Share

Bab 4

Penulis: Sinda
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-09 12:52:02

Pagi itu langit masih gelap saat Bulan melihat sebuah mobil sedan mendatangi rumah. Bik Tari memastikan pada sang supir dan benar itu adalah mobil sewaan yang akan membawa Bulan ke halte. Berpamitan pagi Bik Tari, Bulan pun meninggalkan rumah.

Sejak kecil Bulan terbiasa di rumah saja. Ibunya terlalu baik hingga membiarkan Bulan tidak mengerjakan pekerjaan berat seperti mencuci di sungai atau ikut ke kebun mencari buah sawit yang berjatuhan untuk dikumpul, kemudian dijual. Ibunya bilang, ia tidak mau Bulan yang memang mudah lelah menjadi sakit.

Sejak kecil jarang keluar, Bulan tenang saja ketika mobil terus berjalan. Ia tak perhatikan jalan karena memang tidak familiar. Sampai dua jam kemudian, Bulan merasa ada yang aneh.

Ia memang tidak tahu jalan menuju halte, tetapi ia yakin rute ke sana tak perlu masuk ke area perkebunan sawit. Firasat Bulan buruk saat tak sengaja matanya bertemu pandang dengan sang supir yang melempar senyum miring.

"Apa jalan ke halte lewat sini, Pak?" tanya Bulan ketika rasa gusarnya makin menjadi. Kini mobil itu sudah masuk lebih dalam. Kiri dan kanan pemandangan hanya berisi jejeran pohon sawit.

Supir itu menggeleng. Tidak lama setelahnya, mobil menepi di dekat sebuah mobil terparkir. Bulan berkedip panik saat dari mobil itu turun seorang wanita berambut panjang. Wanita itu mendatangi Bulan, membuka pintu di samping Bulan, kemudian tersenyum.

"Kau kenal aku?" tanya wanita itu tanpa basa-basi.

Bulan masih berusaha mengingat ketika tangannya ditarik hingga dirinya turun dari mobil. Jantung Bulan berdebar cepat dan membuatnya tak nyaman. Bulan dipaksa masuk ke mobil si wanita aisng tadi. Tasnya juga ikut dibawa ke sana.

Wanita itu ikut masuk. Duduk di sebelah Bulan, sekali lagi dia melempar senyum miring yang membuat Bulan ingin segera melarikan diri. Namun, Bulan tidak jadi membuka pintu saat mendengar wanita itu buka suara.

"Aku Fara. Aku putrinya Tari."

***

Butuh setengah jam untuk Bulan mengingat Fara. Wanita itu tidak bohong, dia memang Fara putrinya Bik Tari. Yang Bulan tidak mengerti, mengapa perempuan itu menjemputnya? Bukankah harusnya Fara ada di kota?

"Kita mau ke mana?"

Berulang kali Bulan bertanya begitu. Namun, ia tak kunjung mendapat jawaban. Fara hanya memintanya diam dan menunggu. Mobil terus bergerak entah ke mana, Bulan berusaha yakin jika Fara tak mungkin melakukan hal buruk padanya. Bagaiaman juga, perempuan itu putrinya Bik Tari. Bik Tari pasti sudah menceritakan keadaan Bulan.

Namun, prasangka baik Bulan itu lenyap ketika mobil mereka memasuki sebuah pekarangan. Samar-samar Bulan mengingat kediaman siapa tempat yang mereka datangi. Ketika ingatannya sempurna, Bulan menggeleng takut pada Fara yang menariknya turun dari mobil.

"Apa yang kau lakukan, Fara?" Mata Bulan yang memancarkan ketakutan memerah. Perempuan itu berusaha mengelak, tetapi Fara sudah lebih dulu memanggil dua pria bertubuh besar untuk menyeret Bulan.

Tenaga Bulan jelas tidak sebanding dengan dua pria itu. Kaki si gadis bahkan tak menapak di tanah. Tubuhnya diangkat begitu mudah masuk ke rumah. Bulan didorong hingga tersungkur di lantai yang dingin.

"Fara," panggil Bulan ketakutan dan marah.

Fara mengambil tempat di sofa. Wanita itu mengangguk-angguk. Ia minta pelayan mengambilkan minum, kemudian menyegarkan tenggorokan dengan itu.

