"Lo kencan sama cewek siapa lagi, Sen? Udah putus sama Priya?"
Suara Yudhistira sontak membuat Antasena yang hampir saja menjangkau mobilnya, lantas menghentikan langkahnya, lalu menoleh. "Rumit, D. Nyokap gue udah ngejar-ngejar gue buat nikah, sementara Priya nggak mau diajak nikah." "Alasannya?" Antasena mengedikkan bahu. "Kayak nggak tahu dia gimana aja, sih D? Gue bertahun-tahun backstreet sama dia, udah hafal gimana kelakuannya. Apalagi dia supermodel yang baru naik daun sekarang, dia nggak mau pernikahan ini menghancurkan karirnya." "Terus cewek yang mau lo temuin ini? Bukan Priya?" tanya Yudhistira memastikan. Antasena menggeleng. "Cewek yang diminta Priya untuk menggantikan posisinya di sisi gue, selagi dia fokus sama karirnya." "Fuck! Priya sejak dulu emang gila, ya? Tapi lo lebih gila karena jatuh cinta sama cewek ajaib macam dia." "Udah males gue, D. Sayangnya aja gue cinta sama dia. Gue jalan dulu." Antasena menoleh ke arah Julia. "Jul, duluan." "Hati-hati, Pak." Antasena melangkah mendekati mobilnya, lalu bergegas meninggalkan Wijaya Hospital detik itu juga. Sepanjang perjalanan Antasena diliputi perasaan gamang. Antara ingin menemui perempuan yang akan berpura-pura menjadi istrinya, atau memilih untuk tidak mengacuhkannya. "Sinting!" ujar Antasena bermonolog ria. Meskipun begitu, Antasena juga sempat membaca informasi tentang Pradnya Sahira yang diberikan oleh Priya kepadanya. Saat pikirannya tengah berkecamuk. Sebuah panggilan dari seseorang muncul di layar ponselnya. Antasena hanya melirik sekilas, melihat nama si pemanggil, rasa-rasanya pria itu ingin mengabaikannya. "Halo, Ma?" "Lagi di mana, Sayang?" "Mau jalan pulang, Ma. Ada apa?" "Kakekmu mengundang kita untuk makan malam di rumahnya." "Kapan?" "Lusa besok," jawab Shinta dari seberang sana. Jeda sesaat Antasena terdiam. "Ma, kayaknya Sena ngga—" "Mama tahu kamu akan menolaknya, Sen. Tapi untuk kali ini saja, Mama mohon sama kamu. Apa perlu Mama memohon kepada Priya untuk mau diajak menikah sama kamu?" "Bukan begitu, Ma. Aku sama Priya—" "Mama nggak mau tahu. Lusa Mama tunggu di rumah kakekmu. Kenalkan Priya dengan keluarga besar kita." Lalu tanpa menunggu Antasena menanggapi ucapan ibunya, Shinta sudah lebih dulu mengakhiri panggilannya. "Fuck!" umpat pria itu sembari memukulkan tangannya di atas setir kemudinya. Antasena menepikan mobilnya sebentar, lalu membuka pesan-pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Ada satu nomor baru yang masuk di sana, pria itu lantas berinisiatif untuk membukanya. Rupanya pesan dari Pradnya Sahira. [Pradnya Sahira: Selamat malam, Mas. Benar ini nomornya Mas Antasena? Saya Anya.] [Pradnya Sahira: Em, maksud saya, Pradnya Sahira. Saya sudah ada di restoran tempat di mana kita janjian, Mas. Saya pakai dress merah maroon setinggi lutut, rambut saya sebahu, dan saya duduk di meja paling ujung dekat jendela.] [Pradnya Sahira: Saya sudah menunggu dua jam lebih. Lima belas menit lagi saya pergi dan saya anggap Mas Antasena nggak datang ke mari. Maaf sudah mengganggu.] Antasena mengembuskan napasnya dengan perlahan, lalu melirik jam yang melingkar di tangannya. Masih ada waktu sepuluh menit. Pria itu lantas bergegas melajukan mobilnya kembali untuk menuju ke restoran tersebut. Lima menit akhirnya Antasena tiba di sana. Pria itu menanggalkan jasnya, melipat kemeja putihnya sebatas siku, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk turun. Untuk selama beberapa saat, Antasena berdiri di sana. Pandangannya