"Aku harus pergi." pamit Katon ketika dia dan James sudah ada di depan pintu gerbang masuk negeri bangsawan iblis.
"Apakah wajib bagi Tuan Katon untuk mencari Deswita?"
"Nona ... " ralat Katon. James hanya menunduk cepat, namun tak berniat meralat ucapannya.
"Sebentar lagi aku akan menikah, dan aku ingin dia datang," jelas Katon. "Aku juga ada urusan lain."
James bisa membaca pikiran siapapun, kecuali para bangsawan iblis yang kedudukannya lebih tinggi darinya. Maka ketika Katon sengaja membuka pikirannya untuk dibaca James, lelaki paruh baya itu terperanjat kaget, "Tuan yakin?"
"Ya,"
"Tapi Tuan tidak wajib menghukum Bondan. Biar cerberus yang menanganinya,"
"Dia telah mengusik wanita yang salah ... "
Katon benar-benar pergi meninggalkan James yang masih tampak ragu dan tak rela meninggalkan Katon sendirian, keluar dari gerbang utama menuju dunia warga Alfansa. Namun sebagai asisten yang setia yang telah menemani Katon hampir 150 tahun lamanya, James hanya bisa berharap keputusan Katon adalah keputusan yang tepat.
* * *
Sebagai salah satu bangsawan iblis paling disegani, tentu Katon bisa mengamati keadaan sekitarnya tanpa harus susah payah bertahan dalam tubuh manusianya. Dia berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, menghindari tatapan orang-orang yang curiga. Targetnya kali ini adalah Bondan. Cerberus telah menceritakan semuanya pada Katon, dan tindakan Bondan kepada Karin sudah diluar toleransinya.
"Bondan ... " tegur Katon saat tiba-tiba dia menghampiri Bondan yang sedang duduk berjudi dengan para anak buahnya. Saat melihat Katon, spontan Bondan berdiri dengan kaki gemetaran. Para anak buahnya yang tak tahu menahu hanya ikut berlutut mengikuti gerakan Bondan.
"Tuan Katon? Sungguh suatu kehormatan Tuan mengunjungiku," ucap Bondan dengan kepala menunduk dan tubuh bersimpuh karena tak kuat menahan kakinya yang gemetar.
"Bisnismu lancar?"
"Tentu, Tuan. Ini semua berkat Tuan Katon,"
"Aku tak melakukan apapun," sahut Katon. Dia kemudian diam, memandangi wajah anak buah Bondan satu persatu dengan matanya yang hitam legam.
Cerberus yang sedari tadi bersembunyi di belakang Katon perlahan menampakkan diri, tak lupa menunjukkan deretan giginya yang tajam. Berkali-kali anjing itu menggeram, dengan kilatan mata hitam legam layaknya milik Katon.
"A ... Anjing itu ... " ucap Bondan terbata-bata, teringat akan malam berhujan deras dimana cerberus menyelamatkan Karin.
"Apa yang kau lakukan pada Albert?" tanya Katon dengan nada pelan dan rendah.
Bondan masih tak berani mendongakkan kepalanya, "Apa maksud Tuan?"
"Aku tahu kau tidak bodoh. Hidup ratusan tahun tentunya cukup membuatmu pintar." Katon semakin melangkah maju. Dia berdiri tepat di depan Bondan, hingga yang bisa dipandang Bondan hanyalah sepatu Katon.
"Kenapa kau membunuh Albert?"
Bondan meraung histeris dan meraih kaki kanan Katon. Dia menangis ketakutan, "Aku tidak tahu gadis itu pengantinmu, Tuan."
"Kenapa kau membunuh Albert?" ulang Katon.
Bondan pelan-pelan menghentikan tangisannya, "K ... Karena dia ... menghalangiku ... "
Katon memundurkan langkah dan dengan sedikit kekuatannya, dia memaksa dua anak buah Bondan untuk mengangkat tubuh Bondan. Kini dia dan Bondan berdiri berhadapan. Raut wajah Bondan penuh ketakutan bahkan dia belum berani menatap langsung mata hitam Katon.
"Kau tahu? Hanya aku yang boleh menghabisi Albert ... " ujar Katon pelan. "Bahkan jika aku tidak menikahi anaknya, tetap hanya aku yang boleh menghabisinya,"
Katon memutar tubuhnya ke belakang dan dengan cepat cerberus berlari menyerbu Bondan yang naas, tak sempat melarikan diri. Tubuhnya dicabik dengan buas sebelum dia sempat berteriak meminta pertolongan.
