Barrant memacu kudanya mengikuti Aguste yang berada di depan, menuntunnya menuju ke tempat di mana kekasihnya dibawa paksa. Gelap membuat matanya menyipit. Selain mereka berdua, ada Ishak yang ikut berkuda dengan Barrant. Ia tak bisa berkuda sendiri. Dulu, waktu kecil ia trauma menghadapi kuda.
Waktu itu ia yang merupakan anak lelaki paling bungsu dari keluarganya mendapat harapan paling tinggi dari ayahnya. Ayah Ishak sangat keras, apalagi terhadap putra-putranya.
Akan tetapi, Ishak juga yang paling disayag ibunya. Ibunya tidak bisa melepas, walau sedikit, perhatiannya terhadap anak bungsunya itu. Sebab, dibanding anak lain, Ishaklah yang paling mengerti ibunya. Dari kecil, ia ringan tangan membantu ibunya. Ia sering menemani ibunya menyulam di kamar, karena ibunya sering bersenandung sembari menyulam. Ia senang mendengar suara ibunya yang merdu. Kadang, jika ibunya selesai menyulam, Ishak menata kain-kain yang telah disulan ibunya ke peti. Kain itu terasa halus“Katakan! Kalian bawa ke mana Fjola?” Barrant memasuki pondok itu dengan wajah merah. Napasnya tersengal. Dadanya kembang kempis karena marah. “Aku tidak menyangka kalian bisa sekeji ini.”Margaret datang dari kamar belakang. “Well ... well ... well, Yang Mulia.” Wanita itu membungkuk. Senyum tersungging dari bibirnya. Matanya mendelik licik.Barrant mendengkus. “Jika ada kekacauan, pasti kau dalangnya.”“Kekacauan?” Margaret pura-pura terkejut. “Kekacauan apa?”“Tidak usah basa-basi, di mana Fjola?” gertak Barrant.“Fjola? Tentu saja dia ada di istana,” jawab Margaret pura-pura tidak tahu. "Kenapa?"“Jangan bohong, Margaret! Kau bawa Fjola ke mana?”Wanita tua itu mengangkat bahu. “Aku tidak membawanya ke mana-mana. Sejauh pengetahuan saya, Yang Mulia, Tuan Putri Fjola masih ada d
Barrant pulang dengan hati mendongkol. Margaret telah mepermainkan mereka. Ia benci kepada wanita tua itu. Dari kecil, Margaret bertindak seolah dia ibunya. Padahal, Margaret hanya pengasuhnya.Saat Ratu Elnora dibunuh, Bartang yakin Margaret ada di sana tetapi, orang lain tidak percaya bahwa dia ada di sana. Padahal, waktu itu Barrant jelas melihat wanita itu ada istana.Margaret adalah kakak Ratu. Maka dari itu, dia selalu dihormati sang Raja. Tak hanya itu, segala pendapatnya selalu diamini Raja Valdimar. Hal itulah yang membuat Barrant enggan pulang ke istana setelah ibunya meninggal. Ia lebih suka berkelana.Ketika ditinggal oleh Margaret di pondok tengah hutan, Barrant meminta Aguste memeriksa pondok. Namun, kebakaran membuatnya tak bisa menemukan apa-apa. Dia hanya bisa memastikan bahwa memang ada seseorang yang pernah diikat di sana.Barrant memerintahkannya menyusuri hutan, mencari tanda apakah Fjola berhasil melarik
Barrant mengamati surat yang diulurkan ayahnya padanya. Surat yang menjadi bukti bahwa Fjola bukannya diculik, tetapi meninggalkannya. Keningnya berkerut saat membaca isinya. Surat itu memang benar tulisan Fjola. Barrant tahu karena huruf s yang tertera di sana melenggok janggal. Dia mengenali tulisan itu dari surat-surat yang ditulis Fjola padanya dulu.Setelah membaca singkat isinya, Barrant tersenyum. Senyumnya berubah menjadi tawa. Ia mengulurkan surat itu kepada Ishak yang sedang mengernyit menatapnya. Dan, saat matanya terserobok pada surat itu, wajah yang tadinya tegang berubah lega.Lelaki kemayu itu mendesah. “Maaf, Yang Mulia, ini surat cinta Tuan Putri Fjola, bukan surat yang pernyataan penolakan cinta.”Margaret mendengkus. “Itulah bukti bahwa Fjola tidak mencintai Pangeran. Dia memiliki kekasih. Dan, dia melarikan diri karenanya.”Tawa Barrant semakin keras. Ia menghapus sudut mata
