Hubungan Alisha dan sang senior menjadi dingin. Sejak bersitegang dengan perempuan itu di depan apartemennya, Arlan memilih menjaga jarak. Ia kecewa. Sudah pasti. Cemburu? Jangan ditanya! Lelaki itu cemburu pada Damian hingga rasanya ingin menonjok muka sang atasan. Padahal ia yang berusaha selalu ada untuk Alisha, tapi mengapa justru pria itu yang berhasil membawa si perempuan pulang larut malam? Arlan semakin kecewa, sebab Alisha lebih memilih membela Damian di saat lelaki itu berusaha membela dirinya. Bukankah seharusnya Alisha menurut kata Arlan? Ia bukan sekadar omong kosong, tapi mengingatkan kondisi Alisha sesuai anjuran yang disarankan oleh dokter. Apa ia salah? Toh, ia benar-benar peduli pada Alisha. Terlepas bagaimanapun kondisi Alisha sekarang. Perihal perempuan itu tak membalas perasaannya, Arlan tak menjadikannya soal. Asalkan, Alisha dan bayinya tetap sehat dan selamat hingga perempuan itu melahirkan. Tapi, sikap Alisha membuat Arlan semakin kecewa pada perempuan i
Ketiga perempuan itu tampak menyedihkan ketika Arlan datang tergopoh disusul oleh Aceng dan yang lain. Mereka masih tak juga melepaskan cengkraman di rambut masing-masing dan melontarkan kalimat makian. Lebih tepatnya Arin dan Mazaya-lah yang menjabak rambut Alisha tanpa ampun. Bahkan kedua perempuan itu seakan tak peduli ketika keadaan di sekitarnya mendadak ramai. Erika berada di antara mereka bersama salah seorang anak buah Mariska yang berusaha melerai ketiga perempuan yang sedang berseteru itu. Namun, sepertinya usaha mereka sia-sia. Ujung bibir Erika berdarah. Mungkin akibat kena pukul saat berusaha memisahkan mereka. "Cukup!" seruan Arlan menggelegar memenuhi toilet di lantai gedung divisi departemen kreatif. Meski begitu, tetap saja mereka tak hendak menghentikan perbuatannya. Hanya Mazaya yang sesaat tampak tegang, tapi tak juga melepaskan tangannya dari rambut Alisha. Dengan geram, Arlan mencengkram tangan Mazaya dan menyentakkannya dengan kasar. Lantas menarik Alisha
Pengeroyokan yang dilakukan anggota tim lima di bawah kepemimpinan Arlan kepada salah satu anggota tim dua di bawah kepemimpinan Erika, dengan cepat sampai ke telinga Damian. Pria itu langsung dihubungi sang kepala HRD yang mana juga merupakan paman dari Devano. Itulah mengapa ia berada di ruangan ini sekarang. Menatap kedua anak buah Arlan yang sudah membuat keributan. Tatapan tak lepas dari Mazaya dan Arin yang hanya bisa menunduk malu. Menyembunyikan wajah mereka yang berantakan. "Di mana yang satu? Bukannya Pak Arwin bilang ada tiga orang?" tanya Damian sambil tak lepas menatap kedua orang perempuan tersebut. "Lukanya cukup parah, Pak. Salah satu ketua tim Anda membawanya ke klinik perusahaan."'Alisha?' gumam pria itu dalam benaknya.Pria itu mulai tak tenang dan ingin segera mengetahui kondisi si perempuan. Namun, ia masih harus tertahan di sini. Damian masih harus mengurus kedua anak buahnya itu sebelum fokus pada Alisha. Saat mendengar terjadi keributan yang melibatkan an
Ruangan yang sempat sunyi akibat sikap impulsif Damian, kini justru ramai akibat ucapan sang atasan. Mereka saling pandang sebelum akhirnya menggoda staf junior yang baru bergabung beberapa minggu terakhir. "Apa itu tadi? Jadi asisten Pak Damian?" Erika mengulang ucapan Damian begitu sang atasan kembali ke ruangannya. "Jadi, apa yang terjadi sampai hubungan kalian berkembang sepesat ini?" goda Rini yang lebih dulu mencium gelagat aneh sang atasan dan staf junior di divisi mereka. "Yakin, pasti ada yang terjadi kan di antara kalian? Kalau nggak, mana mungkin si Snowman itu tiba-tiba perhatian. "Lalu, apa katanya tadi? Asisten? Wah, ini sih awal kebucinan," ucap Mariska tak kalah antusias menggoda Alisha. "Mbak, bukan gitu. Yang ada, ini tuh perbudakan jenis baru tahu!" Alisha mengelak. Kebucinan apanya? Justru Damian secara terang-terangan bakal menjerat dirinya sebagai budak. Alisha menghela napas panjang. Sepertinya mulai hari ini, hari-harinya semakin berat saja. "Ck, aku si
