Entah untuk yang keberapa kalinya lelaki dengan rahang kuat dan tatapan yang mampu membuat banyak wanita meleleh itu menghubungi Bumi. Hasilnya nihil. Ada satu panggilan yang diangkat, tapi hanya sesaat, setelahnya dimatikan Bumi. Ratusan pesan dikirimkan Langit dengan perasaan campur aduk. Hasilnya, terbaca oleh Bumi tapi tak ada yang terbalas satupun. Dalam keadaan online pun, Bumi bergeming.
Kemarahan memuncak, itulah kesimpulan Langit.
Namun, namanya Langit, ia memiliki banyak cara untuk menemukan keberadaan gadis madunya itu. Banyak orang yang disebar untuk urusan pribadinya. Hanya dia yang tahu, hanya dia yang mengerti siapa orang-orang kepercyaannya. Sayang, untuk kali ini hasilnya masih belum ada hilal mencerahkan.
Masih di dalam ruang makan, Langit bergerak hilir mudik tak tentu arah. Puntung rokok sudah penuh di asbak yang ia sambar saja dari rak. Bau rokok memenuhi ruangan, meskipun pintu belakang terbuka lebar, tetap saja tak bisa m
Aku akan menunggu, menunggumu, Bumi.Beberapa saat berdiri mematung, Langit kembali ke dalam mobil, duduk di belakang kemudi. Meminum air mineral yang tersedia di mobil, membuka sedikit jendela dan menyalakan rokok. Ia baru melihat ada tulisan di ujung pagar, kecil tak begitu kentara. Tertulis di sana Vila Bumi. Apakah vila itu milik Bumi?Entah sampai jam berapa, bulan temaram, hanya suara jangkerik terdengar jelas. Sepanjang malam, hanya ada satu dua kendaraan roda dua yang lewat. Seingat Langit, hanya ada dua mobil ke arah lebih atas lagi. Memang setelah vila mungil, jalanan super menanjak. Lelaki bermata elang itu sempat keluar dan berjalan ke atas, masih terlihat dua rumah. Selanjutnya pepohonan alami lereng pegunungan. Saat bulan tak tertutup awan, akan tampak jelas berderat pinus seolah berada di belakang rumah mungil, yang lebih tepatnya vila super mungil yang ditempati Bumi. Pegunungan terlihat sangat jelas dan dekat.&nb
Dilepaskannya kaitan b** gadis eksotis tersebut. Mengecup ganas bibir Bumi, meremas bagian kenyal bergantian, kanan dan kiri. Bibir Langit ke bawah, mengeksplor leher jenjang Bumi dengan hisapan maksimal, semakin ke bawah dan mendaratlah ciuman awal yang membuat Bumi mundur saat pegangan tangan kiri di pinggangnya melemah.“Mas,” kata Bumi terbata. Gerakan cepat, Bumi mundur, menarik kemeja dan menutup tubuhnya yang telah mengakibatkan bagian bawah Langit mengeras tiada tara.“Kau membangunkanku, Bumi.”“Maaf,” kata Bumi terus mundur. Dalam jarak lumayan jauh, keduanya bersitatap, tanpa kata.“Setiap melihatmu, aku...,” desis Langit menggantung, menormalkan nafas dan menarik nafasnya dalam-dalam. Baginya Bumi adalah cantu, tak ada yang lain. Meskipun Dara, lebih seksi, lebih pandai merayu, lebih agresif, tapi ia tak pernah menginginkannya. Rahang itu mengeras, kembali melihat Bumi yan
“Bos!”Sebuah suara kalah oleh hingar dentuman musik begitu melenakan . Tangan pria itu menarik lengan Langit sejenak saat melepaskan ciuman ke Dara. Lampu temaram menyamarkan semuanya.“Hei.” Dara ingin protes tapi pria itu terus merangkul dan menyeret Langit keluar dengan cepat.“Tak perlu ganggu sahabatku lagi, Dara, ingat itu!” katanya sengit.“Tak perlu kau urusi Langit, dia milikku,” sahutnya manja.“Huh!”Dara hanya tersenyum sinis, ingin mengikuti Langit, tapi Dara terhalang oleh seorang lelaki yang langsung mendekat dan meraih pinggang dengan bodi bak gitar Spanyol itu menempel di tubuhnya.“Bersamaku saja, Honey,” kata si pria lembut, membuat Dara kehilangan jejak Langit. Dalam gerakan cepat pria itu melumat bibir Dara, menyesapnya keras, tubuhnya bergeser, melihat pria yang menyeret Langit dengan kedipan mata. Setelah itu kembali men
