Stefani Maura, salah satu keturunan bangsawan iblis Maura yang memiliki kedudukan tertinggi ketiga setelah bangsawan Bagaskara dan Damon. Ketiga keluarga bangsawan iblis yang paling berkuasa di seluruh negeri, termasuk Alfansa. Stefani tentu tak pernah merasakan kekurangan apapun dalam hidupnya. Terlahir abadi dan punya kemampuan luar biasa, serta paras yang menawan. Namun dibalik segala hal baik yang didapatnya, ada satu yang membuat Stefani iri dari manusia biasa. Rahim. Ya, semua bangsawa iblis perempuan tak akan pernah bisa memiliki keturunan dan itulah mengapa dia tidak bisa memilih siapa yang bisa dia cintai. Termasuk ketika dia berhubungan puluhan tahun dengan Katon, dia harus merelakan lelakinya itu dengan penduduk Alfansa karena Bagaskara membutuhkan keturunan untuk terus bertahan.
Aldo menceritakan semua tentang Stefani pada Karin, lebih karena dia ingin Karin mengetahui banyak hal mengenai Katon sebelum mereka menikah nanti.
"Dan sekarang dia pengen ketemu kamu," ucap Aldo diakhir ceritanya.
"Kenapa?" tanya Karin tak mengerti. Bagi Karin, tak ada alasan untuk Stefani menemuinya. Apalagi setelah dia tahu Karin adalah calon pengantin Katon, seharusnya Stefani menjauh dan tak ingin berurusan dengannya.
Aldo mengangkat bahu, "Kami selama ini bisa membaca pikiran warga biasa sepertimu, tapi tidak dengan Stefani."
"Aku nggak pengen ketemu sama dia," Karin beranjak berdiri karena bel masuk akan segera berbunyi.
Aldo sengaja mengajak Karin bicara berdua saja karena dia tidak seratus persen percaya pada Erna ataupun Tanya. Sebagai orang yang bisa membaca pikiran, Aldo tak perlu susah payah untuk membaca karakter dalam waktu lama.
"Rin ... " Aldo menahan Karin dengan menarik tangannya. Karin membalas dengan tatapan ketus. "Mungkin kamu pengen nggak ketemu Stef, tapi dia nggak gampang nyerah," lanjut Aldo.
"Maksudmu?"
"Kalo suruh harus memihak ke siapa, I absolutely choose you, " Aldo melepaskan tangan Karin sambil tersenyum penuh maksud. Namun Karin tak ada niat untuk membalas senyum itu, dan hanya mendengus kesal kemudian pergi menuju kelasnya.
Semua hal yang terjadi padanya di Sekolah Sofia membuat Karin makin lama makin kesal, tentu saja kecuali bertemu Erna. Mendapati Erna berada disana dengannya membuat Karin amat bersyukur, dan yang lainnya tak ada yang bisa dia percaya. Bahkan Katon Bagaskara yang sangat ingin dia kenal lebih jauh tiba-tiba pergi menghilang entah sampai kapan. Kemudian muncul Aldo, yang bak asisten pribadi Katon, selalu memberikan info mengenai kehidupan Katon tanpa diminta Karin. Dan salah satu info yang membuat Karin merasa terganggu adalah Stefani. Dia merasa gadis itu bisa muncul kapan saja di sekitarnya.
"Kurasa kita perlu nggak deket-deket sama Aldo," ucap Erna pelan setelah memastikan tak ada yang menguping di sekitar mereka.
Karin mengangguk setuju. Mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang bersama menuju asrama.
"Menurutmu kenapa Stefani pengen ketemu aku?"
"Udah jelas Rin," jawab Erna, "Dia pengen kamu terintimidasi,"
"Tapi dia dan Katon nggak bisa bersatu, dan itu bukan salahku,"
"Emang bukan, tapi ... "
Erna sengaja memutus ucapannya. Dia memandangi ponsel sambil tersenyum berbunga-bunga.
"Kenapa?" tanya Karin.
"Rin, aku lupa nggak ngomong kamu tapi aku nanti malam mau kencan!" ucap Erna kegirangan.
Refleks Karin berseru senang dan memeluk Erna, "Kuharap kalian bisa serius ya!"
"Rin, kamu mau nggak bantuin aku siap-siap?"
Karin mengangguk senang dan mereka berdua berjalan cepat untuk segera sampai di asrama, karena mereka hanya punya waktu dua jam untuk bersiap-siap.
