"Heh, Babi. Mau ke mana lo jam segini udah balik kanan?"
Suara vokal Bayusuta membuat Antasena yang tadinya fokus dengan ponselnya, lantas membuat langkahnya terhenti, lalu menoleh ke belakang. "Gue ada acara keluarga," jawab Antasena saat melihat Bayusuta berjalan menghampirinya. "Kayak udah berkeluarga aja lo, sok-sokan! Kemarin jadi ketemu sama cewek itu?" "Hm-mm." Pria itu seketika membelalak. "Serius?" "Iya. Tadinya ragu, cuma gue benar-benar butuh bantuan dia." "Sialan! Lo embat juga jadinya. Cakep, nggak?" "Otak lo isinya selangkangan doang, Njing. Kambing digincuin juga lo bilang cantik." "Bacot lo ah! Cantik, nggak?" desak Bayusuta dengan cepat. "Percuma kalau nggak cakep, gue punya koleksi banyak dan goyangannya mantap. Kali aja lo butuh yang—" "No thank you. Gue nggak segila lo, by the way." Sementara Bayusuta hanya tergelak mendengar ucapan Antasena. "Gue balik dulu." "Oke, hati-hati, Nyet." Antasena mengacungkan tangannya ke udara, dan bergegas meninggalkan gedung Diamond Group detik itu juga. Siang ini Antasena sudah membuat janji dengan Pradnya. Pria itu akan pergi ke butik bersama Pradnya. Antasena membelokkan mobilnya menuju pelataran parkir Despresso Coffee. Pria itu sudah menanggalkan jasnya lalu menaruhnya di jok belakang, baru setelahnya Antasena turun dari mobil dan bergegas menuju kedai kopi itu. “Selamat datang di Despresso Coffee. Selamat siang,” sapa Lyra yang saat itu tengah berjaga di depan. Namun belum pria itu mengatakan sesuatu. Pradnya sudah lebih dulu menyadari keberadaan Antasena. “Mas Sena?” Pria tampan itu mengulas senyuman. “Hai,” sapanya. Pradnya yang tadinya sibuk membuat kopi pesanan pelanggannya, lantas meminta Lyra untuk menggantikan posisinya sebentar. Perempuan itu lantas mengayunkan langkahnya keluar dari area barnya, lalu bergegas menghampiri Antasena. "Mas Sena? Ada apa?" tanyanya heran. “Katanya ke sini jam tiga? Kenapa sudah sampai di sini padahal baru jam satu?" "Nggak apa-apa, Nya. Saya sengaja datang lebih awal karena ada sedikit kerjaan juga. Saya nggak masalah nunggu kamu di sini, kan?" Pradnya menggeleng. "Nggak, sih. Tapi Mas nggak apa-apa nunggu saya? Saya masih jam tiga nanti selesai shift." "Nggak apa-apa. Saya bisa pesan dulu? Seperti kopi misalnya?" "Em, boleh. Mas pengen pesan apa? Americano? Cappuccino? Latte? Atau manual brew?" "Ada rekomendasi?" tanya pria itu dengan tenang. "Saya buatkan americano kalau gitu, Mas. Mau?" "Boleh." Antasena mengangguk sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar. "Kalau gitu Mas duduk saja dulu, ya? Biar saya buatkan dulu kopinya?" Antasena menganggukkan kepalanya. Membiarkan Pradnya berjalan menuju area barnya, sementara pria itu melangkah menuju salah satu bangku yang kosong. Tak berselang lama, Pradnya sudah kembali dengan tangannya yang membawa secangkir americano untuk Antasena. Aroma kopi yang menguar menyapa indera penciumannya, membuat pria itu mau tak mau menoleh ke arah Pradnya. "Kamu bisa menemani saya duduk sebentar?" "Hah? Ta-tapi, Mas. Saya—" "Cuma sebentar saja, Nya. Kalau nanti kafenya ramai, saya akan membiarkan kamu pergi." Pradnya tidak punya pilihan lain selain menuruti permintaan Antasena. Perempuan itu lantas menarik salah satu kursi yang ada di hadapannya, sesekali melirik ke arah Antasena yang tampak sibuk dengan iPad di sana. Ini adalah kali keduanya Pradnya bertemu dengan Antasena. Setelah berbincang banyak hal