Semakin lama, Damian semakin curiga dengan sikap Alisha. Ini hari ketiga di mana perempuan itu telah resmi menjadi asistennya. Bahkan Alisha mendapatkan meja tersendiri di ruangan Damian dan terpisah dari karyawan yang lain. Melihat hal itu, sepertinya sang pemilik perusahaan sudah mengizinkan Damian mengambil langkah tersebut. Meski timbul perasaan pada Alisha mengingat orang-orang di ruang Departemen Kreatif menatapnya sejak menjadi asisten sang atasan. Kecuali para ketua tim yang sudah akrab dengan perempuan itu sejak pertama kali ini bergabung dengan perusahaan ini. Tatapan iri justru terlihat jelas dari para rekan kerja seumurannya. Tak terkecuali Mazaya dan Arin yang mendeklarasikan permusuhan di antara mereka. Setelah insiden yang membuat keduanya dihukum pun, mereka tak juga jera dan masih berusaha mencari masalah dengan Alisha. Bahkan kini secara terang-terangan menyindir perempuan itu setiap kali berpapasan. Alisha memilih tak ambil pusing. Kerjaannya semakin banyak dan
"Akh!" Desahan samar dari mulut Alisha Seraphina membuat lawannya semakin hilang akal. Ciuman mereka semakin dalam tanpa sedikit pun niat untuk saling melepaskan. Keduanya bertemu di bar beberapa saat lalu, sebelum Alisha melemparkan dirinya untuk dimangsa pria itu. Di bawah pengaruh alkohol yang mereka teguk, di sinilah mereka berakhir sekarang sambil bertukar kenikmatan. "Tu-tunggu!” Dengan kasar, pria bertubuh jangkung dan kekar itu mendorong pintu hotel dan melanjutkan ciumannya yang sempat terlepas sesaat. Alisha kehabisan napas dan tak sanggup mengimbangi lumatan pria asing yang dijumpainya di bar beberapa waktu lalu. Berkat itu pula, ia mendapatkan kembali sedikit kesadarannya. Tangannya yang mungil, mendorong tubuh si pria asing yang tetap bergeming. Justru pria itu semakin menuntut ketika Alisha mendorong dadanya. "Tu-tuan ...." Ucapan Alisha tak tuntas, sebab pria asing itu tak memberinya kesempatan untuk bicara. "Bukankah ini yang kau inginkan, Nona?" Suara bariton
Damian tercenung menatap sprei yang memerah akibat noda darah di sampingnya. Bisa dipastikan, itu darah yang ditinggalkan oleh perempuan yang melewatkan malam panas bersamanya semalam. Ia bahkan kehilangan akal dan tak sanggup lagi berkata-kata. Bagaimana bisa seorang Damian Laith membuat sebuah kesalahan fatal. Ia mengacak-acak rambutnya yang sama sekali tidak gatal. Wajahnya terlihat gusar. Seharusnya ia tak perlu peduli dengan fakta yang baru diketahui pagi ini. Toh, perempuan itu meninggalkan uang dan menganggapnya sebagai pria bayaran. Namun, tak bisa. Damian tak bisa mengabaikan hal itu begitu saja. Kemunculan vAlishabel tak terduga dalam rencananya, bisa membuat pria itu berhadapan dengan situasi yang lebih pelik di masa depan. Ia harus menyelesaikan masalah ini sampai tuntas dengan segera. Pria itu masih memikirkan cara, apa yang akan ia lakukan ke depan sebelum masalah yang terjadi semakin membesar. Dengan wajah gusar dan pikiran keruh, ia mondar-mandir dalam kamar hot
Dua minggu berlalu setelah aksi kabur Alisha ke Paris seorang diri. Namun, aksi nekat perempuan itu tak berhenti sampai di sana. Atas rekomendasi salah seorang seniornya ketika masih di kampus, ia berpindah tempat kerja ke ibukota. Meninggalkan posisinya sebagai Art Director di perusahaan sebelumnya dan memilih memulai kariernya dari awal. Alisha hanya sudah muak harus tetap tinggal di kota keliharannya. Karena hal itu membuatnya bertemu dengan Alfian dan Amanda yang sudah mengkhiantinya. Tak masalah jika mereka menganggapnya pecundang. Alisha hanya tak mau membebani perasaannya hanya dengan memikirkan sakit hati itu secara terus menerus. Lebih baik, ia memilih pergi dan membiarkan mereka berbahagia. Alisha sama sekali tak peduli. Meski pada faktanya, rasa sakit itu tak juga mau pergi. Tangan Alisha kembali mengepal. Nyeri kembali menekan ulu hatinya hingga membuatnya tak sanggup bernapas dengan benar. "Sial!" umpatnya menahan geram. Alisha berusaha menekan perasaan yang mengga