Udara dingin mengusik tidur Fjola. Meski sudah ada perapian yang menyala, tetap saja gadis itu menggigil. Pada tengah malam, ia terbangun. Ia mengenakan mantel kemudian kembali tidur. Akan tetapi, bayang-bayang kematian selalu menghantuinya.
Fjola gelisah. Kemudian, gadis itu memutuskan untuk bangkit dari ranjangnya yang hangat. Ia berdiri di balik jendela. Tak ada apa-apa di luar sana. Hanya ada kegelapan saja. Namun, jauh di belakang sana, di seberang bukit, tembok besar berdiri megah. Meski sudah malam, dindingnya yang pucat tampak kontras. Saat melihatnya, Fjola merasa takut. Ia tak bisa membayangkan jika tembok itu runtuh.Seandainya cerita Ishak benar adanya, maka hanya kehancuran yang akan menaungi negeri-negeri di dalam tembok jika sampai tembok itu runtuh.
Memikirkan hal itu membuat Fjola tambah bergidik. Rupanya, buka dingin yang membuatnya menggigil, melainkan membayangkan apa yang terjadi padanya kelaklah yang membuat hatinya menciut.GFjola kembali ke istana dengan mengendap-endap. Meski yakin tak akan ada yang bangun selarut itu, tetap saja dia takut ketahuan. Ia tak tahu hukum di negeri tersebut. Saat membuka pintu demi pintu, melewati lorong demi lorong yang sepi, jantung gadis itu berdetak lebih kencang, apalagi ketika mendengar langkah kaki penjaga yang sedang berpatroli. Meskipun demikian, dia merasa senang.Ketika membuka pintu kamar, ia baru merasa aman. Segera, Fjola mengembuskan napas lega.“Bagus, ya!” suara Ishak terdengar memecah keheningan.Fjola terkesiap. Perlahan, ia menoleh. Ia menatap Ishak berdiri di belakang bayang-bayang sudut kamarnya. Tubuhnya yang tinggi disandarkan ke tembok, kakinya disilangkan. Tangannya bersedekap.“Aku .... Aku ... anu ... aku dari kamar mandi.” Fjola tergagap. Gadis itu mengusap-usap tengkuknya dengan gelisah. Ia menggigit bibir bawahnya.Dalam keremangan, Fjola dapat melihat alis pelay
Fajar telah menyingsing tetapi kabut masih menutupi pemandangan, dingin masih menyelimuti Kota Veggur. Meski begitu, penduduk beramai-ramai keluar dari rumah, berdesak-desakkan di sisi jalan utama. Mereka antusias menyambut para calon selir yang akan menghadiri upacara penyambutan di alun-alun.Seolah tak mau menyia-nyiakan kesempatan, beberapa pembisnis membuka lapaknya lebih pagi. Kedai-kedai yang menjual makanan pun sudah siap melayani lebih awal. Orang-orang berbisik, menunggu, dan bahkan ada yang membuka taruhan. Anak-anak kecil yang ikut menyaksikan terlihat berdiri tak sabar, memakai berlapis-lapis baju tebal, sebagian digendong. Penjual bunga berkeliling menawarkan dagangannya. Meski bukan sebuah perayaan, setiap tahun, pada hari di mana selir akan dipilih merupakan tontotan yang tak boleh mereka lewatkan.Selain wajah calon selir, mereka tertarik melihat ekspresi para putri kerajaan yang akan diarak dengan kereta kuda itu. Sudah berbagai maca
Mata Fjola melebar saat menyadari siapa prajurit di sampingnya itu. “Bagaimana kau bisa—”“Berpakaian seperti ini? Atau berada di sini?” tanya Zargar menyeringai. Kereta itu berjalan cukup lambat hingga Zargar tak kesulitan mengimbanginya.“Kedua-duanya,” sahut Fjola. “Bagaimana juga kau bisa keluar dari penjara?”“Rahasia,” jawab Zeggar sembari meletakkan jepit itu ke telapak tangan Fjola. “Sampai nanti.”“Tidak! Tidak! Aku tidak mau menerimanya,” tolak Fjola.Namun, Zargar sudah menghilang. Fjola mengerjap. Ia memandang jepit itu dengan bingung. Kemudian, suara Ishak mengentaknya. “Benda apa yang kau pegang itu?”“Kau tidak melihatnya?” tanya Fjola bingung.“Memangnya kau pikir aku buta? Tentu saja aku lihat. Itu kan jepit rambut. Dari mana kau dapat?” tanya Ishak yan
“Elisabet dari Vor!” umum seorang utusan dengan suara lantang.Dengan langkah yang anggun, Elisabet menaiki tangga. Gaunnya yang indah berdesir saat lewat di depan Fjola. Gadis itu melirik singkat padanya. Kemudian, bibirnya melengkung ke atas, dagunya mendongak. Ia menatap Fjola dengan penuh kebencian.“Apa salahku?” tanya Fjola berbisik kepada Ishak yang berdiri di sampingnya. Setelah bejalan kembali ke lapangan alun-alun, ke bawah panggung tempat kusrsi kebesaran sang raja berada, masing-masing orang kembali menempati posisinya semula. Upacara penyambutan yang terinterupsi sejenak tadi dilanjutkan kembali. “Seharusnya dia mengucap terima kasih padaku karena telah menyelamatkannya dari kuda yang akan menggilasnya tadi.”“Kau menggagalkan rencananya,” balas Ishak berbisik. “Itulah kenapa dia membencimu?”Mata Fjola membelalak. Ia berpaling menatap Ishak tak percaya.
