"Kau terluka!"
Veronica berseru begitu Felix melepaskan pelukan lengan pada pinggangnya, lalu mencabut picau cukur yang menempel pada perut bagian kanannya.
"Minggir!" Felix mengibaskan tangan agar Veronica tidak mendekatinya seraya menggulung tali di tangannya semakin memendek.
Felix membantu mendirikan motor sport Veronica yang jatuh ke atas jalanan. Entah apa yang dilakukan oleh pria itu, nyatanya kini motor Veronica sudah berbunyi bergaung dengan suara nyaring di suasana yang hampir tengah malam tersebut.
Veronica datang mendekat, ia ingat pemuda tampan berpenampilan culun yang membantunya ini tadi berbincang dengan Selena di depan meja bartender restorannya.
"Kemari, pegangi motormu!" Felix memanggil dengan suara baritonnya yang terdengar serak serta sangat seksi di telinga Veronica.
"Terima ka--"
"Lain kali jangan membuat masalah jika kau tak bisa menghadapinya seorang diri!" tegur Felix dingin seraya pergi berlalu setelah Veronica memegangi motor sportnya.
Veronica mengerjapkan kelopak matanya berkali-kali. Kenapa pria itu menegurnya seolah dirinya lah yang bersalah mencari masalah?
Bukankah, tadi ...ah!
Veronica membuka genggaman telapak tangannya yang refleks terkepal sejak tadi. Ada gelang tali berwarna salem di dalam genggamannya.
Veronica berniat mengembalikan pada pemuda tampan yang membantunya, karena yakin itu adalah miliknya ketika mereka saling berpelukan, tapi pria itu telah melajukan mobilnya pergi meninggalkan lokasi.
Veronica memperhatikan sekelilingnya yang semakin diterangi cahaya rembulan purnama. Para pemuda mabuk masih jatuh bergelimpangan di atas jalanan, sepertinya mereka pingsan terkena sabetan tali panjang yang memiliki lebar sekitar 5cm oleh si pemuda tampan.
--
Susie merasa sangat tidak tenang setelah ia tahu, Felix pergi seorang diri tanpa Hvitserk dan para pengawal menemaninya. Meskipun sudah pemuda tua, Susie masih tetap mengkuatirkan Felix layaknya anak lelaki remaja yang pendiam namun tiba-tiba membuat ulah.
Baru saja Susie memerintahkan Hvitserk dan para pengawal pergi berlalu dari hadapannya untuk mencari Felix, tak lama kemudian putra tampannya itu telah membuka pintu.
"Felix!" Susie berhambur menghampiri dan menahan lengan Felix begitu ia melihat tangan putranya tersebut memegangi perut sebelah kanannya.
"Kau berdarah!" seru Susie dibalas ringisan manja Felix membuka mulut untuk menampakkan barisan gigi rapinya pada Susie.
"Tidak lucu dan jangan tertawa!" bentak Susie telah membawa Felix duduk pada salah satu kursi di depan meja makan.
Susie bergegas memanggil Hvitserk kembali dan memintanya membelikan perban serta obat luka di klinik untuk dibawa pulang secepatnya. Di dalam ruangan hotel mereka tidak terdapat kotak obat darurat.
"Kau pergi kemana? Berkelahi dengan siapa? Lalu ada apa dengan dandananmu ini, seperti orang culun sangat udik begini, hah?" Susie baru memperhatikan rambut Felix yang tertata rapi sangat licin dengan belah tengah serta memakai kemeja putih murahan.
"Ambu sangat cantik!" goda Felix iseng memajukan wajah untuk memberikan kecupan ke pipi Susie.
Susie mendengkuskan tawa campur kesal, membuka kemeja Felix dengan telaten untuk melihat serta membersihkan luka pada perut putranya itu.
"Aw, pelan-pelan, Ambu ...sakit!" Felix sengaja mengaduh manja
Sangat bertolak belakang dengan wajah jahilnya tertawa menyandarkan kepala pada sandaran kursi, pasrah menerima perawatan Susie yang mengelap cidera pada perutnya.
"Katakan, siapa yang melukaimu?" Susie berusaha membuat Felix agar terbuka padanya.
