Share

Markas Father Jay

"Arggghhhh  ...." Erangan penuh pesakitan keluar dari mulut Asya, saat sang suami tidak sengaja menendang perut wanita itu untuk menghalangi tujuan Asya yang ingin melayangkan pukulan ke arah perut Nancy.

"Aarrggh! Sakit!" Teriakan Asya menyadarkan Qianno yang masih berdiam kaku memeluk tubuh Nancy, istri keduanya.

"Asya!" teriak Qianno setelah menyadari jika sang istri tengah tersungkur karena terkena tendangan kaki tepat diperutnya.

Pria itu segera berlari ingin menghampiri Asya, namun wanita itu menolaknya dengan keras.

"Jangan menyentuhku! Kalau sampai terjadi sesuatu dengan anakku. Aku, tidak akan segan untuk membunuh anak yang dikandung wanita sialan itu sebagai balasannya!"

"Tidak Sayang, aku tidak sengaja. Maafkan aku, ayo kita ke rumah sakit!" bujuk Qianno.

Wanita itu menggeleng pelan sembari meringis kesakitan. "Pilih dulu salah satu, aku atau  wanita itu yang akan tetap tinggal di rumah ini. Pilih Ge!"

Qianno terdiam, ia bingung harus bagaimana. Pria itu sama sekali tidak bisa memilih di antara dua pilihan yang sangat sulit, karena keduanya sama-sama tengah mengandung buah hatinya.

"Kalau kamu memilih dia, aku akan mengakhiri hidupku!" sahut Nancy, wanita itu membawa gunting yang ia dapatkan dari meja bekas Asya membuat rancangan kejutannya.

Qianno semakin kebingungan, dua-duanya dalam keadaan buruk saat ini. "Kalian jangan seperti ini, aku mohon. Aku tidak akan memilih salah satu di antara kalian. Aku ingin kalian berdua hidup bersama di sini, ayo kita mulai dari awal bersama-sama."

"Pria sialan!" umpat Asya, wanita yang selalu berbicara lembut pada Qian kini mengumpatinya.

"Kau pikir, aku ini apa? Kamu ingin menempatkan dua istrimu pada atap yang sama! Di mana otakmu Qianno?" Asya terus berteriak sembari menekan perutnya yang terasa semakin nyeri.

"Asya, tenang Sayang. Ayo kita bicarakan baik-baik, Nancy juga sedang mengandung anakku, aku tidak bisa meninggalkan dia begitu saja. Cobalah mengerti, Sayang," ucap Qianno.

Asya mengeraskan rahangnya. "Memangnya siapa yang menyuruhmu menjadi penghianat! Siapa? Jika aku mengerti kamu, lalu siapa yang akan peduli tentang perasaanku?"

"Aku ingin anak Salsabilla! Dan kamu tidak bisa memberikannya, aku sudah sabar menanti selama beberapa tahun ini!" teriak Qianno frustrasi.

"Aku sekarang sedang mengandung, lalu apa lagi? Di dalam perutku ini ada anakmu!" timpal Asya tidak mau kalah.

Qianno mengacak rambutnya frustrasi. "Iya kamu hamil, tapi hubunganku juga sudah terlanjur. Nancy sudah hamil dan aku tidak bisa meninggalkannya."

Air mata Asya semakin deras mengalir saat mendengar ucapan sang suami, jadi kesimpulannya pria itu menginginkan dia dan juga Nancy secara bersamaan. Sungguh sangat sialan, bukan?

Asya berdiri perlahan, di kakinya sudah mengalir darah segar, tetesan beriringan dengan air mata yang keluar dengan derasnya. Bisa dipastikan ia mengalami keguguran, anak yang sudah di nantinya selama dua tahun, kini telah tiada.

"Kamu pembunuh, Ge. Lihat ini, dia pergi! Dia pergi dan kamu yang membunuhnya! Aku tidak sudi lagi berada di sini, nikmati hari-hari kalian selagi bisa. Suatu saat aku akan kembali dan membalas semua yang kalian lakukan padaku dan juga anakku!"

Wanita itu berjalan tertatih, meninggalkan jejak darah di kakinya. Asya mulai memasukkan baju, ponsel dan juga sedikit uang tabungannya ke dalam koper. Koper yang ia ambil adalah milik Qian, karena hanya itu yang berada di dekatnya.

Dengan sedikit menekan perutnya yang nyeri, wanita itu berjalan keluar meninggalkan rumahnya, rumah yang pernah ia huni selama beberapa tahun dengan penuh cinta dan kasih sayang. Rumah yang pernah memberikan sejuta kehangatan saat dirinya merasa kedinginan, dan kini, rumah itu juga yang menjadi penyebab utama kebekuan hati seorang Salsabilla Asya.

"Aku berjanji, aku akan membalas rasa sakit ini pada kalian berdua!"

Nancy menatap remeh ke arah Asya, dengan senyum penuh kemenangan wanita itu memeluk tubuh Qianno dan berpura-pura ketakutan.

