”Ini apa?” tanya Evanna. Khandra tidak menjawab. Ia membuka map itu, lalu meletakkan selembar kertas di atasnya. ”Surat perjanjian kita,” ujarnya singkat. Evanna membaca kalimat demi kalimat yang tertera dalam kertas itu. Ada beberapa klausul yang dituliskan Khandra sehubungan dengan pernikahan mereka. ”Kenapa harus pakai perjanjian?” tanya Evanna lagi. ”Kita harus mengatur segala hal, baik tentang peran, kewajiban, serta hak masing-masing dari kita selama pernikahan ini. Pernikahan ini mungkin hanya sementara. Paling cepat awal tahun depan kita bercerai. Kalau sial, mungkin dua atau tiga tahun lagi baru kita bisa bercerai,” terang Khandra yang terlihat sangat enteng menyebut kata cerai dan pernikahan sementara di depan Evanna. Evanna tersenyum miris. Ia semakin tidak mengenal suaminya itu. Perlakuan Khandra padanya sebelumnya sudah membuat Evanna kehilangan harga diri. Setelah itu, Khandra menunjukkan sikapnya yang lembut meski tak mengurangi perannya yang dominan dan suka meme
Evanna menikmati makan singnya di kafe yang pernah ia kunjungi sebelumnya. Iced cappuccino, chocolate mousse, dan muffin sudah terhidang manis di atas mejanya. Cokelat memang hal yang sempurna untuk mengembalikan mood dan suasana hati yang rusak.Di kursi sampingnya terdapat beberapa kantong belanjaan. Evanna menghabiskan hampir setengah hari untuk belanja kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan kamar barunya.Toko tempatnya berbelanja pernak-pernik kamar yang ditunjukkan Khandra padanya bersedia mengantarkan barang pesanannya sampai ke apartemen. Lumayanlah, Evanna tak harus kerepotan membawa barang-barang yang tak sedikit itu.Sebelum belanja, Evanna mampir ke mesin ATM utuk mengecek saldonya. Ia melotot tak percaya melihat nominal yang tertera yang jumlahnya hampir mencapai dua kali lipat uang kuliahnya selama satu semester.Tapi Evanna harus hati-hati menggunakan uang Khandra. Siapa tahu Khandra memberinya uang itu bukan untuk satu bulan, tapi sampai bercerai hanya itu uang yang
Evanna memasuki aparteman Rakha yang ukurannya jauh lebih kecil daripada penthouse yang ditinggalinya bersama Khandra. Interior apartemen ini juga lebih minimalis. Meskipun begitu, Rakha cukup pandai memilih warna, sehingga isi apartemennya tidak terkesan suram seperti milik Khandra.”Apartemenku lebih kecil kan dibandingkan dengan punya Khandra?” tanya Rakha saat Evanna memperhatikan seluruh isi ruangan apartemen miliknya.”Kau punya apartemen bagus begini, tapi tidak kautinggali. Lalu buat apa apartemen ini?” tanya Evanna sambil mengenyakkan tubuhnya ke atas sofa coklat susu.”Dari sini ke kantor lebih dekat. Kalau aku banyak kerjaan, aku lebih memilih tinggal di apartemen ini daripada pulang ke rumah,” jelas Rakha.Rakha berjalan ke arah jendela. Dibukanya tirai lebar-lebar juga pintu kaca yang mengarah ke balkon.”Kau mau minum apa? Kelihatannya masih ada beberapa softdrink di kulkas,” tawar Rakha lagi.Evanna menggelengkan kepalanya. Ia sudah minum cukup banyak waktu di kafe tad
”Tante Angela,” sapanya pada wanita ramah itu.Angela tersenyum lebar dan memeluk istri keponakannya itu. Ia melangkah memasuki aparteman yang biasanya seminggu sekali ia sambangi.Angela tampaknya sudah sangat hapal apartemen Khandra. Ia langsung menuju ruang santai dan meletakkan paper bag yang dibawanya ke atas meja yang ada di ujung sofa.”Mumpung aku tidak terlalu sibuk, aku sempatkan mampir ke sini. Minggu kemarin aku luar biasa sibuk, bahkan satu jam sebelum pernikahan kalian ada pasien gawat yang membutuhkan pertolonganku segera. Makanya aku tidak bisa datang waktu kalian menikah,” ucap Angela sambil mengenyakkan tubuhnya ke atas sofa panjang yang didominasi warna dark grey itu.”Tampaknya tak ada perubahan sama sekali dengan apartemen ini. Kau dan Khandra apa tidak berniat mengganti furniture? Sejak lima tahun lalu Khandra menepati apartemen ini, isinya masih sama. warnanya pun terlalu monoton,” lanjut Angela.Evanna hanya tersenyum tipis mendengarnya. Mana berani ia mengubah
