"Kamu yakin mereka akan melakukan transaksi di sini?"
Mata elangnya menyorot tajam ke arah ruang gelap. Bola mata hitam kecokelatan beredar ke seluruh lapang, di mana banyak pohon pinus menjulang tinggi. Telinga dan matanya bak burung hantu yang sedang mengidentifikasi mangsa. Meski gelap, namun semua terasa jelas. Tajam bak pedang yang siap menghunus, membabat habis musuhnya."Menurut informasi yang aku dapat, mereka akan mengadakan transaksi di sini.""Di hutan pinus ini?""Ya."Deru napas mereka terdengar sangat halus, mungkin karena sudah terbiasa dan mahir dalam menyelinap hingga keduanya pandai memperhalus suara napas mereka hingga tak mampu terdeteksi oleh musuh. Bahkan suara obrolan mereka pun sangat lirih, semut saja hampir tidak bisa mendengar."Tuan." Sembari mencekal lengan Astin.Astin mengarahkan mata elangnya pada tangan Marlin di lengannya, lalu beralih pada wajah khawatir Marlin. Dari sorot mata mengisyaratkan agar Marlin tidak perlu khawatir."Hati-hati!" lirih Marlin berpesan sembari melepaskan cekalan tangannya.Berlahan Astin melangkah dengan tubuh sedikit membungkuk untuk lebih bisa melacak keberadaan musuh. Pakaian serba hitam dengan sepatu kulit yang senada layaknya seorang mafia terhebat. Sikap waspada selalu menjadi nomor satu untuk menyelesaikan misi.Sesekali Astin menoleh pada Marlin. Meski begitu, dia tetap fokus menguasai ruang dan waktu. Astin sama sekali tidak mau lengah sedikit pun karena nyawa sebagai taruhan. Dengan tangan siap menggenggam benda yang selalu menjadi andalannya, Astin siap melumpuhkan target."Tuan!" Marlin kembali mencekal pergelangan tangan Astin saat melihat seseorang berjalan dengan sikap waspada.Astin segera mengarahkan kedua bola mata elangnya menghujam sosok pria bertubuh kekar yang ditunjuk oleh mata Marlin. Keduanya bersembunyi di balik pohon pinus dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari pria itu.Meski gelap, mereka bisa melihat garis wajah tegas dan menyeramkan pria itu. Terlebih saat pria itu menyalakan layar ponsel. Wajahnya terlihat lebih jelas lagi. Gerak-geriknya cukup mencurigakan dengan sikap waspada."Kita serang sekarang?" ucap Marlin siap menerima perintah."Jangan sekarang! Kita tunggu yang lain! Percuma hanya menangkap satu tikus saja."Kening Marlin mengernyit."Tuan, kita hanya berdua. Bagaimana kalau anggota mereka lebih banyak dari kita?" ucapnya khawatir."Hey! Apa kamu sudah bodoh? Bukankah aku memintamu untuk menyiapkan 'Giustizia' bersama kita?" Nada marah membuat matanya yang hitam menyalakan bara api."Mereka masih dalam perjalanan.""Kalau begitu, kenapa harus khawatir?" Voltase kemarahan Astin menurun."Tapi-" Marlin tampak ragu."Why?" Mata Astin kembali tajam menuntut jawaban dan penjelasan."Seharusnya mereka tidak terlambat."Astin mendengus kesal disertai helaan napas panjang. Marah pun rasanya percuma karena mereka sudah berada dalam lingkaran panas dan bahaya. Sudah masuk ke dalam sarang harimau, maka apa pun yang terjadi harus mereka hadapi."Semoga saja anggota mereka tidak banyak," desis Astin mencoba menenangkan diri dan Marlin.Bukan takut, hanya saja tidak mau mengorbankan orang lain dalam misinya. Bukan nyawanya sendiri yang harus dia lindungi, ada Marlin bersamanya. Dia juga tidak ingin mati sebelum misi dan tujuannya tercapai.Belum juga bibir tertutup rapat setelah berbicara, tampak beberapa pria kekar berjalan mendekati pria yang pertama dengan senjata lengkap di tangan mereka. Hal