Suara deru motor yang bergaung bergema sedang melaju kencang itu tiba-tiba terhenti mendadak. Jalanan sedikit menanjak pada bagian depannya di tutup oleh tiga buah mobil mewah.
"Apa maunya kalian?!" Veronica mendengkuskan napas kesal seraya melepaskan help penutup kepalanya, bertanya pada sekelompok anak muda yang sebelumnya berpesta di The Grill.
Ada tiga orang pemuda sedang duduk pada atas mobil yang dibiarkan melintang menghalangi jalan. Jarak mereka sekitar tiga meter dari posisi Veronica menghentikan laju motor sportnya.
Lima orang pemuda muncul di belakang Veronica, mulai berjalan pelan mendekati wanita muda yang masih tetap duduk di jok motor sportnya tersebut.
Beruntung tadi, Selena pulang bersama Keanu, suaminya menggunakan mobil di jalur lain. Jika tidak, adik perempuan Veronica tersebut akan lepas kontrol jika perjalanan pulangnya dihadang sekelompok pemuda mabuk.
"Veronica!"
Salah satu pemuda berperawakan urakan dengan rambut panjang di ikat ke belakang kepalanya, meraih dagu Veronica yang ia jepit dengan jempol telunjuk. Sementara tangannya yang lain mengambil kunci motor yang lupa Veronica selamatkan.
"Bukankah kau terlalu sombong, hem?" sambung sang pria menyeringaikan senyuman sinis dengan tatapan mata berkilat meneliti wajah cantik Veronica dibawah cahaya bulan yang sedang purnama.
"Setiap malam, teman-temanku datang meramaikan restoranmu, tapi kau hanya memandang sinis tanpa pernah satu kalipun berterima kasih!"
Veronica menyentakkan dagunya ke samping hingga jepitan jempol telunjuk sang pria terlepas, "Apa aku terlihat seperti pengemis di mata kalian? Sehingga aku harus mengucapkan terima kasih dimana kalian semua hanya pria rendahan menginginkan tubuh wanita secara gratis?!"
Sang pria mengulum senyum dan membelai bibirnya sendiri menggunakan jempol, terus mengunci tatapan pada Veronica yang juga mengangkat dagu balas memandang menantang.
Dari jauh di dalam mobilnya, Felix memindai semua orang yang sedang menghadang Veronica. Dia mengingat anak-anak muda yang duduk menonton di atas kap mobil depan Veronica juga mengelilinginya adalah para pemuda yang tadi berpesta di restoran wanita itu.
"Ternyata bukan hanya aku yang menginginkan nyawamu ...eh tunggu, apa mereka menginginkan nyawanya?" Felix bergumam dengan pandangan lurus hampir tidak berkedip memperhatikan Veronica. "Kau tak boleh mati di tangan mereka! Hanya aku yang boleh menyiksamu dan kau harus mati di tanganku!"
Felix mengambil gulungan tali yang biasa ia gunakan untuk berlatih beladiri, disembunyikan dalam tas selempang sebelumnya. Tapi ia masih belum turun dari mobil, mengamati apa yang akan dilakukan oleh Veronica menghadapi gerombolan pemuda tengil di sekelilingnya.
"Apa kau bilang? Gratis?!" pria di depan Veronica menyahut kencang, menoleh pada teman-temannya sembari tertawa terbahak.
Sang pria kembali menoleh pada Veronica, menumpukan satu siku ke atas stang motor, "Teman-temanku makan dan minum di restoranmu, mereka semua membayar bukan gratis! Jadi wajar dong jika kami semua ingin mendapatkan imbalan berkenalan denganmu ..."
"Katakan pada teman-temanmu, jangan datang lagi ke restoranku! Jika tidak, nanti akan ku suguhkan racun untuk mereka!" potong Veronica tanpa takut sedikitpun, meskipun ia dikelilingi para pemuda mabuk yang bisa berpikiran pendek menyerang atau membunuhnya.
Veronica juga masih tetap santai duduk di atas jok motor sportnya dengan kedua telapak kaki menjejak ke aspal, meskipun kunci motornya diambil oleh pria berambut gondrong di depannya tersebut.
