Share

Bab 3

Penulis: Sinda
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-09 12:51:31

"Akhirnya kau keluar, Bulan?"

Pertanyaan itu menghantam kepala Bulan. Ia pusing untuk sesaat. Ketakutan yang menderanya dengan pekat membuat Bulan balik badan hendak berlari pulang. Sayang, lelaki itu lebih cepat mencekal tangan.

Langkah Bulan tertahan. Ia menarik-narik tangannya agar cengkeraman lelaki itu lepas, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Bulan bahkan mulai merasakan pedih di pergelangan tangan yang ia masih tarik dan putar.

"Kau mau ke mana?"

Suara lelaki itu membuat kepala Bulan makin pusing.

"Aku sampai harus membakar rumah jelek ini demi bisa melihatmu." Mata pria itu menyipit karena senyum lebarnya yang menyeramkan. "Jangan pergi secepat ini."

Bulan mengerutkan hidung jijik. Perempuan itu menendang kaki si lelaki. Tak ada suara ringisan, kaki itu masih berdiri kukuh. Pria itu malah tertawa. Tidak habis akal, Bulan mengigit tangan pria itu. Namun, usaha itu juga tidak membuahkan hasil.

Belum lagi Bulan berhasil menemukan cara lain, tubuhnya sudah diangkat dan diletakkan di bahu seperti karung beras. Bulan berteriak, ia meronta, memukul dan berusaha menendang si lelaki. Namun, dirinya tetap saja tidak berpindah.

"Lepaskan aku!" teriak Bulan putus asa. Matanya menatap nanar pada kerumunan orang yang tak berniat menolongnya. Bulan bingung apakah orang-orang di sana tak peduli atau takut ikut campur.

"Turunkan aku!" Bulan  menjerit makin kencang ketika dua kakinya dikunci lengan besar dan kuat pria itu.

"Diamlah. Kau bisa lelah."

Bulan membeku ketika tangan kurang ajar itu menyentuh bokong. Air matanya jatuh. Tubuh Bulan lemas karena jantung yang terus berpacu cepat. Ucapan Bik Tari berulang di telinga, membuat perut Bulan bergejolak dan akhirnya perempuan itu muntah.

Si lelaki menghentikan langkah. "Sudah kukatakan," keluhnya sambil berdecak. Ia tunggu hingga Bulan selesai muntah. Namun, gadis itu terus menguras isi perutnya.

Bulan berdiri sempoyongan ketika tubuhnya diturunkan. Perempuan itu jatuh terduduk di tanah, kemudian muntah lagi. Melihat si pria melepas kausnya yang terkena muntah, Bulan mengambil kesempatan untuk kabur.

Ia tak mau berakhir jadi pemuas nafsu pria itu, seperti yang Bik Tari katakan. Meski pijakannya terasa bergoyang, walau suasana malam yang remang makin menyulitkan langkah, Bulan tidak mau menyerah. Ia terus berjalan, meski pandangan berkunang-kunang dan langkahnya kadang meleset.

"Bulan!"

Air mata Bulan jatuh saat pria itu memanggil.

"Tidak ada gunanya lari, Bulan."

Bulan menggeleng. Ia berjalan makin kencang.

"Kau mau aku membakar rumah yang lain, Bulan?"

Tepat setelah pria itu bertanya, Bulan terjatuh karena menabrak sebuah pohon besar. Gadis itu meringis dalam posisi telentang. Kepalanya makin sakit sekarang. Tubuh Bulan lemas, seolah seluruh tenaganya hilang. Berkedip saja ia susah.

Bulan berusaha bergeser ketika lelaki itu berdiri menjulang di bawah kaki. Tubuh atas pria itu tak tertutupi apa pun, membuat Bulan rasanya ingin mati saja.

"Kau lebih suka terluka, daripada kubawa baik-baik, ya?" Lelaki yang napasnya tersengal itu berkacak pinggang dan menatap Bulan murka.

Belum menyerah, Bulan berbalik. Perempuan itu menyeret tangan dan kaki, merangkak menjauh dari si lelaki. Namun, saat tubuhnya belum terlalu jauh, kaki Bulan sudah ditarik hingga ia tak bisa ke mana-mana.