Khandra sampai ke apartemennya saat malam mulai menjelang. Sesampainya di apartemen, ia melangkah tergesa. Ia membuka pintu kamar Evanna tanpa permisi, lalu menjeblakkan pintunya kasar”Kenapa kau…?” pertanyaan Khandra menggantung di udara saat melihat Evanna tengah tertidur pulas.Khandra membuang napasnya kesal. Ia sudah siap dengan segudang petuah manis untuk istrinya itu. Tapi, saat melihat Evanna tengah tertidur damai, membuatnya tak bisa melanjutkan kata-katanya.Suasana kamar ini tampaknya sudah berubah dengan yang terakhir kali Khandra lihat. Warna krem dan peach mendominasi kamar yang sekarang dipakai Evanna. Warna-warna cerah yang memberikan kesan hangat.”Bangun!” Khandra menepuk bahu Evanna keras.Malam ini ada banyak hal yang harus ia konfirmasi dengan istrinya itu. Khandra bahkan rela melewatkan makan malam dengan ayahnya dan segera terbang pulang.Telepon dari Tante Angela kemarin malam membuatnya kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan tantenya yang memberondongn
Khandra terdiam. Saat ia mengajukan semua syarat pada Evanna, semuanya terlihat begitu mudah. Tapi saat orang lain tahu, Khandra merasa ia harus menyiapkan banyak alasan yang semakin memojokkan posisinya.”Apa kau takut membuka kembali hatimu karena masa lalumu bersama Maira?” tanya Angela hati-hati.Sejak pertunangan Khandra dengan Maira dibatalkan, keponakannya itu memang menutup dirinya dari perempuan. Ia tak mau lagi memiliki hubungan serius dengan perempuan mana pun.”Jangan mengingatkanku lagi padanya, Tante. Dia sudah bukan siapa-siapa bagiku,” jawab Khandra.”Mengapa tak kaucoba dengan Evanna. Dia sudah sah menjadi istrimu. Kalau tak kaucoba membuka hatimu sekarang, lalu kapan lagi? Apa menunggu sampai ada mujizat baru kau mau membuka hatimu untuk istrimu?” tanya Angela.Khandra terdiam. Sakitnya dikhianati orang yang sangat ia cintai masih ia rasakan sampai saat ini. Apalagi Maira mengkhianatinya dengan Rakha. Benar-benar pukulan telak bagi Khandra.Angela merenung sejenak. E
Khandra mengumpat dalam hati. Mengapa tahun ini kesialan kerap menghampirinya. Skandal video pribadinya yang tersebar ke seluruh jagad raya. Pernikahan yang tidak ia inginkan dengan Evanna. Dan sekarang Khandra harus bertemu kembali dengan seorang yang paling tidak ingin ia jumpai lagi seumur hidup.”Khandra!”Perempuan tinggi semampai dengan wajah ayu itu melepaskan tangannya dari lengan laki-laki yang menggandenganya dengan gugup. Ada tatapan terkejut dan gugup dalam sorot matanya pada saat yang bersamaan.”Ada apa?” tanya Evanna yang berhasil membuat Khandra mengendalikan dirinya kembali.“Oh, Sayang, kemarilah!” panggil Khandra pada Evanna dengan senyum tipis dan suara lembutnya.Mata Evanna membola saat memandang suaminya. Entah kesurupan jin mana Khandra malam itu sampai memanggilnya dengan kata sayang. Suaranya juga demikian lembutnya membuat Evanna terbuai sesaat.Lebih mengejutkan lagi saat Khandra menggamit pinggangnya dan menariknya mendekat. Suaminya itu mengeratkan peluka
”Kita bisa berpisah. Kau akan bebas, begitu pula dengan aku.”Khandra mengerem mobilnya dengan mendadak. Ia tak peduli umpatan dan klakson yang dibunyikan keras-keras oleh pengemudi lain yang ada di belakangnya. Baginya apa yang diucapkan Evanna padanya barusan sangat menjengkelkan dan membuatnya naik darah.”Apa yang kaulakukan? Kita ada di tengah jalan!” teriak Evanna panik.”Kaukira kau siapa bisa meminta pisah dariku seenaknya!” teriak Khandra tak kalah keras.Khandra meraih dagu Evanna dan menariknya mendekat supaya Evanna bisa melihat kemarahan yang terpancar jelas dari raut wajahnya.”Aku yang akan memutuskan kapan kita berpisah. Kita tak bisa bercerai hanya karena kau memintanya. Ingat surat perjanjian itu dan hapalkan baik-baik dalam otak bodohmu itu!” sembur Khandra yang semakin terbakar emosi.Evanna bergidik ngeri melihat reaksi Khandra yang sangat berlebihan itu. Ia tak mengira suaminya itu akan begitu murka dengan permintaannya barusan. Evanna menyesal telah mengatakanny