Fjola menjerit saat tangan kurang ajar seorang serdadu meraba pahanya. Namun, tak ada siapa pun yang peduli. Mereka yang lewat hanya menoleh singkat, seolah pemandangan itu merupakan hal yang biasa terjadi di sana. Beberapa malah mendengkus.
Gadis itu menangis karena marah. Ia lantas menusuk mata sang serdadu yang tengah mabuk itu dengan kedua jarinya. Si prajurit mengaduh. Spontan, ia melepaskan pelukannya. Tangannya mengucek mata.Tak menyia-nyiakan kesempatan, Fjola berlari. Ia menuju pintu belakang istana. Ia berniat masuk ke celah. Namun sayangnya, sebelum sampai, si prajurit berhasil menyambar tangan gadis itu.
Dengan wajah merah karena murka, dia mencengkeram kedua tangan Fjola, meguncinya ke atas dengan satu tangan sedangkan tangannya yang lain mulai menyobek bagian atas gaun gadis itu.
“Jangan,” Fjola meronta. Tetapi, tenaga prajurit itu begitu kuat. Ia kesulitan. Apalagi saat tungkai si prajurit mulai mendesak di antara k“Dear Fjola yang Cantik,” Ishak membacakan surat Barrant kepada gadis itu. Sudut bibirnya tersungging ketika membaca itu. “Saat membaca suratmu, aku berharap kau tidak dalam keadaan genting sehingga menghendaki bertemu denganku secepat mungkin. Sebab dengan amat menyesal, Tuan Putri, aku tidak bisa menemuimu malam ini, begitupun malam selanjutnya dan selanjutnya lagi.“Akan tetapi, aku berjanji akan menemuimu pada malam di mana bulan membulat penuh, itu pun kalau tidak tertutup oleh awan. Aku tak dapat bertemu denganmu semata-mata bukan kehendakku, Tuan Putri, melainkan keadaanlah yang membuatku tidak dapat berlari menuju ke tempat dirimu berada. Percayalah, tak ada yang lebih kuinginkan selain melakukan hal itu. Kuharap, kau mau memaafkanku dan menemuiku di tempat biasa nanti karena aku merindukanmu.Nb: Tak usah kaubalas suratku, Aguste pasti tidak akan sabar menunggu balasan darimu. Oh, kalau aku punya sihir, aku ingin mengubahnya m
Setiap malam, Fjola mencari bulan. Setelah makan malam, saat jadwalnya selesai, dia akan berdiri di jendela, mengintip awan kelabu yang menaungi langit. “Apa ini sudah bulan purnama?” tanyanya kepada Ishak.“Belum, Fjola, sekarang ayo, kita belajar membaca.” Lelaki berpakaian germerlap itu menarik lengan Fjola ke perpustakaan.“Oh, sekarang kau ingin menyiksaku lagi? Kita sudah sepagian belajar menulis, sekarang malam pun kau tuntut aku membaca? Otakku bisa meledak, Ishak.”“Kalau meledak, akan kujahit biar menempel lagi.” Lelaki itu memaksa Fjola masuk ke perpustakaan.“Selamat malam,” sapa Mr. Underwood mengintip dati balik kacamatnya. “Kau ingin membaca adab dan hukum?”“Tidak,” sahut Ishak segera. “Apakah Anda punya buku yang ... em, mudah dibaca? Mungkin dongeng atau semacamnya?”“Oh, tentu saja. Ada
Piring-piring sudah diambil para pelayan, sebagai gantinya ada satu cangkir kopi di meja. Fjola tidak suka kopi. Rasanya yang pahit mengganggu lidahnya. Meski sudah ditambah tiga kotak gula pun tetap saja pahit. Ia merasa sudah menjalani hidup yang pahit selama ini. Dia tidak menginginkan kepahitan dalam cita rasanya lagi. Gadis itu muak.“Nanti malam sepertinya akan ada hujan salju lagi. Udara begitu dingin di sini,” cetus Elisabet merapatkan jubah pink lembutnya. Jubah itu tanpa tudung, dengan kerah yang diberi manset. Dia tampak luar biasa cantik.“Ini baru awal musim dingin, Tuan Putri. Beberapa minggu lagi bisa saja ada badai salju,” terang Margaret. Ia meneguk kopinya dengan nikmat.“Uh, aku tak bisa membayangkan jika badai datang nanti dan kita berkeliaran di luar sana.” Ylfa bergidik. Ia menyeruput kopinya selagi masih panas. “Bisakah aku meminta coklat saja?”Margaret terseny
