Damian membanting pintu di belakangnya begitu sampai ruangan. Wajahnya memerah menahan geram. Kalau saja tak ingat tujuannya datang ke negara ini, Damian pasti lebih memilih hengkang. Jangankan datang untuk memenuhi permintaan Devano, pria itu tak akan sudi datang ke tempat ini. Terlebih terlibat dengan orang-orang bodoh yang membuatnya naik darah setiap saat. Baru beberapa saat lalu, salah seorang stafnya kembali membuat ulah. Iklan untuk media sosial yang seharusnya dikerjakan oleh tim dua, hancur berantakan ketika dipresentasikan di hadapan klien. Ketua tim dua salah memasukkan data yang seharusnya milik perusahaan lain. Akibatnya seluruh iklan harus revisi total dan mereka mendapatkan penilaian buruk dari klien. Padahal Damian baru saja menjalani tugas luar dan masih merasa lelah, tapi sudah dibebani masalah baru lagi. Tok ... tok ... Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Damian. Meski begitu, rahang pria itu tak juga mengendur. Justru wajahnya semakin merah bersiap menumpa
Mulut Alisha gatal untuk tidak bertanya. Namun, sisi lain dalam dirinya menahan agar tak sembarangan buka suara. Ia tidak mudah percaya begitu saja pada orang baru. Sekalipun Erika sudah sedikit mengungkapkan tentang latar belakang perempuan itu. Bahwa ia seorang single mom yang memiliki anak satu tanpa terikat pernikahan. Alisha menganggap itu pengakuan yang cukup berani. Namun, tidak mudah bagi Alisha untuk mengungkapkan hubungannya dengan Damian. Toh memang tak ada hubungan apa pun di antara mereka. Ya, kecuali tentu saja malam panas yang pernah mereka lewati bersama kala itu. Dan, tak mungkin bagi Alisha mengungkapkan hal tersebut bukan? Kalau ia memang tak ingin Damian tahu siapa dirinya sebenarnya. Meski begitu tetap saja ia penasaran, dari mana Erika memiliki anggapan bahwa dirinya memiliki hubungan romansa dengan sang atasan? "Loh? Bukan ya?" tanya Erika ketika suasana di antara mereka menjadi canggung. Alisha tersenyum kikuk. Tak memiliki kata yang tepat untuk menjelas
"Tidak mungkin kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Aku yakin sekarang, kita pasti pernah bertemu bukan?"Itulah pertanyaan pertama yang justru terucap dari bibir Damian ketika jaraknya begitu dekat dengan Alisha. Sesaat sebelum pria itu memberikan benda pipih yang memancarkan cahaya dari flash light. Damian memang tak melihat dengan jelas wajah si gadis yang telah direnggut keperawanannya lebih dari dua minggu yang lalu. Satu hal yang membuat keyakinan Damian menguat. Aroma orange blossom yang tercium dari tubuh Alisha. Pria itu yakin, aroma yang ia hidu dari tubuh Alisha adalah aroma yang sama dengan si gadis sialan itu. Gadis sialan yang telah menganggap Damian sebagai pria panggilan dan menghancurkan martabatnya. Sementara raut muka Alisha tak hanya terlihat pucat, tapi juga tegang mendapat pertanyaan dari sang atasan. Menjadikan Damian kian mencurigai perempuan itu. "Lihat dirimu, kamu seperti maling yang sudah ketahuan mencuri!" tandas si pria. "Saya benar-benar tidak mem
Semalaman Damian sudah memikirkan cara, bagaimana supaya membuat Alisha mengaku jika perempuan itu adalah perempuan yang sama yang telah melewatkan malam panas bersamanya. Intuisi Damian kian menguat setelah kejadian tadi malam. Mungkin hanya penampilan mereka saja yang berbeda, tapi Damian yakin pasti, hampir tidak ada manusia yang memiliki aroma sama persis. Bahkan satu merk parfum bisa menimbulkan aroma yang berbeda tergantung pemakainya. Ya, mirip atau menyerupai mungkin saja bisa terjadi, tapi jika sama persis, itu tak mungkin. Dan, Alisha memiliki aroma yang sama persis dengan perempuan yang malam itu ia renggut keperawanannya. Mana mungkin Damian bisa percaya begitu saja setelah melewati hal tersebut berulang kali. Berada dalam posisi di mana dirinya mencium aroma kuat yang berasal dari si perempuan. "Permisi, Pak. Boleh saya masuk?" ucap Alisha mengalihkan perhatian sang pria yang tengah fokus menatap layar komputer. Sekalipun pikirannya tengah bercabang. "Silakan!" Dami