lantas mengedar ke sekitar, lalu tatapannya terpaku pada sosok perempuan yang baru saja bangkit dari duduknya dan terlihat hendak pergi. "Pradnya!" panggil pria itu dengan suara sedikit berteriak. Meskipun sedikit ragu, Antasena melangkah mendekati perempuan itu, bersamaan dengan perempuan yang dipanggilnya dengan sebutan 'Pradnya' itu membalikkan badan. "Pradnya Sahira?" Perempuan itu mengerjap gugup. "Iy-ya. Mas Antasena?" "Kamu sudah mau pergi?" Pradnya menggigit bibirnya, lalu mengangguk kecil. "Tadinya begitu. Saya pikir Mas nggak akan datang, karena pesan saya nggak dibalas." Antasena tersenyum masam. "Maaf, kalau saya sudah membuatmu menunggu lama. Saya tadi ada acara kantor." "Iya, nggak apa-apa, kok Mas," jawab Pradnya dengan wajahnya yang tertunduk gugup. Kini rasa bersalah menggelayuti hati Antasena. "Kamu udah makan?" Perempuan itu menggeleng. "Be-belum, Mas." "Kita makan dulu gimana? Baru setelah itu saya antar kamu pulang." "Ng… nggak usah, Mas. Saya nggak usah diantar," sahut Pradnya dengan cepat. "Kita duduk dulu, ya?" Pradnya mengangguk, membiarkan Antasena lebih dulu menarik kursinya di sana, baru kemudian perempuan itu menyusul duduk di hadapannya. Pria itu lantas memanggil seorang waiter yang berdiri tak jauh dari mejanya. Memintanya untuk mencatat pesanan mereka. "Kamu mau pesan apa?" tanya Antasena kepada Pradnya. Pradnya terlihat sibuk membaca menu yang ada di hadapannya. "Em, apa saja, Mas." "Mau nasi goreng? Atau kamu mau steak?” “Nasi goreng saja kalau gitu, Mas.” “Oke. Lalu minumnya?" "Air mineral satu, es teh tawar satu." "Ada lagi?" Pradnya menggeleng. "Nggak itu saja." Antasena lantas mengangguk, kemudian dia menyebutkan menu makanan dan minuman yang ingin dipesannya sendiri. Sepeninggalnya waiter dari mejanya, tidak ada percakapan yang tercipta di antara mereka. Pradnya yang sejak tadi memilih untuk menundukkan wajahnya, sementara Antasena tidak tahu harus mulai bicara dari mana. "Saya minta maaf karena sudah membuatmu menunggu selama ini, Pradnya." Mendengar perkataan pria itu, mau tidak mau Pradnya memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya. Diam-diam perempuan itu menelan salivanya dengan susah payah. Raut wajah Antasena yang tenang, alisnya yang tebal, rahangnya yang tegas, juga tatapan tajam pria itu. Membuat Pradnya hampir tidak percaya kalau Priya sengaja menyewanya untuk menggantikan posisinya. "Panggil saya Anya saja, Mas." "Oke, saya minta maaf, Anya." Pradnya lantas mengangguk, lalu tersenyum sungkan. "Nggak apa-apa, Mas. Lagipula saya nggak buru-buru, kok." "Jadi, Anya…" "Iya, Mas?" "Saya langsung to the point saja," Lalu Pradnya mengangguk. Jeda sesaat Antasena menimbang-nimbang untuk mempertanyakan hal ini atau tidak. Namun rasa penasaran yang jauh lebih menguasai, membuat pria itu ingin mengatakannya. "Jadi… benar Priya meminta kamu untuk menjadi istri pura-pura saya?” Pradnya mengangguk ragu. “Iya, Mas.” Antasena menghela napas. “Kamu dibayar berapa sama Priya sampai-sampai kamu mau melakukan apa yang disuruh dia?" tanya Antasena dengan tenang. Sementara Pradnya hanya diam. Tidak tahu apakah dia boleh menjawab pertanyaan ini atau tidak. "Yang jelas bukan uang yang sedikit, Mas," jawab perempuan itu dengan gugup. Antasena manggut-manggut dengan tatapannya yang tak lepas dari perempuan itu. "Saya sempat membaca informasi yang diberikan Priya, saya dengar ayah kamu sakit?" tanya Antasena sekali lagi. Pradnya mengangguk. "Iya." "Sakit apa?" "Apa Mas