Sepertinya, doa Fjola terkabul. Hujan salju reda tepat ketika ia sampai ke balik pintu belakang istana calon selir. Meski begitu, ia masih merasa kedinginan.Padahal ia sudah memakai gaun dengan lengan panjang, ditambah mantel dan syal dari wol. Ia juga memaki sarung tangan tebal.Fjola mengetuk pintu tiga kali. Jantungnya berdegup lebih keras. Ia menangkupkan tangannya, berdoa supaya pintu itu membalas ketukannya. Namun, setelah menunggu beberapa detik, pintu itu bergeming.Gadis itu mendongak. Awan hitam mengerumun di atas. Embusan napasnya beruap. Hidung dan pipinya memerah karena dingin. Ia mengetuk lagi pintu itu. Tak lama kemudian, sang pintu menjawab. Fjola girang bukan kepalang. “Barrant! Kau kah di situ?”“Tentu saja, Nona Cantik. Sekarang, bukalah pintu ini kalau kau tidak mau aku mati membeku,” sahut Barrant dari luar.Fjola segera menarik slot dan membuka pintu. Tampak di sana pemuda itu b
Zargar berjalan dengan tergesa. Dingin membuat tubuhnya menggigil. Salju yang turun menghiasi rambutnya yang kini semakin panjang awut-awutan. Perjalanan yang akan ditempuhnya masih panjang. Kakinya sudah lelah, rasanya nyut-nyutan. Akan sangat bersyukur apabila ada tumpangan yang tak disangka-sangka.Pucuk dirindu, ulam pun tiba. Bagai keajaiban, ada kereta yang lewat. Ia segera keluar dari semak, mencegatnya. Seorang yang tak asing tampak menjadi kusirnya. Ia mengernyit heran, tetapi diam saja. Ia hanya butuh tumpangan, bukan konfrontasi.“Ada apa?” Seorang pemuda melongokkan kepalanya dari jendela. Kemudian, seorang gadis juga melongokkan kepalanya keluar jendela.Zargar terbelalak sesaat ketika memandangnya, begitupun dengan gadis itu. Melihat kesempatan, ia berseru senang. “Fjola!” tangannya terentang. Ia melangkah menghampiri kereta.Gadis yang namanya diserukan itu mengumpat. Ia menarik kepalanya ke dalam ker
“Fjola,” panggil Barrant ketika mereka kembali ke pintu belakang istana. “Ada yang ingin kukatakan. Kuharap kau tidak marah.”Fjola yang setengah badannya sudah melewati pintu kembali keluar. Matanya mengernyit ketika memandang ekspresi aneh Barrant. “Ada apa?”“Begini ... aku ... kita ....” Tiba-tiba Barrant menjadi salah tingkah. Beberapa kali ia mengusap dagunya.“Ada apa, Barrant?”Pemuda itu mengirup napas dalam-dalam. Ia mengembuskannya kuat-kuat, sembari menyusun keteguhan hatinya. “Sebaiknya kita tidak usah ketemu lagi.”“Apa?” Fjola terkejut. “Kenapa?”Buru-buru, Barrant menjelaskan, “Aku tidak bisa terus sembunyi-sembunyi begini. Aku ... aku ....”“Apa maksudmu, Barrant? Kenapa tiba-tiba begini? Bukankah tadi kau bilang kalau kau mencintaiku?” Pandangan Fjola bergan
Tak terasa, sebulan hampir berlalu. Hari pemilihan tinggal seminggu lagi. Dalam waktu seminggu itu para kandidat akan dibawa ke istana raja. Mereka akan berinteraksi dengan Raja Valdimar. Dalam seminggu itu mereka harus mampu menggaet hati raja itu.“Kalian sudah mengerti bagaimana adab dan peraturan yang berlaku di negeri ini. Aku tidak mau kalian berbuat hal memalukan di depan raja. Akibatnya akan sangat fatal.” Margaret berdiri di depan istana calon selir. Para pelayan bersiap-siap, memasukkan peti-peti gaun para calon selir ke dalam kereta. Mereka akan pindah ke istana raja. “Jangan berbuat hal yang kurang ajar.”Para calon selir menunduk hormat. Satu persatu berpamitan kepada Margaret. Wanita tua itu membisikkan wejangan-wjangan kepada mereka. Khusus untuk Fjola, dia berbisik, “Sebaiknya jaga sikapmu, Nona, kalau tidak akibatnya akan sangat mengerikan.”Fjola malas menanggapinya. Ia hanya mengangkat bahu
Tubuh Fjola tiba-tiba lemas. Benaknya kacau. Ia menatap Barrant dengan pandangan terluka. Perasaannya campur aduk. Marah, sedih, dan kecewa menjadi satu. Ia tak tahu apa alasan Barrant berbohong. Pemuda itu begitu tega mempermainkannya. Ia benci kepadanya. Tanpa berkata-kata lagi, Fjola berbalik. Ia melangkah pergi, meninggalkan Lilija, Aguste, dan Barrant.“Fjola!” Barrant memanggil. Tetapi, gadis itu memilih mengabaikannya. “Fjola, kumohon! Dengarkan aku!”Gadis itu menggeleng. Langkahnya goyah. Hatinya hancur. “Biarkan aku sendiri.”“Tidak, tidak! Kumohon, dengarkan aku dulu!”Air mata gadis itu mengalir. “Kau tega sekali membohongiku!”“Aku tidak bermaksud membohongimu Demi Tuhan, Fjola, dengarkan aku.” Barrant meraih lengan gadis itu.“Jangan sentuh aku!”Barrant terhenyak. Pandangannya tampak terluk