Alisha kembali ke ruangannya dengan wajah masih pucat. Sepanjang hari itu, pikirannya sangat kacau. Bahkan ketika Damian - lagi-lagi - meminta hasil revisi, ia berjalan ke ruangan sang atasan dengan wajah linglung. Erika yang menyadari perubahan sikap si perempuan, mencegatnya ketika ia kembali ke meja kerjanya. "Sha, kamu sakit?" tanya sang ketua tim dua dengan raut muka khawatir. Demi mendengar pertanyaan rekan kerjanya, Arlan yang duduk beberapa meja dari sang ketua tim dua, melongokkan lehernya."Alisha sakit?" Lelaki itu memberikan pertanyaan yang lebih terdengar seperti memberikan perhatian. Apalagi tak lama kemudian, ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah sang junior. Tanpa permisi, Arlan menyentuh kening Alisha. Tidak panas, tapi wajah perempuan itu sangat pucat. "Apa yang sakit, Sha?" tanya lelaki itu untuk memastikan. Alisha tampak salah tingkah. Apalagi saat ini, ia tengah diperhatikan hampir seluruh karyawan dalam ruangan. "Eh? Nggak. Aku nggak apa-apa," boh
Damian baru kembali ke kantor setelah jam kerja berakhir. Ia mangkir setelah memberikan kabar pada Devano jika dirinya malas bekerja hari ini dan memilih mengasingkan diri. Sang direktur utama yang telah menggantikan tugas ayahnya sejak tiga tahun yang lalu, hanya mendengus kesal ketika menjawab telepon dari Damian. Ia tak bisa melarang apabila membantah, sebab salah satu syarat Damian mau membantunya mengurus Pixa adalah tidak terikatnya jam kerja. Bisa dikatakan, Damian akan bekerja sesuai dengan mood pria itu. Namun, ketika kembali ke kantor pada pukul lima sore, bukannya merasa lebih baik, ia justru semakin kesal. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah tawa canda dua anak buahnya yang terasa menjengkelkan. "Cih, itu yang dia bilang sakit? Atau hanya alasan saja biar bisa berduaan?" gumam Damian pada dirinya sendiri. Sementara, Alisha yang menyadari kedatangan sang atasan, seketika menghentikan candaannya dengan Arlan. Melihat sorot mata pria itu, entah mengapa ia merasa
Seringai di wajah Damian semakin lebar. Dugaannya benar. Alisha adalah perempuan yang sama yang ia tiduri pada malam itu. Sang tangan kanan pria itu telah menemukan bukti bahwa Alisha-lah sosok yang telah melewati malam panas bersamanya. Kali ini, Damian yakin Alisha tak akan bisa mengelak lagi setelah menunjukkan bukti yang ia miliki. "Heh, kau tak akan bisa lari dariku, Alisha!" ucap sang pria sambil menatap perempuan itu dari balik dinding kaca ruangannya. Tanpa menunggu lebih lama, Damian keluar ruangan tepat ketika kedua anak buahnya hendak pergi. "Kau, ikut aku!" ucapnya tegas pada Alisha yang kini mengerutkan kening. Tanpa sadar, Damian memperhatikan perempuan itu lebih detail ketimbang biasanya. Penampilan perempuan itu masih tetap sama ketika mereka bertemu di hari pertama di kantor Pixa. Rambut panjang yang sengaja dikuncir ekor kuda dengan kacamata yang membingkai wajahnya. Meski sekarang Damian yakin pasti, bahwa kacamata yang dikenakan perempuan itu bukanlah kacam
Wajah Alisha memucat. Seakan seluruh darah yang mengalir di tubuhnya, raib entah ke mana. Ia bahkan tak sanggup berdiri tegak di atas dua kakinya sendiri. Meski begitu, ia tak mungkin pingsan di hadapan seorang pria yang tengah menatapnya dengan raut muka murka. Terlebih orang itu adalah pria yang telah menghabiskan malam panas bersamanya. Alisha tak ingin hal buruk terjadi. Itulah sebabnya ia tetap berusaha tegar di atas kedua kakinya sendiri, meski saat ini seakan tak mampu lagi. Sedangkan Damian tak lepas menatap perubahan wajah si perempuan. Melihat raut mukanya saja, Damian menyadari jika Alisha sangat ketakutan hingga tak sanggup memberikan alasan. Dengan kata lain, perempuan itu mengakui jika dirinya adalah sosok yang sama dengan perempuan pada malam itu. Sekalipun mulutnya tak sanggup mengatakan apa pun. "Kau mau beralasan apalagi sekarang, hah? Katakan padaku, siapa yang mengirimmu?!" desak Damian semakin murka. Nada bicaranya meninggi. Penghinaan yang dulu ia rasakan a