"Astin."
Langkah Astin terhenti, padahal setelah beberapa saat menunggu dan berpikir tentang kepeduliannya terhadap suara tangis yang dia dengar dari kamar Karely, dia berniat untuk meninggalkan kamar Karely dan tidak ingin peduli lagi."Ada apa?" tanya Karely berdiri di ambang pintu melihat Astin.Ada apa?Astin bergumam dalam hati mengulang pertanyaan Karely. Menurutnya, yang seharusnya bertanya seperti itu dirinya, bukan wanita yang saat ini berdiri menatapnya.Astin merasa ada yang aneh dalam diri dan wajah Karely. Kalau suara tangis itu benar-benar milik Karely, seharusnya saat ini mata Karely menunjukkan bila dia habis menangis. Sayangnya, semua itu tidak dia temukan dalam wajah Karely. Wajah wanita itu tampak segar dan biasa saja, tidak ada sisa kesedihan."Aku lapar, tapi aku lihat tidak ada makanan." Akhirnya Astin mencari jawaban klasik.Karely semakin dalam menatap Astin. Dia lupa kalau sore ini mamanya belum juga kembali, itu artinya tidak ada"Marlin jemput aku sekarang!" Setelah kepergian Karely, Astin langsung menghubungi Marlin dan meminta tangan kanannya itu menjemputnya. Menurutnya ini adalah kesempatan untuk mencari tau ke mana Karely pergi malam-malam begini.Selama menunggu hatinya gelisah. Dia khawatir kehilangan jejak Karely karena jarak antara rumah Karely dengan markas lumayan jauh sehingga Marlin membutuhkan waktu untuk sampai."Tuan," sapa Marlin membuka pintu mobil.Astin terkejut, tapi juga bernapas sedikit lega karena ternyata dugaannya salah. Marlin datang lebih cepat dari yang dia perkirakan."Cepat?" tanyanya setelah duduk nyaman di dalam mobil."Aku khawatir padamu," jawab Marlin.Tanpa penjelasan lebih rinci, Astin sudah mengerti arti jawaban tangan kanannya itu. Selama dia tinggal di rumah Karely, Marlin tetap berada di sekitar rumah itu untuk tetap melindunginya."Kamu tidak perlu melakukan hal itu. Aku baik-baik saja," ucap Astin meyakinkan Marlin tentang kondisin
"Aku sangat merindukanmu."Tiba-tiba seluruh rambut-rambut halus pada tubuhnya meremang dan berdiri. Aliran darah yang tenang berdesir ke seluruh tubuh dengan deras, sedangkan detak jantung yang awalnya berirama normal melonjak menjadi sebuah degub yang sangat cepat hingga menimbulkan debaran menghantam dinding dada.Astin yang baru saja berhasil memejamkan mata memasuki alam mimpi, tiba-tiba tersentak dan terbangun oleh pelukan hangat juga suara halus penuh kerinduan yang mendayu di samping telinga. Meski baru mengenal dan berinteraksi beberapa waktu, nalurinya dapat dengan jelas menebak siapa orang yang memeluknya, yang memiliki suara mendalam, yang hampir membuatnya shock."Karely," panggilnya lirih setelah mampu menekan rasa terkejut dalam diri.Meski tidak pernah merasakan sentuhan seorang wanita dan tidak pernah memiliki pemikiran untuk berdekatan dengan seorang wanita, mendapat pelukan tiba-tiba dari belakang membuat jiwa Astin meronta merasakan sebuah gejolak yang tidak pernah
"Apa yang kalian bicarakan?""Tuan?"Astin berjalan dengan langkah panjang memasuki ruang rapat para anggota Giustizia. Kedatangannya jelas saja membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu terkejut, termasuk Marlin dan Marlo. Mereka tidak menduga bila Astin akan datang tanpa memberitahu."Marlin, ada apa?" tanyanya lagi setelah duduk pada singgasana kebesarannya sebagai ketua.Matanya dingin, namun tajam meminta penjelasan atas kehadiran mereka di ruangan itu tanpa memberitahunya. Bisa dikatakan mereka telah lancang mengadakan pertemuan tanpa persetujuan darinya."Tuan, bagaimana kondisi Anda?""Marlin, jangan mengalihkan topik! Aku tanya apa yang kalian bicarakan di sini tanpa sepengetahuanku?" Astin menegakkan punggung dengan kedua tangan di atas meja. Matanya semakin tajam melihat Marlin. Dia tidak suka ada basa-basi terselip dalam pembicaraannya. Apalagi saat mereka berada di ruang rapat.Kini Astin mengedarkan pandang menjelejah satu per s