sedang menginterogasi saya?" "Saya perlu tahu tentang kamu, Anya. Saya nggak bisa hanya dengan membaca informasi yang diberikan ke saya, padahal saya bisa bertanya langsung sama kamu. Terlebih setelah ini kamu akan terlibat di dalam hidup saya. Bukankah setidaknya kita harus saling tahu?" Pradnya menggigit bibirnya. "Ayah saya sakit gagal ginjal kronis stadium akhir, Mas. Itulah alasan utama saya kenapa saya menyetujui permintaan Mbak Priya." "Kamu yakin mau melakukan semua ini? Kamu masih bisa—" "Saya nggak punya pilihan lain, Mas. Untuk saat ini, saya butuh uang banyak untuk membiayai pengobatan ayah saya. Dan karena bantuan Mbak Priya, saya bisa membawa ayah saya ke rumah sakit untuk cuci darah." "Kamu tinggal sama ayah dan adik kamu?" Pradnya mengangguk. "Iya. Dan adik saya masih sekolah sekarang.” Perempuan itu lantas memberanikan diri untuk menatap Antasena. “Mas merasa keberatan, ya? Atau saya nggak memenuhi kriterianya Mas Sena?” “Ah, nggak Anya. Saya hanya… masih memikirkan apakah saya harus melakukan semua ini atau tidak.” Pradnya yang mendengar ucapan Antasena lantas menundukkan wajah. Kedua tangannya saling bertautan di atas pangkuannya. “Saya sih terserah sama Mas Sena. Tapi… uang yang diberikan sama Mbak Priya sebagian sudah saya pakai untuk melunasi utang ayah saya, Mas. Maaf.” “Kamu nggak perlu minta maaf sama saya, Anya.” “Jadi gimana?” tanya perempuan itu mulai cemas. “Saya sepertinya membutuhkan bantuan kamu.” “Iya, Mas. Tapi sebelum kita mulai sandiwara ini, boleh saya minta satu permintaan dari Mas Sena?" "Apa?" "Tolong jangan pernah libatkan keluarga saya. Saya nggak mau kalau ayah dan adik saya terlibat, Mas. Perkara nanti setelah menikah, Mas Sena minta saya untuk tinggal sama-sama. Nggak masalah buat saya. Saya akan mencari alasan agar mereka bisa memberi pengertian." "Nggak apa-apa begitu?" "Akan lebih baik begitu, Mas. Karena saya nggak mau ayah jadi kepikiran dan mikir kalau mereka adalah beban buat saya." Antasena mengangguk paham. Percakapan mereka sempat terhenti saat makanan yang dipesan mereka sudah tiba di mejanya. Pria itu menggeser makanan milik Pradnya, baru kemudian meraih makanan miliknya. Untuk selama beberapa saat suasana berubah menjadi hening. Hanya terdengar lantunan in house music yang sengaja diputar di restoran tersebut, keduanya mulai menikmati makan malamnya. Jika kebanyakan perempuan akan menjaga imej-nya di depan semua orang, terutama di depan orang yang baru pertama kali ditemuinya, tapi berbeda jauh dengan Pradnya. Dalam hitungan menit saja, perempuan itu sudah melahap habis nasi gorengnya dan es tehnya. Bahkan hanya menyisakan air mineral setengah di sana. "Kamu lapar? Mau nambah lagi?" "Ng… nggak, Mas. Maaf, saya makan cepat banget, ya? Saya belum sempat makan sejak siang tadi. Makanya lahap banget makannya ini tadi,” ujarnya dengan malu-malu. "Kamu kerja di mana memangnya, Nya?" "Di Despresso Coffee Senopati, Mas." Antasena mengangguk kecil, lalu kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Sampai akhirnya makanan di atas piringnya habis tak tersisa. "Nya…" "Ya, Mas?" "Orang tua saya, terutama Mama. Mereka tahu kalau saya pacaran sama Priya. Mama pasti akan kaget kalau tahu saya tiba-tiba membawa kamu di hadapan mereka." "Terus Mas?" "Saya akan tetap minta tolong sama kamu. Terlepas dari apa yang diminta sama Priya, saya sendiri juga minta kamu bantu saya untuk pura-pura jadi istri saya." Antasena menjeda ucapannya selama beberapa saat. "Saya akan