"Terima kasih."
Dalam kelebat cepat, Astin masih sempat mengucapkan terima kasih atas penyelamatan Marlin untuknya sehingga lolos dari sabetan musuh.Dengan cepat Astin telah berdiri dengan aksinya yang memukau. Marlin berdiri tepat di belakangnya. Mereka saling beradu punggung dengan sikap siap menyerang dan menangkis semua kemungkinan yang akan terjadi."Tuan, jangan pergi jauh dariku!" Marlin berharap Astin tidak menjauh agar dia bisa tetap melindunginya. Karena bagaimanapun kondisi tubuh Astin belum optimal."Aku tidak butuh ocehanmu! Musuh kita tidak sedikit," balas Astin dengan penekanan agar pria itu tidak terlalu khawatir padanya."Lukamu belum sembuh," balas Marlin di antara kesibukannya menangkis dan menyerang musuh."Jangan banyak bicara!" ucap Astin kesal sembari menangkis sebuah serangan yang hampir saja menghantam kepalanya.Menurutnya, ocehan Marlin membuat kosentrasinya sedikit buyar. Dia juga yakin Marlin tidak terlalu fokus pada musuh karena mengkhawatirkan dirinya.Dengan gesit tubuh yang berbalut pakaian bernuansa serba hitam itu melesat cepat dan ringan seperti angin. Kini Astin dan Marlin terpisah oleh regu penyerang. Tangan dan kaki lincah bak burung berterbangan hinggap ke sana ke sini. Bukan hanya menghindar saja, beberapa kali mereka berhasil menghantam musuh."Tuan!"Marlin mengejutkan Astin saat seorang pria kekar bersiap menghujam punggungnya dengan parang panjang. Berkat teriakan Marlin, Astin dapat dengan cepat menghindar dan menghadiahi goresan yang cukup dalam pada dada pria itu, lalu tumbang."Puh!" Astin dengan gaya mafianya meniupkan angin kemenangan pada senjata andalannya yang ternoda oleh darah segar.Belum juga bernapas dengan lega, serangan kembali datang bertubi. Tidak mau berdiam lebih lama, tendangan kakinya yang ringan dengan ujung sepatunya yang lancip bak bambu runcing mampu membuat lubang cukup dalam pada dada sang musuh. Tubuh pria kekar itu bisa kembali tumbang."Sialan!" umpat salah satu temannya.Tinju dari tangan besar dan kekar berhasil ditangkisnya. Dengan senyum menyeringai dan menakutkan, Astin menahan kepalan pria itu dan memutar pergelangan tangannya."Bagaimana dengan ini?" Astin benar-benar memutarnya tiga puluh enam derajat tangan pria itu hingga terdengar gemeretak dan patah. Seringai kemenangan tentu menjadi miliknya."Aaaa!!!" teriak sang pemilik tangan.Tidak ingin membuang waktu dan tenaga, Astin langsung menghunuskan senjata andalannya menggores leher hingga pria itu hingga tumbang dengan darah menyembur bak air mancur."Satu lagi, tumbang," lirih Astin dengan seringai kemenangan."Sialan! Cari mati kau!" Seorang pria kekar lainnya bersiap menyerang Astin.Sembari meladeni musuh, mata elangnya sempat beredar dan menangkap ketua geng mereka berusaha kabur."Jangan biarkan pria itu lolos!" teriaknya pada Marlin.Langkah kakinya langsung melayang memberi tendangan pada pria yang menghadangnya. Si kekar terhuyung. Astin berlari dengan cepat mengejar pria itu. Tubuhnya meliuk-liuk menghindari pohon pinus dalam kegelapan.Marlin sendiri masih asyik bermain dengan tiga pria kekar yang ternyata cukup sulit untuk ditahklukkan."Bedebah!"Marlin merasa geram karena tiga pria itu terlalu tangguh untuknya. Apalagi saat melihat Astin berlari mengejar musuh dan semakin menjauh darinya. Dia tidak akan membiarkan Astin sendirian. Marlin mengeluarkan jurus mematikannya. Sekali hunus dengan sabetan si kilau, dua pria kekar berhasil tumbang."Bagaimana? Apa kamu mau memilih sendiri bagian tubuhmu yang sebelah mana yang akan aku tebas?" ucap Marlin dengan mengelap cairan merah pekat yang melumuri si kilau miliknya."Jangan bangga dulu, Tuan! Aku tidak selemah mereka," ucapnya bengis."Good!"Marlin dengan cepat menghindari terjangan pria itu. Saat tertunduk menghindar, kakinya langsung menjejak punggung si kekar. Tangannya menghunus pedang panjang dengan