Bisa saja para pemuda itu akan menggilirnya sampai puas sebelum membuang tubuhnya dari tebing tepi laut mediterania yang tidak jauh jaraknya dari mereka berada saat ini.
Tidak, Veronica tidak diajarkan Ibunya untuk hidup dalam ketakutan.
"Meracuni teman-temanku?" sang pria mendengkuskan tawa remeh, "Kau pikir masih bisa lepas dari kami, huh?"
Usai menyebutkan kata-katanya dengan lantang, sang pria bergerak untuk mencekal lengan Veronica. Namun, belum sempat sang pria menyentuh lengannya, Veronica sudah lebih dulu meloncat turun dari motornya yang ia tendang hingga terjatuh ke atas jalanan.
"Tangkap dia, bawa ke mobilku!" sang pria memberi perintah dengan geram pada teman-temannya seraya ia berlalu menuju mobil.
Para pemuda mabuk yang sebelumnya duduk, bersandar juga berada di belakang sang pria ketika berbicara dengan Veronica, segera bergerak untuk menangkap Veronica yang masih berhasil berkelit menghindari satu dua tiga orang diantara mereka.
Tetapi Veronica kalah jumlah. Dia juga hanya seorang wanita diantara tujuh orang para pemuda bengal yang memiliki tenaga luar biasa untuk mengeroyoknya sampai terdesak.
Salah satu diantara para pemuda itu yang masih waras, terlihat seperti tangan kanan sang pria berambut gondrong, melangkah maju, memelintir kedua lengan Veronica ke belakang punggung, kemudian mendorongnya menuju mobil sang pria yang, pemimpin mereka pemuda mabuk, telah duduk di depan setir kemudi.
Srett ...srett ...srett!!
Suara sabetan dari tali terdengar nyaring, menghentikan riuh gembira dari para pemuda yang berpikir mereka akan melanjutkan pesta menggilir tubuh Veronica setelah sang bos mencicipi terlebih dahulu.
Felix terus menyabetkan tali di tangannya yang bisa berubah seolah seperti pedang lentur untuk membuat musuh tidak berkutik, apalagi terkena jarum-jarum halus bagaikan bulu pada bagian ujung tali.
Tidak ada yang bisa bertahan hidup lebih dari sebulan jika terkena jarum-jarum halus di ujung tali milik Felix. Jarum-jarum yang bisa membuat tubuh mengalami peradangan dan demam jika berhasil menelusup ke dalam kulit.
"S-siapa kau?" salah satu pemuda bertanya sebelum Felix mencekal leher dan membenturkan kening ke wajahnya dengan sangat cepat.
"Asisten malaikat pencabut nyawamu!" desis Felix sembari melayangkan tali ke arah kaki pria yang mendorong tubuh Veronica ke arah mobil, dimana pintu bagian sisi penumpangnya telah terbuka lebar.
"Aw!" pekik pemuda yang Felix benturkan keningnya, dia lemparkan ke atas jalanan, berbalas dengan teriakan Veronica.
"Ao!" tubuh Veronica terjatuh keras di atas aspal, ditumpuk oleh tubuh pria yang mendorongnya dari belakang.
Felix melangkah lebar, menarik rambut pria yang menumpuk Veronica, membawanya berdiri dan menghadiahi tinju bertenaga ke depan hidungnya yang langsung ia buat bengkok mimisan menyemburkan darah.
"Cepat pergi dari sini!" tegas Felix pada Veronica yang sudah ia bantu berdiri dari terjatuhnya.
Arkada, nama sang pria berambut gondrong, segera menghidupkan mesin mobil dan melajukan mundur meninggalkan rekan-rekannya yang jatuh bergelimpangan di atas aspal tanpa ada niat ingin memberikan bantuan sedikitpun. Arkada juga membawa kunci motor sport Veronica yang ia ambil sebelumnya, ada dalam kantung celananya.
"Apa yang kau tunggu? Apa kau tuli?!" dengkus Felix melihat Veronica masih belum beranjak dari sisinya.