Bulan bangkit dari posisi berlutut. Perempuan itu hendak berlari menuju pintu utama rumah, tempat yang ia lewati tadi. Namun, lengannya yang kecil dan lemah dengan mudah dicekal.

"Kurung saja dia di kamar," perintah Fara.

Bulan meronta. "Apa yang kau lakukan, Fara? Bukankah harusnya kau di kota? Bik Tari bilang aku harus mendatangimu."

Fara bangkit dari sofa. Wanita itu memberi isyarat agar dua pria tadi membawa Bulan ke hadapannya. Setelah berdiri berhadapan, Fara mencengkeram pipi Bulan. Matanya mengamati wajah gadis lemah itu sesaat, sebelum melepaskannya.

"Aku akan menjelaskannya padamu," kata Fara dengan nada datar. Kini tatapannya terlihat dingin. "Tapi, tidak sekarang. Tunggulah sampai Tuan datang."

Setelahnya, dua pria berbadan kekar itu menyeret Bulan dan mengurungnya di sebuah kamar. Mereka berjaga di luar. Bersikap tuli pada teriakan Bulan yang meminta dirinya dilepaskan.

Sementara itu, Fara yang sudah kembali menghuni sofa mengeluarkan ponsel. Ia hubungi sang Tuan untuk menyampaikan laporan.

"Dia sudah di rumah, Tuan."

Orang di seberang telepon memuji kerja Fara. Tak lupa pria itu menjanjikan bonus yang besar.

"Dia kurus dan lemah sekali, Tuan. Sepertinya ibunya tak merawatnya dengan baik." Fara yang begitu terusik dengan kehadiran Bulan memberanikan diri berkomentar.

"Apa aku ibunya hingga kau protes padaku?" balas lelaki di ujung telepon.

"Maafkan aku, Tuan. Aku hanya mengira dia terlalu lemah."

Lawan bicara Fara tertawa. "Mungkin, itulah kenapa dia terlihat sangat menggiurkan."

Sambungan telepon diputus. Fara menatapi layar ponselnya dengan sorot bingung dan gugup. Fara tidak tahu apa semua ini akan memberi hal baik atau malah mengancam posisinya kelak.

***

Pintu kamar itu terbuka. Kali ini Bulan dikirimi makanan lagi. Pria dengan wajah menyeramkan itu menatap runcing saat mengambil piring berisi makan siang Bulan yang isinya masih utuh.

"Tuan belum pulang," beritahu lelaki itu. "Kalau kau tidak mau mati, makan!"

Bentakan pria itu membuat Bulan berjengit. Perempuan itu semakin merapatkan punggung ke sudut kamar.

"Kalau kau mati, kau tidak akan dapat apa pun." Usai mengatakannya, lelaki itu pergi.

Bulan nyaris menangis ketika mendengar kunci pintu diputar. Gadis itu memegangi kepalanya susah. Sudah seharian Bulan terkurang di sini. Di tempat asing, menunggu entah siapa.

Bukan Bulan tidak lapar. Hanya saja, ia tidak yakin makanan yang diberikan penghuni rumah ini tak mengandung racun atau sesuatu yang berbahaya. Bagaimana jika di daging ayam goreng itu ada obat tidur? Bisa saja ketika dirinya tak sadar, orang-orang jahat tadi melenyapakannya, 'kan?

Berusaha menahan rasa perih di perut, Bulan meremat rambut kala mengingat Fara. Mengapa bisa anaknya Bik Tari melakukan ini? Jelas yang terjadi sekarang tidak seperti arahan Bik Tari. Harusnya Bulan sudah naik bus menuju kota. Bukannya di rumah ini.

Menekuri ubin, meratapi nasibnya, Bulan dibuat tersentak saat pintu kamar itu kembali terbuka. Kali ini si perempuan dibuat gemetar melihat sosok yang datang itu. Bukan si pria berbadan kekar tadi. Melainkan pria iblis yang harusnya ia hindari.

"Suruh Fara ke sini," ucap pria itu pada orang di belakangnya.

Bulan memeluk dirinya sendiri ketika pria iblis itu menutup pintu. Langkahnya menuju kasur besar di ruangan itu, Bulan merasai napasnya mulai berat.

