Share

Jerat Cinta Si Iblis Tampan
Jerat Cinta Si Iblis Tampan
Author: Dama Mei

Bab 1

"Aku sudah memutuskan, namanya Karin Nevada." Laksita mengelus kening bayi mungil yang tertidur pulas dalam dekapannya, sambil sesekali memandangi wajah pria yang sedang duduk di sampingnya. Pria itu tersenyum kemudian bergantian mencium kening Laksita dan bayi kecil itu.

"Nama yang indah," ucapnya.

Laksita tersenyum simpul. Setelah melewati persalinan melelahkan selama hampir 20 jam, bayi yang diberi nama Karin Nevada itu lahir melalui jalan lahirnya. Semua terbayar tuntas setelah melihat wajah Karin dengan mata hitam berbinar, tampak sangat ingin menjelajah dunia.

"Albert," tegur seorang pria berjas hitam yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kamar pasien yang sedang ditempati Laksita. Albert, suami Laksita seketika berdiri saat melihat pria itu. Dia menunduk patuh, bahkan seperti ketakutan.

Pria berjas hitam itu sedikit maju dan muncullah sesosok laki-laki bertubuh tegap dan tinggi. Laki-laki itu tampak sangat muda, sekitar umur 20-an namun auranya mampu mendominasi siapapun yang ada di dekatnya.

"Tuan Katon! Sungguh suatu kehormatan Anda datang kesini," seru Albert, seketika bersimpuh.

Katon Bagaskara, pewaris tunggal keluarga bangsawan Bagaskara yang paling berpengaruh di negeri Alfansa. Seluruh warga Alfansa tahu jika mendapati salah satu keluarga bangsawan datang mengunjungi warga biasa adalah suatu musibah. Dan firasat Albert pun juga berkata demikian, meskipun dia tidak memiliki kuasa untuk menolak. Katon memiliki tatapan mata yang dingin dengan semburat warna kehijauan yang dia dapatkan dari ibunya. Banyak desas desus yang sempat terdengar sampai ke telinga Albert bahwa Katon telah mengintai Laksita sejak hamil muda 9 bulan lalu. Maka ketika Katon tiba-tiba saja datang, semua orang tidak heran.

"Ada perlu apa Tuan Katon?" tanya Albert, tentu untuk menghibur dirinya sendiri dan sangat berharap Katon datang hanya untuk berkunjung.

Tatapan mata Katon terpusat pada Laksita, lebih tepatnya pada bayi yang sedang didekap erat oleh Laksita. Warna matanya berubah hitam kelam, membuat pria berjas hitam asisten Katon mundur satu langkah sambil menunduk. Berkali-kali dia mencuri tatap dengan Albert, mengisyaratkannya untuk tetap tenang.

"Kalian punya waktu sampai 18 tahun untuk bersamanya," ucap Katon dengan nada berat. "Setelah itu dia milikku."

Ucapan Katon sukses membuat dengkul Albert lemas dan tanpa sadar bersimpuh di samping ranjang istrinya. Sementara Laksita menjerit sejadinya hingga si kecil Karin menangis karena terbangun. Katon telah membalik badannya, dan yang bisa dilihat Albert hanyalah punggungnya yang dingin. Semua orang tahu hal ini akan terjadi, meskipun tak menyangka jika anak Albert dan Laksita yang akan menjadi pengantin Katon Bagaskara.

* * *

Alfansa, negeri dimana keturunan manusia dan iblis hidup berdampingan dengan tenang dan saling melengkapi. Warga biasa hidup dalam damai tanpa ancaman peperangan dan bahan pokok yang selalu terpenuhi, sedangkan sebagai gantinya iblis yang memiliki kemampuan di atas nalar menginginkan keturunan dari warga manusia untuk menjaga populasinya. Setiap iblis akan memilih pengantin mereka dan ketika mereka telah menentukan pilihan, tidak ada yang bisa menolaknya. Keluarga Bagaskara, sebagai keluarga bangsawan iblis yang menguasai seluruh negeri hanya memiliki Katon sebagai pewaris tunggal dan mewajibkannya untuk memilih pengantin. Dan pilihan Katon jatuh kepada anak Laksita yang telah dia amati semenjak dalam kandungan.

