Share

Berkorban Demi Keluarga

"Bu ...?!"

"Iya, Runi?"

"Ibu bahagia?"

Lastri menghentikan aktivitasnya, menoleh pada Seruni, lalu berjalan mendekat. "Kenapa bertanya seperti itu?"

Duduk di kursi samping Seruni, Lastri menatap Seruni lembut.

"Runi akan melakukan apapun yang bisa membuat bapak sama Ibu bahagia. Runi akan mengorbankan apapun demi kalian. Demi keluarga kita. Meski Runi takut hal ini diketahui pihak kampus nanti." Seruni menunduk pasrah.

"Nak, Runi ... dengarkan Ibu. Kami juga tidak akan menerima lamaran dari Raden Arya, kalau beliau bukan orang baik. Kami pasti lebih memilih mencicil hutang, kalau Raden Arya bukan orang yang bisa dipercaya. Kami lebih rela tidak makan. Tapi karena Ibu sama bapak tau bagaimana beliau dan keluarganya, jadi bapak menerima lamaran Raden Arya."

"Lamaran? Berarti, Raden Arya meminta aku dengan cara yang baik pada bapak, Bu?"

"Tentu saja. Bahkan bukan sekali. Tapi tiga kali!"

"Apa?!" Lastri mengangguk tegas, "Kok, bisa?"

"Maka dari itu, kamu jangan berpikir yang buruk tentang calon suamimu itu."

"Tapi kenapa harus sekarang? Memangnya Raden Arya tidak bisa menunggu sampai Runi lulus kuliah?"

"Kalau itu, kamu tanya pada bapak. Karena Raden Arya mengatakan semuanya pada bapak, dan bagaimana caranya sampai bapak akhirnya menerima maksud Raden Arya itu."

"Runi masih belum mengerti, Bu."

"Nggak perlu mengerti. Yang penting kamu sekarang sudah menyetujui. Oh, iya ... Ibu lupa! Tadi Raden Arya menitipkan hadiah buat kamu. Ibu ambil dulu." Lastri menepuk kening saat mengingat sesuatu, lalu beranjak bangun dan melangkah masuk ke dalam kamar.

Tak berselang lama, wanita itu keluar lagi. Di tangannya, ada sebuah kotak kecil dibungkus kertas kado mengkilat warna merah muda.

"Nih, buat kamu katanya. Tadi lama nunggu, takut nggak ketemu, jadi dititipin sama Ibu. Besok harus kamu pake saat beliau datang menjemput." Lastri menyimpan kotak kecil itu di atas meja.

Seruni meraih benda yang belum bisa dia tebak apa isinya itu. "Ini apa, Bu?"

"Mana Ibu tahu ... makan saja dulu. Tuh, ayam goreng tepungnya masih banyak." Lastri membuka tudung saji yang menutupi makanan di atas meja.

Mata Seruni berbinar melihat tumpukan ayam goreng tepung di atas piring. Sungguh bagi mereka, itu adalah makanan luar biasa.

"Banyak sekali, Bu!"

"Iya. Sudah, ayo makan."

"Bapak kemana, Bu?" tanya Seruni yang tidak melihat keberadaan Soleh.

"Tadi dipanggil sama Pak RT, sepertinya mau ada rapat soal yang ngeronda. Akhir-akhir ini ada saja yang mencuri hewan ternak." Lastri kembali melanjutkan pekerjaannya, Seruni melangkah ke dapur untuk mengambil piring.

Rumah yang mereka tinggali memiliki tiga kamar, satu ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga, dan ruang makan, dapur juga kamar mandi terdapat di ujung bangunan sederhana itu. Lantai yang hanya dipelur semen, dengan perabotan sederhana yang sudah dimakan usia. Bahkan pesawat televisi yang menjadi satu-satunya alat hiburan mereka pun, adalah pemberian saudara mereka. Dan rumah adalah warisan peninggalan dari kakek Seruni, orang tua dari Soleh.

Seruni mulai menyendok nasi yang disimpan dalam bakul dari anyaman bambu. Bahkan untuk memasak Lastri lebih banyak menggunakan kayu bakar, dari pada kompor gas pembagian dari pemerintah dulu. Kompor gas hanya digunakan saat terdesak saja, misalkan saat malam hari mereka ingin memasak mie instan.

Sepiring nasi dan sepotong besar ayam goreng tepung sudah siap Seruni santap, ketika suara salam terdengar dari beranda. Menunda suapan pertamanya, Seruni menoleh pada kedua adiknya, Rara dan Robi. Si kembar yang sangat disayangi Seruni itu, menghambur memasuki rumah.

"Assalamu'alaikum!"

"W*'alaikumussalam. Jangan lari, Rara!" peringat Seruni yang melihat adik perempuannya berlari.

"Yeyyy! Aku menang!"

"Licik! Kamu tadi bohong sama aku, jadi aku tertinggal langkah."

"Salah sendiri kenapa mudah tertipu. Weee!"

Celoteh Rara dan Robi asyik dengan dunia mereka sendiri, mengabaikan peringatan Seruni dan Lastri yang hanya menggelengkan kepala melihat tingkah mereka.

Walau sudah kelas satu SMP, kadang tingkah mereka seperti anak kecil, itu yang membuat Seruni selalu merasa terhibur dengan keberadaan mereka.

"Wah, makan, nih!" Robi mendekat pada kakaknya, tangannya siap mencomot kulit ayam berbalut tepung yang terlihat renyah mengoda.

Namun tepukan pada punggung tangannya, menghentikan gerakan si Bungsu. "Aww! Teteh ... bagi dikit kenapa?!" bibir Robi mengerucut protes atas tindakan Seruni.

Sedangkan Rara tertawa senang atas derita saudara serahimnya itu.

"Cuci tangan dulu. Main comot aja. Kan kotor!"

"Bersih Teteh ... Robi nggak pegang apa-apa kok tadi. Cuma--"

"Apa?"

"Lubang hidung! Kaboooorr!" Robi berlari menjauh setelah mengatakan itu, dibarengi teriakan Seruni dan gelak tawa Laras, dan Rara atas keisengan Robi.

"Robi!"

"Hahahaa."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status