sabetan kilat.Bruukk!!Seketika tubuh pria itu ambruk bersimpah darah segar karena pedang Marlin tepat mengenai leher dan memutus kerongkongan.Lagi-lagi seringai puas menghiasi wajah tampannya di antara gelapnya malam.Tidak mau terbuai terlalu lama, Marlin segera mengedarkan pandang mencari keberadaan Astin. Matanya berbinar saat melihat sekelebat tubuh Astin bertarung dengan dua pria. Dia pun cepat-cepat berlari menyusul. Sayang, langkahnya terhambat."Jangan kabur!""Kabur? Kau pikir aku pengecut?" cibir Marlin mulai menyerang.Tidak percuma selama ini terus berlatih dan menjaga kebugaran tubuh. Dengan ketangkasan dan gerakan gesit, Marlin cukup cakap menghindar dan menangkis serangan musuh. Bahkan balasannya sangat mematikan."Berikan padaku!" teriak pria itu ketika koper yang berusaha diselamatkan telah beralih ke tangan Marlin."Tidak semudah itu, Tuan. Katakan di mana bosmu berada?"Sekalipun aku mati, aku tidak akan mengatakan di mana dia berada.""Good! Kalau begitu aku akan mengabulkan ucapanmu dan mengantarmu ke api neraka."Marlin tidak main-main kali ini. Tidak ada ampun bagi musuh yang tidak mau kompromi. Mati adalah pilihan paling tepat untuk segera mengakhiri pertarungan mereka dan mencari keberadaan Astin."Tuan!" teriaknya ketika tidak melihat bayangan Astin atau yang lainnya.Marlin mulai cemas dan terus berkeliaran mencari sembari memanggil Astin. Hanya saja tidak menyebutkan nama karena dalam peraturan saat bertempur tidak boleh menyebut nama untuk menghindari identitas mereka diketahui musuh.Sementara itu Astin terus mengejar pria yang kabur dan berhasil menghadang mereka dengan cara melumpuhkan pria kekar yang melindungi bos mereka."Sial! Siapa kamu?""Tidak perlu tau siapa aku. Menyerahlah dan berikan barang itu padaku!" sahut Astin dengan tenang."Cih! Kamu pikir kamu hebat?" Pria itu berdecih sembari membuang ludah menanggapi permintaan Astin, lalu memberi kode pada dua pria yang bersamanya untuk menyerang.Tubuh Astin meliuk ke kanan dan ke kiri dengan gesit menghindari serangan dengan sesekali memberi pukulan balasan. Kali ini musuhnya bukan abal-abal. Sebagai ketua geng, dia tau benar orang-orang yang dipilih menjadi garda utama dalam melindungi bos adalah orang-orang pilihan dengan ketangkasan dan kecakapan yang hebat."Sial!" Astin menyeringai ketika salah satu kaki musuh berhasil mengenai tubuhnya yang terluka sehingga menimbulkan rasa sakit yang hebat."Tuan!"Untung Marlin datang tepat waktu dan berhasil menyokong tubuh Astin."Aku tidak apa-apa," ucap Astin meyakinkan Marlin dan kembali tegak.Melihat Astin kembali tegak, Marlin dengan cepat menghunus pedang dan langsung menyerang musuh."Rasakan ini!" serunya sembari menghunus pedang.Pria kekar itu berhasil mundur. Marlin tidak membiarkan kesempatan itu hilang begitu saja, dengan cepat tubuhnya melesat ke arah musuh dengan sabetan pamungkas. Sayang, sabetannya meleset ketika ekor mata melihat Astin kembali terdesak oleh musuh."Tuan!" Lagi-lagi Marlin mengkhawatirkan Astin, terlebih saat tangan Astin mendekap bagian perutnya yang terluk.Astin tidak peduli dengan kekahwatiran Marlin. Dengan menahan rasa sakit, tubuhnya kembali bergerak cepat menghadapi musuh."Tuan, sebaiknya kita pergi dari sini," ucap Marlin di antara gerakan pertahanan diri dan menyerang membantu Astin. Dia tidak yakin bisa bertahan dengan kondisi Astin seperti itu."Aku tidak akan menyerah sebelum menemukan pembunuh keluargaku.""Anda terluka.""Jangan hiraukan aku!"Astin ingin kembali maju. Namun ...."Mereka datang lagi. Sebaiknya kita segera pergi!" Mata Marlin membulat melihat beberapa bayangan datang ke arah mereka."Sial! Ini semua salahmu! Andai kamu koordinasi dengan Marlo, pasti kita akan menang dengan mudah.""Sial! Malam ini aku gagal," ucap Astin dengan nada kecewa dan marah.Mereka berhasil lolos setelah Marlin memaksa dan menyeretnya pergi