"Lepaskan aku!" Bulan berteriak meski tenggorokannya sudah terasa sakit.

Lelaki itu tertawa. "Kakimu kecil sekali, Bulan?" Dia  memijat jemari kaki Bulan kuat.

"Lepaskan a--ku." Tepat setelah kalimatnya selesai, kepala Bulan terkulai ke atas tanah, gadis itu kehilangan kesadaran. Matanya terpejam dengan posisi tubuh telungkup di tanah, dan satu kaki dalam genggaman si lelaki.

***

Jika sebelumnya Bulan ragu meninggalkan desa, sekarang sudah tidak demikian. Bulan mengemasi pakaiannya dengan tergesa. Ia tidak mambawa banyak, hanya beberapa potong. Setelah ransel selesai dikemas, pintu rumah Bulan diketuk.

"Ini aku, Bulan."

Suara itu Bulan kenali, ia pun segera membukakan pintu. Setelah Bik Tari masuk, ia kunci kembali rumah rapat-rapat. Ia ajak Bik Tari ke kamar.

Bulan sangat beruntung. Ia kembali selamat. Bik Tari bilang, dirinya yang pingsan dibawa ke rumah si lelaki jahat. Bik Tari menyusul setelah mendapat kabar dari warga dan akhirnya bisa membebaskan Bulan.

Sungguh Bik Tari sangat berani, karena mampu membuat lelaki jahat itu mengalah dan melepaskan Bulan.

"Ini uang yang Fara kirimkan." Bik Tari memberikan sebuah amplop coklat berisi uang. "Kau pakai ini untuk bisa sampai ke alamat yang Fara berikan." Kemudian wanita tua itu mengangsurkan secarik kertas berisi alamat.

Bulan mengangguk pelan. Air matanya jatuh. Ia menghambur ke pelukan Bik Tari. Mengucap banyak terima kasih.

"Jangan merasa kau membebaniku." Bik Tari mengusap kepala Bulan penuh kasih sayang. "Jika aku tak bisa menyelamatkanmu, aku yang akan merasa sangat bersalah pada ibumu."

Bulan melerai pelukannya. Ia menghapus air mata dan menarik napas dalam untuk menenangkan diri.

"Besok, ada mobil yang akan menjemputmu ke sini dan mengantarmu ke halte," jelas Bik Tari. "Tunjukkan alamat ini pada supir busnya, kau mengerti?"

"Iya, Bik." Bulan menyeka air mata yang kembali jatuh. "Nanti, setelah aku dapat pekerjaan, aku akan mengganti uang ini."

Bik Tari mengangguk saja. "Yang terpenting adalah kau pergi dari kampung ini. Kau tidak boleh sampai jatuh ke tangan lelaki jahat itu."

"Sebenarnya kenapa dia melakukan semua ini padaku, Bik?" Kini air mata Bulan adalah bentuk rasa takutnya. Ia teringat bagaimana kemarin malam lelaki itu mengejar dan juga melecehkannya.

Bik Tari mengangkat bahu. "Dulu, dia juga sempat mengincar Fara anakku. Karena itu aku langsung mengirimnya ke kota. Beruntung waktu itu aku masih punya tabungan."

Cerita ini baru Bulan tahu sekarang. Ia makin benci pada pria jahat itu.

"Kurasa, dia memang sangat bajingan hingga mengincar semua gadis cantik di kampung ini. Kalau saja bukan karena hartanya yang banyak, kurasa pemuda itu sudah lama dilenyapkan warga."

Bulan teringat rumah si kakek tua yang terbakar kemarin. "Bagaimana kakek itu sekarang, Bik?"

Wanita yang Bulan tanyai menghela napas susah. "Dia membakarnya karena ingin membuatmu keluar dari rumah, Bulan. Dia tahu aku melarangmu keluar dan kebetulan semalam aku pergi untuk bertemu Fara."

Mata Bulan membeliak tak percaya. "Jadi, dia sungguh membakar rumah itu?" Ia merasa bersalah.