Belati siaga di tangannya. Matanya awas dan peka terhadap suatu gerakan, meski kemudian lega karena anginlah yang menggerakkannya. Awan kelabu tampak di atas kepalanya, mengintip di antara daun-daun pepohonan yang tinggi. Udara berembus lembap, dan dingin. Matahari pun tidak tampak, meski begitu cahayanya yang terang mampu menembus awan.Fjola berjalan dengan cepat. Sesekali ia menoleh ke belakang. Ia dapat merasakan seseorang tengah mengikutinya, mencari jejaknya. Tetapi, ia tak tahu siapa itu. Mata-mata para hewan pengerat yang kebetulan berpapasan dengannya menatapnya seolah-olah menyuruhnya untuk segera meninggalkan hutan ini. Gaunnya yang panjang terkadang membuatnya kesulitan saat melangkah. Ia berniat merobek satu lapisan lagi, tetapi hal itu tak bisa dilakukannya. Ia bisa kedinginan nantinya.Fjola terus bergerak meski perutnya memprotes. Ia kelaparan. Sejak semalam, ia belum makan. Gadis itu tak tahu sudah berapa lama dia menelusuri hutan itu. Kakinya tera
Suasana hening sejenak. Tak ada suara lain dalam ruangan itu, hanya deru napas yang saling bertautan Mata mereka memelotot, saling memandang satu sama lain. Hawa panas karena amarah menyeruak dalam balairung istana Raja Valdimar. Masing-masing orang meyakinkan bahwa pendapat merekalah yang benar. Fakta merekalah yang harus dipercaya. Bukti yang mereka tunjukan sama-sama kuat. Bantahan demi bantahan telah mereka lontarkan untuk mengikis pendapat masing-masing.Lelaki tua yang duduk di singgasana dibuatnya kebingungan. Satu sisi ada anaknya, sedangkan di sisi lain ada kakak istrinya. Dengan cermat, ia harus menelisik masalah ini. dengan hati-hati pula, dia harus memutuskan mana yang benar dan mana yang salah. Namun sayangnya, semua pendapat memiliki bukti yang sama-sama kuatnya meski berlainan. Ia hanya bisa memijat kepalanya yang pening.“Oh, ayolah!” seru Barrant memecah kehinangan. “Semua sudah jelas. Tak ada yang meragukan bahwa Fjola se
Fjola menjerit. Meski begitu, matanya tertutup. Ia menunggu rasa sakit datang, sebab hal terakhir yang dilihatnya sebelum menutup mata adalah anak panah yang melayang padanya. Namun, sekian detik menunggu, rasa sakit itu tak kunjung datang. Ia membuka matanya perlahan.Anak panah itu menancap di sebelah kepala, sangat dekat hingga seandainya ia bergeser satu centi saja ke samping, tamat riwayatnya.Gadis itu memandang sekeliling. Ia tak menemukan orang yang mengirim anak panah itu. Tak ada tanda-tanda keberadaanya.“Siapa kau?” serunya dengan suara gemetar. “Tunjukkan wujudmu!”Hening. Tak ada jawaban apa pun. Fjola berniat berlari dari tempatnya berdiri. Namun, mendadak kakinya tidak bisa digerakkan. Sesuatu membelitnya. Ia berusaha menjejak jerat yang ternyata adalah batang tanaman merambat.Gadis berambut panjang itu mencoba melepaskan diri. Namun, semakin ia berusaha, jeratan itu semakin mel
Raja Erik tengah menikmati sore yang mendung di istananya ketika seorang prajurit tergopoh-gopoh menghampirinya. Ia meletakkan cangkir yang berisi teh hangat kesukaannya. Di sampingnya duduk putri kesayangannya, Briet. Mereka memandang hamparan jalan putih dari salju yang belum mencair sejak hujan tadi pagi.“Yang Mulia,” panggil prajurit bertubuh jangkung itu. Baju zirahnya berwarna perak. Helmnya dikepit di bawah ketiak, sedangkan tangan satunya mengenggam surat dengan segel dari Negri Penguasa Tembok.Raja Erik mengangkat tangannya, menghentikan tangan sang prajurit yang akan terulur. “Aku sudah tahu,” katanya sembari tersenyum. “Lihat anginnya, Briet,” tambahnya kepada sang putri. “Angin kali ini membawa hal bagus dari negeri seberang.”Briet tak menyahut. Ia mengangkat cangkirnya ke bibir, menyesap teh sedikit.“Yang Mulia, ini—“ ucapan sang prajurit kembali ter
Ia berjalan dengan tergesa di lorong kastil. Pengawal yang senangtiasa mengikutinya diusirnya. Ia ingin sendiri. Raja Erik memasuki kamarnya dengan hati gelisah.“Ayah!” Anak gadisnya mengikuti. “Apa yang kau lakukan?”Raja bercambang lebat itu meraup wajahnya frustrasi. Ia duduk di tepi ranjangnya yang besar. “Aku tidak bisa.”Briet menghampirinya. Ia berdiri tepat di hadapan ayahnya. “Kenapa Ayah membiarkan Master Killi menyelidiki Fjola? Ini bisa berbahaya! Bagaimana kalau—““Ssst!” Sang raja bangkit. Ia beranjak ke pintu dan menutupnya rapat-rapat. Ia juga menutup jendela kamarnya, memasang tirai supaya apa pun yang akan dia katakan tidak ada yang mendengar.“Dengar, Briet,” katanya berbisik. “Kau harus pergi.”“Apa?” mata sang putri melebar. “Kenapa?”“Semuanya kacau!&rd