Pria yang sebelumnya diberikan tinju oleh Felix pada wajahnya, menyeringaikan senyuman kejam, mengusap kasar hidungnya yang patah bengkok untuk menyingkirkan darah mimisan. Ia mengerahkan kemampuan beladirinya untuk mencekal pergelangan tangan Veronica ...
"Dasar pemabuk!"
Felix merengkuh pinggang Veronica, menarik mundur seraya ia berputar dengan Veronica di pelukannya untuk memberikan tendangan pada sang pria hingga terjatuh berguling-guling ke jalanan yang menurun.
Sementara itu, Felix juga melayangkan tali dengan sebelah tangan, menjatuhkan kembali semua anak buah Arkada yang hendak bangkit mengeroyok.
Zeze terkejut mendengar pemberitahuan Luca mengenai Felix butuh bantuan. Zeze sangat tahu kemampuan beladiri dan bertarung Pamannya, sangat tidak mudah dikalahkan. Gadis itu sudah lebih dulu bangun dan meloncat kemudian menghilang dari pandangan Simon. Felix adalah mantan prajurit Dubai sekaligus tangan kanan Ibrahim dahulunya. Tetapi kini, Felix terjungkal berkali-kali dan terkapar membatukkan darah segar keluar dari rongga mulutnya. Pria berpakaian hitam dengan tubuh lebih besar juga lebih tinggi dari Felix, kembali melangkah cepat hendak menghantam punggung Felix yang sedang tertelungkup terbatuk-batuk darah. "Hiyaaaaa ...!!" Zeze sudah berlari berkelebat dan 'Bugh ....' lutut Zeze langsung menyundul tubuh bagian depan prajurit yang mendekati Felix. Sang pria terkejut, langkah kakinya mundur beberapa kali, tetapi sama sekali tidak terjatuh. Sorot mata sang prajurit terlihat bersinar terang dibalik kacamata, begitu mengenali Zeze di depannya, target yang harus dilenyapkan!Zeze b
"Paman titip Nicca ya. Ini jarum kesukaanmu." Felix mengeluarkan sekotak jarum dari kantung celananya untuk diberikan pada Freyaa.Freyaa mengulum bibirnya sendiri, menatap kotak jarum, lalu memandang penuh harap ke netra Felix, "Eyaa boleh ikut dengan paman?" Felix berjongkok dan tersenyum lembut, ia memang sangat tak pandai membujuk wanita apalagi anak-anak. Namun justru sikapnya yang tak bisa membujuk tersebut terlihat jauh lebih jujur di mata Freyaa pun Veronica. Felix membelai pipi montok Freyaa yang sejak dari kediaman mereka di Palermo, tak ingin terpisah jauh darinya, "Paman Luca-mu mengirimkan titik koordinat Zee dan sepertinya saudarimu sedang dikepung musuh. Paman harus segera pergi untuk membantunya." Felix berhenti sejenak, menatap netra Freyaa yang bergerak-gerak memandangnya. "Setelah urusan Zee dan Simon selesai, paman janji akan membawanya pulang padamu. Oke?""Hansel dan Quince pergi ke Amalfi, jadi tak ada yang menjaga Nicca di dalam kamar. Kau mau 'kan bantu pama
Sejak Luca siuman, Effren tak berhenti-henti keluar masuk kamar adik lelakinya itu. Ada saja yang ia bawa sebagai alibi agar tak diusir oleh Luca. "Kenapa kau kemari lagi? Kau belum tidur atau mau tidur di kamarku?!" dengkus Luca sinis tanpa melihat kedatangan Effren yang membawa nampan berisi makanan untuknya. "Mc Z bilang, kau sudah boleh makan pangsit. Anjo tadi membuatnya." sahut Effren tak peduli sesinis apapun Luca, tetap berkata santai. Luca menoleh, memajukan bibirnya dan mengulum kekesalan, "Letakkan aja di situ. Nanti ku makan." ucap Luca sembari memberi kode ke arah nakas. Hanya ada mereka berdua di dalam kamar. Michele dan Lucy yang sebelumnya menemani Luca, telah pria itu suruh istirahat karena mereka akan sering terjaga menyusui bayi tanpa kenal waktu dan jam. Effren menarik kursi ke sebelah ranjang hidroulik tempat Luca berbaring, "Buka mulutmu, aku suapi. cepatlah ...aaaakkk ..." "Stop, Effren! Dari sekian banyak pelayan di kediaman ini, kenapa harus kau yang meny