itu jelas saja membuat mata Astin dan Marlin terbuka dengan sangat lebar."Tuan." Marlin merasa sangsi akan keberhasilan mereka.Ini adalah kebodohannya. Benar yang dikatakan Astin, mereka hanya akan mengantarkan nyawa dengan suka rela saja bila nekad melawan tanpa ada bala bantuan. Marlin tidak meragukan kehebatan dan kekuatan Astin, hanya saja saat ini tubuh Astin sedang tidak baik-baik saja. Beberapa hari lalu saat menangkap penyelundup senjata, dia terluka.Astin tidak menghiraukan kegalauan dan kekhawatiran Marlin. Matanya masih saja fokus pada rombongan pria bertubuh kekar yang sedang melakukan perundingan."Kita akan menyerang mereka setelah ketua mereka tiba," ucap Astin lirih tanpa mengalihkan tatapan elangnya.Tangannya begitu erat mencengkeram benda yang ada di tangan, sedangkan tangan lainnya mencengkeram pohon pinus yang mereka jadikan penghalang. Hawa tubuhnya mulai panas dan gelora jiwanya mulai meronta. Bau anyir telah tercium dan melekat pada indera penciumannya. Baginya bau itu adalah aroma yang sedap dan telah menjadi candu baginya.Sesungguhnya, tidak pernah terpikir dalam hidupnya akan menjadi pemburu dan pembunuh yang bengis. Keadaan dan situasi yang memaksanya seperti ini."Hati-hati!" lirih Astin sembari melangkah mencoba lebih mendekat untuk mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan setelah mengenakan topeng.Tanpa menjawab, Marlin mengekor dan melakukan hal yang sama. Setiap pergerakan, mereka akan selalu menggunakan topeng wajah.Astin kembali menahan penyerangan dan memilih memperhatikan apa yang mereka lakukan sembari menunggu bala bantuan datang saat melihat beberapa pria lagi datang.Meski samar, namun mereka dapat mendengar apa yang dibicarakan para pria itu."Di mana barangnya?" tanya salah seorang dari pria kekar yang datang terlebih dulu."Anda jangan khawatir! Kami tidak pernah menipu klien kami.""Perlihatkan pada kami!""Tidak semudah itu, Tuan. Tunjukkan dulu uangnya pada kami!""Ini." Seseorang mengangkat koper. "Uangnya ada di dalam koper ini sesuai dengan jumlah yang Anda minta.""Buka!"Terdengar tawa mencibir."Mari saling menunjukkan!""Apa Anda tidak percaya padaku, Tuan?"Pria pertama kembali menurunkan koper yang tadi dia angkat."Aku bukan tidak percaya, tapi aku hanya ingin memastikan bahwa di dalam itu isinya asli.""Ho ... ho ... kamu pikir aku akan menipu dengan uang palsu? Aku bukan orang licik sepertimu."Marah karena rekan bisnisnya tidak mempercayai, pria itu memberi kode pada anak buahnya, lalu meletakkan koper itu di atas punggung salah satu anak buahnya. Dengan cekatan pula jemarinya membuka kunci koper. Pria pertama itu memutar posisi pintu koper ke arah pria berjas menunjukkan isi di dalamnya."Apa Anda masih belum percaya?" ucapnya sembari memperlihatkan isi koper yang dia buka.Senyum bahagia dan puas terlihat dari wajah pria berjas hitam di hadapannya."Eits! Aku tidak suka barangku disentuh tanpa ada barternya!" ucapnya kembali menutup koper saat tangan pria berjas hendak menyentuhnya. "Tunjukkan padaku mana barang yang akan Anda berikan pada kami sebagai barternya!"Pria itu kembali mengunci koper miliknya dan memberikan pada anak buahnya.Pria berjas itu memberi kode juga pada anak buahnya yang membawa koper hitam yang sama. Pria bercodet itu maju dan memberikan koper itu pada pria berjas.Keduanya saling bertukar koper. Dengan tatapan tajam saling menerkam, dua pria itu bersiap untuk melakukan barter. Sayangnya, transaksi