Karin Nevada telah ditandai sejak lahir dan sebagai calon pengantin bangsawan iblis, auranya akan menarik banyak laki-laki baik warga biasa maupun bangsawan. Hidupnya tak pernah tenang, bahkan Albert harus mengorbankan nyawanya untuk melindungi Karin dari para lelaki hidung belang di luar sana. Karin berusia 16 tahun saat Albert meninggal dan hanya dia serta ibunya yang tersisa. Semenjak kematian Albert, Laksita lebih banyak diam dan tidak menghiraukan Karin, bahkan ketika Karin harus menghadapi ganasnya dunia luar yang seakan haus akan tubuhnya.

"Semua cewek di sini suka sama gue, Rin. Dan lo nggak?" Erik, sang pemain basket paling populer di sekolah juga tertarik akan aura Karin. Dia mendorong tubuh Karin pada dinding parkiran belakang, menghadangnya dengan kedua tangan. Karin terpojok.

"Gue udah bilang kan? Gue berbeda, Erik," jawab Karin. Bukan hal baru bagi Karin untuk mendapat paksaan semacam ini.

Erik tertawa sinis, "Bokap lo cuman pemilik toko kecil dan sekarang dia udah meninggal. Sedangkan gue, gue punya segalanya. Bokap gue bakal ngasih semua buat lo."

Karin menggeleng, mendorong tubuh Erik menjauhinya, "Maaf, Erik."

Sorot mata Erik berubah kesal. Dia makin memojokkan tubuh Karin, tubuhnya semakin maju ke depan dan siap menyentuh bibir Karin kapan saja. Karin tak bisa menghindar, karena Erik meraih wajah kecil Karin dengan kedua telapak tangannya yang besar. Karin berusaha keras melepas tangan Erik dari wajahnya walaupun itu sia-sia.

"Karin!" seru Elsa, memecah ketegangan antara Erik dan Karin. Karin langsung berlari menghampiri Elsa dan Erik menyeringai kesal sambil melotot ke arah Elsa.

"Lo nggak bisa maksa orang yang nggak suka sama lo, Rik!" maki Elsa lalu menarik tubuh Karin untuk bergegas meninggalkan Erik sebelum cowok itu mengejar mereka.

Elsa tertawa sambil sesekali mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. Baginya baru kali ini dia melihat Erik sampai harus mencium paksa seseorang padahal selama ini banyak gadis yang pasrah menyerahkan bibirnya kepada Erik. Dia tahu Karin tak pernah tertarik kepada siapapun, padahal sudah kelewat banyak cowok yang menginginkannya.

"Kenapa nggak lo terima aja sih? Lumayan kan bisa nyicip Erik!"

"Hus!" Karin menutup bibir Elsa dengan jarinya. "Gimana kalau Farah denger?"

"Lo yakin Farah satu-satunya bagi Erik? Kalau gue sih nggak yakin. Buktinya dia hampir nyium lo tadi," Elsa cekikikan dan berkali-kali Karin menyuruhnya mengecilkan suara.

Ketika mereka sedang asyik menertawakan Erik, tampak di seberang Erik sedang mengamati Karin dengan sorot mata marah. Senyum di wajah Karin perlahan memudar, menyisakan tatapan balasan pada Erik dengan perasaan tak menentu. Dia benci dirinya sendiri. Jika boleh memilih, dia ingin menjadi gadis biasa saja yang tak disukai siapapun. Setidaknya selain hidupnya lebih tenang, tidak akan ada yang tersakiti hatinya.

"El ... " Nada suara Karin melemah dan sebagai sahabat yang sudah sejak kecil bersama, Elsa paham dengan perubahan sikap Karin.

"Lo nggak salah, Rin. Lo berhak nolak dia," Dia memegang pundak Karin, berusaha membuatnya tak cemas.

"Gimana kalo Erik nyelakain gue?"

