Share

Pemburu Lain

“Halo,” ucap Fjola meringis. Kedua tangannya terangkat, tanda menyerah. Ia masih terperosok ke dalam semak.

Kedua prajurit yang mengacungkan pedang kepadanya itu saling berpandangan dengan heran. Kemudian, salah satunya bertanya, “Apa yang kau lakukan di sini?”

“Oh, aku cuma sedang jalan-jalan, lalu terpeleset. Tak usah kalian pikirkan. Aku tidak apa-apa, kok. Silakan lanjutkan perjalanan kalian,” jawab Fjola dengan santai.

Kedua prajurit itu mengernyit. “Aku tak melihatmu dalam rombongan berburu,” kata prajurit berambut pirang tadi. “Bagaimana dengan kau?” tanyanya berpaling kepada prajurit satunya.

Ia menggaruk rambutnya yang hitam, tampak sedikit tak peduli. “Aku juga tidak. Lagi pula, dia kan wanita. Lihat saja rambutnya itu, dijalin asal-asalan. Seperti laba-laba. Dia pasti bukan bangsawan.”

“Aku memang bukan bangsawan yang ikut rombongan berburu. Aku hanya seorang gadis yang kesasar di hutan.” Pelan-pelan, Fjola bangkit. Ia menepuk-nepuk bajunya yang berdebu.

“Bukankah tidak sembarang orang boleh masuk ke sini? Begitu aturan penguasa wilayahmu.”

“Oh, aku tidak tahu. Aku bukan orang asli di sini.”

“Kau datang dari mana?” tanya prajurit berambut hitam.

“Vor,” jawab Fjola tanpa pikir panjang. Selama ini, ia tak kenal negeri-negeri lain di dalam tembok. Ia tak pernah pergi dari negerinya.

Kedua prajurit itu medengkus. Mereka lalu tertawa. “Lihatlah gadis ini! Orang buta pun akan bisa membedakan kau dari bangsa Vor.”

“Lebih baik kita bawa saja ke penjaga hutan. Aku ingin lihat bagaimana mereka menghukum seorang pembohong,” kata prajurit berambut pirang. Ia terkekeh.

“Tunggu!” Otak Fjola berpikir. “Begini saja. Bagaimana kalau kalian ampuni aku? Kalian berpura-puralah tidak pernah melihat atau bertemu denganku. Lagi pula, kalian bukan penjaga hutan, kan?”

“Jika kami membiarkanmu pergi, imbalan apa yang akan kau berikan pada kami?” tanya prajurit berambut hitam. Matanya menelusuri tubuh Fjola dengan tamak. Ia menjilat bibirnya.

Melihat tingkah prajurit itu membuat Fjola jijik. “Imbalannya yaitu aku tidak akan memberitahu siapa-siapa bahwa kalian telah mengolok-olok Pangeran. Kalian berkata apa tadi? Selembut sutra? Memakaikannya gaun? Oh, betapa mengerikan ucapan kalian tadi!”

Prajurit berambut hitam tadi geram. “Bagaimana kalau begini, Nona. Sebelum mulutmu itu mengoceh, kupenggal saja kepalamu sekarang.” Dia lantas mengayunkan pedangnya. Namun, dia terhenti oleh sebuah seruan yang memanggil nama mereka.

Kedua prajurit itu berpandangan dengan gugup. “Pangeran! Gawat! Bagaimana ini?”

Mendapat kesempatan emas, Fjola beringsut mundur. Ia kemudian berbalik dan lari.

Prajurit berambut hitam tadi akan mengejar gadis itu, tetapi dicegah oleh prajurit satunya. “Lebih baik biarkan saja dia pergi.”

“Bagaimana kalau dia mengadukan kita?”

“Tidak akan. Aku jamin itu. Ayo, kita kembali ke rombongan.”

Mereka lantas menyarungkan pedang. Mereka kembali menunggang kuda dan berderap menuju suara pangeran mereka.