"Kau cemburu pada siapa, Nancy?" Tiba-tiba suara Astin memgejutkan dan dia telah berdiri di belakang mereka.Nancy dan Marlin lantas menoleh untuk melihat. Hanya saja reaksi dan ekspresi wajah mereka berbeda. Wajah cantik Nancy tampak memerah karena malu dan juga gugup."Astin, kamu sudah bangun?"Nancy bangkit dari duduknya menyambut kedatangan Astin."Ya."Astin berjalan mendekati mereka, lalu duduk di depan mereka. Matanya masih menatap Nancy dengan sorot menyelidik atas apa yang dia dengar. Hal ini jelas saja membuat Nancy semakin salah tingkah dan gugup. Dokter cantik itu akhirnya kembali duduk."Tidak ingin menjelaskan?" Suara dan mata Astin menuntut."Apa yang harus dijelaskan?" elak Nancy. "Jangan dengarkan bualan Marlin!" sambungnya memasang wajah kesal menatap Marlin."Apa butuh bantuan kami untuk mendapatkan laki-laki yang kamu sukai?" Lagi-lagi Astin masih menatapnya dengan tatapan yang sama. Kali ini dia malah menawarkan bantuan. Dia
"Masalah Karely, kamu jangan khawatir!" sahut Teresa memberikan senyum meyakinkan."Tapi, Tante?""Sebentar!" Teresa mengangkat tangan menahan perkataan Astin. Ponsel di atas meja berdering. "Karely," ucapnya lirih setelah melihat siapa yang menghubunginya.Astin dengan patuh terdiam memberi waktu Teresa berbicara dengan Karely."Kamu dengar, bukan?" ucap Teresa setelah kembali meletakkan ponselnya. "Dia terlalu gila kerja hingga lupa kalau punya mama," sambungnya memasang wajah menyesalkan kebiasaan Karely."Memangnya Karely kerja di mana, Tante?" Astin pikir ini kesempatan baik untuk mengetahui pekerjaan Karely yang sebenarnya.Teresa tidak langsung menjawap pertanyaan Astin, melainkan mengangkat wajah, menatapnya lekat dan terdiam. Bola matanya sedikit bergerak-gerak menjelajah manik mata hitam Astin seolah wanita itu sedang memikirkan sesuatu. Tampak juga dalam sorot mata ada keraguan, namun semua itu ditepis menggunakan senyum mencairkan suasana yang ham
"Fokuslah, Tuan! Jangan sampai konsentrasimu terpecah dan membahayakan dirimu sendiri." Astin mengangguk setuju. Ini memang salahnya. Dia lupa mematikan ponsel saat mereka beroperasi. Hal ini jelas saja menyalahi aturan karena akan mengganggu kosentrasi mereka."Sekarang kita bergerak!" perintahnya sembari memberi kode pada yang lain untuk maju.Dengan sekali hentakan, ketiganya langsung melesat dan menyelinap di antara rombongan pria kekar yang tengah melakukan negosiasi. Sesuai dengan rencana awal, Marlo menyerang pria yang ditunjukkan oleh Astin, sedangkan Astin dan Marlin berusaha menculik dia pria yang diyakini adalah bos mereka."Keparat! Siapa mereka?" teriak salah satu bos dari dua kubu yang saat menyadari ada yang mengepung dan menyerang mereka."Giustizia!" sahut yang lainnya.Terang saja mereka kalang kabut dan langsung menghalau serangan anggota yang datang secara tiba-tiba. Mereka tidak menyangka kalau akan mendapatkan serangan dari geng mafia y
"Tuan, awas!!!" teriak seseorang mendorong tubuh Astin dengan sangat kuat.Astin terkejut bukan main ketika tubuhnya terdorong dengan kuat, bahkan sampai terjatuh. Untung kuda-kudanya kuat sehingga refleks melindungi diri cepat. Astin langsung menopang tubuhnya menggunakan tangan dan lututnya. Menyadari ada yang tidak beres, Astin langsung menoleh pada pria yang telah mendorongnya."Romeo!" serunya tercengang.Bukan hanya Astin saja yang terkejut, Marlin dan Marlo juga tidak kalah terkejut. Dengan cepat Marlo menguasai keterkejutannya. Pria itu langsung mengarahkan ujung pistol dan menarik pelatuk ke arah bayangan hitam di depan mereka. Timah panas melesat dengan cepat membidik seorang pria yang kembali siap melepaskan timah panas ke arah Astin.Astin dan yang lainnya sangat jarang menggunakan pistol untuk menghadapi musuh, terkecuali kondisi mereka sangat terdesak. Mereka lebih senang menggunakan pedang untuk membasmi musuh. Menurutnya, senjata itu lebih aman dari
"Astin, cepat ikut aku!""Tante, ada apa?" tanya Astin pura-pura tidak mengerti maksud Yoselin memintanya pulang.Kedatangan Astin di rumah besar dengan dinding dan pintu pagar yang menjulang tinggi dan juga kokoh langsung disambut hangat dan senang oleh seorang wanita cantik berambut pirang. Seperti akan memberikan kejutan yang membahagiakan, wanita itu langsung menyusupkan tangan rampingnya pada lengan Astin dan membawanya masuk ke dalam rumah."Tante." Astin bersungut-sungut."Kali ini kamu tidak boleh membantah lagi. Aku sudah memberimu waktu cukup lama," ucap wanita itu sedikit memberi wajah dan nada galak."Aku bukan ingin membantah, tapi-""Tapi, apa?" Sekali lagi Yoselin memberi tatapan lebih galak. "Tujuanmu, bisa kamu lakukan sembari jalan," sambung Yoselin.Astin menghirup napas panjang, lalu mengeluarkan secara perlahan. Dia tidak akan pernah bisa marah pada wanita yang telah menjaga dan membesarkannya. Bagaimanapun Yoselin adalah satu-satuny