Elsa menggeleng keras, "Kenapa? Dia bisa kok cari cewek lain yang lebih cantik dari lo. Mungkin karena nggak pernah ditolak dia jadi marah banget."

Terlihat Farah menghampiri Erik dan mereka berciuman mesra. Sambil berciuman sesekali Erik menatap Karin untuk melihat reaksinya, walaupun tentu saja Karin tak merasakan apapun. Elsa yang gerah melihat pemandangan itu beranjak berdiri dan mengajak Karin meninggalkan kantin.

"Ngomong-ngomong Rin, tanda lahir lo unik ya," ujar Elsa saat Karin berjalan di depannya. "Tapi... kok gue baru tahu sekarang ya? Sejak kapan ada tanda lahir di sini?" Elsa menyentuh leher belakang Karin.

"Tanda lahir apa?" Karin meraba lehernya, tak mengerti dengan maksud pertanyaan Elsa. "Gue nggak punya tanda lahir disini."

"Tapi ini ada Rin. Lihat deh!" Elsa berinisiatif memotret leher belakang Karin lalu menunjukkannya. Terlihat sebuah tanda lahir berbentuk huruf K samar dan berwarna hitam mirip tato.

"Ini apa?" tanya Karin pada dirinya sendiri dan secara spontan Elsa mengangkat bahu.

Beberapa menit termenung, Elsa tiba-tiba tersenyum nakal penuh arti. Dia melirik Karin sambil menautkan kedua alisnya ke atas dan ke bawah.

"Lo bikin tato di leher biar nggak ketahuan guru kan?" tanya Elsa dengan nada berbisik.

Karin seperti terbawa lamunannya sendiri karena dia tidak menyahut pertanyaan Elsa. Dia teringat akan perkataan ayahnya sebelum meninggal, tentang seseorang yang akan datang menjemputnya. Sang ayah, Albert tidak mengungkapkannya secara jelas, namun Albert hanya meminta Karin untuk selalu melindungi dirinya karena seseorang itu bisa datang kapan pun. Mungkinkah tato ini ada kaitannya?

"Rin! Karin!" Elsa mengguncang bahu Karin sekerasnya karena dia tahu temannya itu sedang tidak bersamanya sekarang.

Karin gelagapan dan mengerjapkan mata kaget. "Ada apa El?"

Elsa menunjuk ke arah seorang gadis yang tertunduk lesu berjalan mengikuti dua orang pria berjas hitam. Semua orang tidak ada yang berani mendekat atau memandangi mereka, sebaliknya hanya berani menunduk takut. Elsa mendekatkan mulutnya ke telinga Karin.

"Dia Erna anak IPA 4, dia dibawa ke wilayah para bangsawan iblis."

"Kenapa?" tanya Karin polos.

Elsa membelalak lebar, "Seriously Karin?!"

"Kenapa? Bukannya kita nggak bisa mendekat ke wilayah para bangsawan?"

Elsa semakin mengguncang bahu Karin, "Lo nggak pernah denger tentang pernikahan kaum kita dan bangsawan iblis?"

"Rin, para bangsawan itu selalu nyari pasangan dari kaum kita. Karena kalau mereka nikah sama kaum mereka sendiri, ga bisa ada keturunan," terang Elsa.

"Lo beneran nggak pernah tahu soal ini?"

Karin menggeleng lagi. Pandangannya tak lepas pada Erna hingga gadis itu menghilang pergi menaiki sebuah mobil hitam mewah.

"Untung kita nggak dipilih sama mereka. Bayangin aja kita harus nikah sama mereka dan nggak bakal balik ke sini lagi. Ngeri banget!" cerocos Elsa sambil begidik ngeri.

Namun Karin tak bereaksi apapun, karena dalam hati dia memiliki firasat yang kurang enak setelah mengetahui ada tato kecil di belakang lehernya. Meskipun bisa saja itu inisial namanya sendiri, namun melihat ucapan sang ayah sebelum meninggal membuat Karin bertanya-tanya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ike Rahma
Dinda di manakah kau berada???KLA projec...vocalnya katon Bagaskara thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status