Ini jadi masuk akal mengapa kemarin semua warga tak berkutik. Pria itu pasti mengancam akan mencelakai siapa pun yang mencoba memadamkan api. Bulan tidak habis pikir. Mengapa bisa ada pria sejahat itu?

Kepala Bik Tari mengangguk pelan. "Dia itu menyeramkan seperti iblis, Bulan. Karena itu, pergilah sejauh mungkin darinya. Jangan pernah terlibat dengannya." 

Tentu saja, batin Bulan. Ia akan pergi sejauh mungkin dari pria mengerikan itu. Ia juga tidak sudi terlibat dengan orang berhati iblis. Bulan jadi tidak sabar menunggu pagi datang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 48 [Selesai]

    "Kekanakan."Meski disuarakan dengan pelan, tetapi telinga Bulan masih mampu menangkap kalimat itu. Tentu saja yang mengatakannya adalah Aro. Pria yang duduk di sebelahnya itu.Siapa yang Aro sebut kekanakan? Bulan? Hah, si wanita dengan yakin menyebut bahwa pria itulah yang kekanakan. Jika Aro memang sudah dewasa, punya pemikiran khasnya pria matang, jelas dia tak akan menolak usulan Bulan untuk menikah.Memang, apa susahnya menikah? Itu adalah hal normal yang dilakukan orang-orang dewasa. Namun, si preman satu itu malah menolaknya mentah-mentah.Aro memberi alasan. Katanya, pernikahan itu tidak terlalu penting. Juga, mengadakan pernikahan akan membuat mereka lelah. Pesta dan segala macam halnya hanya akan membuat sakit kepala.Sungguh, Bulan tak paham mengapa bisa Aro memiliki pemikiran demikian. Menikah itu tidak rumit. Bulan juga tak membutuhkan pesta besar yang mewah dan mengundang banyak orang. Memang, mereka punya kerabat? Tidak.Bulan hanya ingin ada pernikahan. Yang sederhana

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 47

    Aro menggebrak meja hingga menghasilkan bunyi debuman yang kencang. Barang-barang di atas meja itu bergetar, syukurnya tak sampai jatuh ke lantai. Beberapa pelayan yang menunggui pria itu di dapur serentak berjengit dan memegangi dada akibat terkejut. Bahkan, ada beberapa yang sudah pucat wajahnya. Pelayan di dapur itu kebanyakan memang orang lama. Pelayan-pelayan yang sempat diberhentikan Aro usai memutuskan mengasingkan Bulan ke rumah yang berada di tengah hutan. Sejak seminggu lalu mereka dipanggil kembali. Mereka orang lama, tahu betul watak Aro. Namun, tetap saja masih merasa takut tiap kali melihat majikan mereka marah-marah seperti sekarang. Aro memang sudah begini sejak dua hari lalu. Uring-uringan, begitu cepat tersulut emosi pada hal-hal kecil yang berjalan tak sesuai maunya. Dan pagi ini hal tersebut terjadi lagi, penyebabnya adalah Bulan yang menolak sarapan. Sekarang sudah pukul sembilan. Biasanya, sang nona sudah turun pukul tujuh. Namun, sampai sekarang Gino belum ju

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 46

    Sungguh. Bulan sama sekali tak ingin mengganggu rencana siapa pun. Entah itu rencana Aro yang nekat sekali datang sendirian bertemu Fara. Atau rencana tiga anak buah Aro yang baik hati sekali mau menyelundupkannya dalam rencana ini.Bulan tak ingin ikut campur. Apalagi, sampai mengacau. Inginnya, ia hanya melihat dari jauh, seperti perintah Reza. Namun, sebuah hal yang tak diduga atau diharap baru saja terjadi. Dan Bulan tak mampu menahan diri untuk tetap berada di dalam mobil, seperti yang Reza suruh.Maka perempuan itu turun. Dengan langkah cepat, bahkan setengah berlari ia menghampiri teras rumah Fara. Si pemilik rumah jelas terkejut melihat kehadirannya. Dan Aro barusan sudah berdecak kesal. Pria itu marah, sudah jelas. Barusan Bulan menganggu, pun kehadirannya di sini pasti tak diharapkan. Namun, lagi-lagi Bulan tidak peduli. Yang ia inginkan adalah harus menjauhkan Fara dari prianya.Didorongnya Fara hingga berjarak dengan Aro. Ia sendiri berdiri di depan si pria. Matanya yang

