang, Abang, give me the explanation, supaya Nia bisa percaya dengan Abang lagi,”

“Maafkan Abang, Abang khilaf.”

Rania berdiri lalu berbalik dan membelakangi suaminya, air mata yang mengalir diusap dengan jarinya, dia tidak siap mendengar cerita yang akan menghancurkan kepercayaannya pada sang suami, tapi dia ingin kejujuran Harris padanya. Permintaan maaf Harris seolah menjawab semua yang sedang ada dalam pikiran.

Harris mendekati Rania, dia berlutut di belakangnya. Tubuh istrinya itu bergetar menahan tangis, menahan luka hatinya yang sangat perih saat ini. Kepercayaannya sudah dinodai, pernikahannya sudah dicemari.

“Abang khilaf, Abang terlena dengan rayuan Safina, maafkan Abang, Sayang.” Harris merayu, suaranya terdengar sendu dan penuh sesal.

“Jadi benar Abang tidur dengan dia? Abang lupa dengan janji Abang pada Nia dulu, sampai hati Abang, sampai hati Abang menodai kepercayaan Nia sama Abang, kenapa Abang, kenapa?!” akhirnya tangis Rania pecah juga, jantungnya seolah diremas, sakit. Hatinya seperti dicincang halus, hancur menjadi potongan-potongan kecil. Cinta dan kesetiaannya sudah disia-siakan oleh sang suami. Kepercayaan yang ia junjung tinggi dikhianati.

“Maafkan Abang, tolong maafkan Abang,”

“Sekarang Abang pilih, Pernikahan kita atau dia.” Rania berkata masih belum menoleh pada suaminya, dia membiarkan Harris tetap berlutut di belakangnya, tangannya yang tadi ada dalam genggaman sang suami ditarik paksa. Mengepal kencang dan dilipat di depan dada. Tidak Sudi disentuh Harris lagi.

“Tolong mengerti Abang, jangan beri Abang pilihan yang sulit begini,”

“Maksud Abang apa?”

“Abang harus menikahinya, atau Abang dicoret dari daftar keluarga.” seperti ada batu besar yang menindih dadanya, nafas Rania sesak terasa. Udara di dalam ruangan itu seperti tidak cukup untuk bernafas. Air mata semakin deras mengalir, sebenarnya kaki lemah setelah mendengar ucapan suaminya tadi, kesalahan sebesar itu dibilang khilaf. Hati terasa sakit dan hancur!

‘Semudah itu kau minta maaf, setelah kesalahan sebesar itu Abang, sampai hati.’ jerit hati Rania.

“Semua sudah jelas sekarang, Abang boleh pergi. Biarkan Nia tenang di sini.”

“Tidak, Nia harus ikut Abang pulang, Nia istri Abang, tempat Nia di sisi suami,”

“Abang ditunggu semua orang di rumah sekarang, mereka menunggu keputusan dari Abang.” suara Rania begitu lemah. Dia tidak berdaya, dia tidak sanggup melihat suaminya harus berada dalam pilihan yang sulit, keluarga mertuanya sangat membencinya. Dan dia sadar kebencian itu semakin parah setelah usia pernikahannya masuk di tahun ketiga.

“Abang cinta Nia, Abang tidak akan tinggalkan Nia, meskipun harus menikahi Safina.”

“Bohong, itu bukan cinta, itu egois namanya.”

“Tidak! Abang tidak bohong Sayang, Abang cinta Nia sampai kapan pun. Nia akan tetap jadi istri Abang.”

“Nia tidak mau dengar apapun lagi saat ini, biarkan Nia sendiri.”

Rania meninggalkan Harris yang masih berlutut di atas lantai, dia melangkah tanpa menoleh dan masuk kedalam kamar. Tangisannya kembali pecah di sana.

“Kenapa Abang, kenapa buat Nia seperti ini.” rintihan Rania begitu memilukan hati.

Rania terus menangis di dalam kamar tamu rumah Suhana, sementara di luar kamar, Harris masih berlutut dan mengusap air mata yang jatuh di pipi. Bohong jika hatinya tidak tersentuh, bahkan cintanya masih utuh untuk istrinya itu, ingin sekali Harris masuk ke dalam kamar itu dan memeluk sang istri, memberinya ketenangan, tapi dia tahu saat ini istrinya tidak mau diganggu. Kekesalan hatinya adalah kenapa dia gagal melawan godaan, kesalahannya dia tidak mampu menjaga kesetiaan pada istri yang ia cintai..

Harris berdiri ketika melihat Suhana keluar dari kamarnya.

“Untuk apa menangis di sini? semua orang di rumah Uncle sudah menunggu kepulangan Abang. Mau Abang menangis darah pun, tidak akan mampu mengubah kenyataan.” Harris mengangkat wajahnya yang sembab dan menatap wajah Suhana, gadis manis itu mengulurkan kotak tisu padanya.

“Su tahu dari mana?”

“Tadi Suhaiza call sebelum Abang sampai, dia tanya Abang kesini tak? semua orang tengah cari Abang, Tan Sri Ja'afar dan keluarga juga ada di sana.”

Harris mengeluh perlahan, Tan Sri Ja'afar adalah papa Safina, pasti kabar ini sudah sampai di pihaknya. Tadi malam saat penggerebekan memalukan itu Tan Sri dan istrinya masih berada di London tidak bisa datang ke pejabat JAIS. Dan sekarang sepertinya dia baru saja sampai dari luar negeri.

“Baiklah Abang, biarkan Nia di sini, dia butuh ketenangan.” pinta Suhana pada Harris.

“Abang yang tak tenang, Su, Abang sudah gagal menjadi seorang suami, Abang sudah menyakitinya.” wajah Harris penuh penyesalan.

“Kapan Abang menikah dengan Safina,”

“Tanggalnya belum jelas, tapi harus dalam Minggu ini,”

“Kenapa family Uncle tidak bayar denda saja?”

“Abang sudah minta dengan mama, tapi mama bersikeras untuk Abang menikahi Safina.”

“Dan Abang adalah pria lemah, apa Abang harus ikuti kemauan mereka?”

Suhana berdecak kecil, kesal dengan sikap sepupunya yang tidak bisa memilih. Terlalu menuruti ucapan Datin Maria.

“Semua karena anak, Nenda dan mama selalu menuntut Abang dan Nia agar ada waris, tapi belum ada rezeki kami.”

“Itu bukan salah Rania Abang, masih boleh usaha kan, kalian juga bisa ikut program hamil 'kan?”

“Papa ada projek besar dengan Tan Sri Ja'afar, dan jika dibatalkan akan mengalami kerugian besar, bernilai jutaan dollar, Tan Sri tidak mau malu karena media sudah tahu tentang penggerebekan itu. Nama besar Tan Sri bisa hancur kalau putrinya tidak jadi menikah.”

“Ini bukan lagi soal anak, Bang, tapi lebih pada bisnis, pada jual beli, dan Safina mengambil keuntungan dari keadaan ini. Perempuan ular!”

Suhana mulai marah besar.

“Cukup Su, dia calon istri Abang sekarang. Mungkin 3 hari lagi kami menikah.”

“What??”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status