Tendangan demi tendangan dan tinju terkepal kuat saling beradu yang membuat ngilu pangkal lengan, beberapa kali pula Zeze dan Tony terjatuh terguling-guling di tanah paving yang keras.Mereka berdua memang lawan seimbang. Zeze bahkan seperti sedang berlawanan dengan Luciano, Didinya. Namun buru-buru ia enyahkan pikiran tersebut karena orang yang ada di depannya kali ini harus ia bunuh dengan sangat mengenaskan.Helm di kepala Tony sudah sejak tadi ia lepas, pun keadaan yang sama dengan Zeze, melepaskan helm berikut alat komunikasi radionya agar tidak membuat cemas Simon, Pierre, Asael, Owen dan para anak buahnya. Bughhh ...! Tubuh Tony ditendang kasar dan pria itu berusaha menghindar hingga melayang tinggi lalu mendarat dengan sangat keras di atas tanah paving. "Uhugk!" Tony memuntahkan darah ke tanah, mengelap sudut bibir menggunakan jempol, berguling ke samping sebelum bangun, sedangkan Zeze kembali berlari ke arahnya.Di bawah sinar bulan, rambut yang terikat tinggi di puncak k
Jessica berjalan bolak-balik dalam ruangannya yang merupakan resort pribadi ia sewa khusus ketika berada di Sorrento. "Kau mengantarkan nyawa datang kemari bukan? Maka aku harus menghargai dan memberikan kematian cepat padamu!" gumam Jessica sambil mencengkeram menggenggam tangan dan kuku runcingnya menusuk telapak tangan sendiri, tak ia rasakan meskipun ada darah yang merembas keluar. Entah apa tujuan Jessica yang sebenarnya, ia terlihat sangat mendendam pada keluarga Salvatore. Hatinya tak puas ketika mendengar kabar dari anak buahnya menyebutkan Jonathan Johnson yang merupakan 'Papa' anak-anak Salvatore telah tewas dalam kecelakaan, pun ia hanya terlihat berwajah masygul saat mendapatkan informasi mengenai Luca Salvatore juga sudah berhasil mereka bidik dengan tembakan jarak jauh, dipastikan tewas. Zetha meminta Effren dan semua anggota keluarga Salvatore, termasuk pasukan khusus mereka agar menunjukkan belasungkawa atas 'tewasnya' Luca Salvatore, meskipun tidak ada pengumuman re
"Sudah pesan makanan? Hidangan laut restoran ini sangat enak ..." Pierre bertanya seraya langkah kakinya terburu-buru menghampiri Zeze yang duduk santai di kursi dan bibir gadis itu mengulum senyum dengan tatapan iseng. Beberapa saat lalu Luciano, keponakannya Pierre menghubungi via telpon akan kamar tidur Pierre di kediaman mereka berantakan. Karena suara ombak terlalu besar, Pierre ijin pada Zeze agar bisa jelas menjawab telpon dari keponakannya di bagian dalam restoran, lalu meminta Zeze memesan makanan apapun yang ia sukai. "Uhm, sudah. Tapi aku belum tau Daddy Pierre sukanya apa, jadi ...aku pesan ini porsi jumbo." Zeze menyahut mengarahkan tatapannya ke atas meja. Pierre baru saja menghenyakkan bokongnya pada kursi di seberang Zeze, kedua bola matanya terbeliak lebar melihat menu yang di pesan oleh gadis mudanya. Sebuah sosis super duper jumbo dengan saos barbeque mix keju dan tomat yang dilumuri di bagian atasnya, disajikan dikelilingi sayuran serta kentang tumbuk."Apakah s