mereka terhambat dan terancam gagal setelah mendengar suara pergerakan dari sisi lain. Kedua kelompok saling mengamankan barang masing-masing"Siapa itu?" teriak salah satu dari mereka.Semua orang bersikap siaga dan waspada, bahkan siap menyerang bila ada serangan dadakan. Tangan-tangan mereka telah siap dengan senjata masing-masing. Bola mata mereka bergerak-gerak mencari sumber suara. Bahkan beberapa pria mulai memeriksa sekitar.Bukan hanya mereka yang kaget, Astin dan Marlin yang sedang menyimak dan mengawasi mereka pun turut kaget karena suara itu."Apa kamu siap?" tanya Astin saat derap langkah kaki terdengar mendekati tempat persembunyian mereka."Siap."Astin dan Marlin telah siap dengan kuda-kuda yang kuat. Kedua tangan mereka semakin mencengkeram erat senjata masing-masing. Tidak bisa mengelak atau menghindar lagi. Tidak juga bisa menunggu bala bantuan karena para pria itu semakin dekat."Tuan, awas!!!" teriak Marlin menarik tubuh Astin ketika kilau pedang panjang mengayun ke arah mereka.“Marlin, kita cari tempat makan sebelum pulang,” ucap Astin ketika mereka telah berada di dalam mobil.“Bolehkah aku memintamu langsung mengantar aku pulang saja? Aku sangat lelah,” ucap Karely.Karely sebenarnya buka wanita lemah. Bahkan saat dia harus lembur bekerja dan tidak tidur semalaman saja, dia masih bisa terlihat segar dan kuat. Kali ini, melakukan sesi foto prewedding ternyata membuatnya merasa lelah dan tidak bertenaga. Mungkin bukan karena kehabisan tenaga, melainkan pikiran dan hatinya yang lelah. Bukan juga karena Astin. Ada hal lain yang tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata dan pada siapa pun juga. Perlahan Astin memutar leher menoleh dan memperhatikan Karely dengan seksama. Melihat wajah lelah dan redup Karely, dia pun merasa iba dan kasihan. Ada rasa bersalah juga karena telah mmebuat Karely harus mengulang foto berkali-kali karena dia.“Aku akan mengantarmu pulang, tapi kita makan dulu sebelum pulang,” jawab Astin.Karely membalas tatapan Astin.“Aku rasa tidak p
"Tuan, letakkan tangan Anda pada pinggang nona Karely!" minta fotograper pada Astin.Beberapa kali fotograper meminta Astin bergaya natural, namun terlihat lebih mesra. Sayangnya, setiap kali diarahkan, Astin terlihat sangat kaku dan canggung. Bahkan tampak enggan melakukannya. Alhasil, dia pun harus menuntun tangan Astin dan meletakkan pada tubuh Karely sesuai dengan gaya yang diinginkan agar terlihat lebih mesra sebagai pasangan kekasih."Begini?" tanya Astin.Astin tampak sangat gugup dan canggung. Ini kali pertama dia sangat dekat dengan seorang wanita. Astin tidak pernah memegang pinggang wanita, apalagi bersikap mesra seperti sekarang ini. Jelas saja hal ini membuat dadanya berdebar hebat dan jantungnya berdegub sangat cepat. Bahkan tubuh Astin sampai gemetar."Lebih dekat lagi!" mintanya lagi saat Astin mulai memegang pinggang ramping Karely.Astin sedikit melangkah maju mendekatkan diri pada Karely sesuai dengan perintah fotograper. Seiring langkahnya mendekat, saat itu juga d
