Aku menoleh. Seorang wanita berambut bob dengan polesan bibir merah muda yang manis berdiri di balik meja resepsionis dengan senyum hangat.“Reina!” sapaku, langsung menghampiri dan memeluknya.Reina langsung membalas pelukanku hangat sebelum melepaskan dan berkata, “Terakhir kali kau ke sini… dua bulan lalu, bukan?”“Tiga bulan,” jawabku membenarkan sambil tersenyum singkat. “Aku sedang menghindari kebisingan dunia.”Dari arah bar samping, terdengar suara pria yang tak asing lagi.“Menghindari kebisingan dunia? Aku lebih percaya kalau kau dihalangi dua singa penjaga?”Aku menoleh dan mendapati Caleb, bartender tinggi dengan rambut disisir rapi ke belakang, sedang mengeringkan gelas sambil menyunggingkan senyum menggoda.“Singa mana yang kau maksud?” tanyaku dengan senyum jahil, membuatnya memutar bola mata.“Lucien dan Dominic, tentu saja! Siapa lagi kalau bukan dua pria paling protektif terhadapmu itu?” balasnya. Selagi meletakkan gelas bersih ke raknya, dia menambahkan, “Kalau mere
“Terima kasih, Pak,” ucapku sambil menyerahkan uang pas.Sopir taksi itu tersenyum ramah sebelum melaju pergi, meninggalkanku berdiri di depan pagar rumah yang diterangi cahaya temaram lampu jalan.Aku menatap pintu pagar itu beberapa detik, menarik napas dalam.Sepanjang perjalanan tadi, pikiranku terus berputar pada kata-kata Lily.“Kalau kau memang masih peduli, berhentilah lari. Minta maaf pada Kak Dom, dan coba bicarakan solusi terbaik untuk menghadapi masalah ini … dan juga Kak Lucien.”Ucapan itu menancap dalam, mengusik sisi diriku yang lebih ingin memilih diam dan menghindari masalah.Aku tahu kalau Lily benar, bahwa kami—aku dan Dominic—tidak bisa terus menyembunyikan apa yang telah terjadi. Karena sepintar apa pun seseorang menyimpan bangkai, akan ada saatnya bau busuk itu terendus, terlebih lagi kalau yang berusaha mengendus adalah Lucien … kakakku yang seperti anjing gila itu.Tapi, terlepas dari apa yang ingin kulakukan, di saat ini … aku lebih ingin mendengar mengenai a
Lily mondar-mandir tanpa henti di kamarnya, langkah kakinya menghantam karpet tebal sambil kedua tangannya terus bergerak gusar. “Ini gila, ini gila, ini gila…” gumamnya berulang-ulang.Lalu, tiba-tiba ia berhenti, menoleh padaku dengan mata melebar. “Kau menemukan Max ternyata sudah bertunangan, lalu berujung mabuk dan ditemukan Dominic, lalu kalian tidur bersama, lalu kau mengetahui Max berniat menjadikanmu simpanan, dan Dominic melarangmu berhubungan lagi dengannya, tapi kemudian kau memintanya menyembunyikan semuanya demi Lucien!? Apa-apaan ini, Ella!?” serunya, menepuk meja kaca di ruang santainya hingga vas bunga di atasnya berguncang.Aku sontak menempelkan jari telunjuk ke bibir. “Ssst! Bisa kecilkan suaramu sedikit!? Kalau ibumu atau Bibi Nila dengar bagaimana!? Bahkan kalau Liam mendengarnya, aku bersumpah tidak akan berkunjung lagi!”Namun Lily hanya menepis peringatanku dengan kasar, wajahnya memerah karena emosi. “Ariella Quinn, kau tidak punya hak untuk bahkan mengkhawati
“Sudah sampai, Nona.”Suara sopir taksi membuyarkan lamunanku. Mataku yang masih berat setelah tidur sesaat dalam perjalanan segera terangkat, menatap keluar jendela.Aku menarik napas dalam ketika mendapati diriku telah berada di depan gerbang megah berwarna hitam berornamen emas. Di atasnya, lambang keluarga Dean terpampang dengan gagah—simbol kekuasaan salah satu keluarga paling terpandang di Capitol.“Terima kasih, Tuan,” ucapku sambil menyerahkan ongkos. Setelah itu, aku melangkah keluar, sepatu hak rendahku menyentuh jalan setapak berlapis batu marmer yang dingin.Gerbang perlahan terbuka otomatis, dan seorang kepala pelayan dengan seragam hitam-putih yang rapi sudah berdiri menunggu di sisi pintu masuk. Rambutnya yang mulai beruban ditata sederhana, namun sikapnya tetap penuh wibawa.“Nona Ariella,” sapanya hangat sambil sedikit membungkuk.Aku langsung tersenyum tipis, menyebut namanya dengan hormat, “Bibi Nila, Lily ada di rumah?”Bibir wanita berusia empat puluhan itu melengk
*POV Ariella*Mendengar kalimat itu, jantungku seperti berhenti berdetak sejenak.Jadi… dia sepenuhnya sadar saat melakukannya?Bukan karena mabuk?Tapi… kenapa? Bukankah selama ini Dominic tidak pernah memandangku lebih dari sekadar adik sahabatnya?Dan lebih buruk lagi—Dia tidak berencana melupakan malam itu?Aku mencoba membaca ekspresi Dominic, dan tubuhku menegang. Cara Dominic menatapku… seakan ia menuntut sesuatu dariku, bukan sekadar rasa bersalah, tapi bentuk tanggung jawab.Dia … ingin menjalin hubungan denganku?Tidak, tidak mungkin. Ada yang aneh.“Kak Dom, kau—”Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, suara lain tiba-tiba memotong tajam. “Apa yang kalian lakukan?”Tubuhku membeku sesaat, sebelum akhirnya menoleh cepat.Lagi-lagi, kami tertangkap Lucien! Dan dipotong menggunakan kalimat yang sama pula!“K-Kakak….”Lucien berdiri tepat di depan kamarnya, matanya menatap ke arahku dan Dominic. Berbeda dengan tadi, tatapannya kali ini menyorot dengan kegelapan yang mengerik
“Aku pulang!”Saat seruan itu menggema—seruan yang memang biasa Lucien gunakan untuk mengumumkan kepulangannya—tubuhku langsung menegang. Kutolehkan kepala dengan cepat, dan kudapati kakak sulungku itu melangkah masuk melewati ambang pintu depan rumah dengan kaki jenjangnya yang dibalut celana hitam. Kemeja kerah putih yang dia kenakan dibiarkan terbuka dua kancing atasnya, lengan panjangnya dilipat hingga siku, memberi kesan santai setelah semalaman bekerja.Namun, ketika kepalanya perlahan menoleh ke arah kami—padaku dan Dominic yang sedang berada dalam posisi begitu intim, refleks aku mendorong tubuh Dominic menjauh hingga—Prang!Suara gelas pecah dan sendok berjatuhan memenuhi ruangan.Aku terkesiap. “Kak Dom!” seruku saat melihat tubuh Dominic yang oleng, membuat sikunya tanpa sengaja menyenggol sejumlah peralatan dapur hingga terjatuh. “M-maaf!” seruku seraya gegas membantunya menegapkan tubuh, tapi tangannya cepat melingkar di pinggangku, menahanku menginjakkan kaki ke area ka