karena melihat bayangan beberapa orang datang ke arah mereka."Maafkan aku." Marlin masih merasa kegagalan ini adalah ulah bodohnya. Astin menegakkan wajah menatap pria yang terlihat kacau dan lelah. Perlahan mendekat dan menepuk pundak Marlin dengan cukup keras, lalu tersenyum di antara napas terengah dan cepat."Ini pilihan yang tepat," ucapnya tidak menyalahkan Marlin."Tapi kita gagal. Kita tidak bisa mendapatkan informasi tentang ketua mereka. Kita juga tidak berhasil membawa salah satu dari mereka untuk kita siksa. Crico juga tidak mendapatkan makanan gratis hari ini." Marlin menatap mata Astin dengan rasa bersalah."No. Siapa bilang kita tidak mendapatkan apa-apa? Kita dapat ini." Astin mengangkat koper hitam yang berhasil dia bawa lari."Wow! Kau mendapatkannya?" Mata Marlin terbelalak senang."Ya, biarpun kita tidak mendatangkan mainan untu
"Untuk apa kita di sini? Membuang waktu saja," gerutu Astin.Astin merasa Marlin telah membuang waktunya malam ini. Marlin memaksanya pergi ke cafe tanpa alasan yang jelas. Padahal kehidupan cafe bukanlah suasana yang disenangi. Sangat jarang Astin datang dan nongkrong di cafe, apalagi tidak ada tujuan yang jelas."Sesekali hibur dirimu!" ucap Marlin sembari menyodorkan cangkir berisi kopi pada Astin."Aku tidak butuh hiburan semacam ini, Marlin. Hanya mengotori mataku saja."Marlin tersenyum mendengar jawaban Astin."Bagaimana kalau salah satu orang yang kamu cari ada di sini?" Tubuh Marlin condong mendekati Astin.Mata Astin membulat tajam menatap Marlin.Marlin sendiri tersenyum tipis melihat Asin tidak dapat berkata-kata lagi dan tidak lagi menyalahkan dirinya. Keduanya kembali menikmati minuman yang telah mereka pesan."Lihat!" ucap Marlin menunjuk ke arah kanan menggunakan sorot mata.Astin langsung menoleh mengikuti arah pandang Marlin."Bukankah kamu ingin tau tentang wanita m
"Lepaskan wanita itu, Tuan!"Bukan hanya perhatian Alard yang berpindah dan kaget mendengar perintah itu, Karely yang sedang berusaha melepaskan diri pun ikut mengarahkan mata pada pemilik suara. Dia tidak menyangka ada pengunjung cafe yang berani ikut campur dan beurusan dengan Alard, makanya Karely terkejut.Alard menyeringai sombong dan angkuh."Mau jadi pahlawan untuk wanita ini?" Alard meremehkan.Astin tertawa kecil. Meski Alard memasang wajah galak, bengis dan bossy, juga beberapa pria siap dengan tinju mengepal, Asin tetap berdiri dengan tenang. Sedangkan Marlin tetap duduk dengan tenang memperhatikan. Meski begitu, dia juga telah siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi bila keselamatan Astin terancam."Bukan pahlawan, Tuan. Mana berani aku melawan Anda?" Astin berlagak bodoh dan polos berjalan mendekati Alard."Tuan, orang seperti Anda memperlakukan wanita dengan kasar, rasanya hanya akan merusak reputasi Anda saja," ucap Astin menepuk pundak Alard, tapi ekor matany
"Bagaimana pria itu? Apa sudah kamu bereskan?""Sesuai dengan perintahmu," jawab Marlin menyambut kedatangan Astin di markas mereka.Setelah semalam terjadi keributan di cafe dan Astin membiarkan Karely pergi begitu saja, baru siang ini dia datang mengunjungi markas. Bahkan dalam kepalanya tidak ada lagi nama Karely. Dia tidak lagi memikirkan untuk mengenal wanita itu."Tuan."Semua orang membungkuk saat Astin berjalan memasuki rumah besar dikelilingi tembok tinggi setelah seseorang membuka pintu mobil dan berjalan keluar. Pintu pagarnya pun terbuat dari bahan yang tangguh dan tertutup rapat dengan penjagaan ketat. "Apa dia sudah buka mulut?" tanyanya sembari terus berjalan."Sepertinya pria ini memilih mati.""Kita lihat, setelah bertemu denganku, apakah dia masih tutup mulut," ucapnya dengan seringai kejam"Sepertinya orang ini hanya tikus kecil saja," ucap Marlin terus berjalan beriringan dengan Astin.Astin menghentikan langkah, lalu membagi pandang pada beberapa pria di belakang