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 45

    "Tuan, aku tahu di mana Doni."Fara yang tiba-tiba menghubunginya langsung memberi kabar yang memang Aro butuhkan. Aro harus mengakui jika anaknya Toni itu mewarisi sifat licik ayahnya. Daris dan Gino gagal menangkapnya kemarin. Pun, hingga saat ini Aro masih belum tahu di mana Doni bersembunyi.Sudah ia sisir semua sudut di desa. Bahkan, Aro menugaskan sekelompok anak buahnya memeriksa kebun dan hutan. Namun, Doni tetap tak ditemukan. Dan tentu saja informasi dari Fara ini langsung menarik seluruh atensinya.Fara berjanji akan memberitahu di mana Doni. Asal, Aro mau datang dan menemuinya. Syarat lain, Aro harus datang seorang sendiri."Aku takut Daris dan Gino akan menuduhku berbohong, Tuan. Mereka bisa saja membunuhku."Begitu alasan yang Fara katakan saat Aro bertanya mengapa dirinya harus datang sendiri. Karena situasinya sedang terdesak, Aro pun menyetujui tawaran Fara. Ia akan menemui si perempuan sendirian. Sesuatu yang langsung ditentang Daris atau pun GIno."Dia itu perempuan

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 44

    Pagi ini Aro harusnya pergi ke kebun. Ada lahan yang mesti ditanam ulang. Namun, sebelum ke sana, pria itu ingin menemui Bulan dulu. Tak ada agenda penting. Si lelaki hanya ingin melihat wajah Bulan.Saat tiba, Bulan sedang duduk di halaman depan. Kegiatan rutinnya setelah hamil, Bulan suka berjemur. Katanya, sinar matahari pagi terasa hangat dan membuat suasana hatinya baik.Bukan sesuatu yang sulit mengabulkan permintaan itu. Jadi, Aro membiarkan Bulan melakukannya. Bulan boleh keluar, berada di halaman depan selama setengah jam untuk menikmati matahari paginya."Gino bilang kau tidak menghabiskan supmu pagi ini." Aro duduk di sebelah Bulan setelah tiba. Ia langsung suarakan laporan yang didapat dari Gino."Aku kenyang. Aku menghabiskan bubur jagung." Perempuan itu tersenyum penuh permintaan."Sup daging itu baik untukmu. Kau bisa makan bubur jagung kapan saja." Aro mati-matian menahan diri untuk tak melakukan sesuatu pada bibir yang melengkung lucu itu.Bulan sungguh tahu cara mera

  • Jerat Cinta sang Tuan   Bab 43

    Fara mengerang kencang. Dua tangannya mencengkram seprei dengan kuat. Sehebat sensasi sakit sekaligus nikmat yang kini menerpa seluruh tubuh. Wanita itu mengejang, sebelum kemudian tubuhnya bergetar.Pria di belakang Fara menarik diri. Ikut rebah di samping si wanita, senyumnya mengembang."Kau hebat. Pantas Aro memakaimu bertahun-tahun," puji lelaki itu.Namanya Doni. Berusia empat puluh tahun, dia anak sulung Toni yang selama ini menghilang bak ditelan bumi. Sengaja ia menyembunyikan keberadaan karena dulu malas diperintah-perintah sang ayah.Fara bertemu dengannya seminggu lalu. Ia mendapati Doni tengah berada di depan kediaman Aro alias bekas rumah ayahnya. Kalau bukan dibujuk Fara untuk membuat rencana yang lebih masuk akal, mungkin malam itu Doni sudah nekat masuk ke rumah Aro dan membunuh orang yang sudah menghabisi ayahnya.Doni memang benci pada ayahnya. Pria itu tak mau menyerahkan tampuk kepemimpinan semua usaha bisnis secara cuma-cuma. Doni harus mulai dari bawah, sesuatu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status