memberikan informasi pribadi tentang keluarga saya. Kamu bisa mempelajarinya sebelum acara dinner besok lusa." "Besok lusa? Acara apa, Mas? Apa kita nggak perlu latihan dulu untuk—" Antasena tersenyum kecil. "Nggak perlu, Anya." "Tapi Mas…" Pradnya menggigit bibirnya. "Saya belum pernah pacaran sebelumnya, dan saya nggak tahu gimana caranya jadi pacar yang sempurna buat dampingin Mas Sena." "Kamu nggak usah khawatir, Nya. Ada saya. Kalau kamu ingin tahu sesuatu, just let me know. Kamu bisa kirim pesan ke nomor saya tadi. Besok siang saya akan jemput kamu." Pradnya membelalak. "Jemput? Ta-tapi, Mas. Saya harus bekerja. Saya nggak mungkin libur, karena beberapa hari yang lalu, saya sudah libur." "Saya akan mintakan izin sama atasan kamu." "Hah?" Pradnya membelalak. "Kebetulan yang punya Despresso Coffee pusat adalah teman saya sendiri. Jadi untuk sementara waktu, kamu bisa fokus dengan saya," tandas Antasena dengan lugas. *** Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.“Mas, bangun. Udah pagi ini!”Antasena menggeliat di atas tempat tidurnya, saat dia bisa merasakan sentuhan di lengannya. Matanya mengerjap, samar-samar dia menatap langit kamarnya yang kini masih gelap.“Masih gelap, Sayang. Aku ngantuk banget.” Tentu saja Antasena mengantuk. Bagaimana tidak, jika Flavia semalaman suntuk mengajaknya begadang sampai pagi?“Mas ini udah jam enam. Ayo bangun! Aku buka gordennya, ya?”Antasena mengerjapkan matanya sekali lagi. Dia menoleh ke arah Pradnya yang saat ini tengah duduk di sampingnya. Lalu dalam sekali sentak, pria itu sudah lebih dulu menarik perempuan itu agar bisa bergabung bersamanya.“Mas Sena!”“Apa sih, Sayang? Ini masih pagi, jangan teriak-teriak bisa, nggak? Kalau Bi Ummi dengar, bisa mikir yang nggak-nggak nanti.”“Habisan kamu sih! Hari ini adalah hari penting buat kamu, Mas. Kamu nggak mau mempersiapkan diri?”“Jas sama pakaian aku udah kamu siapkan semalam, kan? Aku tinggal mandi, pakai baju itu, dan langsung berangkat ke kantor.
PRADNYA terbangun saat dia menyadari tidak ada Antasena di sampingnya. Dia sangat yakin jika semalam bahkan mereka sempat berpelukan, lalu memutuskan untuk terlelap.Beberapa hari terakhir ini, siklus tidurnya tidak teratur. Flavia yang masih sering terbangun tengah malam membuat perempuan itu harus menahan rasa kantuknya demi menemani bayinya.Setelah memastikan jika bayinya masih tertidur pulas, Pradnya menata bantal-bantal di sekitarnya. Baru setelahnya perempuan itu turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar untuk mencari keberadaan suaminya."Mas? Lagi ngapain?"Antasena tengah sibuk di dapur dengan apron hitam yang menggantung di lehernya. Pria itu tersenyum kecil ke arahnya."Hai, udah bangun?"Pradnya menganggukkan kepalanya. Dengan wajahnya yang masih mengantuk dia melangkah mendekati Antasena yang tampak sibuk di dapur."Mas lagi masak? Masak apa? Kenapa nggak bangunin aku aja, sih?"Antasena tersenyum, lalu menarik Pradnya agar mendekat kemudian melingkarkan kedua tang