Apa kata lelaki ini tadi? Fara? Jadi, orang jahat ini mengenal Fara? Dan Fara yang harusnya menolong Bulan malah membawa Bulan ke kediaman pria ini?

Detik itu Bulan tahu jika hidupnya sudah tamat. Lebih-lebih ketika pria itu menyuarakan tawa pelan yang terdengar sangat penuh kepuasan. Apa dia puas karena berhasil menjebak Bulan?

Tidak. Bulan tak akan menyerah secepat ini. Bulan menengok ke arah pintu. Ia ingat benda itu hanya ditutup, tidak dikunci. Dengan cepat Bulan bangkit dari lantai. Ia belari menerjang pintu, membukanya dan berlari keluar.

Apa pun akan Bulan lakukan demi bisa selamat dan menjauh dari pria iblis itu. Ia tak akan menyerah. Meski kemungkinannya kecil, Bulan akan usahakan bisa keluar dari rumah ini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 48 [Selesai]

    "Kekanakan."Meski disuarakan dengan pelan, tetapi telinga Bulan masih mampu menangkap kalimat itu. Tentu saja yang mengatakannya adalah Aro. Pria yang duduk di sebelahnya itu.Siapa yang Aro sebut kekanakan? Bulan? Hah, si wanita dengan yakin menyebut bahwa pria itulah yang kekanakan. Jika Aro memang sudah dewasa, punya pemikiran khasnya pria matang, jelas dia tak akan menolak usulan Bulan untuk menikah.Memang, apa susahnya menikah? Itu adalah hal normal yang dilakukan orang-orang dewasa. Namun, si preman satu itu malah menolaknya mentah-mentah.Aro memberi alasan. Katanya, pernikahan itu tidak terlalu penting. Juga, mengadakan pernikahan akan membuat mereka lelah. Pesta dan segala macam halnya hanya akan membuat sakit kepala.Sungguh, Bulan tak paham mengapa bisa Aro memiliki pemikiran demikian. Menikah itu tidak rumit. Bulan juga tak membutuhkan pesta besar yang mewah dan mengundang banyak orang. Memang, mereka punya kerabat? Tidak.Bulan hanya ingin ada pernikahan. Yang sederhana

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 47

    Aro menggebrak meja hingga menghasilkan bunyi debuman yang kencang. Barang-barang di atas meja itu bergetar, syukurnya tak sampai jatuh ke lantai. Beberapa pelayan yang menunggui pria itu di dapur serentak berjengit dan memegangi dada akibat terkejut. Bahkan, ada beberapa yang sudah pucat wajahnya. Pelayan di dapur itu kebanyakan memang orang lama. Pelayan-pelayan yang sempat diberhentikan Aro usai memutuskan mengasingkan Bulan ke rumah yang berada di tengah hutan. Sejak seminggu lalu mereka dipanggil kembali. Mereka orang lama, tahu betul watak Aro. Namun, tetap saja masih merasa takut tiap kali melihat majikan mereka marah-marah seperti sekarang. Aro memang sudah begini sejak dua hari lalu. Uring-uringan, begitu cepat tersulut emosi pada hal-hal kecil yang berjalan tak sesuai maunya. Dan pagi ini hal tersebut terjadi lagi, penyebabnya adalah Bulan yang menolak sarapan. Sekarang sudah pukul sembilan. Biasanya, sang nona sudah turun pukul tujuh. Namun, sampai sekarang Gino belum ju

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 46

    Sungguh. Bulan sama sekali tak ingin mengganggu rencana siapa pun. Entah itu rencana Aro yang nekat sekali datang sendirian bertemu Fara. Atau rencana tiga anak buah Aro yang baik hati sekali mau menyelundupkannya dalam rencana ini.Bulan tak ingin ikut campur. Apalagi, sampai mengacau. Inginnya, ia hanya melihat dari jauh, seperti perintah Reza. Namun, sebuah hal yang tak diduga atau diharap baru saja terjadi. Dan Bulan tak mampu menahan diri untuk tetap berada di dalam mobil, seperti yang Reza suruh.Maka perempuan itu turun. Dengan langkah cepat, bahkan setengah berlari ia menghampiri teras rumah Fara. Si pemilik rumah jelas terkejut melihat kehadirannya. Dan Aro barusan sudah berdecak kesal. Pria itu marah, sudah jelas. Barusan Bulan menganggu, pun kehadirannya di sini pasti tak diharapkan. Namun, lagi-lagi Bulan tidak peduli. Yang ia inginkan adalah harus menjauhkan Fara dari prianya.Didorongnya Fara hingga berjarak dengan Aro. Ia sendiri berdiri di depan si pria. Matanya yang