* * *
Sekolah Sofia dimana saat ini Karin menimba ilmu adalah satu-satunya sekolah untuk para bangsawan ibli. Mereka membaur menjadi satu dengan para calon pengantin, sehingga tidak bisa dibedakan kecuali para murid laki-laki yang memang hanya berasal dari para bangsawan iblis. Setelah melalui waktu seminggu berada disini, Karin baru saja mengetahui fakta bahwa Katon memiliki kekasih yang bersekolah di Sofia. Namanya Stefani. Namun berdasarkan info dari Tanya, Katon dan Stefani sudah lama berpisah saat tahu Katon telah menandai bayi Karin.
"Kamu tahu nggak dia sekarang di kelas mana?" tanya Erna penasaran.
Tanya menggeleng, "Kalau aku tahu, emang mau apa?"
"Aku pengen tahu kayak apa sih cewek yang berhasil merebut hati Katon,"
"Karin malah calon pengantinnya," timpal Aldo yang tiba-tiba saja nimbrung saat Karin, Erna dan Tanya sedang mengobrol di kantin. Dia bahkan duduk bergabung bersama mereka.
"Pengantin kan dipilih acak,"
"Nya!" seru Erna, mengisyaratkan Tanya untuk mengunci mulutnya. Tanya yang tak sadar keceplosan langsung menutup mulutnya dengan tangan.
"Sorry, Rin ... "
Karin menggeleng cepat, "Nggak kok, tapi kamu ada benernya. Dia memilihku secara acak ... "
"Lagian kamu ngapain sih bilang kayak gitu!" maki Erna pada Tanya.
"Ngomong-ngomong soal Stefani, kita satu kelas kok," Aldo mengalihkan pembicaraan.
Ucapan terakhir Aldo sukses menghentika kegiatan Erna dan Tanya, bahkan Karin yang sedang asyik menghabiskan makanannya juga sempat melirik Aldo penasaran.
"Kamu penasaran, Rin?" goda Aldo. Sebagai bangsawan iblis dia bisa membaca pikiran siapapun, kecuali Katon.
Karin menggeleng cepat, "Nggak kok. Ngapain juga aku kenal sama mantan pacar Katon?"
"Tapi kalo dia yang pengen kenal sama kamu, gimana?" tanya Aldo, dengan lirikan penuh arti. Karin tak bisa merespon, karena fakta bahwa Katon memiliki kekasih saja sudah cukup membuatnya terkejut.
Segalanya telah berubah. Dan harus berubah. Karin tak perlu diingatkan akan hal itu, karena dia cukup tahu diri. Segala kengerian yang terjadi dua hari yang lalu, membuatnya sadar jika hidupnya tak akan pernah tenang di sini. Menjadi pengantin bangsawan iblis tertinggi memang bukan pilihannya, namun Karin tahu, dia tak bisa menghindari takdirnya sendiri.Dan hari ini adalah hari terakhir baginya. Bukan hari terakhir untuk hidup, tapi hari terakhirnya untuk belajar di sekolah Sofia, karena Katon tak ingin hal mengerikan itu terjadi lagi, meski Stefani kini sudah menghilang selamanya.“Aku janji, aku tidak lama,” Karin mengacungkan jari kelingkingnya.Katon tampak menolak. “Aku tetap harus ikut,”“Aku harus menyerahkan surat ini pada kepala sekolah,”“Ya. Dan aku ikut,”“Tak perlu, Katon,”“Kenapa?” tanya Katon curiga. “Apa kamu mau menemui seseorang lagi?”Karin buru-buru menggeleng. Namun dia juga tak hendak menjawab. Ekspresinya kikuk, nampak bingung menyusun kata-kata.Katon pun men
“Siapapun yang menyakiti Erna, akan mati malam ini … “ Ancaman Hendery tak perlu digaungkan dua kali, karena dalam satu helaan nafasnya yang menderu dan murka itu saja, sudah membuat ciut nyali siapapun yang mendengar.Salah seorang siswi telah menjadi korban, kini terkulai mati kaku dengan luka tusukan belati di jantung. Semua mulai mundur. Kemudian Hendery melempar kembali belatinya ke siswi lain, yang dari pikirannya bisa Hendery baca, jika dia menjadi salah satu yang merundung Erna.Dua orang mati begitu saja, tanpa mengucapkan kalimat terakhir, atau setidaknya mohon pengampunan. Sementara tubuh Erna sudah babak belur dipukuli, tapi Hendery justru melirik Erna sekilas, dan mulai sibuk dengan aksinya sendiri.Di sisi lain, Karin yang lemas dan kedinginan mulai meringkuk menghangatkan tubuhnya ke dalam dekapan Katon, yang seakan enggan untuk melepas pelukan.“Maafkan aku, karena tak bisa melindungimu,” Katon tampak amat menyesal, sekali lagi mengelus rambut Karin dan makin memelukny