"Aku latihan dan tertusuk sendiri ..."
"Akan ku beritahu Zetha!"
"Sekelompok pemuda mabuk berkelahi dan salah satu dari mereka menusukkan pisau salah sasaran padaku. Jangan mengadu pada Zetha, oke?" Felix langsung menjawab cepat perkataan ancaman Susie namun tetap tidak mengatakan kebenarannya.
Felix tidak ingin menyusahkan atau merepotkan Zetha atau anggota keluarganya yang lain. Meskipun sebenarnya semua anggota keluarga Salvatore diam-diam selalu menguatirkan Felix yang sudah lebih dari cukup usia untuk menikah, tetapi terlihat selalu menghindari lawan jenis selain keluarganya.
Effren Salvatore, saudara tertua Felix pernah bertanya, "Apakah kau ingin menikahi Susie?"
Susie yang ditinggal suaminya tewas bersama Mommy mereka, masih terlihat sangat muda, tubuh dan wajahnya terawat.
Susie juga sah untuk Felix nikahi jika pemuda itu menginginkannya, mereka semua anggota keluarga Salvatore akan merestui tanpa memandang usia Susie dua kali lipat di atas Felix.
"Konyol!" Felix menyahut saudara tertuanya.
Susie juga mendelik kejam melirik Effren, "Mana ada Ibu yang waras menikahi putranya sendiri! Kau tak punya otak bertanya seperti itu pada adikmu, Effren!"
Meskipun begitu, Felix tetap membawa Susie untuk tinggal bersamanya di manapun. Felix juga akan meluangkan waktunya di akhir pekan untuk mengajak Susie pergi liburan singkat atau hanya sekedar berjalan-jalan di tepi pantai Cape Town, menikmati cerahnya matahari, makan di restoran terbaik, layaknya anak lelaki menyenangkan hati Ibunya, meski orang yang tidak mengetahui hubungan mereka akan memandang Felix dan Susie seperti pasangan.
Hvitserk dan para pengawal tiba di hotel ruangan president suite tempat Susie bersama Felix.
"Lain kali, jangan biarkan ia pergi sendiri! Ini memang hanya luka pisau yang tak terlalu dalam. Tapi bagaimana jika itu adalah peluru yang bersarang di perutnya? Kalian bertanggungjawab atas nyawanya, mengerti?" Susie berkata tegas menoleh pada Hvitserk dan para pengawal yang ia pandangi satu persatu.
"Ya, Ambu. Maafkan kami." Hvitserk menjawab sekaligus mewakili rekan-rekannya yang menganggukkan kepala patuh atas perkataan Susie.
"Sudahlah, jangan marah-marah terus. Ambu sudah seperti Mommy kalau emosi seperti itu." Felix meraih telapak tangan Susie yang baru saja selesai membebat perutnya dengan perban setelah membubuhi obat anti peradangan pada permukaan luka di perutnya.
"Hvits, bantu aku ke kamar." Felix menoleh pada Hvitserk, lalu mencium punggung tangan Susie, "Ambu juga istirahatlah. Jangan emosi lagi atau nanti akan ku carikan suami untuk Ambu."
Felix terkekeh rendah melihat kedua bola mata Susie yang melotot tajam menanggapi perkataannya.
"Aku benar-benar akan meminta Zetha terbang kemari jika sampai luka pada perutmu itu terbuka semakin parah karena kekehanmu!"
Setelah berada di dalam kamarnya,"Kirim orang untuk bekerja di restoran The Grill agar bisa memberikan perlindungan pada Veronica diam-diam." titah Felix berbisik tegas pada Hvitserk yang alisnya sedikit bertaut.
"Aku tidak menyukai apalagi mencintainya! Aku hanya tidak ingin ada orang lain menyakiti, menyiksa atau membunuhnya. Karena hanya aku yang boleh melakukan itu pada orang yang telah membuatku juga Susie kehilangan Mommy dan Joko!"
"Baik, aku mengerti." Hvitserk tahu sedalam apa dendam dan kebencian yang dipendam oleh Felix pada Veronica.