“Mau kemana?” Adit tergopoh mengikuti Langit.“Tempat Bumi!” sahut Langit dingin bergegas mengenakan helm yang tersemat di atas KLX yang baru saja tiba diantar pekerjanya. Tubuhnya bergerak cepat dan siap di atas KLX.“Aku ikut,” sambar Adit melotot. “Kenapa ribet gini sih, Bos? Biasanya Bos tenang.”Langit menoleh, menggeleng.“Selama urusannya sama Bumi aku nggak bakal tenang.”“Tunggu sik Bos, aku ganti baju sebentar,” sahut Adit yang memang hanya mengenakan celana kolor dan kaos.“Ini urusanku, kau di rumah saja. Stand by, sewaktu-waktu aku butuh bantuanmu.”Tanpa menunggu jawaban Adit yang masih bengong, lelaki tampan dengan rahang keras itu melajukan penuh KLX keluar pintu gerbang.“Bos, Bos!”Adit berteriak keluar dari teras.“Hei, tunggu, Bos!” Ad
“Kau baik saja?” Tanya Langit khawatir berjongkok persis di samping Bumi, setelah mendirikan motor jadul Bumi. Meskipun jalanan sepi, tetap dibantunya Bumi berdiri dan memapah ke pinggir jalan. Didudukannya di bebatuan, Bumi menurut saja. Tubuhnya masih gemetaran hebat. Untung tidak masuk selokan. Di samping jalan itu ada selokan lumayan tinggi. Kalau sampai masuk ke sana, duh, tak bisa membayangkan.“Mana yang sakit?” tanya Langit melihat tubuh Bumi dari atas sampai bawah. “Tanganmu?” dipegangnya tangan Bumi.“Nggak pa pa.”“Kaki?” Langit berjongkok memandang kaki Bumi. Diangkatnya kain pantai yang dikenakan gadis eksotis itu. Sedikit memar di pergelangan kaki, lecet sedikit. Pelan, dipegang lalu digerakkan.“Aw...!” Bumi menjerit pelan.“Sakit?” tanya Langit menengadahkan wajah.“I... i... ya, aw
Selamat membaca, jangan lupa tap love, kasih bintang dan follow @elangayu22“Mas....”“Keras lagi, Bumi.”“Ah...,” gadis eksotis itu tak mampu lagi hanya diam dan menikmati. Ia memejamkan mata, mulai merespon perlakuan lembut Langit. Dengan cepat, diloloskannya handuk seputih susu itu dari tubuh semampai dan eksotis milik Bumi. Hanya beberapa saat, karena Bumi segera menarik kembali handuk tersebut menutup tubuh. Tubuhnya bergeser, menghindari pelukan Langit yang mengencang.“Mas...,” mata Bumi terbuka, menatap Langit penuh kabut. Gerakan tiba-tiba Bumi menghentikan aktivitas Langit.“Bagaimana kalau kita lanjutkan, Bumi? Kewarasanku sudah hilang dari tadi,” kembali didekatinya Bumi, menyambar bibir ranum di hadapannya penuh gai***. Tubuh eksotis itu benar-benar mengunci seluruh persendian. Demikian pula dengan Bumi, ia hanya melilitkan handuk se
Menarik diri dari Langit, Bumi merengganggkan pelukan lelaki tampan itu.“Nggak,” tolaknya cepat.“Semakin kau menjauh handukku bisa lepas, sengaja?”“Apa?”Langit menatap raut muka Bumi dengan mata horor ke bawah. Tampak cuek dan tetap mengeratkan pelukannya.Beda dengan Bumi, mendengar kalimat Langit, membuatnya berpikir kotor. Benar saja, semakin ia merenggangkan diri dari pelukan Langit, lilitan handuk yang telah terlepas itu bakalan lolos ke lantai apabila ia menjauh. Handuk masih di tempatnya dengan bagian yang tinggal limit karena tubuhnya dan tubuh Langit menyatu di pinggang ke bawah. Tonjolan yang begitu dirasakannya, dan hal lain yang mendadak muncul begitu saja berseliweran mengganggu keremangan yang tadi sudah lenyap. Langit selalu mampu menghidupkan gai*** yang ia tahan setengah mati.“Sengaja ingin melihatku polos, hmmm?” tanya Langit makin tak
“Terus Bumi, lebih cepat.”Masih memejamkan mata, Langit makin menyesap leher jenjang Bumi mendalam, hangatnya air kolam menyatukan keduanya. Rasa nikmat menghinggapi Bumi, ia rasakan tonjolan keras dalam genggamannya mampu mendirikan keremangan tersendiri. Bagaimana kalau memasuki area intimnya? Hah? Segera dihempaskannya pikiran kotor itu jauh-jauh, tapi tetap tak mampu menolak kenyataan.Apakah ia sudah berpikiran bodoh? Hanya beberapa saat, setelah Bumi membuka mata dan menatap Langit dengan mata berkabut. Rasa nyeri itu muncul begitu saja, gadis manis itu menghentikan gerakannya. Di depannya, Langit menatap Bumi penuh hasrat.“Bumi, tak bisakah kita....”“Kakiku nyeri.”Semua menjadi terhenti, Langit menghela nafasnya dalam-dalam. Mungkin ia bakal melepaskannya sendiri kalau dari tadi adanya adalah tanggung terus. Rasa nyeri juga ia rasakan di bawah. Bagaimana tidak dengan