“Berhenti menghasutku!! Aku tidak akan luluh kali ini,” sergah Erna, kesal luar biasa setelah mendengar pengakuan Hendery.“Kapan aku pernah menghasutmu? Kamu sendiri yang bersedia menolong Karin di hutan terlarang,” Hendery balik bertanya. “Aku memberitahumu, karena jika sampai Katon tahu ini semua ulahmu, dia tak akan membiarkanmu hidup,”“Memang aku sebentar lagi mati,” dalih Erna, sama sekali tak terpengaruh. Klik! Dia memutus sambungan, tak peduli jika Hendery masih punya seribu topik yang ingin dia pakai untuk membujuk Erna agar berhenti. Tapi satu hal yang pasti, ketika Erna mengarahkan matanya ke tempat Karin, temannya itu sudah tak ada di tempat. Justru Tanya tiba-tiba muncul dengan raut puas di depan Erna.“Harus kuakui, ternyata kamu ada gunanya juga,” komentar Tanya, tersenyum licik sekaligus meremehkan.“Dimana Karin?”“Justru itu aku ke sini karena ingin mengajakmu menemuinya,” sahut Tanya, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan telinga Erna. “Stefani sudah memasang segel
“Er, Erna!” panggil Aldo, hendak berlari menghampiri Erna, sebelum gadis itu berlari sekencang kilat.Kini Aldo telah sampai di dekat Tanya. Tatapan matanya mendelik, penuh murka.“Apa yang sudah kamu katakan padanya?” hardik Aldo.Tanya gelagapan. “Aku hanya bicara jujur,”“Bukan hakmu untuk mengatakan padanya,” cela Aldo. “Kalau sampai terjadi apa-apa pada Karin, kamu yang akan kukejar lebih dulu,” Ancaman Aldo yang tak pernah peduli pada gosip apapun di sekolah, membuat Tanya sedikit gentar. Bahkan setelah menjadi pelindung Karin, Aldo tak pernah marah pada siapapun.***Brakk!!Erna menendang, membanting dan merusak apapun di depannya. Dia meraung, berteriak, tak peduli menjadi bahan tontonan teman-teman sekelas Edo. Sementara Edo, lelaki itu duduk diam dan pasrah di bangkunya sendiri, tak berkutik meski bangku-bangku di sekitarnya telah roboh oleh amukan Erna.“Kenapa? Hah! Kenapa harus Karin?” teriak Erna. “Dia istri petinggi di sini, dan dia SAHABATKU,” Erna menjerit, meronta m
Erna memutuskan untuk tak masuk ke sekolah keesokan harinya, karena kondisinya yang masih penuh luka dan tak tahan jika harus mendengarkan gosip serta cemoohan dari para siswi, karena berita perkelahiannya dengan Stefani telah tersebar luas ke seluruh penjuru sekolah Sofia.Setelah disembuhkan oleh Hendery, meskipun lukanya telah menutup dan tak mengalami pendarahan, namun bekasnya tetap saja belum mengering seratus persen, sehingga dia harus membalut kedua lengannya dengan perban. Erna tak ingin memberi bahan bagi para siswi tukang gosip di sekolah, dengan kemunculannya. Maka dia memilih untuk istirahat di dalam kamar, untuk sehari saja.“Er, boleh aku masuk?” Erna sampai hampir melompat, karena tak percaya telah mendengar suara Karin, begitu jelas dari balik pintu kamarnya. Dia lalu balik berteriak, meminta Karin untuk masuk karena tidak dikunci. Maka Karin pun segera membuka pintu, muncul dengan raut khawatir bersama Aldo di belakangnya.“Kukira kamu sendirian, Rin,” ujar Erna, se
“Kenapa dia harus salah paham?” Wajah Hendery mulai tak enak setelah mendengar ucapan Erna.“Sekarang kami berkencan, sesuai rencana awal kita,” jelas Erna. “Kamu tahu sisa waktuku hanya 5 bulan lagi. Aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini,”Hendery melipat tangan ke depan dada, berjalan perlahan mendekati Erna.“Dan kenapa dia harus salah paham?” ulang Hendery. “Tak ada yang terjadi pada kita, kan?”Erna mengangguk cepat. Dia kira, Hendery akan menolak karena tak ingin hubungannya dengan Erna merenggang, tapi ternyata, itu semua hanya dalam kepala Erna. Hendery sama sekali tak peduli.***Karin mulai gerah dengan tatapan orang-orang di sekitarnya, yang terus saja menatap tajam ke arah Karin, kapanpun mereka ada kesempatan. Hari ini, Aldo dan Rama sengaja tak datang untuk menjaga Karin, karena Karin merasa sedikit tidak nyaman dengan pengawasan dua orang itu. Belajar dari pengalaman Erna, Karin tak ingin ada orang lain lagi yang iri padanya hanya karena dia memiliki dua bangsawan