"Karely?" Astin kaget melihat Karely masih belum mengenakan pakaian pengantinnya.Karely sendiri juga kaget melihat pintu terbuka dan tiba-tiba Astin telah berdiri melihatnya, sedangkan dia sendiri baru mau beranjak dari duduk setelah bersedih karena mengingat kenangan bersama Ben, tunangannya."Karely, ada apa? Apa gaunnya tidak kamu sukai?" Astin melihat ada yang aneh dari Karely. Meski dia belum mengenalnya secara penuh, namun wajah murung Karely tidak bisa menipunya. Dia pikir karena Karely tidak menyukai model gaun yang dipilih oleh Yoselin."Oh, tidak. Aku menyukainya."Cepat-cepat Karely menampik pemikiran Astin. Dia juga segera berjalan mendekati salah satu gaun yang akan dia coba.Astin mengernyitkan kedua ujung alis, tidak mudah percaya mendengar jawaban Karely. Bagi mata Astin yang sudah terbiasa membaca hal kecil dari gestur tubuh musuh dan juga aura wajah, cara Karely menghindar sangat mudah terbaca."Aku hanya bingung, gaun mana yang harus
"Kenapa kamu tidak membiarkan aku menghajar pria brengsek itu?" Astin menatap tajam Karely.Karely semakin bingung. Dia tidak mengerti apa yang dikatakan Astin."Kamu mengenalnya?" Karely tidak bisa menahan untuk tidak bertanya. Dia ingin tau alasan Astin tiba-tiba memukul Deo, bahkan ingin menghajarnya. Tidak mungkin alasannya adalah cemburu karena dia tau dengan jelas Astin tidak mungkin memiliki perasaan padanya. Meskipun mereka akan menikah, apa yang dilakukan Astin tidak masuk akal.Astin membalas tatapan Karely. Cukup lama pandangan mereka saling beradu hingga akhirnya Astin menyugar wajahnya sendiri menggunakan kedua tangan sembari menghela napas panjang."Maafkan aku," ucapnya lirih, lalu berjalan dan duduk dengan kepala menunduk meredam emosi.Astin mulai bisa menguasai dirinya. Dia sendiri tidak tau kenapa tiba-tiba merasa marah melihat seorang pria tiba-tiba ingin memeluk Karely. Mungkin bila wajah dan ekspresi Karely biasa saja atau senang saat p
“Masuklah terlebih dahulu! Aku ada urusan sebentar, nanti aku akan menyusulmu," ucap Karely saat Astin mengajaknya keluar dari mobil.Astin terdiam menatapnya lekat dan menghentikan gerakan tubuhnya yang siap untuk keluar."Ingat! Kita ini calon suami-istri, jadi bersikaplah sedikit romantis dan manis padaku! Aku tidak mau orang tau kalau kita hanya sandiwara. Pernikahan kita pernikahan sungguhan, meski kontrak," balas Astin tidak suka mendengar perkataan Karely.Karely tertawa kecil mendengar perkataan Astin yang memintanya bersikap romantis dan manis."Ada yang lucu?" tanya Astin.Tawa Karely semakin terlihat jelas."Kamu yang lucu," jawabnya, lalu menghentikan tawa."Aku?" Astin menampakkan wajah binggung."Ya, kamu yang lucu. Sangat lucu!"Astin semakin bingung. Bahkan sesaat kemudian menunjukkan wajah sedikit kesal."Kamu menyuruh aku bersikap romantis dan manis? Bukankah dari kemarin kamu sendiri yang bersikap datar dan cuek padaku? Kena
“Tante, nanti kalau Tante tidak ikut dengan kami, terus aku harus bertanya pada siapa untuk mengetahui apakah gaun pengantin itu cocok untukku atau tidak?"“Ada Astin. Dia bisa memberi penilaian. Dia juga yang akan memberimu pujian.” Yoselin melemparkan pandang pada Astin.“Aku tidak yakin dengan seleranya, Tante,” ucapnya memberi lirikan remeh pada Astin.Tatapan Karely disambut dengan tatapan menyepelekan dan tajam oleh Astin."Kalau begitu, kamu tidak perlu bertanya padaku. Asal kamu tidak sedang tidur, bukankah seleramu lebih bagus, Nona?" sahut Astin menatap kesal atas sikap Karely yang meremehkan seleranya. "Kecuali bila kamu dalam keadaan tidur, aku tidak yakin," sambungnya memberikan sindiran. Bahkan terhias senyum tipis pada bibir Astin.Karely langsung terdiam. Sindiran yang diberikan Astin mengingatkan tentang kejadian semalam. Semalam kalau bukan karena Astin meninggalkannya untuk menjawab panggilan telepon dan membiarkan sendirian di ruangan sepi itu, tidak mungkin Karel