Sementara itu, dengan jantung berdegup kencang, Fjola berlari ke luar hutan. Ia meliukkan tubuhnya ketika melewati celah kawat berduri yang menjadi pembatas. Busur dan panahnya masih tertinggal di hutan. Tetapi, ia tak berani mengambilnya sekarang. Terlalu berisiko.

Fjola pulang dengan tangan kosong. Kakinya yang letih dia selonjorkan sejenak di depan pintu.

Setelah mendengar kehadirannya, Fannar sang adik membuka pintu. Matanya berkilat ketika melihat sang kakak pulang, kemudian meredup ketika tahu bahwa sang kakak pulang tak membawa apa-apa.

Meski begitu, Fannar tak memperlihatkan kekecewaannya. Dengan bibir tersenyum dia mengulurkan tangan, berniat melepas sepatu bot Fjola.

“Jangan dilepas,” cegah gadis itu. “Aku akan ke hutan lagi nanti.”

“Tidak hari ini, Kak. Aku mendengar ada rombongan pangeran dari Veggur yang berburu ke sana. Kau bisa ketahuan kalau ke sana lagi.”

Terlambat, batin Fjola. Namun, yang keluar dari mulutnya adalah hanya helaan napas panjang.

“Kau pasti lelah. Aku menyisakan roti di dalam lemari. Akan kuambilkan untukmu,” kata Fannar bangkit.

“Aku tidak lapar,” dusta Fjola. Sebenarnya perutnya sudah keroncongan sejak tadi. Pagi ini ia tak sarapan. Dia sengaja menyimpan rotinya untuk dibagikan kepada Jon dan Fannar ketika dia gagal mendapat buruan.

“Kalau begitu, minumlah.” Fannar mengulurkan secawan air yang diambilnya dari dalam rumah.

Setelah meneguk dengan serakah, Fjola merasa mengantuk. Ia mengempaskan tubuhnya ke lantai, kemudian tertidur. Dia bahkan tak mau repot-repot masuk ke rumah karena menurutnya di dalam maupun di luar rumah itu sama saja.

Rumahnya sudah reot. Dindingnya tak bisa lagi menahan atap dengan tegak. Tiang-tiang penyangga sebagian patah sehingga membuat atap miring. Pintu rumahnya sudah rusak, tak bisa ditutup dengan benar. Di dalam tak ada ranjang. Yang ada hanya tumpukan kain kumal untuk menghangatkan mereka dari udara dingin.

Jika musim salju datang, mereka menyumpal dinding-dinding yang bolong itu dengan kain rombeng supaya angin tak dapat masuk. Perapian di ujung ruang tengah menjadi satu-satunya penyelamat mereka. Meski tak kuat membeli kayu bakar yang melimpah, mereka harus mampu bertahan dengan ranting dan beberapa kayu seadanya.

Kadang Fjola merasa ingin membakar dirinya sendiri supaya hangat ketika musim itu datang. Namun, tentu saja hal itu tak mungkin dia lakukan. Ia masih ingin hidup.

Matahari sudah akan bersembunyi ketika Fjola terbangun. Bergegas, ia kembali ke dalam hutan. Sebelum pergi Fannar menyelipkan sebongkah roti basi ke tangannya. “Kakak harus makan. Sudah seharian aku tak melihatmu makan. Itu adalah roti terakhir yang kita punya. Aku khusus menyimpannya untukmu.”

Namun, dia menolak. “Berikan pada Ayah saja. Dia lebih membutuhkannya.”

Tanpa menoleh lagi, Fjola pergi. Ia kembali masuk ke dalam hutan. Tempat pertama yang ditujunya adalah tepi sungai. Ia mengambil sarung panahnya yang tertinggal di sana tadi. Setelah itu ia mencari busur yang dijatuhkannya saat melawan sang harimau. Sesudah ketemu, ia lantas menuju tempat hasil buruannya disembunyikan.

