Selesai sholat magrib, Seruni memilih diam dalam kamar. Biasanya waktu itu Seruni gunakan untuk berkumpul menonton TV dengan anggota keluarga yang lain, namun karena penasaran dengan isi kado yang diberikan oleh Arya, Seruni mengurung diri dalam ruangan yang hanya berukuran 3x3 meter itu. Satu tempat tidur berukuran sedang, lemari satu pintu, dan meja serta kursi tempat Seruni mengulang pelajarannya, menjadi penghuni kamar Seruni. Membolak-balik kotak yang ada di tangannya, Seruni mencoba menebak isi dari kotak tersebut. Dan saat rasa penasaran semakin merajai hati, jemarinya mulai berusaha membuka tempelan perekat yang menempel. Perlahan kotak yang dibungkus rapi itu terbuka, sebuah kotak yang berbalut kain beludru warna senada dengan kertas kadonya terlihat, jantung Seruni berdebar. Dia tahu dari sinetron yang sering ditontonnya, apa isi kotak tersebut. "Apa Raden Arya memberikan cincin?" senandika Seruni. Dengan perasaan yang semakin penasaran, Seruni mulai membukanya. Satu bu
Seruni memandangi dan menyentuh dua benda baru penghias tangannya, di bawah pengamatan Lastri dan Rara yang tak henti berdecak kagum. "Ih, cantik banget ... Rara juga mau punya gelang sama cincin. Walaupun nggak secantik punya Teteh," celetuk gadis kecil itu, membuat Lastri dan Seruni menatap Rara dengan iba. 'Seandainya Ibu bisa mewujudkan keinginan kamu, Rara. 'Hati Lastri berguman sedih. Walau bibirnya berkata lain pada Rara. "Insyaa Allah, nanti juga kamu bisa memiliki gelang yang cantik seperti punya si teteh, kok. Ibu yakin itu."Rara tersenyum pada Ibunya. "Rara cuma asal bicara kok, Bu ... Rara ngerti keadaan kita," kata Rara yang merasa bersalah pada Lastri dengan ucapannya. "Tidak, Rara ... kalau sudah kehendak Allah, tidak ada yang mustahil." Lastri terus membesarkan hati Rara. "Aamiin, Mudah-mudahan ya, Bu." Rara mengusapkan kedua belah telapak tangannya pada wajah, sebagai tanda permohonan doa. 'Teteh akan mewujudkan keinginan kamu nanti, Rara. Dan untuk mewujudkann
Malam merangkak naik membawa semua orang menghentikan sejenak aktifitas, mengistirahatkan diri dari kesibukan seharian tadi. Memeluk mimpi, membawa damai untuk menghadapi hari esok yang belum tertebak alur cerita. Seruni merenggangkan ototnya, mengerjapkan kedua mata, saat suara adzan subuh terdengar dari surau yang terletak tak jauh dari rumahnya. Gadis bermata indah itu langsung bangun, dan mendudukkan diri mengumpulkan kesadaran, yang semalaman terseret ke alam mimpi. Menutup mulutnya yang terbuka lebar saat menguap, Seruni bersiap menghadapi hari. Ya, hari baru yang akan dilalui berbeda dengan sebelumnya pasti. Tok ... tok ... tok. "Runi ... kamu sudah bangun belum?" Suara Lastri disertai ketukan pintu membuat Seruni menoleh, lalu setengah berteriak menjawab panggilan sang ibu. "Sudah, Bu!" Seruni memang selalu bangun bertepatan dengan adzan berkumandang, kebiasaan yang sudah diterapkan kedua orang tuanya sejak dia kecil. Setelah mengikat asal rambutnya, Seruni menurunka
Arya menatap Seruni yang berdiri di depannya dengan kepala tertunduk, penampilan sederhana gadis belia itu tidak mengurangi sedikit pun pesona kecantikan bagai bunga yang sedang mekar. Gamis warna biru navy dengan kerudung warna merah muda, menutup sempurna raga indah Seruni yang tak terlihat sembarang orang. Dan, Arya suka dengan cara Seruni menjaga dirinya, dari tatapan tidak senonoh pria di luar sana. "Sudah siap pergi?" tanya Arya setelah puas mengagumi keindahan raga dan paras calon istrinya. Tanpa mengangkat kepala, Seruni menjawab pertanyaan laki-laki yang akan menjadi sandaran hidupnya kemudian. "Sudah, Raden.""Panggil Aa, Dek Runi!" ralat Arya yang merasa tidak nyaman dengan panggilan gadis itu padanya. "Oh, i--iya, Aa ...!""Angkat kepalamu saat aku berbicara denganmu, Dek. Tatap mataku!" Suara tegas Arya, membuat Seruni perlahan mengangkat kepalanya. Tatapan mereka bertemu, dan Seruni kembali dibuat terpukau pada ketampanan calon suaminya itu. 'Eh, kok senang ya, men