* * *
Erna senang bukan main. Setelah berakhir dicampakkan begitu saja di hari pertama kedatangannya, dia setiap malam tak pernah tidur tenang. Yang ada di pikiran Erna hanyalah bagaimana caranya dia menemukan pengganti yang benar-benar mencintainya supaya dia tidak berakhir mati sia-sia. Kemudian malam penantian ini tiba, dia akan berkencan dengan salah satu bangsawan iblis yang merupakan teman sekelasnya.
"Kamu cantik banget malam ini Er," ujar Tyo pada Erna yang duduk di sampingnya. Tyo datang ke asrama untuk menjemput Erna.
"Makasih," balas Erna sedikit tersipu.
"Ngomong-ngomong, temanmu tadi calon pengantin Katon?" tanya Tyo setelah melihat Karin yang mengantarkan Erna.
Erna mengangguk, "Kenapa?"
"Dia sangat terkenal di kalangan kami. Tapi bagiku tetep kamu yang menarik perhatian,"
"Menarik karena pernah dicampakkan?" seloroh Erna sarkas.
Tyo tertawa, "Mungkin itu juga yang membuatku penasaran. Siapa si bodoh yang udah mencampakkan cewek kayak kamu,"
Mereka berdua tertawa lepas bersama di sepanjang perjalanan menuju restauran yang sudah dipesan Tyo untuk menghabiskan makan malam bersama. Jika bisa dideskripsikan dengan kalimat, mungkin malam ini tubuh Erna seakan melayang saking senangnya.
"Er, kamu tahu kan tujuanku ngajak kamu ke sini?"
"Makan malam?"
"Ya, " Tyo tertawa, "Dan tentu saja mencari calon pengantin,"
Erna hanya tersenyum sambil mengiris steak miliknya.
"Aku pengen cari calon pengantin yang bisa kasih aku keturunan sebanyak-banyaknya. Karena di keluarga kami banyak terlahir perempuan, dan itu sangat menyusahkan,"
" ... sebanyak-banyaknya?" ulang Erna ragu.
"Ya. Bahkan kalau kamu mau, kita bisa nyicil mulai dari sekarang," sahut Tyo bersemangat. "Kalau kamu udah pasti hamil, kita bisa langsung menikah. Gimana?"
"Tyo ... tapi setahuku nggak gitu cara kerja kalian ... "
"Cara kerja apa? Kamu berharap diperlakukan seperti Karin? Kalian berdua berbeda sejak awal,"
Erna yang mulai kesal segera membanting pisau dan garpunya, "Maksudmu apa?"
"Nggak usah kebanyakan milih! Nggak ada yang mau sama kamu kecuali aku, dan syarat dariku gampang kan?"
"Kamu pikir aku hewan cuman untuk berkembang biak?" Erna yang sudah sangat kesal tak peduli orang lain mendengar perdebatan mereka yang lantang.
Tyo sudah mau membuka mulutnya untuk kembali berargumen, sebelum Erna menyiramnya dengan segelas air. Semua orang terkejut, apalagi Tyo. Dia membelalak lebar tak percaya, mengelap wajahnya yang basah kuyup.
"Brengsek!" umpat Erna kesal, dan berlari keluar dari restauran dengan amarah yang masih meletup di dadanya.
Suara klakson mobil berbunyi nyaring, dan Erna melihat sinar amat menyilaukan di depannya. Sedetik kemudian mobil itu berhenti mendadak tepat di depan Erna. Seseorang keluar dari dalam mobil dengan umpatan kekesalan.
"Cari mati?!" bentaknya.
Erna masih diam tak bergerak, tak juga menimpali. Dari arah restauran terdengar suara Tyo yang berteriak memanggil Erna. Dia berlari menghampiri Erna dan menarik tangan gadis itu.
"Mau kemana?! Ayo ikut!"
"Nggak!" Erna menepis cengkeraman tangan Tyo.
"Tyo? Ada apa?" tanya lelaki yang baru saja memaki Erna.
"Nggak ada apa-apa. Cuman sedikit urusan sama dia," Tyo masih berusaha mengajak Erna pergi, namun Erna justru makin memberontak.
"Tapi kenapa kamu maksa Erna? Dia meneleponku minta dijemput," ucapnya dan langsung membuat Tyo berhenti memaksa Erna.
"Kamu kenal dia?" tanyanya ragu.
Lelaki itu mengangguk mantap, "Ya. Kenapa?"