Wajah serta netra kecoklatan emas Felix bahkan terlihat menggelap ketika ia menyebut nama Veronica.
"Lalu siapa yang melukai perutmu dengan pisau?" Hvitserk bertanya yang tentu saja dia akan disalahkan oleh keluarga besar Salvatore karena dianggap lalai melindungi putra tertua Marcella dan Michael tersebut, jika mereka semua mengetahuinya.
Meskipun ketika Felix pergi, Hvitserk beserta para pengawal sedang diberikan tugas mencari rumah tinggal di sekitar Amalfi Coast.
"Periksa kamera mobilku dan cari tau tentang pemilik mobil ARCXX!"
--
Veronica berjalan masuk ke dalam bilik mandi, masih sambil menggenggam gelang tali di telapak tangannya.
"Apakah ini jimat? Siapa dia?" Veronica bergumam pelan, mengguncang kepalanya sendiri karena berpikir terlalu jauh.
Zeze terkejut mendengar pemberitahuan Luca mengenai Felix butuh bantuan. Zeze sangat tahu kemampuan beladiri dan bertarung Pamannya, sangat tidak mudah dikalahkan. Gadis itu sudah lebih dulu bangun dan meloncat kemudian menghilang dari pandangan Simon. Felix adalah mantan prajurit Dubai sekaligus tangan kanan Ibrahim dahulunya. Tetapi kini, Felix terjungkal berkali-kali dan terkapar membatukkan darah segar keluar dari rongga mulutnya. Pria berpakaian hitam dengan tubuh lebih besar juga lebih tinggi dari Felix, kembali melangkah cepat hendak menghantam punggung Felix yang sedang tertelungkup terbatuk-batuk darah. "Hiyaaaaa ...!!" Zeze sudah berlari berkelebat dan 'Bugh ....' lutut Zeze langsung menyundul tubuh bagian depan prajurit yang mendekati Felix. Sang pria terkejut, langkah kakinya mundur beberapa kali, tetapi sama sekali tidak terjatuh. Sorot mata sang prajurit terlihat bersinar terang dibalik kacamata, begitu mengenali Zeze di depannya, target yang harus dilenyapkan!Zeze b
"Paman titip Nicca ya. Ini jarum kesukaanmu." Felix mengeluarkan sekotak jarum dari kantung celananya untuk diberikan pada Freyaa.Freyaa mengulum bibirnya sendiri, menatap kotak jarum, lalu memandang penuh harap ke netra Felix, "Eyaa boleh ikut dengan paman?" Felix berjongkok dan tersenyum lembut, ia memang sangat tak pandai membujuk wanita apalagi anak-anak. Namun justru sikapnya yang tak bisa membujuk tersebut terlihat jauh lebih jujur di mata Freyaa pun Veronica. Felix membelai pipi montok Freyaa yang sejak dari kediaman mereka di Palermo, tak ingin terpisah jauh darinya, "Paman Luca-mu mengirimkan titik koordinat Zee dan sepertinya saudarimu sedang dikepung musuh. Paman harus segera pergi untuk membantunya." Felix berhenti sejenak, menatap netra Freyaa yang bergerak-gerak memandangnya. "Setelah urusan Zee dan Simon selesai, paman janji akan membawanya pulang padamu. Oke?""Hansel dan Quince pergi ke Amalfi, jadi tak ada yang menjaga Nicca di dalam kamar. Kau mau 'kan bantu pama
Sejak Luca siuman, Effren tak berhenti-henti keluar masuk kamar adik lelakinya itu. Ada saja yang ia bawa sebagai alibi agar tak diusir oleh Luca. "Kenapa kau kemari lagi? Kau belum tidur atau mau tidur di kamarku?!" dengkus Luca sinis tanpa melihat kedatangan Effren yang membawa nampan berisi makanan untuknya. "Mc Z bilang, kau sudah boleh makan pangsit. Anjo tadi membuatnya." sahut Effren tak peduli sesinis apapun Luca, tetap berkata santai. Luca menoleh, memajukan bibirnya dan mengulum kekesalan, "Letakkan aja di situ. Nanti ku makan." ucap Luca sembari memberi kode ke arah nakas. Hanya ada mereka berdua di dalam kamar. Michele dan Lucy yang sebelumnya menemani Luca, telah pria itu suruh istirahat karena mereka akan sering terjaga menyusui bayi tanpa kenal waktu dan jam. Effren menarik kursi ke sebelah ranjang hidroulik tempat Luca berbaring, "Buka mulutmu, aku suapi. cepatlah ...aaaakkk ..." "Stop, Effren! Dari sekian banyak pelayan di kediaman ini, kenapa harus kau yang meny