Saat sampai di sana ia terbelalak mendapati seorang pemburu lain telah menguliti harimau itu. Pemburu itu juga memotong-motong daging sang harimau ketika Fjola datang. Atau dia pikir begitu karena pemburu itu duduk membelakanginya. Tangannya tampak sibuk.

Fjola tak bisa melihat wajahnya. Ia juga tak tahu apa yang sedang dikerjakannya. Jubah yang dikenakannya tampak menyatu dengan hutan. Meski begitu, Fjola yakin bahwa dia adalah pemburu juga karena penjaga hutan tidak mungkin memakai jubah. Mereka selalu memakai baju zirah kebesaran mereka.

“Hei!” seru Fjola marah. “Apa yang kau lakukan? Aku yang membunuh binatang itu. Jadi, aku yang berhak mengambilnya.”

Pemburu itu menoleh. Namun, tetap saja Fjola tak dapat melihat rupanya. Pemburu itu mengenakan tudung jubah untuk menyembunyikan wajahnya.

“Siapa kau? Apa kau pemburu ilegal juga?” tanya Fjola lagi. Ia mendekat dengan ragu.

Sang pemburu bangkit. Tubuhnya tinggi dan ramping. Baju yang dikenakannya pun lain dari pemburu pada umumnya. Warnanya putih terang, begitu terang hingga membuat mata Fjola silau sekejap. Kalau tak memakai jubah, tentu pemburu itu pasti menarik perhatian apa pun ketika lewat.

“Jadi, kau yang telah membuat binatang ini mati?” tanya pemburu itu. Suaranya lembut dan merdu. Meski begitu, ada kesan permusuhan di dalamnya. Dari balik tudungnya, Fjola dapat melihat pancaran mata tajam lelaki itu.

“Ya, itu aku. Dan kau adalah orang yang seenaknya mengambil hewan yang sudah susah payah kubunuh ini? Enak betul?” cerca Fjola.

“Enak?” Bibir merah lelaki itu tersenyum sinis. Meski tampak indah, Fjola kesal melihatnya. “Kau pikir menyakiti hewan itu enak?”

Fjola mendengkus. “Asal kau tahu, hewan ini berusaha membunuhku sebelum ia kubunuh.”

“Itu karena kau menganggunya saat mencari makan.”

Kening Fjola berkerut. “Bagaimana kau tahu.”

“Bukan urusanmu bagaimana kutahu,” kata lelaki itu dengan sengit.

“Bagaimana denganmu? Kau malah menguliti hewan itu,” ujar Fjola tak terima.

“Bukan aku yang mengulitinya.”

“Lalu siapa?”

“Orang sepertimu,” jawab lelaki itu penuh penghinaan. "Sebelum aku mengusirnya tadi."

Hal itu membuat Fjola geram. 

“Dengar, ya, Lelaki Bertudung. Jika kau tahu apa itu lapar, kau tak akan berani bersikap sesombong ini padaku.” Dia mengacungkan telunjuknya kepada lelaki itu.

“Oh, ya? Jika kau mau menggunakan otakku, ada banyak pilihan lain selain membunuh hewan untuk dapat memuaskan rasa laparmu itu.” Sembari berkata seperti itu, sang lelaki mendekat. Ia berhenti tepat di depan Fjola. Sorot matanya yang tajam membuat Fjola sedikit gentar.

Gadis itu mundur selangkah. Meski begitu, ia belum mau kalah. Ia mendongak, menantang.

Dengan begitu, Fjola dapat melihat wajah lawan bicaranya dengan jelas. Kulitnya yang terang seakan memancar dari bayangan tudung jubah. Matanya berkilat memandang Fjola. Rahangnya kokoh, namun juga lembut. Rambutnya yang sewarna dengan kayu dipernis itu tersembunyi di balik tudung. Dilihat dari parasnya, ia sangat rupawan.

Sesaat, Fjola gugup. Jantungnya berdetak lebih cepat. Pipinya merona. Ia tak pernah melihat pemuda setampan itu di negerinya. Mungkinkah dia adalah pangeran dari Negeri Veggur yang dibicarakan kedua prajurit tadi?