Dengan tersenyum, Fjola mengangguk. Ia tak menyangka mendengar tawaran dari Raja Valdimar langsung. “Itu sebuah kehormatan bagiku, Yang Mulia.”Ia lantas membalas uluran tangan sang raja. Ishak tampak gembira. Dalam hati ia berdoa supaya Fjola dapat menjaga mulutnya di kereta nanti.Seorang selir yang tampak paling muda di antara yang lain maju. Ia menyentuh lengan sang raja dengan lembut.“Mohon maaf, Rajaku. Ada masalah dengan kuda Elisabet. Bisakah, dia menumpang kereta Anda juga?”Sang raja menoleh pada selirnya. Ia lalu melihat Elisabet yang menunduk hormat, kemudian kembali memandang sang selir. “Biarkan dia ikut denganmu.”Pancar terkejut mewarnai raut wajah selir itu. Tetapi, dia diam saja. Ia mengangguk, kemudian undur diri.“Mari.” Sang raja menuntun Fjola menuruni tangga. Kemudian, membawanya ke kereta. Kereta itu luas, dengan meja di tengah. Di sana terdapat
Tak ada yan lebih ditunggu Fjola kecuali kencannya. Beberapa kali, ia menengok keluar aula istana. Ia melihat matahari yang semakin merangkak naik. Batinnya tidak tenang. Ia harus kembali ke istana calon selir sekarang, kalau ingin bertemu Barrant. Mereka sudah berjanji tadi malam untuk menengok ke luar tembok nanti. Tetapi, karena upacara penyambutan ini belum juga usai, ia khawatir tak akan dapat menemui Barrant lagi. Fjola menjadi gelisah.“Kau kenapa?” tanya Ishak yang peka.“Eh? Oh, tidak apa-apa,” jawab Fjola menoleh ke jendela tinggi aula. Para bangsawan sekarang berdiri menggerombol, menyapa dan mengobrol. Musik mengalun lirih. Raja dikelilingi jajarannya terlihat sangat menikmati pesta itu. Elisabet dikelilingi beberapa bangsawan yang menaruh harapan padanya. Ylfa pun demikian. Lilija memilih bergabung dengan Fjola dan Ishak, meski pelayannya berkeras menyuruhnya untuk bergabung dengan Elisabet.“Omong-omo
“Aku akan membantumu mendapatkan Pangeran, Lilija,” beo Ishak ketika mereka kembali ke istana selir. “Ugh! Waraskah kau?”Fjola memutar bola matanya. “Kenapa?” Ia turun dari kereta. Tangannya sibuk mencincing gaunnya. Ia berkalan memasuki istana calon selir.“Oh, come on! Kau bisa mendapatkan hati sang raja. Hati pangeran tentu mudah bagimu.” Ishak mengekor.“Aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak kucintai, Ishak,” ujar Fjola memasuki gerbang. Kereta-kereta lain baru saja memasuki gerbang istana. Di depan pintu, Margaret sudah menyambutnya. Ia berdiri, memakai tongkat, memasang wajah tersenyum.Sekilas, Fjola kaget. Ia tak tahu kapan wanita itu kembali dari pesta tadi. Fjola menyapanya dengan menunduk hormat. “Selamat siang, Margaret. Pesta yang meriah, bukan?”Ishak yang mengikutinya juga menunduk, menyampaikan salam.“Tentu saja
Angin bertiup kencang di atas tembok besar. Hawanya dingin dan lembap. Kulit Fjola bergidik. Bulu kuduknya meremang. Di langit tampak awan mendung yang bergulung-gulung kelabu. Tak pelak lagi, musim dingin benar-benar datang.Di bawah tembok tempat gadis itu berdiri terdapat pemandangan yang menerikan. Dua tebing batu terjal dengan jurang menganga seolah tanpa dasar tampak mengancam. Fjola membayangkan dirinya jatuh ke sana. Tubuhnya lalu mengigil.“Kau kedinginan?’ Barrant merapatkan tubuhnya ke tubuh Fjola.“Tidak, tidak,” tolaknya menjauhi pemuda itu sebelum roma merah menjalari pipinya. “Aku hanya takut. Mungkin satu minggu lagi aku akan dibuang ke sana.”Kening Barrant berkerut. “Bagaimana bisa?”“Kau tak tahu?” Fjola tampak terkejut.“Tahu apa?”“Selir yang tidak dipilih raja akan dibuang ke sana oleh orangmu.&