Tendangan demi tendangan dan tinju terkepal kuat saling beradu yang membuat ngilu pangkal lengan, beberapa kali pula Zeze dan Tony terjatuh terguling-guling di tanah paving yang keras.Mereka berdua memang lawan seimbang. Zeze bahkan seperti sedang berlawanan dengan Luciano, Didinya. Namun buru-buru ia enyahkan pikiran tersebut karena orang yang ada di depannya kali ini harus ia bunuh dengan sangat mengenaskan.Helm di kepala Tony sudah sejak tadi ia lepas, pun keadaan yang sama dengan Zeze, melepaskan helm berikut alat komunikasi radionya agar tidak membuat cemas Simon, Pierre, Asael, Owen dan para anak buahnya. Bughhh ...! Tubuh Tony ditendang kasar dan pria itu berusaha menghindar hingga melayang tinggi lalu mendarat dengan sangat keras di atas tanah paving. "Uhugk!" Tony memuntahkan darah ke tanah, mengelap sudut bibir menggunakan jempol, berguling ke samping sebelum bangun, sedangkan Zeze kembali berlari ke arahnya.Di bawah sinar bulan, rambut yang terikat tinggi di puncak k
Jessica berjalan bolak-balik dalam ruangannya yang merupakan resort pribadi ia sewa khusus ketika berada di Sorrento. "Kau mengantarkan nyawa datang kemari bukan? Maka aku harus menghargai dan memberikan kematian cepat padamu!" gumam Jessica sambil mencengkeram menggenggam tangan dan kuku runcingnya menusuk telapak tangan sendiri, tak ia rasakan meskipun ada darah yang merembas keluar. Entah apa tujuan Jessica yang sebenarnya, ia terlihat sangat mendendam pada keluarga Salvatore. Hatinya tak puas ketika mendengar kabar dari anak buahnya menyebutkan Jonathan Johnson yang merupakan 'Papa' anak-anak Salvatore telah tewas dalam kecelakaan, pun ia hanya terlihat berwajah masygul saat mendapatkan informasi mengenai Luca Salvatore juga sudah berhasil mereka bidik dengan tembakan jarak jauh, dipastikan tewas. Zetha meminta Effren dan semua anggota keluarga Salvatore, termasuk pasukan khusus mereka agar menunjukkan belasungkawa atas 'tewasnya' Luca Salvatore, meskipun tidak ada pengumuman re
"Sudah pesan makanan? Hidangan laut restoran ini sangat enak ..." Pierre bertanya seraya langkah kakinya terburu-buru menghampiri Zeze yang duduk santai di kursi dan bibir gadis itu mengulum senyum dengan tatapan iseng. Beberapa saat lalu Luciano, keponakannya Pierre menghubungi via telpon akan kamar tidur Pierre di kediaman mereka berantakan. Karena suara ombak terlalu besar, Pierre ijin pada Zeze agar bisa jelas menjawab telpon dari keponakannya di bagian dalam restoran, lalu meminta Zeze memesan makanan apapun yang ia sukai. "Uhm, sudah. Tapi aku belum tau Daddy Pierre sukanya apa, jadi ...aku pesan ini porsi jumbo." Zeze menyahut mengarahkan tatapannya ke atas meja. Pierre baru saja menghenyakkan bokongnya pada kursi di seberang Zeze, kedua bola matanya terbeliak lebar melihat menu yang di pesan oleh gadis mudanya. Sebuah sosis super duper jumbo dengan saos barbeque mix keju dan tomat yang dilumuri di bagian atasnya, disajikan dikelilingi sayuran serta kentang tumbuk."Apakah s