Tampak raut panik di wajah Tyo saat tahu lelaki itu mengenal Erna. Tanpa banyak bicara dia berlalu pergi. Sementara Erna yang masih belum paham hanya bisa termenung berusaha mencerna semuanya yang terjadi begitu cepat.
"Nggak ada terima kasih nih?" tanyanya.
Erna berpikir keras, "Bagaimana bisa kamu mengenalku?"
"Kau lupa kita siapa?" tanyanya lagi dengan sedikit tawa.
Erna berseru lirih setelah akal sehatnya kembali bekerja. Kemarahan yang begitu meluap pada Tyo membuatnya lupa jika saat ini dia sedang berada di dunia bangsawan iblis, bukan di Alfansa.
"Oke, terima kasih ya Hendery," celetuk lelaki itu pada dirinya sendiri, kemudian berlalu menuju mobilnya.
"Tunggu!" Erna menarik kemeja lelaki itu. "Makasih,"
Lelaki yang bernama Hendery itu hanya mengangguk dan masuk ke dalam mobilnya.
"Bisa pulang sendiri kan?"
Setelah hatinya sedikit tenang, Hendery kembali membangkitkan kekesalan di diri Erna, "Maksudmu?"
Hendery tak menjawab, karena dia sudah menancap gas dan pergi, tak lupa melambaikan tangan pada Erna. Setelah puas mengucapkan sumpah serapah kepada Tyo dan Hendery, Erna membuka ponsel dan meminta Karin untuk menjemputnya.
Segalanya telah berubah. Dan harus berubah. Karin tak perlu diingatkan akan hal itu, karena dia cukup tahu diri. Segala kengerian yang terjadi dua hari yang lalu, membuatnya sadar jika hidupnya tak akan pernah tenang di sini. Menjadi pengantin bangsawan iblis tertinggi memang bukan pilihannya, namun Karin tahu, dia tak bisa menghindari takdirnya sendiri.Dan hari ini adalah hari terakhir baginya. Bukan hari terakhir untuk hidup, tapi hari terakhirnya untuk belajar di sekolah Sofia, karena Katon tak ingin hal mengerikan itu terjadi lagi, meski Stefani kini sudah menghilang selamanya.“Aku janji, aku tidak lama,” Karin mengacungkan jari kelingkingnya.Katon tampak menolak. “Aku tetap harus ikut,”“Aku harus menyerahkan surat ini pada kepala sekolah,”“Ya. Dan aku ikut,”“Tak perlu, Katon,”“Kenapa?” tanya Katon curiga. “Apa kamu mau menemui seseorang lagi?”Karin buru-buru menggeleng. Namun dia juga tak hendak menjawab. Ekspresinya kikuk, nampak bingung menyusun kata-kata.Katon pun men
“Siapapun yang menyakiti Erna, akan mati malam ini … “ Ancaman Hendery tak perlu digaungkan dua kali, karena dalam satu helaan nafasnya yang menderu dan murka itu saja, sudah membuat ciut nyali siapapun yang mendengar.Salah seorang siswi telah menjadi korban, kini terkulai mati kaku dengan luka tusukan belati di jantung. Semua mulai mundur. Kemudian Hendery melempar kembali belatinya ke siswi lain, yang dari pikirannya bisa Hendery baca, jika dia menjadi salah satu yang merundung Erna.Dua orang mati begitu saja, tanpa mengucapkan kalimat terakhir, atau setidaknya mohon pengampunan. Sementara tubuh Erna sudah babak belur dipukuli, tapi Hendery justru melirik Erna sekilas, dan mulai sibuk dengan aksinya sendiri.Di sisi lain, Karin yang lemas dan kedinginan mulai meringkuk menghangatkan tubuhnya ke dalam dekapan Katon, yang seakan enggan untuk melepas pelukan.“Maafkan aku, karena tak bisa melindungimu,” Katon tampak amat menyesal, sekali lagi mengelus rambut Karin dan makin memelukny