“Ekhem,” Gadis itu berdeham untuk menutupi kegugupannya. “Berikan aku contoh pilihan yang kaumaksud itu, yang tidak harus dibeli dengan uang.”

“Buah," bisik pemuda itu maju.

"Jamur." Pemuda itu maju lagi. Sekarang, mereka hampir tak memiliki jarak. Jantung Fjola berdetak cepat sekaki. Ia dapat mencium wangi tubuh pemuda itu yang memabukkan.

"Telur," bisik sang pemuda mendekatkan wajahnya ke wajah Fjola yang memerah.

“Tunggu! Berhenti!” Gadis itu melangkah mundur. Tangannya terulur ke depan. Tetapi, ia tak berani menyentuh sang pemuda. Tanpa melihat wajah lawan bicaranya, ia berkata, “Kau sama saja membunuh calon hewan dengan menyebut telur.”

“Tetapi tetap saja telur itu bukan hewan.” Pemuda itu melangkah pelan, memutari tubuh Fjola. Ia berhenti tepat di belakang gadis itu. Ia lalu mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu dan berbisik, "Aku benar, kan?"

Napasnya yang hangat berembus, membelai kulit gadis itu. Fjola seperti hilang akal. Namun kemudian ia sadar bahwa lelaki itu merupakan orang asing. Ia jadi malu karenanya. Ia juga kesal karena merasa malu.

Fjola berbalik, dan melangkah menjauh dari pemuda rupawan itu. Ia melengkungkan bibirnya ke bawah, mengedikkan bahunya singkat. “Terserah apa katamu. Sekarang, mumpung hewan itu sudah terlanjur mati, aku ingin mengambilnya.”

Fjola melangkah ke arah buruannya tergeletak. Namun tiba-tiba, pemuda itu menangkap tangan Fjola.

Fjola tersentak saat kulit pemuda itu menyentuhnya. Rasa hangat segera menjalar ke tubuhnya. Tak hanya itu, kulit pemuda itu terasa begitu halus. Fjola kembali merona. Ia segera menarik tangannya. “Apa lagi?”

Pemuda itu meletakkan telunjuknya yang panjang ke bibir. “Kau dengar itu? Ada seseorang yang mendekat.”

Fjola menajamkan telinganya. Keningnya berkerut. Ia diam sesaat. “Tidak, aku tidak mendengar apa-apa. Sekarang, Tuan Bertudung, aku tidak peduli kau mau ngomong apa. Jangan halangi aku mendapat sesuatu yang memang seharusnya untukku.”

Dengan kantung kulit yang dibawanya, Fjola memasukkan daging-daging harimau yang sudah terpotong itu ke dalam kantung. Ia juga menyimpan kulit sang harimau. Setelah siap membawa hasil buruannya pulang, Fjola berbalik. Ia heran karena pemuda tadi sudah tak ada.

Kapan pemuda itu pergi pun ia tak tahu. Ia tak mendengar langkah pemuda itu ketika beranjak. Keningnya berkerut sesaat, namun kemudian ia merasakan ada benda dingin yang menyentuh lehernya.

“Letakkan benda itu, Pencuri,” bisik seorang penjaga hutan.

Fjola terpaku. Ia melirik benda dingin yang menempel pada lehernya. Itu adalah pedang dengan bahan dari perunggu yang tajam.

Perlahan, ia melepas genggaman tangannya. Kantung kulit tempatnya menyimpan daging harimau itu jatuh berdebum ke tanah. Tangannya terangkat ke atas pelan-pelan. Bibirnya bergetar saat mengucap, “Bu-bukan aku yang membunuh hewan itu, Tuan. Aku hanya mengambil apa yang ada di sana.” 

“Kita lihat apa kata dewan nanti.”

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Farah Diina
Makanya dengerin kalo orang bilang bahaya hihihi
goodnovel comment avatar
Kikiw
Fiola, kau kurang beruntung wkwkkw
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status