"Ada apa ke sini?" "Apa aku tidak boleh datang menemuimu?" Nancy menanggapi dengan santai, lalu merebahkan diri di atas sofa.Respon Astin dingin saat Nancy datang ke rumah menemuinya tanpa dia undang. Padahal rencananya hari ini dia ingin istirahat. Bukan hanya istirahat dari pengejar tikus-tikus pengganggu saja, melainkan istirahat juga dari aktifitas pekerjaan kantornya.Astin hanya melihatnya menggunakan ekor mata. Dia masih tetap duduk malas bergeming."Aku sedang turun jaga, makanya aku ke sini," jawab Nancy melakukan hal yang sama, menjawab dengan malas dan santai."Kenapa tidak istirahat? Bukankah pekerjaan sebagai dokter bedah cukup melelahkan?" Kali ini mata dan pandangan Astin penuh ke arah Nancy.Terdengar tawa kecil dari bibir mungil Nancy. Wanita cantik itu berprofesi sebagai dokter bedah di sebuah rumah sakit yang cukup besar di kota. Saat waktu senggang atau setelah selesai dengan tugasnya, Nancy akan lebih banyak menghabiskan waktu di marka
"Marlin, kamu yakin mereka akan melakukan transaksi di tempat seramai ini?" Astin mengedarkan pandang ke sekitar.Dia merasa tidak yakin ada transaksi gelap dalam keramaian, di sekitar pasar swalayan. Terlebih saat itu adalah siang hari, di mana banyak orang melakukan aktifitas.Mendengar pertanyaan Astin dan juga melihat keramaian tempat itu, tiba-tiba Marlin pun merasa tidak yakin. Hanya saja info yang dia dapat tidak akan salah."Aku rasa ada tempat rahasia yang mereka gunakan untuk melakukan transaksi itu. Mungkin juga mereka memilih tempat ramai untuk meminimalisir kecurigaan polisi," ucap Marlin sembari terus mengedarkan pandang juga."Tapi sejak tadi kita berada di sini, aku tidak melihat ada gerak-gerik mencurigakan di antara pengunjung pasar."Sudah hampir satu jam mereka menunggu sembari menikmati secangkir kopi di sebuah kedai. Keduanya terus waspada. Mata mereka terus mengawasi, tidak pernah berhenti mencari pergerakan mencurigakan di sekitar.Bar
"Tuan, awas!" Karely berteriak pada Astin ketika melihat salah satu dari dua pria itu menghunus pisau ke arah Astin hendak menikam perutnya. Karena teriakan inilah, Astin yang sedang bertarung dengan pria satunya kaget dan langsung menghindar. Namun naas, gerakannya kurang gesit sehingga pisau itu berhasil menggores lengannya."Tuan!" Marlin terkejut dan khawatir melihat lengan Astin terluka.Marlin yang sejak tadi was-was memperhatikan Astin melakukan perlawanan terhadap dua perampok demi menyelamatkan Karely dan ibunya, akhirnya angkat suara. Sebenarnya sejak tadi dia ingin membantu, tapi Astin telah melarang dan menyuruhnya diam tanpa ikut campur.Langkah Marlin kembali terhenti saat Astin memberinya tatapan penuh arti untuk tetap diam."Polisi!" teriak Marlin. Meski Astin melarangnya membantu, Marlin tidak bisa membiarkannya terluka.Teriakan ini bukan omong kosong saja. Teriakan Marlin disusul suara sirine mobil polisi dan beberapa polisi berlari ke ara
"Tante, aku bisa tidur di sofa," ucap Astin merasa tidak enak hati melihat wajah tidak rela Karely."Apa yang kamu katakan?" Teresa menunjukkan wajah marah atas perkataan Astin.Perbincangan keduanya membuat Karely menghentikan langkah dan membagi pandang ke arah mereka secara bergantian. "Karely!"Karely menghela napas mendalam dan menghempaskan panjang, lalu melanjutkan langkahnya. Ada rasa tidak ikhlas membiarkan Astin menempati kamar yang selama ini dijaga dan tidak dibiarkan orang lain masuk.Karely membuka pintu dengan rasa enggan. Berdiri di ambang pintu dengan mata beredar memperhatikan setiap ruang dan sudut. Lagi-lagi dadanya terasa sesak, napasnya melambat dan berat."Maaf, aku harus membiarkan orang lain masuk dan tinggal di sini beberapa hari," ucapnya sembari melangkah masuk.Karena kamar itu akan digunakan oleh orang lain, dia harus membereskan barang-barang yang seharusnya tidak boleh dilihat orang lain, termasuk Astin."Untuk sementa