“Berhenti menghasutku!! Aku tidak akan luluh kali ini,” sergah Erna, kesal luar biasa setelah mendengar pengakuan Hendery.“Kapan aku pernah menghasutmu? Kamu sendiri yang bersedia menolong Karin di hutan terlarang,” Hendery balik bertanya. “Aku memberitahumu, karena jika sampai Katon tahu ini semua ulahmu, dia tak akan membiarkanmu hidup,”“Memang aku sebentar lagi mati,” dalih Erna, sama sekali tak terpengaruh. Klik! Dia memutus sambungan, tak peduli jika Hendery masih punya seribu topik yang ingin dia pakai untuk membujuk Erna agar berhenti. Tapi satu hal yang pasti, ketika Erna mengarahkan matanya ke tempat Karin, temannya itu sudah tak ada di tempat. Justru Tanya tiba-tiba muncul dengan raut puas di depan Erna.“Harus kuakui, ternyata kamu ada gunanya juga,” komentar Tanya, tersenyum licik sekaligus meremehkan.“Dimana Karin?”“Justru itu aku ke sini karena ingin mengajakmu menemuinya,” sahut Tanya, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan telinga Erna. “Stefani sudah memasang segel
“Er, Erna!” panggil Aldo, hendak berlari menghampiri Erna, sebelum gadis itu berlari sekencang kilat.Kini Aldo telah sampai di dekat Tanya. Tatapan matanya mendelik, penuh murka.“Apa yang sudah kamu katakan padanya?” hardik Aldo.Tanya gelagapan. “Aku hanya bicara jujur,”“Bukan hakmu untuk mengatakan padanya,” cela Aldo. “Kalau sampai terjadi apa-apa pada Karin, kamu yang akan kukejar lebih dulu,” Ancaman Aldo yang tak pernah peduli pada gosip apapun di sekolah, membuat Tanya sedikit gentar. Bahkan setelah menjadi pelindung Karin, Aldo tak pernah marah pada siapapun.***Brakk!!Erna menendang, membanting dan merusak apapun di depannya. Dia meraung, berteriak, tak peduli menjadi bahan tontonan teman-teman sekelas Edo. Sementara Edo, lelaki itu duduk diam dan pasrah di bangkunya sendiri, tak berkutik meski bangku-bangku di sekitarnya telah roboh oleh amukan Erna.“Kenapa? Hah! Kenapa harus Karin?” teriak Erna. “Dia istri petinggi di sini, dan dia SAHABATKU,” Erna menjerit, meronta m
Erna memutuskan untuk tak masuk ke sekolah keesokan harinya, karena kondisinya yang masih penuh luka dan tak tahan jika harus mendengarkan gosip serta cemoohan dari para siswi, karena berita perkelahiannya dengan Stefani telah tersebar luas ke seluruh penjuru sekolah Sofia.Setelah disembuhkan oleh Hendery, meskipun lukanya telah menutup dan tak mengalami pendarahan, namun bekasnya tetap saja belum mengering seratus persen, sehingga dia harus membalut kedua lengannya dengan perban. Erna tak ingin memberi bahan bagi para siswi tukang gosip di sekolah, dengan kemunculannya. Maka dia memilih untuk istirahat di dalam kamar, untuk sehari saja.“Er, boleh aku masuk?” Erna sampai hampir melompat, karena tak percaya telah mendengar suara Karin, begitu jelas dari balik pintu kamarnya. Dia lalu balik berteriak, meminta Karin untuk masuk karena tidak dikunci. Maka Karin pun segera membuka pintu, muncul dengan raut khawatir bersama Aldo di belakangnya.“Kukira kamu sendirian, Rin,” ujar Erna, se
“Kenapa dia harus salah paham?” Wajah Hendery mulai tak enak setelah mendengar ucapan Erna.“Sekarang kami berkencan, sesuai rencana awal kita,” jelas Erna. “Kamu tahu sisa waktuku hanya 5 bulan lagi. Aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini,”Hendery melipat tangan ke depan dada, berjalan perlahan mendekati Erna.“Dan kenapa dia harus salah paham?” ulang Hendery. “Tak ada yang terjadi pada kita, kan?”Erna mengangguk cepat. Dia kira, Hendery akan menolak karena tak ingin hubungannya dengan Erna merenggang, tapi ternyata, itu semua hanya dalam kepala Erna. Hendery sama sekali tak peduli.***Karin mulai gerah dengan tatapan orang-orang di sekitarnya, yang terus saja menatap tajam ke arah Karin, kapanpun mereka ada kesempatan. Hari ini, Aldo dan Rama sengaja tak datang untuk menjaga Karin, karena Karin merasa sedikit tidak nyaman dengan pengawasan dua orang itu. Belajar dari pengalaman Erna, Karin tak ingin ada orang lain lagi yang iri padanya hanya karena dia memiliki dua bangsawan