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 45

    "Tuan, aku tahu di mana Doni."Fara yang tiba-tiba menghubunginya langsung memberi kabar yang memang Aro butuhkan. Aro harus mengakui jika anaknya Toni itu mewarisi sifat licik ayahnya. Daris dan Gino gagal menangkapnya kemarin. Pun, hingga saat ini Aro masih belum tahu di mana Doni bersembunyi.Sudah ia sisir semua sudut di desa. Bahkan, Aro menugaskan sekelompok anak buahnya memeriksa kebun dan hutan. Namun, Doni tetap tak ditemukan. Dan tentu saja informasi dari Fara ini langsung menarik seluruh atensinya.Fara berjanji akan memberitahu di mana Doni. Asal, Aro mau datang dan menemuinya. Syarat lain, Aro harus datang seorang sendiri."Aku takut Daris dan Gino akan menuduhku berbohong, Tuan. Mereka bisa saja membunuhku."Begitu alasan yang Fara katakan saat Aro bertanya mengapa dirinya harus datang sendiri. Karena situasinya sedang terdesak, Aro pun menyetujui tawaran Fara. Ia akan menemui si perempuan sendirian. Sesuatu yang langsung ditentang Daris atau pun GIno."Dia itu perempuan

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 44

    Pagi ini Aro harusnya pergi ke kebun. Ada lahan yang mesti ditanam ulang. Namun, sebelum ke sana, pria itu ingin menemui Bulan dulu. Tak ada agenda penting. Si lelaki hanya ingin melihat wajah Bulan.Saat tiba, Bulan sedang duduk di halaman depan. Kegiatan rutinnya setelah hamil, Bulan suka berjemur. Katanya, sinar matahari pagi terasa hangat dan membuat suasana hatinya baik.Bukan sesuatu yang sulit mengabulkan permintaan itu. Jadi, Aro membiarkan Bulan melakukannya. Bulan boleh keluar, berada di halaman depan selama setengah jam untuk menikmati matahari paginya."Gino bilang kau tidak menghabiskan supmu pagi ini." Aro duduk di sebelah Bulan setelah tiba. Ia langsung suarakan laporan yang didapat dari Gino."Aku kenyang. Aku menghabiskan bubur jagung." Perempuan itu tersenyum penuh permintaan."Sup daging itu baik untukmu. Kau bisa makan bubur jagung kapan saja." Aro mati-matian menahan diri untuk tak melakukan sesuatu pada bibir yang melengkung lucu itu.Bulan sungguh tahu cara mera

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 43

    Fara mengerang kencang. Dua tangannya mencengkram seprei dengan kuat. Sehebat sensasi sakit sekaligus nikmat yang kini menerpa seluruh tubuh. Wanita itu mengejang, sebelum kemudian tubuhnya bergetar.Pria di belakang Fara menarik diri. Ikut rebah di samping si wanita, senyumnya mengembang."Kau hebat. Pantas Aro memakaimu bertahun-tahun," puji lelaki itu.Namanya Doni. Berusia empat puluh tahun, dia anak sulung Toni yang selama ini menghilang bak ditelan bumi. Sengaja ia menyembunyikan keberadaan karena dulu malas diperintah-perintah sang ayah.Fara bertemu dengannya seminggu lalu. Ia mendapati Doni tengah berada di depan kediaman Aro alias bekas rumah ayahnya. Kalau bukan dibujuk Fara untuk membuat rencana yang lebih masuk akal, mungkin malam itu Doni sudah nekat masuk ke rumah Aro dan membunuh orang yang sudah menghabisi ayahnya.Doni memang benci pada ayahnya. Pria itu tak mau menyerahkan tampuk kepemimpinan semua usaha bisnis secara cuma-cuma. Doni harus mulai dari bawah, sesuatu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status