kemarin, bahkan pria itu juga mengantarnya pulang, rasa gugup masih saja menguasainya. Bahkan Antasena terlihat begitu tampan dan memesona seperti yang dilihatnya semalam. "Dari sekian informasi yang kemarin saya berikan ke kamu, ada yang ingin kamu tanyakan nggak, Nya?" Pradnya mengerjap cepat. Perkataan Antasena seketika menariknya dari lamunan, perempuan itu lantas mengangguk. “Hah? Mas Sena tadi bilang apa?” Antasena menarik ujung bibirnya ke atas, lalu kembali bersuara. “Dari informasi yang saya kasih ke kamu kemarin, ada yang ingin kamu tanyakan, nggak?” ujar pria itu mengulangi pertanyaannya. "Em, ada... Mas." "Apa?" Pradnya menggigit bibirnya, sedikit ragu. “Saya nggak apa-apa kalau tanya sama Mas Sena?” “Nggak apa-apa, Nya. Santai saja.” Perempuan itu lantas menganggukkan kepalanya. "Keluarganya Mas Sena tahu kalau Mas Sena sudah punya pacar Mbak Priya. Apa nggak akan jadi pertanyaan kalau tiba-tiba Mas bawa saya ke rumah? Belum lagi—" Pradnya menggigit bibirnya, agak ragu untuk melanjutkan ucapannya. "Belum lagi apa, Nya?" "Maaf, saya harus mengatakan ini, Mas." Yang dibalas Antasena dengan anggukan. "Belum lagi… Mas Sena berasal dari keluarga orang kaya. Apa Mas nggak malu kalau nikah sama saya? Bahkan saya nggak punya pakaian mahal. Jujur saya nggak ingin bikin Mas Sena malu." Antasena tersenyum tipis. "Well, okay. Ada lagi?” Pradnya menggeleng. "Nggak ada, Mas. Saya mudah gugup, apalagi kalau berada di lingkungan keluarga orang kaya. Maaf, saya nggak bermaksud membedakan, tapi saya sadar kalau saya cuma orang biasa. Apa bakalan diizinkan sama keluarganya Mas Sena, kalau Mas Sena nikah sama saya?" "Pertama… saya akan mengatakan pada keluarga saya kalau saya sudah mengakhiri hubungan saya dengan Priya." "Nggak apa-apa?" "Nggak apa-apa, Nya. Karena selama ini saya dan Priya hanya menjalin hubungan diam-diam. Baik media maupun keluarga saya nggak akan mengendus sejauh apa hubungan saya dengan Priya." "Lalu Mas Sena bakalan jawab kalau Mas pacaran sama saya begitu?" Antasena mengangguk. "Iya. Dan setelah itu kita akan menikah." "Mas yakin mau pura-pura nikah sama saya? Meskipun hanya pura-pura, tapi kasta kita berbeda, Mas. Mas yakin keluarga Mas Sena akan menerima kehadiran saya?" "Nggak usah khawatir, Nya. Mama dan Papa saya nggak pernah melihat seseorang dari strata sosialnya. Yang dibutuhkan kita saat ini hanyalah bagaimana cara kita menunjukkan sama mereka kalau kita saling jatuh cinta dan mencintai." Pradnya menelan ludahnya dengan susah payah. Meskipun semua ini hanyalah sandiwara belaka, kenyataan bahwa perempuan itu bahkan tidak mampu menutupi kegugupannya membuat hatinya mendadak ragu. "Maaf, Mas. Saya nggak bermaksud menilai keluarga Mas seperti itu," ujar perempuan itu sembari menundukkan wajahnya. "It's okay, Anya. Saya memakluminya, kok." Waktu sudah menunjuk angka tiga sore saat Pradnya sudah menyelesaikan pekerjaannya. Entah ke mana Antasena akan membawanya, semenjak obrolannya tadi, mendadak nyali perempuan itu menciut. Mendadak rasa gugup menyelimuti hatinya, terlebih saat Antasena tak lagi bersuara sepanjang mobil itu melaju. Pradnya memilih untuk melemparkan tatapannya ke samping jendela. Kedua tangannya saling bertautan sama lain di atas pangkuannya, mencoba mengenyahkan perasaan tak nyamannya saat ini. Lalu mobil yang dikendarai mereka akhirnya berbelok menuju salah satu gedung pertokoan yang berjajar. Setelah mobil berhenti