"Qian, Asya pergi, kamu tidak mau mencegahnya?" tanya Nancy.

"Tidak, dia pasti akan kembali lagi. Dia tidak punya siapa pun selain aku," jawab pria itu.

"Naif sekali pria ini, justru karena dia tidak memiliki siapa pun maka kamu harus mencegah wanita malang itu pergi. Bagaimana, kalau dia sampai bunuh diri?" batin Nancy.

***

Dengan pakaian yang sama juga darah yang belum ia bersihkan, Asya menaiki kereta menuju ke Jakarta Selatan. Dia tidak tahu akan ke mana, yang jelas ia tidak ingin tetap berada di tempat terkutuk ini.

Wanita itu duduk di sebelah pria dengan jas formal yang wajahnya tampak ketus. Lalu, di depannya juga ada dua pria lagi yang berpenampilan sedikit aneh. Salah satunya menggunakan hoodie dengan telinga yang di tindik kecil, dan yang sebelah menggunakan benda seperti topeng di mata dan wajah sebelah kanan yang ditutupi hoodie juga bucket hat di kepalanya.

Pria dengan separuh wajahnya yang tertutup topeng menatap ke arah kaki Asya. "Kakimu berdarah?" celetuknya.

Asya segera menengok ke arah bawah, mengikuti arah pandang pria misterius itu. "I-iya, apa itu mengganggumu?"

Pria itu menggeleng, sebelum kembali menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi kereta.

Asya mengusak matanya, sedikit mengantuk karena meminum obat pereda nyeri yang ia beli di apotek sebelum menaiki kereta. Wanita itu tidak sadar jika kepalanya terjatuh di bahu pria yang berada di sampingnya.

"Apa-apaan ini?" seru pria itu, namun Asya tak bergeming sama sekali.

"Father, tenang saja. Kapan lagi ditempeli wanita secantik itu?" goda salah satu pria yang duduk di depannya.

"Diam Theo! Dan kamu Jerold, singkirkan wanita ini! Jika perlu buang keluar dari kereta!" perintah Father kepada pria yang menggunakan topeng di separuh wajahnya.

Pria itu menurut, namun saat ia ingin menarik kepala Asya, ia melihat sebuah alat kecil di koper wanita itu yang tampak familier di indra penglihatannya.

"Father, di kopernya terdapat alat pelacak. Apa dia seorang mata-mata utusan musuh kita?" tanya sang pria bertopeng.

"Bius dia, bawa ke markas!" sahut Jayden dengan tenang.

Theo langsung mengeksekusinya setelah mendapat perintah mutlak dari Father Jay, ia membius Asya agar tertidur lebih lama lagi dan membawa wanita itu ke markas besar mereka.

Setelah sampai di markas, Theo membopong tubuh Asya layaknya karung beras, sedangkan Jeno mendapat bagian untuk membawa koper milik wanita itu.

Di dalam, beberapa anak buah Jay atau yang biasa disapa dengan sebutan Father Jay, memeriksa isi koper milik Asya. Setelah mengobrak-abrik semuanya, ternyata tidak ada barang yang mencurigakan sama sekali. Hanya ada pakaian dan sedikit uang tunai.

"Apa ada sesuatu yang mencurigakan?" tanya Father Jay dengan suara beratnya.

"Tidak Father, aman!" jawab salah satu penghuni markas dengan tubuh yang paling tinggi dengan pierching di alis kanannya. Pria yang akrab disapa dengan panggilan Luis.

"Baiklah, bawa wanita ini ke ruang eksekusi. Biarkan dia menjadi mainan Haikal."

Haikal adalah salah satu pembunuh andalan Father Jay, pria bertubuh sedikit pendek nan gempal itu bahkan mampu makan sembari menguliti targetnya.

"Father, dia cantik sekali, sayang jika wajah dan tubuh halusnya harus dirusak...," ucap Winny, satu-satunya wanita yang berada di sana.

"Mulutmu itu bisa diam tidak? Banyak protes!" ejek Theo.

Winny sudah bersiap mengangkat pistolnya untuk ia pukulkan ke arah kepala Theo. Namun, Jerold segera mencegah dengan menarik pergelangan tangan Winny.

"Sudah cukup, jangan bermain-main lagi!" Jika Jerold sudah berada dalam mode serius, maka tidak akan ada satu pun yang berani membantah adik tiri Father Jay itu.

"Aku akan beristirahat, jangan biarkan satu orang pun masuk ke dalam kamar sekalipun ingin membawakan makanan." Perintah mutlak dari Father mereka sanggupi, setelah Father dan Jeno pergi, mereka menghela nafas perlahan.

"Gara-gara kamu, Jerold marah! Dasar wanita, dan ya, pistol itu tidak cocok untukmu, lebih baik bawa spatula sana!" teriak Theo sembari berlari kencang.

"Kemari kau sialan! Akan aku lubangi kepalamu yang kosong itu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status