TIDAK ada percakapan apapun selama menit demi menit yang telah berlalu. Flavia masih berada di dalam gendongan Pradnya, tengah menikmati ASI eksklusif yang diberikan perempuan itu untuknya.Sementara Antasena tak henti-hentinya takjub melihat betapa pemandangan yang ada di hadapannya sekarang, membuat hatinya seketika menghangat. Pria itu sama sekali tidak pernah menyangka jika dia bisa bertemu kembali dengan Pradnya.“Surat perceraian itu masih belum aku tanda tangani.” Perkataan Antasena membuat Pradnya lantas mengangkat wajahnya. “Kamu masih mau tetap bercerai sama aku?” tanyanya memastikan.Pradnya menggigit bibirnya bagian dalam. Kali ini dia merasa seperti sedang diinterogasi oleh petugas berwajib.“Selama tiga bulan ini… Mas sibuk apa aja?” Alih-alih menjawab pertanyaan Antasena, perempuan itu justru melontarkan pertanyaan lain. Setidaknya dengan mendengar jawaban darinya, Pradnya baru bisa menjawab pertanyaan Antasena sebelumnya.“Kesehatan Mama sempat drop,” kata Antasena den
“Tak lelo, lelo, lelo ledung.”“Cep meneng ojo pijer nangis.”“Anakku sing ayu rupane.”“Yen nangis ndak ilang ayune.”Pradnya menatap bayinya dengan mata berkaca-kaca. Bayi yang baru saja berusia beberapa hari itu, terlihat begitu tenang mendengarkan suara ibunya yang tengah bersenandung lirih.Senyumnya merekah lebar. Pemandangan hijaunya persawahan yang ada di hadapannya terasa begitu menenangkan."Hangat, ya Sayang? Iya?" Bayi mungil itu menggeliat di atas pangkuan Pradnya, sambil sesekali mengedipkan mata.Nismara Flavia Sahira, nama yang disematkan beberapa hari yang lalu ketika sang bayi lahir ke dunia."Mbak!"Pradnya kemudian menoleh, lalu mendapati Pramitha berjalan menghampirinya. “Ya, Tha?”“Belum selesai juga jemurin Dede?”“Belum, Tha. Kayaknya dia suka banget aku ajak berjemur gini. Ngerasa hangat kali, ya? Tahu sendiri gimana cuaca di sini.”“Iya juga. Tapi juga jangan lama-lama, Mbak. Dede bisa item nanti kulitnya,” kekeh perempuan itu.“Kamu tuh!” Pradnya terkekeh. “
Sudah seminggu lebih Antasena tak kunjung menunjukkan tanda-tanda sadar dari koma. Pun begitu dengan Satya yang mulai kebingungan mencari keberadaan kakak iparnya, Pradnya.Berbagai cara sudah dilakukannya. Bahkan pria itu sudah mencoba menghubungi pihak bandara, pihak stasiun, hanya untuk memastikan nama Pradnya terdaftar dalam daftar penumpang. Namun kenyataannya nihil. Tidak ada nama Pradnya Sahira dari daftar penumpang."Mama tega banget sama Anya, ya? Dia lagi hamil cucunya Mama, tapi Mama justru menyuruhnya pergi. Di mana nuraninya Mama, hah?" sengal Satya tak terima."Dia nggak pantas jadi bagian dari keluarga kita. Hubungan yang diawali dari sebuah kesalahan nggak akan berakhir baik!" elak Shinta tak terima. "Lagipula dia menerima cek yang Mama berikan. Apa menurutmu dia nggak mengincar harta Abangmu?""Apa Mama nggak sadar kalau yang mengawali kesalahan itu adalah Abang dan Priya? Anya hanya menuruti kegilaan mereka, Ma!" Satya meraup wajahnya dengan gusar. "Kalau sampai terj
"Soal pelaku penusukan itu, kami belum menemukan bukti siapa pelakunya. Tapi kamu jangan khawatir, ya? Kami sedang mengurusnya. Kamu lebih baik fokus di sini.""Makasih, Mas."Jeda sesaat keduanya saling berdiaman. Mereka baru saja menyelesaikan makan siangnya bersama.“Aku berharap ketika kamu berpikiran untuk menyerah pada keadaan, kamu akan mengingat Sena. Dan kamu nggak perlu memiliki alasan lainnya untuk tetap tinggal di sisinya.”Pradnya terdiam selama beberapa saat. Tampak kebingungan menanggapi perkataan Arjuna. “Saya butuh waktu, Mas Arjuna. Saya harus menjalani semua ini sendirian. Jadi sepertinya saya butuh waktu untuk memikirkan apakah bertahan akan membuat keadaan jadi lebih baik, atau justru sebaliknya.”“Kamu mau pergi ke mana? Tante Shinta minta kamu pergi, kan?”Pradnya mengangkat wajahnya, apakah semudah itu rautnya terbaca oleh Arjuna? Perempuan itu menggigit bibirnya bagian kecil, lalu mendesah pelan. “Mas Arjuna tau, kan kalau saya sudah mengacaukan segalanya?”“