dengan sempurna, Antasena menoleh ke arah Pradnya yang sejak tadi hanya diam. "Kita turun," ujarnya dengan nada dingin. Pradnya hanya membalasnya dengan anggukan. Membiarkan Antasena berjalan mendahuluinya, sementara Pradnya mengekor di belakangnya. Seorang perempuan berwajah cantik menoleh ke arah mereka yang baru saja muncul dari balik pintu. Tampak terkejut, tapi dia tetap tersenyum menyambutnya. "Mas Antasena?" Antasena dan Pradnya melangkah mendekati Disha yang tampak terkejut dengan kehadirannya. "Halo, Disha. Apa kabar?" "Baik, Mas. Tumben, nih Mas Sena? Ada yang bisa dibantu?" tanya Disha saat itu. "Kenalkan, Sha. Anya, calon istriku." Lalu Antasena menoleh ke arah Pradnya. "Nya, kenalkan ini Disha yang punya butik ini." Disha mengulas senyum. "Halo, Mbak Anya. Saya Disha." "Saya Anya, Mbak," balas Pradnya sembari membalas uluran tangan Disha. "Tumben kamu di sini, Sha. Nggak di kantor pusat?" Disha lantas menggeleng. "Kebetulan saya mampir ke sini, Mas. Mau ngecek stock beberapa pakaian yang ada di sini." "Ngomongin soal pakaian, mumpung kamu di sini, saya boleh minta tolong?" "Apa, Mas?" "Saya minta tolong make over Anya. Hari ini kami akan pergi dinner. Yang natural saja karena ini hanya jamuan makan malam keluarga, Sha. Juga saya ingin membeli beberapa pakaian yang bisa dipakai untuk Anya." "Bisa dong. Ya udah yuk, Mbak Anya. Ikut saya ke dalam." Pradnya tersenyum kikuk, dia menoleh sekilas ke arah Antasena, yang langsung dibalasnya dengan anggukan oleh pria itu. Sampai akhirnya perempuan itu menuruti Disha saat diajak menuju ke sebuah ruangan yang lebih terang dibandingkan ruangan sebelumnya. "Mbak Disha, saya nggak bakalan diapa-apain, kan?" tanya Pradnya gugup. "Nggak, Mbak. Saya cuma pengen bikin Mbak jadi cantik. Duduk di sini sebentar, ya. Hair stylist saya akan membantu Mbak Anya, selagi saya menyiapkan dress untuk Mbak." Pradnya mengangguk patuh. Perempuan itu duduk di salah satu kursi yang ada di sana, di hadapannya kini ada sebuah kaca lebar, lengkap dengan alat make up di sana. "Hai, Mbak. Saya Sari, saya yang akan membantu Mbak mengubah penampilan Mbak jadi cantik setelah ini." "Iy-ya." Meskipun agak risih, akhirnya Pradnya memilih untuk pasrah. Perempuan itu membiarkan hair stylist bernama Sari itu menunjukkan kebolehannya dengan mengubah penampilan Pradnya menjadi Pradnya Sahira versi terbarunya. *** Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.“Mas, bangun. Udah pagi ini!”Antasena menggeliat di atas tempat tidurnya, saat dia bisa merasakan sentuhan di lengannya. Matanya mengerjap, samar-samar dia menatap langit kamarnya yang kini masih gelap.“Masih gelap, Sayang. Aku ngantuk banget.” Tentu saja Antasena mengantuk. Bagaimana tidak, jika Flavia semalaman suntuk mengajaknya begadang sampai pagi?“Mas ini udah jam enam. Ayo bangun! Aku buka gordennya, ya?”Antasena mengerjapkan matanya sekali lagi. Dia menoleh ke arah Pradnya yang saat ini tengah duduk di sampingnya. Lalu dalam sekali sentak, pria itu sudah lebih dulu menarik perempuan itu agar bisa bergabung bersamanya.“Mas Sena!”“Apa sih, Sayang? Ini masih pagi, jangan teriak-teriak bisa, nggak? Kalau Bi Ummi dengar, bisa mikir yang nggak-nggak nanti.”“Habisan kamu sih! Hari ini adalah hari penting buat kamu, Mas. Kamu nggak mau mempersiapkan diri?”“Jas sama pakaian aku udah kamu siapkan semalam, kan? Aku tinggal mandi, pakai baju itu, dan langsung berangkat ke kantor.