Seruni lebih banyak diam selama duduk bersebelahan dalam mobil, dengan orang yang tak pernah dia bayangkan akan menjadi seseorang yang berarti dalam hidupnya. Setelah tadi keceriaan dari wajah kedua adiknya saat Arya mengajak mereka, keduanya kini duduk di kursi belakang mobil keluaran baru sang calon ipar. Setelah melewati perjalanan 30 menit, Arya membelokkan mobil yang dikendarainya memasuki sebuah klinik. Seruni menoleh pada Arya dengan wajah heran, dia ingin bertanya, namun rasa sungkan membuatnya memilih diam. Begitu pun dengan Rara dan Robi, si kembar tak identik itu saling melempar tatap tak mengerti, kenapa Arya malah membawa mereka ke klinik. 'Siapa yang sakit? 'Mobil berhenti sempurna di halaman parkir klinik yang tidak begitu luas, Arya pun mematikan mesin mobil, dan masih enggan membuka mulutnya menerangkan maksud tujuannya singgah di tempat itu. Seakan sengaja menunggu keberanian Seruni bertanya. "Emm, A ...!" Berhasil! Harapan Arya terkabul begitu Seruni membuka
"Terima kasih sudah membawa Rara berobat dulu, A," ucap Seruni tulus setelah keduanya selesai memeriksakan keadaan Rara. Saat ini sepasang calon pengantin -- yang awalnya ditangisi Seruni -- tengah mengantre di depan apotek. Sedang Rara dan Robi sudah diminta Arya untuk menunggu di dalam mobil atau di depan klinik saja. "Iya, Sayang. Tidak masalah," jawaban ringan dari Arya membuat Seruni enggan untuk melanjutkan pembicaraan, apalagi dengan adanya mereka di depan antrian. Panggilan sayang yang diberikan Arya untuknya, mulai terbiasa diterima rungunya. Bahkan dia senang dengan panggilan itu sekarang. Hingga nama Rara dipanggil, dan Arya dengan sigap menghampiri loket pengambilan obat, dengan menarik lembut tangan calon istri belianya untuk mengikutinya. Seruni menatap tangannya yang ada dalam genggaman lembut nan melindungi Arya, laki-laki itu hanya memegang tangannya saat keadaan mendesak, bukan ajang aji mumpung memanfaatkan keadaan. Semua yang dilakukan Arya hanya untuk melindun
Di sini sekarang mereka berada, sebuah pusat pertokoan yang berjarak lumayan jauh dari tempat tinggal mereka. Arya membebaskan si kembar untuk membeli apa saja yang mereka inginkan. Namun, gelengan kepala Seruni, menghentikan hasrat kedua adiknya memiliki barang yang mereka mau."Biarkan saja, Sayang. Aku lebih senang kalau mereka bisa tidak sungkan padaku," kata Arya membuat Rara dan Robi kembali sumringah. "Ambil saja, Robi, Rara!""Ambil yang kalian butuhkan! Bukan yang kalian inginkan!" tegas Seruni tidak ingin dibantah. Membuat Rara dan Robi kembali ciut, hanya mata mereka saja yang liar memindai rak di sekeliling yang memajang perlengkapan sekolah, tas, dan sepatu. Arya menaikan alisnya sebelah, lalu tersenyum tipis melihat Seruni menunjukan taringnya pada sang adik. Ia menunggu apalagi yang akan dilakukan oleh gadis itu. "Kamu butuh tas bukan, Robi?" pandangan Seruni beralih pada si bungsu yang terlahir 10 menit setelah Rara. Binar mata senang terlihat pada sorot mata Robi,
Setelah berbelanja, Arya membawa mereka makan di rumah makan siap saji, yang menyediakan ayam goreng tepung sesuai permintaan si kembar, senyuman tak lepas dari bibir kedua adik Seruni, yang merasa senang dengan semua yang mereka lewati hari ini. Kembali Arya menunjukan sisi romantisnya pada sang calon istri, perhatian kecil lelaki itu berikan pada Seruni, dari menarik kursi untuk Seruni duduk, membantu menambahkan saos, atau mengelap saos yang belepotan di bibirnya menggunakan tisu. Sedang asyik menikmati kebersamaan, satu tepukan di pundak Raden Arya membuat lelaki itu menoleh. "Tuh, bener kan, Sayang, Arya!" seorang lelaki tampan, bersama wanita cantik yang tengah hamil besar, berdiri di dekat kursi Arya. Laki-laki yang menggendong anak kecil itu tersenyum lebar pada Arya. Begitupun Arya yang langsung berdiri dan menyalaminya hangat. Sedang Seruni dan kedua adiknya hanya menatap mereka. "Raja?! Kok, ada di sini?" Arya menoleh pada wanita yang berdiri tak jauh dari lelaki yang