PRADNYA terbangun saat dia menyadari tidak ada Antasena di sampingnya. Dia sangat yakin jika semalam bahkan mereka sempat berpelukan, lalu memutuskan untuk terlelap.Beberapa hari terakhir ini, siklus tidurnya tidak teratur. Flavia yang masih sering terbangun tengah malam membuat perempuan itu harus menahan rasa kantuknya demi menemani bayinya.Setelah memastikan jika bayinya masih tertidur pulas, Pradnya menata bantal-bantal di sekitarnya. Baru setelahnya perempuan itu turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar untuk mencari keberadaan suaminya."Mas? Lagi ngapain?"Antasena tengah sibuk di dapur dengan apron hitam yang menggantung di lehernya. Pria itu tersenyum kecil ke arahnya."Hai, udah bangun?"Pradnya menganggukkan kepalanya. Dengan wajahnya yang masih mengantuk dia melangkah mendekati Antasena yang tampak sibuk di dapur."Mas lagi masak? Masak apa? Kenapa nggak bangunin aku aja, sih?"Antasena tersenyum, lalu menarik Pradnya agar mendekat kemudian melingkarkan kedua tang
TIDAK ada percakapan apapun selama menit demi menit yang telah berlalu. Flavia masih berada di dalam gendongan Pradnya, tengah menikmati ASI eksklusif yang diberikan perempuan itu untuknya.Sementara Antasena tak henti-hentinya takjub melihat betapa pemandangan yang ada di hadapannya sekarang, membuat hatinya seketika menghangat. Pria itu sama sekali tidak pernah menyangka jika dia bisa bertemu kembali dengan Pradnya.“Surat perceraian itu masih belum aku tanda tangani.” Perkataan Antasena membuat Pradnya lantas mengangkat wajahnya. “Kamu masih mau tetap bercerai sama aku?” tanyanya memastikan.Pradnya menggigit bibirnya bagian dalam. Kali ini dia merasa seperti sedang diinterogasi oleh petugas berwajib.“Selama tiga bulan ini… Mas sibuk apa aja?” Alih-alih menjawab pertanyaan Antasena, perempuan itu justru melontarkan pertanyaan lain. Setidaknya dengan mendengar jawaban darinya, Pradnya baru bisa menjawab pertanyaan Antasena sebelumnya.“Kesehatan Mama sempat drop,” kata Antasena den
“Tak lelo, lelo, lelo ledung.”“Cep meneng ojo pijer nangis.”“Anakku sing ayu rupane.”“Yen nangis ndak ilang ayune.”Pradnya menatap bayinya dengan mata berkaca-kaca. Bayi yang baru saja berusia beberapa hari itu, terlihat begitu tenang mendengarkan suara ibunya yang tengah bersenandung lirih.Senyumnya merekah lebar. Pemandangan hijaunya persawahan yang ada di hadapannya terasa begitu menenangkan."Hangat, ya Sayang? Iya?" Bayi mungil itu menggeliat di atas pangkuan Pradnya, sambil sesekali mengedipkan mata.Nismara Flavia Sahira, nama yang disematkan beberapa hari yang lalu ketika sang bayi lahir ke dunia."Mbak!"Pradnya kemudian menoleh, lalu mendapati Pramitha berjalan menghampirinya. “Ya, Tha?”“Belum selesai juga jemurin Dede?”“Belum, Tha. Kayaknya dia suka banget aku ajak berjemur gini. Ngerasa hangat kali, ya? Tahu sendiri gimana cuaca di sini.”“Iya juga. Tapi juga jangan lama-lama, Mbak. Dede bisa item nanti kulitnya,” kekeh perempuan itu.“Kamu tuh!” Pradnya terkekeh. “
Sudah seminggu lebih Antasena tak kunjung menunjukkan tanda-tanda sadar dari koma. Pun begitu dengan Satya yang mulai kebingungan mencari keberadaan kakak iparnya, Pradnya.Berbagai cara sudah dilakukannya. Bahkan pria itu sudah mencoba menghubungi pihak bandara, pihak stasiun, hanya untuk memastikan nama Pradnya terdaftar dalam daftar penumpang. Namun kenyataannya nihil. Tidak ada nama Pradnya Sahira dari daftar penumpang."Mama tega banget sama Anya, ya? Dia lagi hamil cucunya Mama, tapi Mama justru menyuruhnya pergi. Di mana nuraninya Mama, hah?" sengal Satya tak terima."Dia nggak pantas jadi bagian dari keluarga kita. Hubungan yang diawali dari sebuah kesalahan nggak akan berakhir baik!" elak Shinta tak terima. "Lagipula dia menerima cek yang Mama berikan. Apa menurutmu dia nggak mengincar harta Abangmu?""Apa Mama nggak sadar kalau yang mengawali kesalahan itu adalah Abang dan Priya? Anya hanya menuruti kegilaan mereka, Ma!" Satya meraup wajahnya dengan gusar. "Kalau sampai terj
"Soal pelaku penusukan itu, kami belum menemukan bukti siapa pelakunya. Tapi kamu jangan khawatir, ya? Kami sedang mengurusnya. Kamu lebih baik fokus di sini.""Makasih, Mas."Jeda sesaat keduanya saling berdiaman. Mereka baru saja menyelesaikan makan siangnya bersama.“Aku berharap ketika kamu berpikiran untuk menyerah pada keadaan, kamu akan mengingat Sena. Dan kamu nggak perlu memiliki alasan lainnya untuk tetap tinggal di sisinya.”Pradnya terdiam selama beberapa saat. Tampak kebingungan menanggapi perkataan Arjuna. “Saya butuh waktu, Mas Arjuna. Saya harus menjalani semua ini sendirian. Jadi sepertinya saya butuh waktu untuk memikirkan apakah bertahan akan membuat keadaan jadi lebih baik, atau justru sebaliknya.”“Kamu mau pergi ke mana? Tante Shinta minta kamu pergi, kan?”Pradnya mengangkat wajahnya, apakah semudah itu rautnya terbaca oleh Arjuna? Perempuan itu menggigit bibirnya bagian kecil, lalu mendesah pelan. “Mas Arjuna tau, kan kalau saya sudah mengacaukan segalanya?”“